Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan realitas kehidupan mahasiswa asal Sulawesi Tenggara yang tinggal di asrama tidak layak huni di Kota Makassar. Menggunakan teori Pierre Bourdieu sebagai pisau analisis, khususnya konsep habitus, modal sosial, dan kekuasaan simbolik, penelitian ini menelaah bagaimana mahasiswa bertahan, beradaptasi, dan membentuk solidaritas di tengah kondisi fisik yang memprihatinkan. Menggunakan metode kualitatif dengan tahapan pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yaitu trianggulasi data yang berupa trianggulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asrama berfungsi lebih dari sekadar tempat tinggal. Ia berfungsi sebagai ruang sosial yang kaya akan makna simbolik di sinilah mahasiswa memperkuat identitas daerah, membangun rasa kekeluargaan, dan menemukan kenyamanan emosional yang tidak mereka dapatkan di tempat lain. Praktik penggunaan bahasa daerah, gotong royong, dan solidaritas kolektif mencerminkan habitus yang dibawa dari kampung halaman dan disesuaikan dengan konteks sosial kehidupan kota. Namun, di balik solidaritas itu terdapat gambaran ketimpangan struktural yang tajam. Ketidakseriusan pemerintah dalam memastikan hunian layak mencerminkan kekerasan simbolik, di mana kelompok marginal menganggap ketidakadilan sebagai hal yang normal. Asrama berfungsi sebagai arena perjuangan sosial bagi mahasiswa, tidak hanya untuk bertahan secara ekonomi, tetapi juga untuk mempertahankan martabat dan identitas budaya dalam sistem pendidikan yang belum sepenuhnya mendukung kelompok-kelompok yang terpinggirkan.