Claim Missing Document
Check
Articles

PERAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KOTA DEPOK DALAM PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH Siti Nur Ajizah; Endra Wijaya; Febri Meutia
Jurnal Legal Reasoning Vol 4 No 1 (2021): Desember
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35814/jlr.v4i1.2966

Abstract

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) ialah badan yang mempunyai peran penting dalam perencanaan pembangunan daerah. Bappeda membantu Kepala Daerah dalam menentukan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan daerah serta penilaian atas pelaksanaannya. Kajian mengenai pentingnya peran Bappeda tersebut akan dibahas dalam artikel ini, dengan fokus pada peran Bappeda Kota Depok dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok Tahun 2016-2021. Kajian disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersandarkan pada data sekunder. Untuk mendukung data sekunder tersebut, kajian ini juga didukung oleh informasi yang peneliti peroleh melalui wawancara dengan narasumber yang relevan. Kajian ini menyimpulkan bahwa Bappeda Kota Depok memiliki peran yang sangat penting dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah Kota Depok, mengingat Bappeda Kota Depok ini merupakan unsur penunjang urusan pemerintahan di bidang perencanaan, penelitian dan pengembangan. Dalam penyusunan RPJMD Tahun 2016-2021, Bappeda Kota Depok masih menghadapi beberapa kendala, seperti persoalan ketersediaan data atau informasi yang belum akurat dan juga persoalan keterbatasan kualitas serta kuantitas sumber daya manusia di Bappeda yang belum memadai.
KERJA SAMA ANTARA PEMERINTAH DAERAH DAN PIHAK LUAR NEGERI (Perspektif Hukum Administrasi Negara) Geraldine Renayanthi; Endra Wijaya
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 6 No 1 (2020): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.062 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v6i1.1707

Abstract

The development of local region needs many resources, and one of them could be gainedthrough foreign country in the form of cooporation relationship between the LocalGovernment and the foreign party. Such kind of cooporation is reliable in the context ofdecentralization implementation in Indonesia. In the decentralization, the CentralGovernment devolves several powers to the Local Government, so with those powers, itcould manage its own needs based on its unique local condition. In the Indonesian legalsystem, the cooporation between the Local Government and the foreign party is ruledunder several acts and regulations, and the aims are to establish such cooporation workseffectively, efficiently, and not disturb the Indonesian system relating to the relationshipbetween the Central Government and the Local Government
Pengantar mengenai Hegemoni dan Hukum: Menyoal Kembali Bekerjanya Hukum di Masyarakat Ricca Anggraeni; Endra Wijaya
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 8 No 4 (2019)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.831 KB) | DOI: 10.24843/JMHU.2019.v08.i04.p05

Abstract

Gramsci’s concept of hegemony tries to explain how modern capitalist society has been organized. Although he did not explain about law particularly, but his study on hegemony is relevant and usefull to the study of law untill now. This paper focuses on how to understand the concept of hegemony and use it in field of the study of law. To examine the focus of this study, conceptual approach is used, and some points of argumentations in this study are based on several scholars’ opinions related to concept of hegemony. This study concludes that hegemony could be understood as the way to how certain social group obtains its authority persuasively, and then leads others to give its consensus to hegemonic social group. This point could help to understand about the working and binding force of authority and law in the society. Besides that, the concept of hegemony could also become a kind of tool in understanding the dynamic of law, such as how could law becomes a tool of social engineering, or how, at the end, law is obeyed by the society. Konsep hegemoni dari Gramsci berupaya menjelaskan bagaimana masyarakat pada tahap kapitalis modern diorganisasikan. Gramsci memang tidak secara khusus membahas persoalan hukum, namun kajian hegemoninya ternyata relevan juga bagi kajian di bidang hukum. Tujuan kajian atau pembahasan dalam artikel ini diarahkan kepada persoalan memahami konsep hegemoni, dan kemudian, bagaimanakah hegemoni ini, sebagai sebuah konsep atau teori, dapat berguna di dalam kajian bidang hukum. Pembahasan kedua hal tersebut menggunakan metode pendekatan konseptual, dengan bersandar pada beberapa pendapat sarjana. Kajian ini menyimpulkan bahwa hegemoni dapat dipahami sebagai cara bagaimana suatu kelompok sosial memperoleh pengaruh (kekuasaan) melalui cara-cara yang lebih persuasif, dengan menggiring kelompok sosial lain (yang dikuasai) untuk memberikan persetujuannya (konsensus) kepada kelompok sosial yang menguasai. Poin ini bisa membantu untuk memahami otoritas dan hukum yang bekerja serta mengikat masyarakat. Selain itu, hegemoni dapat pula digunakan sebagai alat bantu dalam memahami fenomena yang terjadi dalam bidang hukum, seperti bagaimana hukum itu dapat berperan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat, atau bagaimana hukum itu pada akhirnya dipatuhi oleh masyarakat.
Perlindungan Hak-Hak Buruh Pada Praktik Sistem Outsourcing: Sebuah Kesenjangan Penerimaan Nafila Nafila; Erlin Kristine; Endra Wijaya
Jurnal Hukum Novelty Vol 8, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (813.4 KB) | DOI: 10.26555/novelty.v8i2.a5552

Abstract

Nowadays, outsourcing becomes a common system which is used in many business entities. For some reasons, as a system, outsourcing has emerged pro and contra opinions. Some people thought that outsourcing could make business run more effectively and efficiently, while the other thought that outsourcing could make labor placed in unfavorable condition. However, Indonesian law system still allows or accommodates business entities to use outsourcing in their business. In fact, through its practice, Indonesian labor law which rules outsourcing has not been implemented effectively, so the labor would become the weak party when they are in work relation with the bosses. This article will be focused on how outsourcing was implemented, and in the same situation, how the labor respond to it. This article was based on field study, in which researchers gave attention to the implementation of outsourcing system in 2 (two) different work units within the same institution, a private university in Jakarta. This study shows, because of some reasons, the labor still accepts when they were working under the outsourcing system.
Problem Pengesahan Bendera Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pemetaan Permasalahan) Endra Wijaya
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (602.759 KB)

Abstract

Bendera merupakan objek yang dapat dilekatkan beragam pesan dan makna terhadapnya. Keberadaan bendera bisa juga terkait dengan aspek simbol kedaulatan, sehingga wajar apabila kemudian sebagian pihak menganggap adanya bendera Aceh yang sama dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka sebenarnya sudah membiarkan separatisme hidup di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ini, di Aceh telah disahkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang memberlakukan bendera berwarna merah dengan garis putih serta hitam dan gambar bulan sabit serta bintang sebagai bendera Aceh yang memiliki kesamaan dengan bendera GAM. Sejak masa konflik masih berlangsung hingga ke masa setelah ditandatanganinya Memorandum of Understanding antara Pemerintah Indonesia dan GAM, keberadaan bendera Aceh selalu menuai kontroversi dan menjadi isu hangat dalam praktik ketatanegaraan di NKRI. Keadaan ini mendorong pencarian penjelasan dan solusi khususnya dari sisi hukum.Aceh's Flag Problem in the Republic of Indonesia: Problem MappingAbstractFlag is an object in which many massages and meanings could be attached to. The existence of flag could also relate with sovereignty aspect and for that reason, some parties consider that the existence of Aceh's flag, which is same with Free Aceh Movement's (Gerakan Aceh Merdeka or GAM) flag, is conveying separatism in Republic of Indonesia. At present, in Nanggroë Aceh Darussalam, Aceh's Qanun Number 3 Year 2013 on Aceh's Flag and Symbol has been passed and its existence has always rises controversies and has become a problematic issue even after the signing of Memorandum of Understanding between the Government of Indonesia and GAM. It is thus an importance to discuss and try to find a solution for Aceh's flag problem especially from the law perspective.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n1.a9
MERESPONS KEBUTUHAN MASYARAKAT TERHADAP HUKUM MELALUI PENYULUHAN KEPADA MASYARAKAT DI KELURAHAN JATIMULYA, DEPOK Endra Wijaya; Rifkiyati Bachri; Aprilia Wardani; Kris Padayanti
Jurnal Pemberdayaan: Publikasi Hasil Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 3 No. 3 (2019)
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12928/jp.v3i3.999

Abstract

Pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Kelurahan Jatimulya, Cilodong, Depok, Jawa Barat, dapat dicermati bahwa sebagian warga masyarakat masih belum bisa mengakses dan memahami hukum dengan baik. Dampak dari keadaan itu ialah sebagian warga masyarakat belum bisa menyelesaikan problem hukum yang mereka hadapi. Fokus kajian ini ialah mengenai persoalan adanya kesenjangan antara hukum yang tersedia dengan kebutuhan masyarakat terhadap hukum, dan bagaimana institusi fakultas hukum dapat merespons persoalan itu. Metode kegiatan pengabdian kepada masyarakat dilakukan dengan cara penyuluhan hukum secara langsung kepada masyarakat. Kajian ini disusun berdasarkan data yang diperoleh dari kegiatan penyuluhan tersebut, dan dengan menggunakan metode kajian hukum nondoktrinal. Kajian ini menyimpulkan bahwa kesenjangan antara hukum dan kebutuhan masyarakat akan hukum masih terjadi. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Depok sudah menyediakan beberapa sistem, seperti Depok Single Window. Namun demikian, sinergi dengan pihak perguruan tinggi, terutama fakultas hukum, masih diperlukan untuk terwujudnya akses kepada hukum serta keadilan yang maksimal bagi masyarakat. (There are still a gap between the existing law and the society’s need to the law indeed. Some people in the society still could not access to the law easily. That condition was captured when a community service activity held at Jatimulya Village, Cilodong, Depok, West Java. The aims of this study are to explain a gap between the law and the society’s need to it, and also how the higher education institution, especially the faculty of law, responds to such problem. This study is based on information collected by the researchers from a community service activity, which is held in the form of public legal consultation. This study uses non-doctrinal legal research method. This study concludes that there is a gap between the law and the society’s need to the law. Regarding to that, in Depok City, The Local Government has been establishing systems, such as Depok Single Window, to help its citizen in doing and solving their certain legal problems. Although the system has been established, but that system still need to be synergized with the faculty of law institution to extend and provide such kind of better access to justice mechanism for the society.)
PERANAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM PROGRAM DERADIKALISASI TERORISME DI INDONESIA Endra Wijaya
Jurnal Yudisial Vol 3, No 2 (2010): KOMPLEKSITAS PUNITAS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v3i2.225

Abstract

ABSTRACTCounter-terrorism often related to the represisive and physical treatment. But at present, it also has a “soft and cultural” approach, known as de deradicalization progam. Deradicalization consist of many programs, such as reeducation, motivation reorientation dan rehabilitation. Unfortunately, in fact, in de-radicalization program discourse, we rarely find the explanation about court decission aspect. Court Decision Number: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel ia an example decision of the case that the judge not only sent up the offender for punishing but also for reeducation him. This paper will explain the role of court decision in supporting deradicalization program.Keyword : Counter-terrorism, deraicalization, the prosecution purpose ABSTRAKPemberantasan tindak pidana terorisme tidak hanya dalam pengertian tindakan yang represif dan perlakuan fisik. Dewasa ini, Pemberantasan tindak pidana terorisme memerlukan upaya lainnya yang kreatif yang lebih “humanis”, seperti melalui program deradikalisasi. Program ini sudah tentu memerlukan dukungan dari banyak pihak dengan melakukan pendidikan kembali, reorientasi terhadap motivasi, dan rahabilitasi, namun sangat disayangkan, dalam kenyataannya hanya menjadi wacana aja. Lain halnya dengan Putusan Pengadilan Nomor 2189/Pid.B/2007/PN/Jkt. Sel., sebagai salah satu putusan yang tidak hanya menghukum yang bersangkutan, tapi juga memberikan ruang redikalisasi. Tulisan ini akan menjelaskan peran putusan pengadilan untuk mendukung progam deradikalisasi. Kata kunci : pemberantasan terorisme, deridikalisasi, tujuan penuntutan
PROBLEM MELINDUNGI HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN BAGI KELOMPOK MINORITAS MELALUI PENGADILAN endra wijaya
Jurnal Yudisial Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v10i2.172

Abstract

ABSTRAKJaminan terhadap hak untuk memeluk agama dan keyakinan sudah dijamin melalui konstitusi Indonesia, tapi jaminan konstitusional itu belumlah cukup. Penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan masih perlu didukung dengan instrumen hukum lainnya, dan salah satunya ialah putusan pengadilan. Dalam konteks seperti itu, maka keberadaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik untuk dicermati. Putusan tersebut berkaitan erat dengan isu penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan di Indonesia, terutama bagi kelompok minoritas. Fokus permasalahan dalam tulisan ini akan diarahkan kepada persoalan bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan. Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Analisis akan dilakukan secara kualitatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan metode pendekatan konseptual. Kesimpulan yang didapat dari analisis ialah bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG cenderung masih berupaya mencapai aspek keadilan prosedural. Semangat untuk mengedepankan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas, tidak tampak dalam putusan tersebut.Kata kunci: hak beragama dan berkeyakinan, kelompok minoritas, putusan pengadilan. ABSTRACTThe rights to freedom of religion and belief has been guaranteed under the Indonesian Constitution, although it is not enough. Enforcement of the right to religion and belief still needs to be supported by other legal instruments, one of which is the court ruling. In that context, Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is interesting to study. Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is closely related to the issue of enforcing the right to embrace religion and belief in Indonesia, especially for minority groups. The focus of the problem in this paper leads to the question of how the substance of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is viewed from the perspective of human rights enforcement, especially the rights to freedom (without pressure) of religion and belief. The method of analysis employed is literature study by relying on secondary data. The analysis is conducted qualitatively by the legislation and conceptual approach. From the analysis largely it can be concluded that Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG still tends to grasp the aspect of procedural justice. The spirit to encourage human rights enforcement, especially religious rights for minority groups is not evident in the decision.Keywords: the right to freedom of religion and belief, minority, court decision.
PENERAPAN TEORI KEADILAN BERMARTABAT DALAM KASUS KORBAN PELECEHAN SEKSUAL YANG MELAKUKAN PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL Yunan Prasetyo Kurniawan; Lisda Syamsumardian; Siti Nurhalizza; Henri Christian Pattinaja; Cipta Indralestari Rachman; Rury Octaviani; Endra Wijaya
PROSIDING SERINA Vol. 2 No. 1 (2022): PROSIDING SERINA IV 2022
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (278.702 KB) | DOI: 10.24912/pserina.v2i1.18546

Abstract

Terjadinya pelecehan seksual tidak hanya terjadi ditempat-tempat private saja, melainkan dapat terjadi ditempat kerja, sekolah atau universitas, transportasi umum serta tempat hiburan yaitu festival musik, bioskop dan sebagainya. Akan tetapi dalam hal ini korban kesulitan untuk mendapatkan perlindungan karena orang di sekitarnya tidak ada yang bertindak langsung untuk membantu korban melaporkan hal tersebut serta korban dianggap telah mencemarkan nama baik pelaku  karena telah menyuarakan apa yang terjadi kepada dirinya di media social. Seperti yang terjadi dalam kasus yang terjadi pada korban pelecehan seksual yang diduga mencemarkan nama baik pelaku di media social twitter sehingga menimbulkan pertanyaan. Pertama, bagaimana penerapan teori keadilan bermatabat dalam kasus korban pelecehan seksual yang melakukan pencemaran nama baik di media sosial?. Kedua, bagaimana penerapan teori victim precipitation sebagai alasan penghapus pidana dalam kasus korban pelecehan seksuan yang melakukan pencemaran nama baik di media social?. Hasil analisa penulis dengan menggunakan metode penelitian Normatif dengan bantuan wawancara hingga mendapatkan kesimpulan yaitu Pertama, penerapannya ketika terduga pelaku pencemaran nama baik yang juga korban pelecehan seksual dilaporkan dengan dasar Pasal 27 ayat (3) UU ITE maka harus dilihat terlebih dahulu apakah dirinya mampu bertanggung jawab secara akal dengan dampak psikologis yang berpengaruh di dalam dirinya. Kedua, penerapannya ketika terduga pelaku pencemaran nama baik yang awalnya adalah korban pelecehan seksual yang memiliki dampak psikologis serta menjadi alasan penghapus pidana agar terduga pelaku pencemaran nama baik dihapuskan dari segala hukuman.
PENYELESAIAN PERMASALAHAN WARIS DAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI DESA SUKAHARJA, BOGOR, JAWA BARAT Yunan Prasetyo Kurniawan; Kunthi Tridewiyanti; Naomi Dominique Hutahaean; Henri Christian Pattinaja; Endra Wijaya
PROSIDING SERINA Vol. 2 No. 1 (2022): PROSIDING SERINA IV 2022
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (577.404 KB) | DOI: 10.24912/pserina.v2i1.19958

Abstract

Permasalahan waris dan harta bersama perkawinan, akibat dari perceraian sering menjadi isu dalam masyarakat Indonesia, khususnya di Desa Sukaharja, Bogor. Problematika harta perkawinan akibat dari perceraian, seharusnya dibagi dua menjadi sama rata antara suami dan istri, yang berdasarkan dalam ketentuan Pasal 128 KUHPerdata, “Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak mempedulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya”. Harta dalam perkawinan selalu menjadi masalah yang selalu dibicarakan dan berpengaruh besar dalam kehidupan perkawinan dan apabila mereka bercerai. Dalam undang-undang perkawinan, harta benda yang ada setelah perkawinan akan menjadi harta bersama. Pembagian dari harta bersama setelah perceraian harus didasarkan pada unsur keadilan untuk masing-masing pihak yang terikat dan tidak hanya menguntungkan satu pihak.