Articles
Akibat Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Obyek Hak Tanggungan Yang Dinyatakan Gugur Demi Hukum Berdasarkan Putusan Pengadilan
Prasojo, Emil Cahyo;
Anand, Ghansham
Jurnal Selat Vol 5 No 2 (2018): JURNAL SELAT
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (865.923 KB)
|
DOI: 10.31629/selat.v5i2.553
Lahirnya lembaga jaminan hak tanggungan melalui diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain apabila terjadi wanprestasi oleh debitur. Namun demikian masih terdapat kekosongan hukum dalam UUHT terkait perlindungan hukum bagi kreditur apabila terjadi obyek hak tanggungan dinyatakan gugur demi hukum berdasarkan putusan pengadilan. Penulis dalam penelitian ini ingin menelaah dan menganalisa lebih lanjut tentang akibat hukum bagi kreditur setelah obyek Hak Tanggungan dinyatakan gugur berdasarkan putusan pengadilan dan bentuk perlindungan hukum bagi kreditur atas gugurnya obyek jaminan hak tanggungan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder sedangkan pendekatan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.Hasil penelitian menunjukkan bahwa gugurnya obyek Hak Tanggungan oleh putusan pengadilan mengakibatkan berubahnya posisi Kreditur yang semula berkedudukan sebagai Kreditur preferent menjadi kreditur konkuren yang dalam pemenuhan piutangnya tidak dapat didahulukan pelunasannya. Perlindungan hukum bagi Kreditur atas hapusnya obyek hak tanggungan dapat diperoleh secara preventif melalui perjanjian dengan memasukkan klausul mengenai penggantian obyek jaminan dengan obyek lainnya dan secara represif dengan cara mengajukan gugat ke pengadilan bersamaan dengan permohonan peletakan sita jaminan terhadap harta pihak yang melakukan wanprestasi.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS PENYULUHAN HUKUM OLEH NOTARIS
Putra, Ferdiansyah;
Anand, Ghansham
Hukum dan Masyarakat Madani Vol 8, No 2 (2018): November
Publisher : Universitas Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.26623/humani.v8i2.1015
Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) memberikan kewenangan bagi Notaris untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, artinya Notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan akta yang di buatnya. Berkaitan dengan kewenangan tersebut dapat terjadi permasalahan jika dikemudian hari penyuluhan hukum yang diberikan oleh Notaris tersebut kemudian di tindak lanjuti oleh para pihak dalam pembuatan akta namun ternyata akta tersebut dinyatakan batal dan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan.Penulis dalam penelitian ini ingin menelaah dan menganalisa lebih lanjut tentang bentuk penyuluhan hukum oleh Notaris serta tanggung gugat Notaris atas penyuluhan hukum yang merugikan para pihakMetode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder sedangkan pendekatan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk penyuluhan hukum yang dapat dilakukan oleh Notaris hanya sebatas pada hal yang berkaitan dengan pembuatan akta saja. Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum harus memahami substansi permasalahan yang akan diberikan penyuluhan sehingga mampu memberikan solusi yang benar. Notaris hanya sebatas memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak namun hasil akhirnya dikembalikan kepada para pihak untuk membuat perjanjian tersebut sehingga Notaris tidak dapat dimintakan tanggung gugat atas kerugian para pihak.Article 15 section 2e Legal Constitution of Notary Public Profession (UUJN) provides authority for notary public to conduct legal counseling in related to publishing deed. In other words, notary public has authority to provide legal counseling about notarial deed. Concerning this authority, issue that might be occurred in the future is when the counseling given by notary public is regarded as breaching and the notarial deed is canceled by the court.The present study aims to examine and elaborate further about counseling material conducted by notary public coupled with accountability of notary public in related to legal protection of aggrieved parties in related to the legal counseling conducted by notary public. The method used in the present study is a normative legal research, namely legal research which is conducted by examining the library materials or secondary law while in finding and collecting the data is done by two approaches, namely the law and conceptual approaches. The present study concluded that notary public only has authorization in conducting legal counseling concerning publication of notarial deed. Notary public in providing legal counseling shall comprehend substantial issue that is discussed in order to provide proper solution concerning the issue. Despite the outcome of the counseling will be applied or not it depends on the parties that consult to the notary public. Notary public cannot be asked for accountability for all losses that are experienced by the parties.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS PENYULUHAN HUKUM OLEH NOTARIS
Putra, Ferdiansyah;
Anand, Ghansham
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Vol 4, No 2 (2018): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (738.61 KB)
|
DOI: 10.23887/jkh.v4i2.15460
Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) memberikan kewenangan bagi Notaris untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, artinya Notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan akta yang di buatnya. Berkaitan dengan kewenangan tersebut dapat terjadi permasalahan jika dikemudian hari penyuluhan hukum yang diberikan oleh Notaris tersebut kemudian di tindak lanjuti oleh para pihak dalam pembuatan akta namun ternyata akta tersebut dinyatakan batal dan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan.Penulis dalam penelitian ini ingin menelaah dan menganalisa lebih lanjut tentang bentuk penyuluhan hukum oleh Notaris serta tanggung gugat Notaris atas penyuluhan hukum yang merugikan para pihakMetode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder sedangkan pendekatan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk penyuluhan hukum yang dapat dilakukan oleh Notaris hanya sebatas pada hal yang berkaitan dengan pembuatan akta saja. Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum harus memahami substansi permasalahan yang akan diberikan penyuluhan sehingga mampu memberikan solusi yang benar. Notaris hanya sebatas memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak namun hasil akhirnya dikembalikan kepada para pihak untuk membuat perjanjian tersebut sehingga Notaris tidak dapat dimintakan tanggung gugat atas kerugian para pihak.Â
THE PROBLEMATICS OF EXECUTION LAW AGAINST NON-EXECUTABLE JUDGMENTS AND COMPARISONS WITH MALAYSIAN LAW
Ariadi Subagyono, Bambang Sugeng;
Anand, Ghansham
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Jurisdictie: Vol. 9, No. 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.18860/j.v9i2.5592
In public courts, the litigation of civil case is under civil law procedure. This is a legal regulation to maintain material civil laws. The procedural law is also a way to file a particular civil case to civil court and to organize judges’ ways in making judgment toward legal subject. Civil law procedure prevents any vigilante actions that creates public legal order. Judiciaries provide protection for legal subject in preserving their rights and prevent any arbitrary actions. After case investigation process set under procedural law, a court judgment is made to judge and solve case. Legal actions are subsequently conducted to reach fixed legal judgment (inkracht van gewijsde). Some executions for civil cases in Indonesia is suspended since the object is different from reality or non-executable. Furthermore, civil case judgment is sometimes contradictory to criminal cases, although the objects are similar. Either litigant and/or defendant files request to the Supreme Court to have a legal protection or the chairman of district court requests for an instruction from the Supreme Court, may suspend court judgment. Therefore, the implementation of court judgments with legal power is still undeniably problematic. If the execution is suspended or not allowed, it may disadvantage “the justice seekersâ€; public society. The suspended or non-executable judgment should be immediately addressed on its implementation, instead of its law.Di pengadilan umum, proses kasus perdata berada dalam prosedur hukum perdata. Ini adalah peraturan hukum untuk mempertahankan hukum sipil material. Undang-Undang prosedural ialah cara mengajukan kasus perdata ke pengadilan sipil dan mengatur cara hakim memutuskan subjek hukum. Prosedur hukum perdata bertujuan mencegah tindakan hakim-sendiri sehingga tercipta tatanan hukum publik. Peradilan memberikan perlindungan bagi subjek hukum dalam melestarikan haknya dan mencegah kesewenang-wenangan. Setelah proses penyelidikan kasus sebagaimana diatur dalam hukum prosedural, putusan pengadilan dibuat untuk menilai dan memecahkan kasus. Tindakan hukum selanjutnya dilakukan hingga mendapat keputusan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Beberapa putusan kasus perdata Indonesia ditangguhkan karena objek berbeda dari kenyataan atau tidak dapat dieksekusi. Selanjutnya, putusan kasus perdata terkadang bertentangan dengan kasus pidana, meskipun objeknya sama. Baik penggugat dan/atau terdakwa mengajukan permintaan ke Mahkamah Agung untuk memiliki perlindungan hukum atau ketua dari pengadilan distrik meminta instruksi dari Mahkamah Agung, bisa menangguhkan keputusan pengadilan. Karenanya, pelaksanaan putusan pengadilan dengan kekuatan hukum masih bermasalah. Jika eksekusi ditangguhkan atau tidak diizinkan, tentu dapat merugikan “para pencari keadilanâ€; masyarakat umum. Putusan yang ditangguhkan atau tidak dapat dieksekusi harus segera ditangani pada pelaksanaannya, bukan hukumnya.
KEDUDUKAN HAKIM TUNGGAL DALAM GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)
Ferevaldy, Adisti Pratama;
Anand, ghansham
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.52
The Civil Procedure has several principles in its application. One of them is the principle of simple, efficient and low cost trial. The simple principle of organizing the trial is done by a simple and definite mechanism. The efficient principle means that trials are held within an appropriate deadline. The principle of low cost means the cost of the trial is payable. The cost shall be determined by considering the amount of reasonable cost and can be reached by various circles of Indonesian society. In the case of supporting the creation of a efficient, simple and low cost trial principle, the Supreme Court issued the Supreme Court Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures of Small Claim Court. The Regulation of the Supreme Court is one of the forms of the existing law in Law of the Republic of Indonesia Number 12, Year 2011 concerning the Establishment of Laws and Regulations. However, the regulation posseses a problem that is contrary to Law of the Republic of Indonesia Number 48, Year 2009 concerning Judicial Power. The problem is the use of a single judge which is not in accordance with the provisions contained in the Law concerning Judicial Power which mentioned that the judges of a trial should at least consist of 3 people. The position of a single judge in the small claim court is intended to make the trial process faster and more efficient which in this case presents that the judiciary in Indonesia embraces the principle of speedy, simple and low cost. The Supreme Court Regulation shall not be contrary to existing laws.
KEDUDUKAN HAKIM TUNGGAL DALAM GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)
Adisti Pratama Ferevaldy;
ghansham Anand
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1177.239 KB)
|
DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.52
The Civil Procedure has several principles in its application. One of them is the principle of simple, efficient and low cost trial. The simple principle of organizing the trial is done by a simple and definite mechanism. The efficient principle means that trials are held within an appropriate deadline. The principle of low cost means the cost of the trial is payable. The cost shall be determined by considering the amount of reasonable cost and can be reached by various circles of Indonesian society. In the case of supporting the creation of a efficient, simple and low cost trial principle, the Supreme Court issued the Supreme Court Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures of Small Claim Court. The Regulation of the Supreme Court is one of the forms of the existing law in Law of the Republic of Indonesia Number 12, Year 2011 concerning the Establishment of Laws and Regulations. However, the regulation posseses a problem that is contrary to Law of the Republic of Indonesia Number 48, Year 2009 concerning Judicial Power. The problem is the use of a single judge which is not in accordance with the provisions contained in the Law concerning Judicial Power which mentioned that the judges of a trial should at least consist of 3 people. The position of a single judge in the small claim court is intended to make the trial process faster and more efficient which in this case presents that the judiciary in Indonesia embraces the principle of speedy, simple and low cost. The Supreme Court Regulation shall not be contrary to existing laws.
PROBLEMATIKA UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DALAM TATA HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
Ghansham Anand;
Fiska Silvia Raden Roro
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (446.294 KB)
|
DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.9
Terhadap putusan yang dijatuhkan dalam tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar kehadiran tergugat (verstek) dan tidak lagi ada upaya untuk mengajukan perlawanan, dalam hukum acara perdata Indonesia dapat dilakukan upaya Peninjauan Kembali atas permohonan pihak yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah di putus dan dimintakan peninjauan kembali. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat dilakukan satu kali saja. Di dalam praktek beracara di pengadilan,sekalipun ditentukan bahwa upaya peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali namun ternyata pihak yang merasa dirugikan atau belum puas terhadap putusan peninjauan kembali yang telah dia ajukan seringkali kembali mengajukan upaya peninjauan kembali yang kedua kali (peninjauan kembali kedua kali) atau pihak yang merasa dirugikan atas putusan peninjauan kembali, melakukan peninjauan kembali atas peninjauan kembali. Terkait peninjauan kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 tentang Peninjauan Kembali, di mana pada surat edaran tersebut mengandung dua hal pokok. Pertama, apabila suatu perkara diajukan peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama menyatakan tidak dapat menerima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung. Kedua, apabila suatu obyek perkara terdapat 2 dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu sama lain baik dalam perkara perdata maupun pidana, dan di antaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung. Kata kunci: hukum acara perdata, putusan, peninjauan kembali.
PROBLEMATIKA UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DALAM TATA HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
Ghansham Anand;
Fiska Silvia Raden Roro
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.9
Terhadap putusan yang dijatuhkan dalam tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar kehadiran tergugat (verstek) dan tidak lagi ada upaya untuk mengajukan perlawanan, dalam hukum acara perdata Indonesia dapat dilakukan upaya Peninjauan Kembali atas permohonan pihak yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah di putus dan dimintakan peninjauan kembali. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat dilakukan satu kali saja. Di dalam praktek beracara di pengadilan,sekalipun ditentukan bahwa upaya peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali namun ternyata pihak yang merasa dirugikan atau belum puas terhadap putusan peninjauan kembali yang telah dia ajukan seringkali kembali mengajukan upaya peninjauan kembali yang kedua kali (peninjauan kembali kedua kali) atau pihak yang merasa dirugikan atas putusan peninjauan kembali, melakukan peninjauan kembali atas peninjauan kembali. Terkait peninjauan kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 tentang Peninjauan Kembali, di mana pada surat edaran tersebut mengandung dua hal pokok. Pertama, apabila suatu perkara diajukan peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama menyatakan tidak dapat menerima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung. Kedua, apabila suatu obyek perkara terdapat 2 dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu sama lain baik dalam perkara perdata maupun pidana, dan di antaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung. Kata kunci: hukum acara perdata, putusan, peninjauan kembali.
THE INSURANCE OF LIABILITY AS AN ATTEMPT OF RISK TRANSFERING OVER THE LOSS CAUSED BY NOTARY PULIC AND LAND DEED OFFICIALS
Ghansham Anand;
Agus Yudha Hernoko;
Mokhamad Khoirul Huda
Yustisia Vol 7, No 2: August 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas Sebelas Maret
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20961/yustisia.v7i2.21724
This study primarily aimed to identify the type of insurance of liabilities as an attempt of risk transferring over the loss caused by the notary public and land deed officials. The method of this study was juridical-normative. The result showed that the notary public and land deed officials (PPAT) were both public officials authorized to establish an authentic deed due to clients’ requests. Any violation or negligence by Notary public and land deed officials that was out of the track of legal law might lead the clients into a disadvantageous situation. Such violation or negligence made the established deed null and void, void-able, or even turned into an private deed. This brought an effect to the client as the injured party, and thus, they might file a lawsuit in case of suing for compensation, indemnification, and interest through court proceeding. Therefore, it needed an agency of risk-transfering in the form of insurance. The insurance of professional liability is a product of public insurance taking-over a risk that is supposed to be charged by the Notary Public and Land Deed Officials. The object of this insurance refers to the insurer’s obligation to pay compensation over particular loss the client has suffered and other expenses due to the risk.
THE URGENCY OF ENACTING PERSONAL DATA PROTECTION LAW AS A PATRONAGE FROM THE DEVELOPMENT OF COMMUNICATION AND INFORMATION TECHNOLOGY IN INDONESIA
Ghansham Anand;
Agus Yudha Hernoko;
Antonius Gunawan Dharmadji
Perspektif Vol 25, No 1 (2020): Edisi Januari
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.30742/perspektif.v25i1.750
The development of information technology might control the pattern of people’s behavior in digital era. The presence of internet as the main platform for online activities, including electronic transactions, was now increasingly attracting the interest of Indonesian people although it was vulnerable to be hacked by irresponsible parties as a cyber-attack. One cyber-attack targets individual’s personal data. This study, therefore, took some issues related to that matter. First, it discussed the regulation of personal data protection in Indonesia applied in recent days, and second, it proposed an appropriate law to regulate such issue in the future.This study was a normative research with statute and case approaches. The result showed that, first, the existing regulation for personal data protection was less effective as it was still scattered in some sectorial setting, and thus, the system of appropriate regulation under a comprehensive law was considerably important. Second, the disharmony of regulatory legislation in regulating people personal data protection needed to be solved through a specific regulation which particularly regulated on personal data protection.