The loss of identity in an area or building can be understood as placelessness, which can lead to the reduction or even disappearance of locality in an area. One place experiencing the phenomenon of placelessness is the Kwitang area. Kwitang area used to be closely associated with literary life, as evidenced by the emergence of many bookstores. One bookstore that played a significant role in the Kwitang area is Toko Buku Gunung Agung. Which was also a pioneer of modern bookstores in Indonesia. Over time, due to changing of reading trends, the existence of Toko Buku Gunung Agung diminished, especially with its closure in 2023. Currently, the building experiences placelessness and cannot be utilized. Therefore, the problem with this bookstore is how architecture can restore the value of Toko Buku Gunung Agung. The aim is to provide a design proposal that can enhance the value of Toko Buku Gunung Agung. The design approach used is Narrative Architecture, telling the history of the Kwitang area's development, then showing how literary existence in the Kwitang area and its connection to Toko Buku Gunung Agung. This narrative architecture is implemented in the spatial program arrangement, including communal gardens, a History Garden, a Library, an Art Space Gallery, a Co-working Space, and a Rooftop Garden. Keywords: book store; Kwitang; narrative architecture; placeless place Abstrak Hilangnya identitas pada suatu kawasan atau bangungan bisa diartikan sebagai placeless, dan hal ini dapat menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya lokalitas pada suatu kawasan. Salah satu tempat yang mengalami fenomena placeless adalah Kawasan Kwitang. Kawasan Kwitang dahulu merupakan kawasan yang erat kaitannya dengan kehidupan literasi. Hal ini ditunjukan dengan adanya fenomena munculnya banyak toko buku. Salah satu toko buku yang memiliki peranan yang signifikan terhadap kawasan Kwitang adalah Toko Buku Gunung Agung Kwitang, sekaligus menjadi perintis toko buku modern di Indonesia. Dalam perkembangannya, karena adanya perubahan trend membaca, menyebabkan eksistensi dari Toko Buku Gunung Agung menjadi berkurang, terlebih ditutupnya toko buku itu pada tahun 2023. Saat ini, bangunan tersebut mengalami placeless yang tidak dapat difungsikan. Oleh karena itu, permasalahan dari toko buku itu adalah bagaimana peranan arsitektur bisa mengembalikan value dari Toko Buku Gunung Agung. Dengan tujuan untuk memberikan usulan desain yang dapat meningkatkan value pada Toko Buku Gunung Agung. Pendekatan desain yang digunakan adalah Arsitektur Naratif, dengan menceritakan sejarah perkembangan Kawasan kwitang, lalu memperlihatkan bagaimana eksistensi literasi pada kawasan Kwitang, dan kaitannya dengan Toko Buku Gunung Agung. Arsitektur naratif ini diimplementasikan pada penataan program ruang seperti taman komunal, History Garden, Perpustakaan, Art Space Gallery, Co-working Space, hingga Rooftop Garden.