Claim Missing Document
Check
Articles

The Perspective of Indonesian Law on E-Commerce: Validity, Liability and Dispute Settlement Lintang Yudhantaka; Ghansham Anand; Manik Lingkar Katulistiwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

In the era of globalization, the fast development of technology enables people to complete almost all activities with technological assistance. One of the activities is commerce. Commercial activity by means of electronic media is called e-commerce. Like ordinary commerce, e-commerce requires contract to order rights and obligations of parties involving in transaction. This study aims to discuss and to elaborate legal construction of e-commerce in addition to the liability of merchant for any loss resulted. In practice, only few consumers fully understand contents of contract. Many of them experience losses either because of their negligence in understanding contract or the fraudulent actions of business actors. This study employed legal research method with conceptual and statute approach. The study reveals that e-commerce is a form of e-contract. In addition, e-commerce is constructed as sales and purchase agreement since it arranges subjects, objects, and primary obligations of the pertinent parties. On the subject of liability of merchants, they must be liable if they were revealed violating contract and taking their consumers into loss.E-Commerce dalam Perspektif Hukum Indonesia: Keabsahan, Tanggung Gugat dan Penyelesaian SengketaAbstrakPada era globalisasi ini, perkembangan teknologi yang begitu pesat memungkinkan semua kegiatan dilakukan dengan menggunakan bantuan teknologi, termasuk kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan tersebut menggunakan media elektronik yang biasa disebut dengan e-commerce (electronic commerce). Seperti kegiatan perdagangan pada umumnya, kontrak juga dibutuhkan dalam e-commerce untuk mengatur hak dan kewajiban pada pihak dalam melakukan transaksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskusikan serta mengelaborasi tentang konstruksi hukum dalam kegiatan e-commerce dan tanggung gugat pelaku usaha terhadap kerugian yang telah ditimbulkan. Dalam praktiknya sangat jarang bagi para pihak untuk memahami isi kontrak, terutama konsumen, sehingga banyak diantara mereka yang mengalami kerugian baik itu diakibatkan karena kelalaiannya dalam memahami kontrak maupun tindakan pelaku usaha yang curang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa e-commerce juga termasuk ke dalam kontrak elektronik (e-contract) dan e-commerce juga dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli karena pengaturan mengenai subjek, objek serta hak dan kewajiban pokoknya berasal dari para pihak. Dalam kaitannya dengan tanggung gugat pelaku usaha (penjual), ia bertanggung gugat apabila terbukti melanggar perjanjian yang telah disepakati dan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Kata kunci: e-commerce, perjanjian jual beli, tanggung gugat.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a3
ITIKAD BAIK DALAM PROSES MEDIASI PERKARA PERDATA DI PENGADILAN Ajrina Yuka Ardhira; Ghansham Anand
Media Iuris Vol. 1 No. 2 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.104 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i2.8821

Abstract

Mediation is a duty which must be taken by the parties wishing to settle its dispute in the Court as specified in the Civil Procedure Code and in accordance with Article 130 HIR and 154 RGB. To improve the regulation of mediation in the Court, the Supreme Court shall issue its Regulation, namely the Supreme Court Regulation No. 1 of 2016 on Mediation Procedures in the Court. Where the regulations on mediation as stipulated in the Supreme Court Regulation No. 1 of 2016 use good faith in its formal conditions. And with such a condition the Supreme Court expects the success rate of mediation in the first level to increase so as to reduce the number of cases accumulated at the Supreme Court. Good faith as a duty to the parties in the Supreme Court Regulation Number 1 Year 2016 is made clear in Article 7 paragraph (1), where there are legal consequences for parties that are considered not having good intentions by doing things listed in Article 7 paragraph (2) , namely Article 22 for the plaintiff and Article 23 for the defendant. 
Aspek Perjanjian Lisensi Merek Pada Nota Kesepakatan Kerjasama Xie Xie Boba Indonesia Cindy Fransisca Subagijo; Ghansham Anand
Notaire Vol. 5 No. 1 (2022): NOTAIRE
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/ntr.v5i1.33637

Abstract

AbstractMany bubble tea shops like XIE XIE BOBA are developing their business using brand licensing. In branding licenses, the parties often make agreements only based on the principle of freedom of contract. They do not heed the minimum requirement provisions in the trademark license agreement, which is frequently happening that the trademark license agreement is not recorded and does not meet the minimum clauses. The purpose of this research is to analyze the characteristics of a trademark license agreement and analyze the legal consequences of a trademark license agreement that does not meet the minimum requirements. This research is legal research that solves legal issues by identifying legal problems, conducting legal reasoning, analyzing it, and providing solutions to the problem. The approach used in this research is the statute approach and the conceptual approach. The study found that despite trademark license agreement made based on the principle of freedom of contract, paying attention to the characteristics of the trademark license agreement and the minimum provisions stipulated in Law Number 20 of 2016 about Trademarks and Geographical Indications and Government Regulation Number 36 of 2018 concerning Registration of License Agreements. The legal consequence of the trademark license agreement that does not meet the minimum requirements is that there are no legal consequences for the third party. Although, trademark license agreement is still valid and only applies to the licensor and licensee.Keywords: Brand; License; Trademark License Agreement.AbstrakBanyak bisnis minuman boba seperti merek XIE XIE BOBA yang sedang mengembangkan bisnisnya dengan cara lisensi merek. Dalam melakukan lisensi merek seringkali para pihak membuat perjanjian berdasarkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak saja dan tidak memperhatikan ketentuan minimum yang harus termuat dalam perjanjian lisensi merek, yang seringkali terjadi adalah perjanjian lisensi merek tidak dicatatkan dan tidak memenuhi klausula minimum. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk menganalisis karakteristik perjanjian lisensi merek dan menganalisis akibat hukum terhadap perjanjian lisensi merek yang tidak memenuhi ketentuan minimum. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang memecahkan isu hukum yang dihadapi dengan cara mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi kemudian memberikan pemecahan atas masalah hukum yang dihadapi. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perjanjian lisensi merek meskipun dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak tetap harus memperhatikan karakteristik perjanjian lisensi merek dan ketentuan minimum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual terkait pencatatan dan klausula minimum perjanjian lisensi merek. Akibat hukum terhadap perjanjian lisensi merek yang tidak memenuhi ketentuan minimum adalah tidak memiliki akibat hukum bagi pihak ketiga tetapi perjanjian lisensi merek tersebut tetap sah dan hanya berlaku bagi pemberi lisensi dan penerima lisensi. Kata Kunci: Merek; Lisensi; Perjanjian Lisensi Merek.
Method Determining the Contents of the Contract Agus Yudha Hernoko; Ghansham Anand; Fiska Silvia Raden Roro
Hasanuddin Law Review VOLUME 3 ISSUE 1, APRIL 2017
Publisher : Faculty of Law, Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (493.02 KB) | DOI: 10.20956/halrev.v3i1.947

Abstract

The contents of the contract are primarily determined by what the real mutually agreed upon by the parties. By interpreting some certain statements, in this case to determine its meaning, to be clear based on what the parties committed themselves. Why is the interpretation required? In facts, on the many cases provided a valuable lesson, how many commercial disputes arise when the performance of the contract. The dispute begins when the parties have a different understanding of the statement that they use in the contract. Indeed, businesses are very familiar with the business processes that they do, but at the time of the business process are set forth in the contract language and designed by those who do not understand the legal aspects of the contract, the contract can be ascertained open possibility for disputes. The power of contract binding (the contents of the agreement) toward to the characteristic and the wide spectrum of the rights and obligations contractually, basically a contract represents the power of performance among others in order implementing the rights and obligations of the parties. As an instrument to understand the contract, the method of determining the content of the contract (e.g., through interpretation, autonomous and heteronomous factors), further can be used to assess the reciprocation of rights and obligations in a meaningful and proportional contractual relationship.
Urgensi Informed Consent terhadap Perlindungan Hak-hak Pasien Syafruddin Syafruddin; Ghansham Anand
Hasanuddin Law Review VOLUME 1 ISSUE 2, AUGUST 2015
Publisher : Faculty of Law, Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (822.879 KB) | DOI: 10.20956/halrev.v1i2.89

Abstract

Hak untuk mendapat pelayanan kesehatan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan hak yang dijamin konstitusi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengamanatkan negara untuk menjamin hak warga negara hidup sejahtera yang antara lain melalui pemberian pelayanan kesehatan yang lebih baik. Rumah sakit merupakan salah satu lembaga yang memberikan fasilitas pelayanan kesehatan kepada setiap warga negara melalui upaya-upaya yang memungkinkan menurut standar kesehatan yang memadai. Salah satu bentuk pelayanan kesehatan, adalah penyediaan tenaga dokter yang profesional dan bekerja sesuai etika profesi kedokteran. Salah satu bentuk profesionalitas dokter dalam kerangka perlindungan hakhak pasien adalah keberadaan informed consent sebagai hak pasien untuk mendapatkan informasi medis dari pihak rumah sakit sebelum mendapatkan tindakan-tindakan medis tertentu yang berdampak pada hilangnya nyawa pasien. Sehubungan dengan itulah, tulisan ini bertujuan menjelaskan secara filosofis dogmatik tentang urgensi informed consent sebagai jaminan perlindungan hak-hak pasien di rumah sakit. Tulisan ini, secara metodologis menggunakan analisis normatif dengan pendekatan konseptual, sehingga tentu saja, bahan-bahan hukum yang digunakan sebagai sumber analisis, lebih terkonsentrasi pada bahan-bahan hukum primer. Kesimpulannya, keberadaan informed consent memegang peranan sangat penting dalam kerangka memberikan perlindungan hak-hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit, sesuai amanah konstitusi, apalagi mengingat fakta mala praktek kedokteran yang tampak pada beberapa kasus di rumah sakit di Indonesia, merupakan dampak dari pengabaian penerapan informed consent yang belum berjalan sesuai harapan.
Hak Waris Anak Adopsi Dari Orang Tua Yang Telah Bercerai Dalam Perspektif Hukum Perdata Barat Karina Megawati; Ghansham Anand
Res Judicata Vol 1, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (272.408 KB) | DOI: 10.29406/rj.v1i2.1235

Abstract

Pluralism concerning stipulation of regulation regarding inheritance in Indonesia commonly stimulates numerous problems. This situation is getting complicated when it deals with regulation about adoption. Complex issue that commonly occurs within this regulation is concerning the status of adopted children when their foster parents are getting divorce. The present study aims to examine and elaborate further about civil connection between adopted children and their foster parents coupled with their inheritance rights when their parents are divorced based on western civil law point of view. The method uses in the present study is normative legal research, in which conducted it is conducted by examining the library materials or secondary law while in finding and collecting the data is done by two approaches, namely the law and conceptual approaches. The present study shows that based on Staastlaad 129:1917 it is stated that adopted children possess civil relation with their foster parents  in which the relationship is same as with their biological parents. Therefore, although their foster parents are divorced, they still hold inheritance rights from their foster father and mother. Moreover, inheritance rights that holds by adopted children is equal with the inheritance rights that is possessed by biological children.
Exit Plan Terhadap Clerical Eror Pada Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap: Sebuah Upaya Preventif Terwujudnya Putusan Non-Executable Ghansham Anand; Xavier Nugraha
Media Iuris Vol. 5 No. 2 (2022): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mi.v5i2.36402

Abstract

AbstractThis study aims to firstly analyze clerical errors in court decisions that have permanent legal force and secondly analyze related legal remedies for clerical errors in court decisions that have permanent legal force. This research is a doctrinal research with a statute approach, a conceptual approach, and a case approach. The results of this study are that first, a clerical error in a court decision that has permanent legal force is an error that is minor in nature or in the form of an accident and is not related to the substance of the judge’s legal considerations and this error can be corrected by the court, even after the judge makes a decision. . Second, legal remedies that can be filed against typos in decisions that have legal force consist of various kinds, but generally the right one is through an application. It is based on nature, complexity, time, cost, and evidentiary.Keywords: Clerical Eror; Non-Executable Judgement; Legal Action. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk pertama menganalisis kekeliruan pengetikan (clerical eror) dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan kedua menganalisis terkait permohonan terhadap adanya kekeliruan pengetikan (clerical eror) dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini adalah penelitian hukum (doctrinal research) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Adapun hasil dari penelitian ini adalah pertama kekeliruan pengetikan (clerical eror) pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah kesalahan yang sifatnya ringan atau berbentuk ketidaksengajaan dan tidak berkaitan dengan substansi pertimbangan hukum hakim dan kesalahan ini dapat diperbaiki oleh pengadilan, meskipun setelah hakim menjatuhkan putusan. Kedua, exit plan yang dapat diajukan terhadap adanya kekeliruan pengetikan pada putusan yang berkekuatan hukum terdiri dari beraneka ragam, namun umumnya yang tepat adalah melalui permohonan. Hal ini didasarkan pada hakikat, kompleksitas, waktu, biaya, dan pembuktian. Kata Kunci: Clerical Eror; Putusan Non-Executable; Exit Plan.
KARAKTERISTIK LEMBAGA KONSINYASI DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM Tantri Noviana Herawati; Ghansham Anand
Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik Vol 7 No 2 (2018): Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (152.647 KB) | DOI: 10.55129/jph.v7i2.723

Abstract

The social function of land has become one of the basis for Government’s policy to put public interest on top of the individual ones, with regard to rights of the individuals. The main purpose of land procurement for public interest is to provide land for the development, in order to increase the welfare and prosperity of the nation. Despite this notion, any legal interest of the parties concerned must still be guaranteed. To guard the public interest, it is necessary to give compensation to any rightsholder whose land has been acquisited by the government. The land procurement process shall be carried out in accordance with the legal regulations concerned, especially Law Number 2 of 2012 about Land Procurement for Public Utilities Construction. In case the rightsholder refuses to accept the form and/or the value of compensation that has been negotiated previously, the government regulated that the compensation shall be commended in a District Court.   Keywords : Social Function, Compensation, Consignment.   ABSTRAK Fungsi sosial tanah telah menjadi salah satu dasar kebijakan Pemerintah untuk menempatkan kepentingan publik di atas yang individu, berkaitan dengan hak-hak individu. Tujuan utama pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah menyediakan lahan untuk pembangunan, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Terlepas dari pengertian ini, setiap kepentingan hukum dari pihak-pihak terkait masih harus dijamin. Untuk menjaga kepentingan publik, perlu memberikan kompensasi kepada pemegang hak cipta yang tanahnya telah diakuisisi oleh pemerintah. Proses pengadaan tanah harus dilakukan sesuai dengan peraturan hukum yang bersangkutan, khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Utilitas Umum. Jika pemegang hak menolak untuk menerima nilai kompensasi yang telah dinegosiasikan sebelumnya maka pemerintah mengatur bahwa kompensasi akan dititipkan di Pengadilan Negeri.  Kata kunci: Fungsi Sosial, Kompensasi, Konsinyasi.
PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PERALIHAN ASET YAYASAN KEAGAMAAN YANG DIPEROLEH MELALUI HIBAH BERSYARAT TANPA AKTA OTENTIK (Kajian Putusan Nomor 2016 K/Pdt/2013) Mariano Putra Prayoga Sumangkut; Ghansham Anand
Al-Adl : Jurnal Hukum Vol 9, No 3 (2017)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (645.275 KB) | DOI: 10.31602/al-adl.v9i3.1049

Abstract

Hibah sebagai suatu perjanjian tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam buku ketiga Burgerlijk Wetboek yang bersifat terbuka. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2016 K/Pdt/2013 menolak permohonan kasasi dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah dan menyatakan objek sengketa adalah milik almarhum orang tua penggugat, meskipun semasa hidupnya orang tua penggugat telah menghibahkan secara bersyarat obyek sengketa kepada Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Penulisan penelitian ini akan menelaah dan menganalisa lebih lanjut tentang pemberian hibah bersyarat kepada lembaga keagaman yang dilakukan tanpa akta otentik Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder sedangkan dalam mencari dan mengumpulkan data dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang, pendekatankonseptual dan pendekatan kasus.Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik hibah sebagai suatu perjanjian dapat berjalan fleksibel dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak. Dalam perjanjian hibah, pemberi hibah boleh mensyaratkan hal tertentu yang wajib dilaksanakan oleh penerima hibah asalkan hibah dilakukan dengan suatu akta otentik. Suatu hibah yang dilakukan tanpa akta otentik dianggap tidak pernah terjadi.
OTENTISITAS AKTA PERJANJIAN KREDIT DAN PEMBEBANAN JAMINAN YANG DIBUAT TANPA KEHADIRAN KREDITOR Mudjiharto Mudjiharto; Ghansham Anand
Al-Adl : Jurnal Hukum Vol 9, No 3 (2017)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.113 KB) | DOI: 10.31602/al-adl.v9i3.1050

Abstract

Pelanggaran terhadap ketentuan pembuatan akta dapat berakibat akta Notaris terdegradasi menjadi akta dibawah tangan, dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Notaris wajib menjamin keabsahan dan otentisitas akta yang dibuatnya, agar akta tersebut mempunyai kekuatan mengikat serta dapat memberikan perlindungan hukum kepada kepada para pihak yang membuatnya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penilitian menunjukkan bahwa akta Notaris yang telah terdegradasi tetap mengikat para pihak sepanjang salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak menuntut adanya pembatalan, kecuali terhadap akta-akta tertentu yang oleh undang-undang wajib dibuat dalam bentuk otentik, maka akta tersebut batal demi hukum.