Claim Missing Document
Check
Articles

EKSISTENSI PRINSIP PENCEMAR MEMBAYAR DALAM SISTEM PENEGAKAN HUKUM AGRARIA Sugianto, Fajar; Agustian, Sanggup Leonard; Basti, Nisa Permata
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 4, No 1 (2020): VOLUME 4 ISSUE 1, JANUARY 2020
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v4i1.41790

Abstract

Law Number 32 of 2009 concern about Environmental Protection and Management does not provide adequate regulation in providing sanctions against perpetrators of pollution, except only providing a legal basis for employers to provide compensation payments to victims of pollution. Therefore it is necessary to know about the position of the Polluter Pays Principle in the Environmental Legal System as Agrarian Reform. The principle of paying polluters who have the function of authorizing should not be formulated in the explanatory section of the article. If following the explanation of Law No. 23 of 1997 concerning Environmental Management, the purpose of the principle of polluter pays, even has many meanings such as paying to pollute or can be interpreted as a license to pollute. As a result of the study of international law, the principle of polluter pays has two meanings, namely as an economic instrument with the intention of charging fees to potential polluters and is also interpreted as a basic instrument to hold legal liability for incidents of environmental pollution.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan pengaturan memadai dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pencemaran, kecuali hanya memberikan landasan hukum bagi pengusaha untuk memberikan pembayaran kompensasi kepada korban pencemaran. Oleh karena itu perlu mengetahui mengenai kedudukan Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) dalam Sistem Hukum Lingkungan Sebagai Reformasi Agraria. Prinsip Pencemar Membayar yang memiliki fungsi mengesahkan seharusnya tidak dirumuskan dalam bagian penjelasan pasal. Jika mengikuti penjelasan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka maksud Prinsip Pencemar Membayar, bahkan memiliki banyak pemaknaan seperti membayar untuk mencemari (paying to pollute) atau dapat dimaknai sebagai license to pollute. Hasil telaah hukum internasional, prinsip pencemar membayar memiliki dua pemaknaan, yaitu sebagai instrumen ekonomi dengan maksud pembebanan biaya kepada pelaku pencemar yang potensial dan diartikan juga sebagai instrument dasar untuk menuntut pertanggungjawaban hukum atas terjadinya kasus pencemaran lingkungan.
IDEALISASI SIFAT ALTERNATIF DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI Sugianto, Fajar; Simeon, Felicia Christina; Wibowo, Dea Prasetyawati
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 3, Nomor 2 Agustus 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhbbc.v3i2.3525

Abstract

Abstract The purpose of the research is to make a law comparison related to disputes by mediation. This research is using normative method with empirical approach. Through this research the researcher offers an interesting development of dispute resolution through mediation where mediation is no longer used to settle disputes outside the court, but in it’s development mediation is also used to settle disputes in court, known as mediation in court. This phenomenon first developed in developed countries like United States before finally developed in Indonesia. Every people have their own various ways to obtain agreement in the case process or to resolve disputes and conflicts. One way to resolve disputes is through mediation. Mediation clearly involves third parties (both individuals and in the form of an independent institution) that are neutral and impartial, who will take a role as a mediator. The basic principles in mediating dispute resolution both in court and outside the court are still being carried out, such as the principles of confidentiality, neutrality, empowerment of the parties, and mediation results are sought to reach a win-win solution agreement.Keywords: dispute; mediation; mediatorAbstrak Tujuan penelitian yaitu melakukan perbandingan hukum terkait penyelesaian sengketa dengan cara mediasi. Menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan empiris. Melalui penelitian ini peneliti menawarkan perkembangan yang menarik dari penyelesaian sengketa melalui mediasi dimana mediasi tidak lagi semata-mata digunakan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan saja, akan tetapi dalam perkembangannya mediasi juga digunakan untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan, yang dikenal dengan mediasi di pengadilan. Fenomena ini lebih dulu berkembang di Negara-negara maju seperti di Amerika Serikat sebelum akhirnya berkembang di Indonesia. Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Salah satu cara penyelesaian sengketa yang ada adalah melalui mediasi. Mediasi jelas melibatkan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berperan sebagai mediator. Prinsip-prinsip dasar dalam penyelesaian sengketa secara mediasi baik di pengadilan maupun di luar pengadilan tetap dijalankan, seperti prinsip kerahasian, netralitas, pemberdayaan para pihak, dan hasil mediasi diupayakan mencapai kesepakatan win-win solution.Kata kunci: mediasi; mediator; sengketa
INTERPOLASI YURISPRUDENSI TERAPEUTIK DENGAN PROBLEM-SOLVING COURT DALAM PERLUASAN MAKNA KEADILAN RESTORATIF Hozeng, Pratiwi; Sugianto, Fajar; Rahayu, Sekar Wiji
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 17 Nomor 1 Februari 2021
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v17i1.4155

Abstract

AbstractThe law has limited restrictions on such arbitrary treatment and the people have rights which are rights owned by the authorities, especially in accessing the law. Restorative justice is an important approach to improve people's welfare, but its implementation is still limited. Research wants to see how the meaning is in the application of restorative justice. The research was conducted by applying the normative-empirical method by examining at the same time the opportunities for further development of the field of study. Regulations that do not cover all cases that arise in society make the multidisciplinary field of science important and consider, the similarity of the restorative meaning of justice provides an opportunity to carry out a new, more complex definition overall by guaranteeing the welfare and equality of the people before the lawKeywords: psychology law; restorative justice; therapeutic jurisprudenceAbstrak Hukum telah secara tegas membatasi perlakuan sewenang-wenang tersebut serta rakyat memiliki hak yang setara sebagaimana yang dimiliki oleh para penguasa, khususnya dalam mengakses hukum. Keadilan restoratif menjadi pendekatan yang penting untuk mempertahankan kesejahteraan rakyat namun pengimplemantasian masih terbatas. Penelitian ingin melihat bagaimana pemaknaan dalam penerapan keadilan restoratif. Penelitian dilakukan dengan menerapkan metode normatif-Empiris dengan mengkaji sekaligus membuka kesempatan bidang kajian yang dapat dikembangkan berikutnya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belum mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat menjadikan bidang multidisplin ilmu menjadi penting dan dipertimbangkan, keserupaan makna keadilan restoratif memberikan peluang dalam mengusung pendefinisian baru yang lebih kompleks menyeluruh dengan menjamin kesejahteraan dan kesetaraan rakyat dimata hukum.
KETIMPANGAN HAK BERBASIS GENDER DALAM HUKUM WARIS ADAT SUKU LAMAHOLOT Sugianto, Fajar; Purnama Sari, Vincensia Esti; Jennifer, Graceyana
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 17 Nomor 2 Agustus 2021
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v17i2.4854

Abstract

This writing is intended to convey the analysis and critiques on issues and situations of the Lamaholot inheritance customary law must not only be under the ancestor's values that developed in the society but also following the development of the society that has gone through modernization and emancipation, which has resulted in equal positions between men and women in every aspect of human life. Through juridical normative research method, and the emphasis on the Lamaholot tribe, it is found that there are an imbalance position and rights between male and female successor, where the right to inherit is only owned by the male successor. This creates an injustice for the female successor, which fundamentally violates the concept of inheritance in the Indonesian Civil Law Code as the national guidelines of the private sphere of society. The existence of law has greatly impacted human life because where there are humans, that is where the law is. The law will only be classified appropriate if it achieves legal objectives, namely justice, legal certainty, and legal benefit. One of the spheres of human life which are also regulated by law is in the process of inheritance by the predecessor to the successor. This inheritance then enters the realm of private law, which is still dominated by customary law. Customary law as a form of cultural diversification of Indonesia and a core element of the development of the national law itself is still upright and implemented in the practice of inheritance. As a result, it can be concluded that gender-based rights disparities are evident in the socio-cultural life of the Lamaholot indigenous tribe. Thus, through this research, two paths should be implemented by the state. The first one is to approve the Bill on the Protection of Customary Law Communities as an instrument that will act as the implementative boundaries for the implementation of customary law and the second one is to accommodate customary law into Regional Regulations (Peraturan Daerah) as a form of preservation of the customary values of each tribe so that they are in line with the applicable positive laws without eliminating the uniqueness of each basic cultural values of each region. Keywords: customary law; Lamaholot tribe; inheritance Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkritik masalah dan situasi pengaturan pewarisan hukum adat Lamoholot yang sepatutnya tidak hanya sesuai dengan nilai-nilai nenek moyang yang berkembang di masyarakat, tetapi juga sesuai dengan perkembangan masyarakat yang telah melalui modernisasi dan emansipasi dalam masyarakat yang melahirkan kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam setiap lini kehidupan manusia. Metode yang digunakan ialah yuridis normative untuk menelaah kritis pada sistem waris adat suku Lamaholot, justru ditemukan adanya ketidakseimbangan kedudukan dan hak atas ahli waris yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, dimana hak atas waris hanya dimiliki oleh ahli waris yang berjenis kelamin laki-laki saja. Tentunya hal ini menimbulkan sebuah ketidakadilan bagi ahli waris yang berjenis kelamin perempuan, dimana turut melanggar konsep pewarisan yang dianut dalam KUHPerdata selaku kaidah pedoman nasional yang mengatur ranah privat masyarakat. Eksistensi hukum sangat berdampak terhadap kehidupan manusia, sebab dimana ada manusia, disitulah hukum berada. Hukum baru dikatakan baik dan pantas bila mencapai tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Salah satu lingkup kehidupan manusia yang juga diatur oleh hukum ialah dalam proses pewarisan oleh pewaris terhadap ahli waris. Pewarisan ini kemudian masuk ke dalam ranah privat hukum, yang mana kini masih didominasi pengaturannya oleh hukum adat. Hukum adat sebagai wujud diversifikasi budaya bangsa Indonesia dan unsur inti dari pembangunan hukum nasional pun masih tegak berdiri dan terlaksana dalam pewarisan adat tersebut. Alhasil, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan hak berbasis gender pun begitu jelas nampak dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat adat Lamaholot. Dengan demikian, melalui penelitian ini pun didapati dua jalan yang sepatutnya dilaksanakan oleh negara yaitu pengesahaan RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai instrumen yang menggariskan batasan-batasan implementatif terhadap pemberlakuan hukum adat dan diakomodirkannya hukum adat ke dalam Peraturan Daerah (Perda) sebagai wujud pelestarian nilai-nilai adat setiap suku agar selaras dengan hukum positif yang berlaku tanpa menghilangkan keunikan dari setiap nilai-nilai dasar kebudayaan masing-masing daerah.
KESESUAIAN PENGGUNAAN KLAUSUL NEGATIVE PLEDGE OF ASSETS DALAM PERJANJIAN KREDIT OLEH BANK UMUM DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN: TINJAUAN PERBANDINGAN HUKUM Tjahjono, Monica; Sugianto, Fajar; Susantijo, Susi
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 5 No 1 (2022): Februari 2022
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v5i1.5932

Abstract

Abstract This writing is intended to convey basic understanding of the application of the prudential principle in credit agreement that applied negative ledge of assets clause by commercial banks. The method is normative legal research with comparative legal system as the approach between Indonesia, Singapore and the Netherlands. The problem arises when the credit provided is in the form of large provision of funds which can be deemed as the form of syndicated loan. The collateral is set only for one holder and when set for more than one holder, it changes the creditors structure. Meanwhile, the distribution of assets for each creditors is not efficient. Therefore, to overcome this matter, a possible way of conducting credit agreement by the commercial banks is to apply the negative pledge of assets clause, which is, a clause which states that the debtor will waive his/her rights to pledge the assets to any other party. The result of the comparison is that there is a legal vacuum in Indonesia, while in Singapore and the Netherlands has been regulated the application of such clause as a means in conducting the 5 C’S principle. In the event of bankruptcy, the structure of the bank as one of the creditors will become concurrent and the collateral is debtor’s assets. Keywords:, comparative law; credit agreement; negative pledge of assets Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penerapan prinsip kehati-hatian terhadap perjanjian kredit oleh bank umum yang menggunakan klausul negative pledge of assets. Metode yang digunakan ialah yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum antara Indonesia, Singapura, dan Belanda. Permasalahan muncul ketika kredit yang diberikan berupa penyediaan dana besar sehingga berbentuk kredit sindikasi. Jaminan kebendaan hanya diberikan untuk satu orang pemegang jaminan dan ketika diberikan untuk lebih dari satu orang akan menimbulkan peringkat. Sementara pembagian aset untuk masing-masing piutang kreditur tidaklah efisien. Oleh karenanya, untuk mengatasi hal ini, terdapat opsi untuk menggunakan klausul Negative Pledge of Assets, yakni klausul yang menyatakan bahwa debitor tidak akan menjaminkan satu atau sebagian dari aset-asetnya kepada pihak lain. Hasil perbandingan ialah terdapat kekosongan hukum di Indonesia, sementara di Singapura dan Belanda telah diatur dan menjadi bagian dari prinsip 5C. Dalam hal terjadi kepailitan, kedudukan kreditor akan menjadi kreditor konkuren dan jaminan yang digunakan ialah jaminan meliputi aset-aset debitor. Kata kunci: klausul negative pledge of assets; perbandingan hukum; perjanjian kredit
Melindungi Hak Pekerja Di Era Normal Baru Prilly Priscilia Sahetapy; Fajar Sugianto; Tomy Michael
ADALAH Vol 4, No 1 (2020): Spesial Issue Covid-19
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/adalah.v4i1.17247

Abstract

AbstractThe law plays an active role in providing a sense of security for everyone in all situations, including the situation the world is experiencing in the last few months. The Corona pandemic caused multidimensional shocks, such as in the education, health and economic sectors. Compared to other sectors, it is the economic sector that has the most attention. The Central Statistics Agency noted that the rate of economic growth in Indonesia experienced a slowdown which fell in the first quarter of 2020, which was only 2.97%. Meanwhile, economic growth in the first quarter of 2019 was at 5.07%. The impact of the corona pandemic in the economic sector also has an impact on the labor sector. The Indonesian government has implemented a policy to work from home (WFH) since mid-March 2020. However, not all work can be done from home so that many workers still have to experience layoffs. The government should make regulations at the level of laws in order to better protect workers. This is important so that workers can still make ends meet in difficult times like thisKeywords: force majeure; laborer; right AbstrakHukum berperan aktif untuk memberikan rasa aman bagi setiap orang dalam segala situasi, termasuk situasi yang tengah dialami dunia beberapa bulan terakhir ini. Pandemi Corona menimbulkan guncangan multidimensi, seperti dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, sektor ekonomi yang paling banyak disoroti. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami perlambatan yang jatuh di Kuartal I/2020, yaitu hanya 2,97%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi pada Kuartal I/2019 berada di angka 5,07%. Dampak pandemi corona dalam bidang ekonomi turut berimbas pada bidang ketenagakerjaan. Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan untuk bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) sejak pertengahan Maret 2020. Akan tetapi, tidak semua pekerjaan dapat dilakukan dari rumah sehingga banyak tenaga kerja yang masih harus mengalami PHK. Pemerintah seharusnya membuat peraturan setingkat undang-undang agar dapat lebih melindungi pekerja. Hal ini menjadi penting agar para pekerja tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup di masa-masa sulit seperti iniKata kunci: hak; force majeure; pekerja 
The Existence of President Instruction of The Republic of Indonesia Number 1 The Year 1991 on The Wide Spread of Compilation of Islamic Law in Indonesian Legal System Fajar Sugianto; Slamet Suhartono
AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial Vol. 13 No. 2 (2018)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v13i2.1727

Abstract

President Instruction Number 1 Year 1991 is a legal instrument that became Indonesia’s positive law regulating the Compilation of Islamic Law (KHI). However, the constitutional system and regulation system in Indonesia have undergone significant changes since the reform era. It raised another legal issue in the application and implementation of the Compilation of Islamic Law since it is not categorized as the source of law in Indonesia’s legal system. It cannot be applied to the government directly because of lack of legal binding. Nevertheless, the existence of the President Instruction still provides recognition through join decision with the Ministry of Religion and the Supreme Court. Thus, the Compilation of Islamic Law can be institutionally applied in the Religious Court which positioned under the Indonesia’s Supreme Court. Since then Judges easily apply the Compilation of Islamic Law as the legal source in resolving disputes in Muslim society. (Inpres 1/1991 merupakan instrumen hukum yang menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia, akan tetapi perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem perundang-undangan di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat pesat sejak era reformasi. Hal ini menimbulkan problem hukum baru dalam pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengingat kedudukan Inpres 1/1991 dalam sistem perundang-undangan tidak dikenal sebagai peraturan perundang-undangan. Dalam aspek kekuatan mengikat, Inpres tersebut tidak dapat diberlakukan untuk umum karena tidak mempunyai kekuatan mengikat umum dan hanya bersifat mengikat ke dalam terhadap pejabat yang berkedudukan lebih rendah pada 1 (satu) institusi. Kendatipun demikian eksistensi Inpres 1/1991 hingga hari ini masih diakui keberadaannya mengingat substansinya dibentuk melalui keputusan bersama antara Menteri Agama dengan Ketua Mahkamah Agung. Sehingga, Kompilasi Hukum Islam mengikat hakim-hakim peradilan agama yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung. Para hakim dapat menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara masyarakat yang beragama Islam)
EFISIENSI EKONOMI SEBAGAI REMEDY HUKUM Fajar Sugianto Sugianto
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2014): Jurnal Refleksi Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.833 KB) | DOI: 10.24246/jrh.2014.v8.i1.p61-72

Abstract

Abstrak Hukum dan Ekonomi merupakan salah satu disiplin dalam ilmu hukum yang menawarkan pengutamaan efisiensi ekonomi sebagai kaidah hukum dalam mengarahkan praktik hukum. Dengan melakukan konseptualisasi lebih lanjut, efisiensi ekonomi juga membantu dalam menilai dan melakukan penilaian terhadap hukum. Salah satu bentuk efisiensi ekonomi dalam tulisan ini adalah pendekatan ekonomis terhadap hukum dalam merumuskan keuntungan yang dihasilkan hukum. Dalam hal ini efisiensi ekonomi mengubah hukum sebagai insentif dalam mengubah perilaku manusia seperti halnya mempertahankan perilaku yang sudah sejalan dengan tujuan-tujuan hukum. Hukum seyogianya menentukan upaya perbaikan melalui penghukuman dan penghargaan sebagai insentif untuk mengungkap aspek-aspek tertentu atau krusial dari ilmu hukum.Abstract Law and Economics is one of the disciplines in the jurisprudence that offers the primacy of economic efficiency as the rule of law in directing the practice of law. With further conceptualization, economic efficiency is also useful in judging and assessing the law. One relevant form of economic efficiency discussed in this paper is the economic approach to law in formulating the expected profit of the law. In this case, economic efficiency transforms law into an incentive to change human behaviors as well as to maintain certain behaviors that are already in line with the objectives of the law. Laws should determine remedies by way of punishment and rewards as an incentive to reveal certain crucial aspects of jurisprudence.
Konstelasi Perkembangan Hermeneutika dalam Filsafat Ilmu sebagai Atribusi Metode Penafsiran Hukum (The Constellation of Hermeneutics’ Development in Philosophy of Science as Attribution of Legal Interpretation Method) Fajar Sugianto; Tomy Michael; Afdhal Mahatta
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 2 (2021): JNH VOL 12 NO 2 November 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i2.2188

Abstract

This study aims to understand the constellation of the development of hermeneutics as a legal interpretation method in providing scientifically justifiable interpretations of legal texts. The method used is normative juridical with a philosophical approach, a law approach, and a comparative approach using secondary data. Hermeneutic philosophy does not only question the understanding of a rule of law, but what happens by understanding a rule of law. The process of how to understand the law and the process of legal interpretation are the main focus because they will form a legal understanding that determines a person’s steps and follow-up after understanding the law. Legal interpretation of the text of the law based on hermeneuticphilosophy allows judges to use their authority to add meaning to the text of the law as a form of law formation and creation. The results show that hermeneutics is correct as a method of legal interpretation in providing interpretations of legal texts which are essentially a person’s means and ways to interpret problems; in this case the judge builds understanding and obtains valid results in examining and deciding a case. Knowledge of the existence of hermeneutics that has been tested for truth so that the results of the interpretation are measurable and tested, while using hermeneutics as an interpretation as a method of legal interpretation. Mastery of hermeneutics should be one of kind that will produce good results. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk memahami konstelasi perkembangan hermeneutika sebagai metode penafsiran hukum dalam memberikan hasil interpretasi teks hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode yang digunakan ialah yuridis normatif dengan pendekatan filsafat, pendekatan undang-undang, dan pendekatan perbandingan dengan menggunakan data sekunder. Filsafat hermeneutika tidak hanya mempersoalkan pemahaman suatu aturan hukum, tetapi apakah yang terjadi dengan memahami suatu aturan hukum. Proses bagaimana memahami hukum dan proses intepretasi hukum menjadi fokus utama karena keduanya akan membentuk pemahaman hukum yang menentukan langkah dan tindak lanjut seseorang setelah memahami hukum. Penafsiran hukum terhadap teks undang-undang berbasis filsafat hermeneutika memungkinkan hakim menggunakan kewenangannya untuk menambah makna teks undang-undang sebagai wujud pembentukan dan penciptaan hukum. Hasilnya menunjukkan hermeneutika adalah benar sebagai metode penafsiran hukum dalam memberikan hasil interpretasi teks hukum yang hakikatnya sebagai sarana dan cara manusia untuk menafsirkan persoalan; dalam hal ini hakim membangun pemahaman dan memperoleh hasil yang sahih dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Pengetahuan tentang adanya hermeneutika yang telah terujui kebenarannya sehingga hasil penafsiran tersebut terukur dan teruji, sementara sebagai penggunaan hermeneutika sebagai penafsiran sebagai suatu metode penafsiran hukum. Penguasaan hermeneutika sebaiknya satu jenis dimana hal itu akan menghasilkan hasil yang baik.
EFISIENSI DAN DAYA SAING FREE FLOW OF SKILLED LABOUR DALAM PERSPEKTIF ECONOMIC ANALYSIS OF LAW: TELAAH PERATURAN PRESIDEN NOMOR 20 TAHUN 2018 Fajar Sugianto; Syofyan Hadi
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 7, No 3 (2018): Desember 2018
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3491.669 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v7i3.286

Abstract

Indonesia telah melakukan upaya-upaya mempersiapkan kebijakan serta mewujudkan regulasi khususnya tentang Tenaga Kerja Asing (TKA).Tujuan utama dari upaya-upaya ini selain turut serta dalam arus bebas tenaga kerja terampil, juga menjamin hak-hak warga Negara agar tetap mendapatkan pekerjaan dan kelayakan kehidupan. Indonesia juga berkewajiban memfasilitasi pergerakan tenaga kerja terampil. Terkait hal tersebut, pemberlakuan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing perlu ditelaah sejauh mana efisiensi pemberlakuan dan ketepatan substansi pengaturannya? Metode penelitian yang digunakan ialah Economic Analysis of Law sebagai analisis hukum dengan menggunakan bantuan ilmu ekonomi, dalam hal ini konsep efisiensi. Hasil penelitian menunjukkan masih terdapat banyak pengaturan yang inefisien dalam Peraturan Presiden ini seperti belum menekankan kepada daya saing, pencegahan kegagalan alih teknologi dan keahlian, belum mempromosikan kepentingan publik serta belum mampu mewajibkan informasi asimetris karena tidak melibatkan Tenaga Kerja Indonesia untuk memastikan kebutuhan riil penggunaan Tenaga Kerja Asing. Namun Peraturan Presiden ini sudah cukup efisien dalam hal pemangkasan birokrasi. Ke depannya, perlu dikembalikan lagi hakikat efisiensi baik dalam aspek birokrasi maupun ketepatan sasaran penggunaan TKA berdasarkan perbedaan keterampilan dan keahlian.