Claim Missing Document
Check
Articles

State and Islamic Law: A Study of Legal Politics on Zakat as a Tax Deduction in Aceh Mahdi Syahbandir; Wais Alqarni; Syahrizal Abbas; Bukhari Ali; Fauzan Samad
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 22, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v22i1.26200

Abstract

This study examines zakat (obligatory charity) as a tax deduction in Aceh. Currently, the existing legal rule stipulates that zakat paid by muzakkī (zakat payers) to the National Zakat Board (BAZNAS) and Zakat Official Institution (LAZ) is deducted from taxable income. However, this rule has not been applied since there is no Government Regulation. This empirical legal study used a statutory approach, analyzing the point of view of legal politics theory. This study concludes that the State and Islamic Law in Aceh are closely related to the political context of Indonesian law. The government regulations from the Old Order to the Reform Era related to Islamic Law or Muslims have been greatly influenced by political configurations. When the configuration is democratic, the legal character embraces democratic values and vice versa. As a result, the legal regulations regarding zakat have not yet been enforced due to the strong political configuration. However, referring to the arguments and logic of legal politics that the government is democratic towards the aspirations in Aceh, the Governmental Regulation Draft/Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) for Zakat as Tax Deduction will strengthen the previous legal rule, stipulating zakat as a tax deduction factor. The unification of zakat and taxes in one legal instrument by the government, which has political and structural authority, will be able to realize justice and economic and social welfare of the community as the primary goal of zakat.   AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengkaji zakat sebagai faktor pengurang pajak di Aceh. Berdasarkan aturan hukum yang ada bahwa zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Namun sampai saat ini aturan ini belum teraplikasi karena belum ada Peraturan Pemerintah. Kajian ini merupakan studi hukum empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, dianalisis dari sudut teori politik hukum. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara agama, negara, dan hukum Islam di Aceh memiliki kaitan yang erat dengan konteks politik hukum Indonesia secara umum. Aturan pemerintah yang terkait dengan hukum Islam atau umat Islam sejak masa orde lama bahkan sampai reformasi dipengaruhi oleh konfigurasi politik, jika konfigurasinya demokratis maka karakter hukumnya juga demokratis begitu juga sebaliknya. Karena itu, aturan hukum tentang zakat tersebut sampai saat ini masih belum dapat diberlakukan karena kuatnya konfigurasi politik. Mengacu pada argumen dan logika politik hukum, pemerintah bersikap demokratis terhadap aspirasi di Aceh dengan membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Zakat sebagai Pengurangan Pajak yang akan menguatkan aturan hukum sebelumnya, yaitu zakat sebagai faktor pengurang pajak. Penyatuan zakat dan pajak dalam satu instrumen hukum oleh pemerintah yang memiliki kewenangan politik dan struktural akan dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat sebagai tujuan utama zakat.
The Concept of Joint Property Ownership of Husband and Wife Musfira Musfira; Syahrizal Abbas; Khairani Khairani; Wahyu Khafidah
International Conference on Multidisciplinary Research Vol 4, No 1 (2021): ICMR
Publisher : Universitas Serambi Mekkah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32672/pic-mr.v4i1.3733

Abstract

Specifically, this study is the concept of joint property ownership of husband and wife. The focus of this study is important because, in the Marriage and Islamic Law Compilations, The property obtained in marriage becomes the joint property.So that, when a divorce or death occurs, each person gets half a share, in the regulation, there is no question about who produced it. In the reality of life in society, many wives work to earn a living, so it was interesting to study the different proportions in the distribution of property, in the event of a divorce. The problem of this research was how the concept of the joint property rights of husband and wife. In answering these problems, this research was carried out using the Socio-Legal Research method, by looking at the reality on the ground, to interpret joint property in changing situations. The technique of collecting data was through literature study, while the data analysis was qualitative. The findings of the study indicated that the practice of sharing assets with judges tends to use normative construction. Each of them got half a share and this was seen as an injustice, both through regulation and reconstruction of thinking in the distribution of the shared assets. Keywords: concept, ownership, shared property, marriage, law.
Persepsi Masyarakat tentang Praktik Pernikahan Keluarga Dekat di Kec. Seunagan Kab. Nagan Raya Syahrizal Abbas; Nahara Eriyanti; Cut Reni Mustika
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 3, No 2 (2020): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v3i2.7676

Abstract

Pernikahan merupakan sunnatullah yang harus dipenuhi dalam koridor syariat Islam sebagai keberlangsungan garis keturunan manusia. Secara ketentuan muharramat nikah dalam surah An-Nisa’ ayat 23, mengandung penafsiran bahwa pernikahan kerabat dekat yaitu antar saudara sepupu (anak-anak paman dan anak-anak bibi) tidak termasuk ke dalam golongan wanita yang haram dinikahi. Namun, ternyata pernikahan yang terlalu dekat hubungan kekerabatannya memiliki dampak biologis yang akan di alami oleh keturunan-keturunan yang dilahirkan. Penelitian ini mencoba memaparkan bagaimana faktor dan konsekuensi terhadap praktik pernikahan kerabat dekat serta persepsi dan pandangan hukum Islamnya. Berdasarkan kasus ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan ialah studi lapangan dan studi pustaka dengan metode wawancara, dokumentasi dan analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara 5 (lima) keluarga yang mempraktikkan pernikahan keluarga dekat, terdapat 4 (empat) pasangan di antara 5 (lima) pasangan yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat itu salah satu keturunan yang dilahirkan memiliki permasalahan dalam kesehatannya. Berdasarkan ketetapan para ahli hukum Islam, apabila seseorang menimbulkan bahaya yang nyata pada hak orang lain dan memungkinkan ditempuh langkah-langkah pencegahan untuk menepis bahaya tersebut maka orang tersebut dapat dipaksa untuk mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mencegah tersebut, namun ia tidak dapat dipaksa untuk melenyapkannya. Hal ini ditinjau dari kaidah fikih “ الضرر يزال “ (kemudharatan harus dihilangkan).
Standardisasi Nafkah Istri: Studi Perbandingan Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i Karimuddin Karimuddin; Syahrizal Abbas; A. Hamid Sarong; Afrizal Afrizal
Media Syari'ah Vol 23, No 1 (2021)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v23i1.8655

Abstract

The standard of living for the wife that is obliged to be provided by the husband is not clearly defined in the Koran and the hadiths, thus requiring the scholars to perform ijtihad in determining the size of the wife's income. The results of the ulama's ijtihad regarding the size of the wife's income will differ along with the different methods of ijtihad and the argument used, so that it becomes ambiguous (obscure) for the community to understand the actual size of the living according to the opinion of certain schools of thought. Based on the description of the problem, it is necessary to have an in-depth study of the standardization of the wife's income, which the author limits according to the Maliki and Shafi'i school. In this study the authors used a qualitative research method with a normative approach. The results of the research of the Maliki school of wife's income were not determined by a certain size, but the wife's obligation to support her was according to the husband's income level and the level of the wife's needs, so the Maliki school did not see the wife's obligation to support the husband's rich or poor. While the Shafi'i school determines the level of the wife's income with two classifications, food and clothing are determined according to the husband's class of income, while the residence or house is determined according to the wife's family stratum and the wife's eligibility to live in. Based on the results of this study, it can be concluded that the standardization of the wife's income is determined according to the ijtihad of different scholars according to the ijtihad method used.Standar nafkah istri yang wajib diberikan suami tidak ditentukan secara jelas dalam Alquran dan hadis, sehingga mengharuskan para ulama untuk berijtihad dalam menentukan ukuran nafkah istri tersebut. Hasil ijtihad para ulama tentang ukuran nafkah istri akan berbeda seiring dengan berbedanya metode ijtihad dan dalil yang digunakan, sehingga menjadi ambigu (kekaburan) bagi masyarakat untuk memahami ukuran nafkah yang sebenarnya menurut pendapat mazhab tertentu. Berdasarkan deskripsi permasalahan tersebut perlu ada sebuah kajian yang mendalam tentang standardisasi nafkah istri yang penulis batasi menurut mazhab Maliki dan Syafi’i. Dalam kajian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan perbandingan hukum (comparative approach). Hasil penelitian ditemukan bahwa dalam mazhab Maliki nafkah istri tidak ditentukan ukuran tertentu namun kewajiban nafkah istri tersebut menurut kadar penghasilan suami dan kadar kebutuhan istri, jadi mazhab Maliki tidak melihat kewajiban nafkah istri tersebut kepada kaya atau miskinnya suami. Sementara mazhab Syafi‘i menentukan kadar nafkah istri dengan dua klasifikasi, untuk makanan dan pakaian ditentukan menurut kelas perhasilan suami, sementara untuk tempat tinggal atau rumah ditentukan sesuai dengan strata keluarga istri dan kelayakan istri untuk menetap di dalamnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa standardisasi nafkah istri ditentukan menurut ijtihad para ulama yang berbeda sesuai dengan metode ijtihad yang digunakan.
Peranan Hakim Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Pasca Perceraian di Mahkamah Syar’iyah Bahrun Bahrun; Syahrizal Abbas; Iman Jauhari
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 3: Desember 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (598.119 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i3.11718

Abstract

Pasal 4 ayat (1) dan (2) Perma Nomor 1 Tahun 2016 menyatakan bahwa wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi, begitu pula Pasal 17 ayat (1) Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak menempuh Mediasi. Karena Mediasi diharapkan menjadi wadah pilihan untuk memperoleh solusi yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan pihak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peranan dan hambatan hakim mediator serta untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya hambatan tersebut. Jenis penelitian dengan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan untuk data sekunder dan penelitian untuk memperoleh data primer. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif. Berdasarkan penelitian diketahui peranan hakim mediator dalam menangani perkara/sengketa sudah berjalan, namun belum optimal. Terbukti dari 18 (delapan belas) kasus, jumlah kasus yang selesai melalui mediasi hanya 2 (dua) kasus, sedangkan tahun 2016 sampai 2017 belum ada kasus yang selesai melalui mediasi. Hal tersebut disebabkan jumlah mediator yang terbatas dan kurang memiliki kapastitas sumber daya yang memadai. Upaya untuk mencegahnya berupa sosialisasi manfaat mediasi dan mengikuti pelatihan mediasi serta mediasi harus dilakukan secara profesional. Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh hendaknya melakukan sosialisasi manfaat Mediasi, dan Mahkamah Agung RI hendaknya mengevaluasi praktik mediasi dan menambah jumlah hakim.Article 4 paragraph (1) and (2) Supreme Court Regulation Number 1 of 2016 states that it must first be pursued a settlement through mediation, as well as Article 17 paragraph (1) of the Judicial Examining Judge requiring the Parties to take Mediation. Because Mediation is expected to be a container of choice to obtain solutions that are based on the interests and needs of the parties. This research aims to know and explain the roles of mediator judges and obstacles faced by the judgesin settling the dispute of marital propertiesafter the divorce at Mahkamah Syar’iyah of Banda Aceh. This research also aims to know the efforts done to prevent and handlethe hurdles in settling the disputes post-divorce at Mahkamah Syar’iyah of Banda Aceh. This is juridical empirical research. The data are collectedthrough library research in order to obtain secondary data and field research is conducted in order to obtain primary data.This research applies qualitative analysis. Based on the research, it is known that the role of mediator judges in handling cases / disputes is already underway, but not optimal. It is evident from 18 cases, the number of cases completed through mediation is only 2 cases, whereas in 2016 until 2017 there have been no cases completed through mediation. This is due to the limited number of mediators and lack of adequate resource capacity. Efforts to prevent it in the form of socializing the benefits of mediation and participating in mediation and mediation training must be carried out professionally. The Chairperson of the Banda Aceh Syar'iyah Court should disseminate the benefits of Mediation, and the Indonesian Supreme Court should evaluate the practice of mediation and increase the number of judges.
Zakat Penghasilan Pegawai Negeri Sipil dan Relevansinya Dengan Pengurangan Jumlah Pajak Penghasilan di Aceh Anisah Anisah; Syahrizal Syahrizal; Mahdi Syahbandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 2: Agustus 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (274.133 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i2.8475

Abstract

Zakat merupakan salah satu dana wajib yang dibayar umat Islam melalui badan yang ditunjuk oleh undang-undang. Khusus Aceh disebutkan zakat merupakan salah satu sumber dari PAD dan mempunyai kaitannya dengan pajak, khususnya pajak penghasilan. Dasar hukum yang digunakan yaitu Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 UU No. 17 Tahun 2000, Pasal 191 UU No. 11 Tahun 2006 dan Pasal 22 UU No. 23 Tahun 2011. Zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, pemberlakuan ketentuan tersebut merupakan suatu kemajuan bagi umat Islam Aceh. Hal ini dikuatkan dengan diberlakukannya Keputusan Dirjen Pajak No KEP−542/PJ/2001 bahwa zakat atas penghasilan dapat dikurangkan atas penghasilan netto. Pemberlakuan zakat pengurang pajak atas penghasilan yang diperoleh setiap orang dianggap penting dalam melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim di Aceh. Ketentuan ini hingga sekarang belum diterapkan di Aceh dimana seharusnya Zakat dapat mengurangkan pajak penghasilan. Zakat is one of the compulsory funds paid by Muslims through bodies appointed by law. Special Aceh mentioned zakat is one source of PAD and has a relation to the tax, especially income tax. The legal basis used is Article 4 paragraph (3) letter a number 1 of Law no. 17 of 2000, Article 191 of Law no. 11 of 2006 and Article 22 of Law no. 23 of 2011. Zakat as a subtracting factor against the amount of income tax payable, the enforcement of these provisions is an improvement for the Muslims of Aceh. This is reinforced by the enactment of Decision of the Director General of Taxes No. KEP-542 / PJ / 2001 that zakah on income can be deducted on net income. The enactment of zakat tax deductions on income earned by each person is considered important in carrying out its obligations as a Muslim in Aceh. This provision has not been applied in Aceh where Zakat should be able to deduct income tax.
Efektivitas Peran Hakim Sebagai Mediator Dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Mahkamah Syar’iyah Jantho Ilyas Ilyas; Syahrizal Abbas; Iman Jauhari
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (399.735 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12241

Abstract

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyatakan bahwa mediasi merupakan salah satu tahapan proses persidangan di pengadilan. Dalam pelaksanaanya terdapat beberapa hambatan di MahkamahSyar’iyah Jantho. Faktor penyebabnya yaitu pertama, pelaksanaan mediasi belum mengacu pada prosedur mediasi yang sudah ditentukan, keseriusan hakim mediator belum maksimal, itikad baik dari para pihak dan hakim mediator kurang serius. kedua, kualitas perkara sudah cukup berat, para pihak  yang berperkara sebelum masalahnya tersebut sampai ke Mahkamah Syar’iyah Jantho sudah ditangani beberapa kali baik oleh pihak non formal maupun  formal. Ketiga, kurangnya pemahaman para pihak terhadap pentingnya proses mediasi. Keempat, Ada anggapan dari Hakim mediator bahwa tugas menjadi mediator adalah tugas tambahan yang terasa terbebani baginya, juga menganggap dengan proses mediasi akan memperlambat putusnya perkara dan akan mempengaruhi nilainya sebagai hakim.The Regulation of the Supreme Court Number 1, 2016 on the Mediation Procedure in a Trial states that mediation is one of the process stages in a trial. There are several obstacles found in the mediation process at the Sharia Court of Jantho. These are resulted from firstly, it has not been referring to the mediation procedure, the judge mediators’ efforts have not been maximal yet, the parties good faith and the mediator judges are less serious. Secondly, the case is serious enough, the litigants have asked the cases solved by both non-formal and formal parties several times. Thirdly, the lack of understanding of the parties to the importance of the process. Finally, there is a presumption by the judges mediating the cases that being a mediator is an additional task that is not easy, and some assume that the process slowing the decision and devalue judge’s roles.
Formulation of Criminal Sanctions against Alcohol Drinkers in the Jinayah Qanun in Aceh Ira Nurliza; Syahrizal Abbas; Zikra Juninawan
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran Vol 22, No 2 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/sjhp.v22i2.5666

Abstract

Abstrak: Islam adalah agama yang memuliakan akal dan menempatkan pada kedudukan yang terhormat. Islam juga mengatur untuk memelihara akal dengan cara makan makanan yang halal dan baik, serta menjauhi makanan dan minuman yang dilarang dalam syari’at salah satunya meminum khamar. Pada zaman Jahiliyah, bangsa Arab terkenal gemar meminum arak (khamar). Untuk menghindari pertentangan secara signifikan dari kalangan masyarakat yang sudah mendarah daging dengan tradisi, adat dan budaya meminum khamar, maka wahyu tentang pengharaman khamar diturunkan secara bertahap. Dalil-dalil yang dimuat dalam Al-Qur;an tidak menyebutkan secara tegas tentang sanksi hukum bagi pemabuk. Meskipun larangannya relatif cukup tegas, namun jenis sanksinya baru disebutkan di dalam riwayat hadis. Rasulullah memberi peringatan yang keras tentang bahaya khamar, sehingga peminum khamar harus diberi hukuman yaitu cambuk sebanyak 40 kali. Para ulama berbeda pendapat mengenai kadar hukuman bagi peminum khamar. Eksekusi hukuman peminum khamar di masa Nabi bervariasi, yaitu 40 kali cambuk. Sementara di saat Umar berkuasa (atas saran ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf) peminum khamar dihukum cambuk 80 kali. Menurut Ahmad Hanafi, besarnya hukuman bagi tindak pidana peminum khamar berdasarkan ijma’ sahabat adalah 80 kali cambuk karena dianalogikan dengan tindak pidana qadzaf, empat puluh cambuk sebagai hukuman hudud, dan 40 lagi sebagai hukuman ta’zir. Sebagaimana yang dirumuskan dalam Qanun bahwa mengkonsumsi khamar adalah suatu perbuatan mungkar yang dilarang dalam syariat Islam serta bertentangan dengan adat istiadat masyarakat Aceh. Menurut Qanun Nomor 6 Tahun 2014, hukuman bagi yang mengkonsumsi arak dikenakan hukuman cambuk sebanyak 40 kali, hal ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 15. Tujuan penelitian ini menjelaskan formulasi sanksi pidana terhadap peminum khamar dalam qanun jinayah. Jenis penelitian ini disebut dengan penelitian hukum yuridis normatif, dengan pendekatan undang-undang, yang terdri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier yang diperoleh dengan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.Kata kunci: Sanksi Pidana, Peminum Khamar, Qanun Jinayah. Abstract: Islam is a religion that honors reason and places it in an honorable position.Islam also regulates to maintain the mind by eating halal and good food, and stay away from food and drinks that are prohibited in the Shari'ah, one of which is drinking khamr.In the Jahiliyah era, the Arabs were famous for drinking wine (khamr). In order to avoid significant opposition from the people who are ingrained with the traditions, customs and culture of drinking khama, the revelation about the prohibition of khamr was passed down gradually. The arguments contained in the Qur'an do not explicitly mention legal sanctions for drunkards. Although the prohibition is relatively firm, the types of sanctions are only mentioned in the hadith narrations. The Prophet gave a stern warning about the dangers of alcohol, so that the drinker of alcohol must be given a punishment of 40 lashes. Scholars differ on the level of punishment for drinking alcohol. . The execution of the punishment for drinking alcohol at the time of the Prophet varied, namely 40 lashes. Meanwhile, when Umar was in power (on the advice of 'Abd al-Rahman bin 'Auf) alcohol drinkers were punished with 80 lashes. According to Ahmad Hanafi, the amount of punishment for the crime of drinking alcohol based on the consensus of friends is 80 lashes because it is analogous to a qadzaf crime, forty lashes as a hudud punishment, and 40 more as a ta'zir punishment. As formulated in the Qanun that consuming alcohol is an evil act which is prohibited in Islamic law and is contrary to the customs of the Acehnese people. According to Qanun Number 6 of 2014, the punishment for consuming arak is subject to 40 lashes, this is as intended in Article 15. The purpose of this study is to explain the formulation of criminal sanctions against alcohol drinkers in the qanun jinayah. This type of research is called normative juridical law research, with a legal approach, which consists of primary, secondary, tertiary legal materials obtained by a series of activities related to the methods of collecting library data, reading and recording and processing research materials.Keywords: Criminal Sanctions, Drinking Alcohol, Qanun Jinaya.
Analisis Yuridis Terhadap Rumusan Jarimah Pemerkosaan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat Umarani Azkha; Syahrizal Abbas; Mohd. Din
AL-ISTINBATH : Jurnal Hukum Islam Vol 5 No 2 November (2020)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Curup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (942.731 KB) | DOI: 10.29240/jhi.v5i2.1784

Abstract

This research aims to predict the extent of the punishment disparity probability in the Qanun Jinayat's rape formula as a consequence of the breadth of the formula and to determine the construction of the definition and classification method of the classical Islamic jurisprudence’s az-zina bil-ikrah formula and the Qanun Jinayat’s rape formula as a consequence of radical differences between the two coercive sexual delicts that are formed based on Islamic law. This research is normative legal research by using statute and comparative approach. The research results showed that the Qanun Jinayat’s rape formula has the punishment disparity probability in the same delict, the disparity in delicts those have same seriousness gradation, the disparity of punishment imposed by one judges panel, the disparity of punishment imposed by different judges panel for the same delict and the disparity of punishment in different actions in one delict formula with different gradations of seriousness. The definition and classification of az-zina bil-ikrah are constructed through the bayani method, while the definition and classification of the rape are constructed through the istishlahi method.
SISTEM PENGUPAHAN DALAM IJARAH Cut Mirna; Syahrizal Abbas; Saifuddin Sa’dan
Al-Iqtishadiah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol 1 No 1 (2020): Jurnal Al-Iqtishadiah
Publisher : Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (883.394 KB) | DOI: 10.22373/iqtishadiah.v1i1.1397

Abstract

Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Sejahtera merupakan suatu lembaga yang menyediakan jasa dalam rangka mengoptimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian. Tujuan usaha ini untuk mendapatkan keuntungan baik di dalam maupun di luar kelompok tani. Lembaga ini memiliki sejumlah pekerja yang mengendalikan mesin-mesin traktor yang disediakan oleh UPJA dengan pembayaran upah setelah pekerjaan pemotongan padi berdasarkan perjanjian yang telah ditentukan. Namun, kebanyakan pekerja tidak menerima upah sebagaimana perjanjian keduanya. Oleh sebab itu, penelitian ini mengandung beberapa rumusan masalah yaitu: Bagaimana sistem penetapan besaran upah jasa pekerja traktor pemotong padi pada Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Sejahtera?, Bagaimana Praktik pengupahan pekerja traktor pemotong padi pada Usaha Pelayanan Jasa Alsintan?, serta Apakah praktik pengupahan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan sudah sesuai dengan hukum Islam?. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis (descriptive analytic) dan penelitian lapangan (field research). Data lapangan diperoleh melalui wawancara langsung dengan pihak terkait. Berdasarkan hasil penelitian, sistem penetapan besaran upah jasa pekerja traktor pemotong padi pada Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Sejahtera didasarkan pada kondisi lapangan dan berdasarkan skill para pekerja. Akan tetapi pengupahan pekerja traktor pemotong padi ditangguhkan oleh lembaga UPJA yang seharusnya dibayar berdasarkan perjanjian yaitu setelah selesainya pekerjaan, sebagaimana dijelaskan dalam hukum Islam. Pengupahan pekerja Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Sejahtera belum sesuai dengan hukum Islam, dikarenakan mengandung unsur kezaliman dari salah satu pihak terutama pekerja traktor pemotong padi di UPJA