Claim Missing Document
Check
Articles

IMPLIKASI PUTUSAN MK RI NO. 14-17/PUU-V/2007 DAN PUTUSAN MK RI NO. 4/PUU-VII/2009 TERHADAP HAK PILIH MANTAN TERPIDANA Dita Nora Yolandani; Retno Saraswati; Ratna Herawati
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 4 (2018): Volume 7 Nomor 4, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (491.462 KB) | DOI: 10.14710/dlj.2018.22793

Abstract

Sudah menjadi perbincangan publik bahwasannya terhadap seorang mantan terpidana yang ingin mengikuti pemilihan legislatif pada akhirnya diperbolehkan, melalui berbagai peraturan hukum yang memperbolehkannya. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam penelitian ini, disajikan dengan metode yuridis normatif dengan pendekatan studi kepustakaan terhadap data sekunder. Latar belakang Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK RI No. 14-17/PUU-V/2007 dan Putusan MK RI No. 4/PUU-VII/2009 yaitu sebagai wujud bentuk perlindungan dan penjaminan hak warga negara dalam hal kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk mengikuti ajang politik. Mahkamah Konstitusi telah membuka peluang kepada mantan terpidana tanpa adanya diskriminasi sebagai bentuk perlindungan hak asasi warga negara yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007, Nomor 4/PUU-VII/2009, Nomor 120/PUU-VII/2009, Nomor 42/PUU-XIII/2015, Nomor 51/PUU-XIV/2016, Nomor 71/PUU-XIV/2016, yang pada intinya telah memberikan peluang kepada mantan terpidana untuk dapat mengikuti ajang politik. Mahkamah Agung pun pada akhirnya juga memperbolehkan mantan terpidana tersebut mengikuti pemilihan umum legislatif. Dengan adanya ketentuan hukum yang demikian, rakyatlah yang nantinya tetap menentukan hak suaranya untuk memilih kandidat yang patut dijadikan pemimpin untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan terciptanya penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
PENEGAKAN KODE ETIK ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MELALUI MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN Diah Imania*, Retno Saraswati, Hasyim Asy’ari
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (545.965 KB)

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana pelaksanaan penegakan kode etik anggota DPR melalui Mahkamah Kehormatan Dewan. Kode etik telah di atur di Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik DPR  Adapun salah satu alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang mengatur tentang Kode Etik sendiri adalah Mahkamah Kehormatan Dewan. Sistem Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan telah diatur sepenuhnya dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan. Mekanisme dari tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan ialah: a. Materi Perkara, b. Pengaduan, c. Verifikasi, d. Penyelidikan, e. Rapat MKD, f. Sidang, g. Pemeriksaan Alat Bukti, h. Pemeriksaan Pimpinan/Anggota MKD, i. Panel, j. Putusan. Berdasarkan kasus yang beredar tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat telah diatur pula beberapa sanksi yang telah diatur bagi pelanggar kode etik khususnya. Sanksi tersebut diantaranya; 1. Sanksi ringan, 2. Sanksi Sedang, 3. Sanksi Berat.
PENGENAAN PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI HASIL KARYA DAN IMBALAN YANG DITERIMA OLEH PROFESI PENULIS Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum.; F.C. Susila Adiyanta; Nabitatus Sa’adah
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 3 (2018): Volume 7 Nomor 3, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (482.673 KB)

Abstract

Pemungutan  pajak adalah kewajiban kenegaraan bagi semua warga dan penduduk suatu negara, yang sering dianggap sebagai kewajiban yang tidak adil bagi sebagian masyarakat, diantaranya oleh Tere Liye yang mengajukan keberatan tentang pajak dengan membandingkan penghasilannya dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Rumusan masalah penulisan hukum ini tentang pengaturan kewajiban wajib pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai penulis dan praksis pengenaan pajak terhadap profesi penulis di Indonesia. Praksis pengenaan pajak profesi penulis dimulai dari dipenuhinya syarat-syarat subjektif terdapat pada Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009, sedangkan syarat objektifnya terdapat pada Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008. Akibat hukum terpenuhinya kedua syarat tersebut maka dalam diri penulis melekat hak dan kewajiban di bidang perpajakan.  Ditambah pelaksanaan kewajiban perpajakan sesuai tata cara dalam UU No. 36 Tahun 2008 yang pemungutan pajak penghasilannya menggunakan with holding system yang diterima penulis baik dari royalti dan honorarium dilakukan pihak pemotong pajak, sedangkan untuk menghitung total pajak selama tahun pajak menggunakan self ssessment system. Rekomendasi terkait dengan hasil dan kesimpulan penelitian pada penulisan ilmiah ini adalah : 1) Direktorat Jenderal Pajak perlu mengintensifkan sosialisasi kepada pelaku dunia penerbitan dan penulisan;  2) kesadaran pentingnya membayar pajak bagi wajib pajak dan pihak pemotong; 3) Pemerintah  perlu  mempertimbangkan keringanan pemungutan pajak bagi penulis untuk mendorong budaya literasi.
ANALISIS KERAGAMAN MODEL PENGISIAN JABATAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA Ryan Afif Dwinanda*, Retno Saraswati, Lita Tyesta A.L.W.
Diponegoro Law Journal Vol 6, No 2 (2017): Volume 6 Nomor 2, Tahun 2017
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (655.612 KB)

Abstract

Pemilihan Kepala Daerah merupakan salah satu sarana bagi masyarakat untuk melaksanakan hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah, baik di tingkat Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Dalam sejarahnya, terdapat berbagai ragam model pengisian jabatan Kepala Daerah yang pernah digunakan Indonesia untuk mengisi jabatan Kepala Daerah. Tidak hanya itu, terdapat pula keragaman model pengisian jabatan Kepala Daerah di daerah-daerah yang berstatus istimewa di Indonesia. Oleh karena itu rumusan masalah dalam skripsi ini perihal bagaimana analisis bentuk keragaman model pengisian jabatan Kepala Daerah di Indonesia, dan hal-hal yang melatarbelakangi bentuk keragaman tersebut. Adapun tujusn dalam pembuatan skripsi ini adalah untuk mengetahui ragam model pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia, serta untuk memahami latar belakang daripada keragaman model pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia. Metode pendekatan yang dipergunakan di dalam skripsi ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pengisian jabatan Kepala Daerah mengalami perubahan dari masa ke masa yang dipengaruhi oleh politik hukum dari pembentuk undang-undang, keistimewaan daerah, serta sistem otonomi daerah yang dianut oleh rezim pemerintahan yang berlaku. Ketentuan mengenai pengisian jabatan Kepala Daerah yang terdapat pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak harus dimaknai dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat di setiap daerah, akan tetapi dapat berbeda-beda, khususnya untuk daerah yang bersifat istimewa.
E-PARTICIPATION IN THE MANAGEMENT OF TOBACCO EXCISE PRODUCTION SHARING FUNDS: AN INITIATION TO STRENGTHEN THE PRINCIPLES OF DECENTRALIZATION IN INDONESIA Aditya Wirawan; Retno Saraswati; Nabitatus Sa’dah; Reny Yemimalina Sinaga
Scientia Business Law Review (SBLR) Vol. 1 No. 1 (2022): Scientia Business Law Review
Publisher : Scientia Integritas Utama

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (289.697 KB) | DOI: 10.56282/sblr.v1i1.50

Abstract

The implementation of the Tobacco Excise Production Sharing Fund (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau/DBHCHT) still leaves a disharmony between justice and public benefit, considering that even though the revenue from tobacco excise revenue has increased, the allocation has not been able to cover losses in several impovitalas of the state, such as the field of community welfare, law enforcement, and health on the justification for the less control of cigarettes in society on behalf of excise levies on tobacco products. Two main conclusions were drawn based on a normative juridical study with a focusing principle of decentralization. First, there are still several obstacles and challenges in the management of DBHCHT in Indonesia due to the inadequate participation of the stakeholders involved in the implementation of DBHCHT. Second, e-participation, which includes e-information, e-consultation, and e-cooperation, is needed so that the performance of DBHCHT management in Indonesia can run ideally based on the principle of decentralization. Even though the private industry holds the cigarette trade, it is compulsory to transfer the actual CHT as the mandate of decentralization principle in the 1945 Constitution due to the DBHCHT that local governments must accept in carrying out their functions and duties to develop their regions. It is recommended that the central government build an online DBHCHT system, including a website, to accommodate the running of e-participation so that decentralization in the implementation of DBHCHT produces the expected outputs and outcomes.
POLITIK HUKUM PANCASILA DALAM MENGHADAPI ARUS GLOBALISASI (Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Proses Ratifikasi Charter Of The Association Of Southeast Asian Nations Menjadi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Piagam ASEAN) Rahmanto Putra; Retno Saraswati
LAW REFORM Vol 12, No 2 (2016)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (83.112 KB) | DOI: 10.14710/lr.v12i2.15878

Abstract

Indonesia telah meratifikasi Charter Of The Association Of Southeast Asian Nations melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Piagam ASEAN. Secara otomatis menjadikan Indonesia terikat dan memiliki kewajiban untuk tunduk pada perjanjian internasional. Di tengah carut-marut wajah kehidupan bangsa saat ini, apalagi dengan hadirnya arus globalisasi yang semakin nyata. Kini semua orang sadar bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus kembali bersandar pada kesepakatan yang disebut Pancasila. Publik Indonesia-pun berpendapat bahwa harus ada upaya sistematik, masif, dan terstruktur untuk menghadapi arus globalisasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji sejauhmana upaya politik hukum Pancasila. Lebih khusus dalam menghadapi arus globalisasi ekonomi yang sedang dihadapi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian yang diikuti dengan beberapa saran juga akan diuraikan.
KOORDINASI DAN KEWENANGAN TIM NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI MENURUT PERATURAN PRESIDEN NOMOR 54 TAHUN 2018 DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Faqih Himawan; Untung Sri Hardjanto; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 3 (2022): Volume 11 Nomor 3, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tim Nasional Pencegahan Korupsi dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang pembentukannya mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang mengatur mengenai badan pencegahan korupsi. Polri, Kejaksaan, dan KPK memiliki tugas dalam pencegahan korupsi. Hal ini berarti terdapat lembaga-lembaga negara yang memiliki fungsi dalam pencegahan korupsi. Tujuan penelitian ini adalah menguraikan perbandingan tugas dan kewenangan Tim Nasional Pencegahan Korupsi dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pengesahan UNCAC serta hubungannya dengan Polri, Kejaksaan, dan KPK. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Data sekunder dikumpulkan dengan studi kepustakaan yang kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa setelah dibandingkan terdapat persamaan dan perbedaan antara Tim Nasional Pencegahan Korupsi dengan badan pencegahan korupsi. Tim Nasional Pencegahan Korupsi memiliki hubungan dengan lembaga terkait sebagai pelaksana Aksi Pencegahan Korupsi.
REKONSEPTUALISASI REKRUITMEN PENYELENGGARA PEMILU UNTUK MEWUJUDKAN PENYELENGGARA PEMILU YANG BERINTEGRITAS Muhammad Anwar Tanjung; Retno Saraswati; Lita Tyesta A.L.W
Arena Hukum Vol. 14 No. 1 (2021)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2021.01401.9

Abstract

AbstractThis research aims to reconceptualize the recruitment of election organizers based on Law Number 10 of 2017 concerning General Elections to realize an election organizer with integrity. This normative juridical research uses conceptual and statute approach. The results shows that the reconceptualization of the recruitment of election organizers to realize election organizers with integrity can be carried out by reconceptualizing of the process of requirements for candidates election organizer in provincial and district, selection teams and test models.AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk melakukan rekonseptualisasi rekruitmen penyelenggara pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan pendekatan konsep dan perundang-undangan. Hasilnya adalah rekonseptualisasi rekruitmen penyelenggara pemilu untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas dapat dilakukan dengan rekonseptualisasi proses persyaratan calon anggota KPU provinsi dan kabupaten/Kota, tim seleksi dan model tes.   
TRAGEDI KANJURUHAN DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM PELAKSANAAN PROSEDUR ADMINISTRASI NEGARA Kartika Widya Utama; Yudhitiya Dyah Sukmadewi; Retno Saraswati; Aju Putrijanti
Masalah-Masalah Hukum Vol 51, No 4 (2022): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.51.4.2022.414-421

Abstract

Tragedi kelam dalam dunia persepakbolaan Indonesia terjadi di Kanjuruhan, 125 (seratus dua puluh lima) orang suporter Arema Malang meninggal dunia dan 330 (tiga ratus tiga puluh) orang terluka. Salah satu isu yang disorot oleh masyarakat adalah penggunaan gas air mata oleh pihak kepolisian. Penggunaan gas air mata dituduh sebagai faktor utama banyaknya korban jiwa, padahal dalam peraturan FIFA telah diatur larangan untuk membawa dan menggunakan gas air mata atau senjata api dalam pengamanan stadion. Di sisi lain Kepolisian Republik Indonesia memiliki acuan tersendiri dalam upaya pengendalian massa. Perbedaan prosedur inilah yang akan dibahas dalam artikel ini, sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran apakah tindakan Kepolisian dalam melepaskan gas air mata merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang atau merupakan perbuatan yang sah dan legal menggunakan perspektif hukum administrasi negara.
Does the Reform of the Parliamentary and Presidential Threshold Strengthen the Presidential System in Indonesia? Mahesa Rannie; Retno Saraswati; Fifiana Wisnaeni
Sriwijaya Law Review Volume 8 Issue 1, January 2024
Publisher : Faculty of Law, Sriwijaya University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/slrev.Vol8.Iss1.3157.pp133-151

Abstract

The attempt to purify Indonesia's multiparty presidential system was only reflected after the Third Amendment to the 1945 Constitution. However, it took work to implement it. In practice. Various measures have been taken, including party alliances and introducing voting barriers in parliamentary elections. Therefore, analysing the relationship between electoral thresholds and their ideal proportions in the form of legal-political reforms to strengthen the Indonesian presidential system is interesting. This is in line with the purpose of this study, which is to uncover and analyse the legal politics of electoral thresholds in an attempt to strengthen the presidential system of government in Indonesia. The approach adopted in this study is a theoretical approach with legal, conceptual, comparative and historical approaches. This study concludes that the legitimate political renewal of the electoral vote threshold is not closely related to efforts to strengthen Indonesia's system of multiparty presidential government. The ideal way to reform the legal, political threshold for electoral votes would be to set the parliamentary threshold at 2.5%, but at the same time tighten controls over the parties participating in the election, and the 2.5% threshold serves as President to maintain a balance between the parliamentary and presidential thresholds. In addition, it is also important to strengthen consensus (consensus democracy) among coalition political parties. There is still a desire to abolish the presidential threshold through the People's Representative Council (DPR) instead of the Constitutional Court (MK).