Claim Missing Document
Check
Articles

Found 29 Documents
Search

Correlation of Total Lymphocyte Count with CD4 Count in HIV/AIDS Patients Sanjaya, Ardo; Sugiarto, Christine; Jonathan, Ronald
Journal of Medicine and Health Vol 1, No 1 (2015)
Publisher : Maranatha Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

HIV infection is a chronic infection of the immune system with a target of CD4 cells. Total lymphocyte count (TLC) can be done in resource-limited areas and are able to be used as a substitute to CD4 count. An increase in CD8 count can disturb the correlation between CD4 and TLC especially during the late clinical stage.Objective of this research is to find out the correlation of total lymphocyte count with CD4 count and to find out the influence of the clinical staging on the correlation of total lymphocyte count and CD4 count.This study is an observational, analytical and cross sectional study using the medical records of Klinik Teratai RSHS Bandung. The data is sorted according to the WHO clinical staging and are analyzed using Pearson’s correlation and Fisher’s transformation with α=0.05. The results showed that TLC have a correlation with CD4 count in all stadiums (r: 0,501-0,684, p<0,01). There is no significant difference of the correlation coefficients between the clinical stages (p>0.05). There is a correlation between TLC and CD4 count on HIV infected patients and there is no significant decrease of correlation of TLC and CD4 count on HIV infected patients with worsening of the WHO clinical stages. Keywords: CD4 count, total lymphocyte count, HIV/AIDS
Correlation of Total Lymphocyte Count with CD4 Count in HIV/AIDS Patients Sanjaya, Ardo; Sugiarto, Christine; Jonathan, Ronald
Journal of Medicine and Health Vol. 1 No. 1 (2015)
Publisher : Universitas Kristen Maranatha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.334 KB) | DOI: 10.28932/jmh.v1i1.500

Abstract

HIV infection is a chronic infection of the immune system with a target of CD4 cells. Total lymphocyte count (TLC) can be done in resource-limited areas and are able to be used as a substitute to CD4 count. An increase in CD8 count can disturb the correlation between CD4 and TLC especially during the late clinical stage.Objective of this research is to find out the correlation of total lymphocyte count with CD4 count and to find out the influence of the clinical staging on the correlation of total lymphocyte count and CD4 count.This study is an observational, analytical and cross sectional study using the medical records of Klinik Teratai RSHS Bandung. The data is sorted according to the WHO clinical staging and are analyzed using Pearson’s correlation and Fisher’s transformation with α=0.05. The results showed that TLC have a correlation with CD4 count in all stadiums (r: 0,501-0,684, p<0,01). There is no significant difference of the correlation coefficients between the clinical stages (p>0.05). There is a correlation between TLC and CD4 count on HIV infected patients and there is no significant decrease of correlation of TLC and CD4 count on HIV infected patients with worsening of the WHO clinical stages. Keywords: CD4 count, total lymphocyte count, HIV/AIDS
microRNA: Sebuah panduan pemula untuk klinisi dan peneliti Ardo Sanjaya
Journal of Medicine and Health Vol 5 No 1 (2023)
Publisher : Universitas Kristen Maranatha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28932/jmh.v5i1.3540

Abstract

MicroRNA (MiRNA) adalah RNA pendek (sekitar 22 nukleotida) yang tidak mengkode pembentukan protein tetapi mengatur banyak fungsi penting dalam tubuh manusia. MiRNA pertama ditemukan pada tahun 1993 dan sekarang telah ditemukan mempengaruhi hampir semua penyakit manusia. MiRNA menjalani jalur pemrosesan terpisah dengan beberapa langkah di dalam nukleus dan sitoplasma. Proses ini juga dikontrol dengan ketat di banyak titik, menciptakan jalur regulasi yang sangat kompleks. Gangguan jalur ini dapat menyebabkan fenotipe penyakit seperti yang ditunjukkan oleh banyak pola ekspresi MiRNA yang terkait dengan keadaan penyakit. Namun, perkembangan mikroRNA masih relatif baru, dan ada banyak hal yang masih belum kita ketahui. Oleh karena itu, artikel reviu ini bertujuan untuk memberikan pendahuluan mengenai MiRNA mulai dari sejarahnya hingga perkembangan terbaru bagi para klinisi dan peneliti. Dalam pembuatan reviu ini dilakukan pencarian dengan kata kunci MiRNA melalui sistem pencarian PubMed pada pangkalan data MEDLINE. Hasil pencarian yang relevan akan dipilih oleh peneliti untuk diikutsertakan dalam artikel ini. Berdasarkan pencarian didapatkan bahwa MiRNA memiliki regulasi yang sangat kompleks dengan efek yang luas pada tubuh manusia. Efek dari MiRNA ini dapat ditemukan pada kondisi infark myokard, diabetes, hingga kanker. Suatu hari nanti, terapi berbasis RNA mungkin menjadi hal yang umum sehingga peneliti dan klinisi harus terbiasa dengan subjek yang berkembang pesat ini.
GANGGUAN STRES PASKA TRAUMA PASKA COVID-19 Irna Permanasari Gani; Ade Kurnia Surawijaya; Vanessa Agatha Wijaya; Ardo Sanjaya; Julia Windi Gunadi
Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 6 No 1 (2023): Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang dinyatakan sebagai suatu pandemi global. Merebaknya COVID-19 menjadi sebuah ancaman bagi kesehatan masyarakat dan dapat menyebabkan tekanan kesehatan mental, seperti Gangguan Stres Pasca Trauma (GSPT). GSPT merupakan gangguan kejiwaan yang terjadi setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa menakutkan (stresor) dengan berbagai manifestasi. Laporan kasus ini bertujuan untuk membahas hubungan COVID-19 yang menyebabkan GSPT dan mengetahui gejala GSPT pasca COVID-19. Kasus ini menyajikan seorang wanita 45 tahun dengan diagnosis GSPT pasca COVID-19 dengan manifestasi yang sesuai dengan kriteria dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III), seperti kesulitan tidur, menghindari berita mengenai COVID-19, jantung berdebar, peningkatan frekuensi pernapasan, dan kilas balik apabila mengetahui terdapat kerabat yang menderita COVID-19. Akibat dari COVID-19 seperti rawat inap di rumah sakit dapat menyebabkan stres dan menimbulkan beban pada kesehatan mental sehingga dapat dianggap sebagai suatu peristiwa traumatis. Di samping itu, invasi virus pada sistem saraf pusat (SSP) dapat menyebabkan gangguan neuropsikiatri akibat kerusakan saraf. Diagnosis GSPT ditegakkan berdasarkan PPDGJ-III dengan kurun waktu antara trauma dan gangguan timbul dalam 6 bulan setelah kejadian traumatis disertai berbagai manifestasi yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi normal individu. Kata kunci : COVID-19, gangguan stres pasca trauma, GSPT DOI : 10.35990/mk.v6n1.p103-112
CLINICAL SIGNIFICANCE OF INTRAOPERATIVE NEUROPHYSIOLOGICAL MONITORING DURING SCOLIOSIS SURGERY: A LITERATURE REVIEW Sylvia Tanumihardja; Dedeh Supantini; Julia Windi Gunadi; Ardo Sanjaya; Katherine Marcella
MNJ (Malang Neurology Journal) Vol. 9 No. 2 (2023): July
Publisher : PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Cabang Malang) - Indonesian Neurological Association Branch of Malang cooperated with Neurology Residency Program, Faculty of Medicine Brawijaya University, Malang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.mnj.2023.009.02.14

Abstract

Mechanical damage to nerve fibers during scoliosis correction can result in severe neurological disorders. It has been demonstrated that intraoperative neurophysiological monitoring during spinal surgery reduces the risk of motor deficits or paraplegia. Despite significant advances in the technique and application of IONM (intraoperative neurophysiological monitoring), data reporting the impact of implementing intraoperative neurophysiological monitoring on scoliosis surgery intervention remains very limited. Therefore, this review aims to investigate the correlation between the application of IONM and the risk of neurologic deficits in scoliosis patients undergoing surgery. The database sourced from PubMed (Jan 2010 to Jan 2022) was used to identify all studies evaluating the effectiveness and impact of intraoperative neurophysiological monitoring during scoliosis surgery and reducing the risk of postoperative complications. This systematic review included five studies. Multimodal IONM, with its high sensitivity and specificity, provides an objective benchmark that surgeons can implement to review surgical strategies to reduce the risk of permanent neurologic deficits. Multimodal IONM can be considered the gold standard of IONM in scoliosis surgery to prevent neurological damage and provide a more satisfactory result of surgical intervention.
STUDI PUSTAKA: PERBANDINGAN STREAK RETINOSKOPI DAN AUTOREFRAKTOMETER DALAM MENENTUKAN KELAINAN REFRAKSI Abraham Adiwidjaja Sutjiono; Jeremi Christianto Jalil Tanggulungan; Ardo Sanjaya; Julia Windi Gunadi
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN Vol 10, No 3 (2023)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32539/JKK.V10I3.22204

Abstract

Kelainan refraksi atau ametropia adalah penyebab umum gangguan penglihatan yang dibagi menjadi miopi, hipermetropi, astigmatisma, dan presbiopia. Kelainan refraksi tidak dapat dicegah, namun dapat didiagnosis dari pemeriksaan mata dan dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa kacamata, lensa kontak dan juga dengan tindakan operasi. Sampai saat ini standar baku emas untuk menghitung status refraksi seseorang masih menggunakan retinoskopi dan refraksi subjektif. Studi pustaka ini bertujuan untuk membahas mengenai perbandingan keakuratan antara hasil retinoskopi dan autorefraktometer untuk menentukan status refraksi seseorang. Retinoskopi merupakan suatu metode objektif yang paling sering digunakan oleh dokter mata dalam menentukan optical power seseorang dengan menggunakan alat yaitu retinoskop. Namun, sekarang ini autorefraktometer telah digunakan secara luas untuk menghitung status refraktif seseorang. Autorefraktometer atau automated objective refractor adalah metode elektronik otomatis untuk mengukur kelainan refraksi secara objektif yang telah banyak digunakan di klinik maupun toko-toko kacamata dikarenakan hanya membutuhkan waktu yang singkat dan prosedur pemeriksaan yang sederhana. Terdapat 5 penelitian yang membandingkan keakuratan retinoskopi dan autorefractometer dalam menentukan status refraksi. Studi Pustaka ini ini menyimpulkan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan retinoskopi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan autorefraktometer dalam menentukan status refraksi seseorang.
Kasus Pure Red Cell Aplasia Sebagai Komplikasi Terapi Tuberkulosis Pulmonal Abram P Tanuatmadja; Limdawati Kwee; Fellicia Tan; Ardo Sanjaya; Julia W Gunadi
Journal of Medicine and Health Vol 5 No 2 (2023)
Publisher : Universitas Kristen Maranatha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28932/jmh.v5i2.6682

Abstract

Pure red cell aplasia (PRCA) is a rare disorder caused by failure or abnormalities in erythropoiesis only, among all cell lines of the bone marrow. Patients with PRCA usually present with no specific clinical presentation, thus its recognition depends on a clinician’s high index of suspicion, to facilitate early diagnosis and treatment to provide a better prognosis. Tuberculosis (TB) is the infectious disease with the highest casualty rate worldwide and is still a problem in many countries, including Indonesia. This study is a case report of a pulmonary TB patient with PRCA as a complication. PRCA was confirmed by the bone marrow puncture (BMP) examination as the gold standard. In this case, PRCA was inferred to occur due to the use of Isoniazid in the TB treatment regimen. The discontinuation of Isoniazid administration subsequently results in the normalization of Hb levels. In this paper we would highlight PRCA as a differential diagnosis that should be taken into consideration in symptomatic anemia in patients with tuberculosis under standard treatment.
PERBANDINGAN STREAK RETINOSKOPI DAN AUTOREFRAKTOMETER DALAM MENENTUKAN KELAINAN REFRAKSI Abraham Adiwidjaja Sutjiono; Jeremi Christianto Jalil Tanggulungan; Ardo Sanjaya; Julia Windi Gunadi
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan : Publikasi Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Vol. 10 No. 3 (2023): Jurnal Kedokteran dan Kesehatan : Publikasi Ilmiah Fakultas Kedokteran Univers
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32539/jkk.v10i3.365

Abstract

Kelainan refraksi atau ametropia adalah penyebab umum gangguan penglihatan yang dibagi menjadi miopi, hipermetropi, astigmatisma, dan presbiopia. Kelainan refraksi tidak dapat dicegah, namun dapat didiagnosis dari pemeriksaan mata dan dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa kacamata, lensa kontak dan juga dengan tindakan operasi. Sampai saat ini standar baku emas untuk menghitung status refraksi seseorang masih menggunakan retinoskopi dan refraksi subjektif. Studi pustaka ini bertujuan untuk membahas mengenai perbandingan keakuratan antara hasil retinoskopi dan autorefraktometer untuk menentukan status refraksi seseorang. Metode yang digunakan adalah literature review dengan mencari artikel dengan kata kunci retinoscopy, autorefractometer, dan refractive errors dengan kriteria inklusi meliputi artikel dalam 10 tahun terakhir, akses teks lengkap, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Kami menemukan 5 penelitian yang membandingkan keakuratan retinoskopi dan autorefraktometer dalam menentukan status refraksi. Autorefraktometer dapat menentukan status refraksi dengan cepat, namun hasilnya dapat overestimated, sedangkan retinoskopi dengan siklopegik memberikan hasil yang lebih akurat namun memerlukan keterampilan dan pengalaman pemeriksa. Studi pustaka ini menyimpulkan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan retinoskopi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan autorefraktometer dalam menentukan status refraksi seseorang.
EFEK COVID-19 TERHADAP LARING Hiro Salomo Mangape; Sharon Kolose Sihotang; Ardo Sanjaya; Julia Windi Gunadi; Christian Edwin
Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 7 No 1 (2024): Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merupakan virus yang memiliki selubung single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA) yang menjadi penyebab penyakit Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Laring merupakan perbatasan saluran pernapasan dan saluran pencernaan sehingga mudah terkena infeksi COVID-19. Gangguan pada laring juga dapat terjadi akibat tindakan intubasi atau trakeostomi pada kasus COVID-19 derajat berat. Tujuan tinjauan pustaka ini adalah mempelajari mekanisme terjadinya infeksi COVID-19 pada laring baik infeksi secara langsung maupun akibat tindakan intubasi atau trakeostomi. Pencarian dilakukan melalui PubMed dan google scholar dengan kata kunci “COVID-19”, “laring”, “intubasi”, dan “komplikasi pada laring”. Hasil tinjauan Pustaka menunjukkan bahwa laring memiliki reseptor terhadap trans-membrane protease serine 2 (TMPRSS2) dan angiotensin converting enzyme 2 (ACE2). Infeksi laring terjadi ketika ACE2 berikatan pada permukaan luminal epitel saluran napas sehingga dapat menyebabkan gejala edema laring, sesak napas, stridor, dan disfonia. Penatalaksanaan pada kasus laring disesuaikan dengan etiologi dan manifestasi yang dihasilkan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah kasus COVID-19 memang jarang bermanifestasi pada laring, namun komplikasi pada laring dan setelah penggunaan post-intubasi sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, komplikasi COVID-19 terhadap laring tetap harus dipantau. Kata kunci : ACE2, COVID-19, laring, TMPRSS2 DOI : 10.35990/mk.v7n1.p101-111
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Terapi Kompresi Terhadap Perbaikan Ulkus Vena Tungkai Kronik Miguna, Landry; Jason, Daniel; Gunadi, Julia Windi; Sanjaya, Ardo; Gunawan, Decky
Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Vol 11, No 6 (2024): Volume 11 Nomor 6
Publisher : Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/jikk.v11i6.15106

Abstract

Ulkus vena tungkai masih merupakan masalah kesehatan yang serius karena kondisi ini masih sulit disembuhkan, seringkali menjadi kronik, dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Meskipun mekanisme kerja pastinya belum jelas, saat ini terapi kompresi masih menjadi pilihan utama terapi karena terbukti menurunkan angka rekurensi. Terapi kompresi memiliki variasi dalam jenis, durasi, dan tekanan yang dihasilkan. Literature review ini bertujuan untuk mengevaluasi lebih dalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan terapi kompresi terhadap perbaikan ulkus vena tungkai kronik. Metode dilakukan dengan pencarian artikel dari search engine Pubmed, Google Scholar dengan kata kunci 'venous ulcer', 'compression therapy', 'chronic leg ulcer', 'pressure of compression', 'stocking compression' dan kombinasinya yang dipublikasikan dalam 20 tahun terakhir. Faktor-faktor kompresi yang diteliti yaitu jenis kompresi, durasi kompresi, dan tekanan kompresi. Indikator perbaikan yang diteliti yaitu gejala dan kondisi klinis, angka rekurensi, dan perbaikan kualitas hidup. Hasil dari 7 artikel yang ditelaah menunjukan bahwa terapi kompresi aman dan efektif di dalam mencegah rekurensi ulkus tungkai, mengurangi keluhan, dan memperbaiki kualitas hidup. Tidak ada pengaruh  dari jenis dan durasi terapi kompresi terhadap keberhasilan. Derajat tekanan kompresi memengaruhi angka rekurensi, khususnya pada pengguna stoking kompresi.  Sebagai simpulan, keberhasilan terapi kompresi terhadap perbaikan ulkus vena tungkai kronik terutama dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani terapi yang memerlukan waktu jangka panjang.