Claim Missing Document
Check
Articles

KEDUDUKAN JUSTICE COLLABORATOR TERHADAP PENGUNGKAPAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Rotua Hotmauli Siayung; Tomi Hagai Pinem; Nanci Yosepin Simbolon; Ria Sintha Devi
JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Vol 3 No 1 (2021): EDISI BULAN JANUARI 2021
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/jurnalrectum.v3i1.1884

Abstract

Studi ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan justice collaborator terhadap pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana. Justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi yaitu membantu aparat penegak hukum dalam menemukan alat-alat bukti dan tersangka lain yang signifikan, posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya. Penelitian ini menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder dengan melakukan analisis yuridis normatif yaitu berdasarkan undang-undang. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap justice collaborator tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang justice collaborator. Meskipun secara eksplisit aturan tentang perlindungan hukum justice collaborator telah dimuat dalam Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan SEMA No.4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) kedua aturan tersebut belum dapat melindungi keberadaan justice collaborator. Disarankan agar sebaiknya Indonesia membuat peraturan perundang-undangan khusus mengatur tentang perlindungan justice collaborator. Peraturan yang khusus mengatur secara tegas memberikan perlindungan terhadap justice collaborator harus terintegrasi mengikat para aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim, KPK, LPSK, Lembaga Pemasyarakatan dan lembaga lainnya yang terkait seperti Kementrian Hukum dan HAM serta PPATK dan advokat.
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS PENGANIAYAAN (STUDI PADA TINGKAT KEJAKSAAN NEGERI DELI SERDANG) Nanci Yosepin Simbolon; Daniel Oktavianus Sinaga; Alpi Sahari
JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Vol 3 No 1 (2021): EDISI BULAN JANUARI 2021
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/jurnalrectum.v3i1.1877

Abstract

Di Indonesia dalam pelaksanaan hukuman ataupun pidana terhadap pelaku kasus penganiayaan oleh para penegak hukum lebih cenderung memproses pidananya dengan menjerat dan menghukum memasukkan pelaku ke dalam penjara tanpa melihat bagaimana sebab kasus penganiayaan terbebut bisa terjadi, yang mana para penegak hukum dapat bisa melakukan upaya restorative justice dengan mediasi menjembatani (menengahi) para pihak antara pelaku terhadap korban tanpa harus melakukan proses hukum pidana akan tetapi dengan memberi sanksi/hukuman ganti rugi atau biaya pengobatan yang te;ah diderita oleh korban. Dari hasil penelitian yag dilakukan dengan teknik kepustakaan dan wawancara dan menggunakan metode analisis kualitatif, maka diperoleh hasil penelitian yaitu pertama; bentuk tindak pidana penganiayaan dalam penerapan restorative justice pada tingkat Kejaksaan negeri Deli Serdang adalah penganiayaan ringan, penganiayaan terhadap pelaku anak, penganiayaan yang pelakunya dan korbannya mempunyai hubungan emosional, kedua;, faktor-faktor penghambat dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan melalui penerapan restorative justice pada Kejaksaan Negeri Deli Serdang adalah faktor penegak hukum, faktor substansi hukum, dan faktir budaya, ketiga; penerapan restorative justice penyelesaian tindak pidana penganiayaan pada Kejaksaan Negeri Deli Serdang adalah berdasarkan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020. Melalui Peraturan Kejaaksaan Tersebut bahwa kewenangan Penuntut Umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum dengan alassan telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process). Syarat, tata cara, serta mekanisme upaya perdamaian dalam penghentian penuntutan erdasarkan restorative justice oleh Kejaksaan Negeri Deli Serdang diatur dalam Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020.
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS PENGANIAYAAN (STUDI PADA TINGKAT KEJAKSAAN NEGERI DELI SERDANG) Nanci Yosepin Simbolon; Daniel Oktavianus Sinaga; Alpi Sahari
JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Vol 4 No 2 (2022): EDISI BULAN JULI 2022
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/jurnalrectum.v4i2.1724

Abstract

Di Indonesia dalam pelaksanaan hukuman ataupun pidana terhadap pelaku kasus penganiayaan oleh para penegak hukum lebih cenderung memproses pidananya dengan menjerat dan menghukum memasukkan pelaku ke dalam penjara tanpa melihat bagaimana sebab kasus penganiayaan terbebut bisa terjadi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis penerapan restorative justice dalam kasus penganiayaan (studi pada tingkat Kejaksaan Negeri Deli Serdang). Detail riset ini ialah riset hukum normatif ataupun dokrinal yang diucap pula riset daftar pustaka. Watak dari riset ini merupakan deskritif analitiss ialah unutk mendapatkan cerminan yang komplit serta nyata mengenai permaslahan yang terdapat pada masyrakat yang setelah itu berhubungan dengan ketentuan- ketentuan ataupun perartuan- peraturan hukum yang legal, alhasil kesimpulannya bisa didapat sesuatu kesimpulan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan teknik kepustakaan dan wawancara dan menggunakan metode analisis kualitatif, maka diperoleh hasil penelitian yaitu pertama; bentuk tindak pidana penganiayaan dalam penerapan restorative justice pada tingkat Kejaksaan negeri Deli Serdang adalah penganiayaan ringan, penganiayaan terhadap pelaku anak, penganiayaan yang pelakunya dan korbannya mempunyai hubungan emosional, kedua;, faktor-faktor penghambat dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan melalui penerapan restorative justice pada Kejaksaan Negeri Deli Serdang adalah faktor penegak hukum, faktor substansi hukum, dan faktir budaya, ketiga; penerapan restorative justice penyelesaian tindak pidana penganiayaan pada Kejaksaan Negeri Deli Serdang adalah berdasarkan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020. Melalui Peraturan Kejaaksaan Tersebut bahwa kewenangan Penuntut Umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum dengan alassan telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS PENGANIAYAAN (STUDI PADA TINGKAT KEJAKSAAN NEGERI DELI SERDANG) Alpi Sahari; Nanci Yosepin Simbolon; Daniel Oktavianus Sinaga
JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Vol 3 No 1 (2021): EDISI BULAN JANUARI 2021
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/jurnalrectum.v3i1.1879

Abstract

Di Indonesia dalam pelaksanaan hukuman ataupun pidana terhadap pelaku kasus penganiayaan oleh para penegak hukum lebih cenderung memproses pidananya dengan menjerat dan menghukum memasukkan pelaku ke dalam penjara tanpa melihat bagaimana sebab kasus penganiayaan terbebut bisa terjadi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis penerapan restorative justice dalam kasus penganiayaan (studi pada tingkat Kejaksaan Negeri Deli Serdang). Detail riset ini ialah riset hukum normatif ataupun dokrinal yang diucap pula riset daftar pustaka. Watak dari riset ini merupakan deskritif analitiss ialah unutk mendapatkan cerminan yang komplit serta nyata mengenai permaslahan yang terdapat pada masyrakat yang setelah itu berhubungan dengan ketentuan- ketentuan ataupun perartuan- peraturan hukum yang legal, alhasil kesimpulannya bisa didapat sesuatu kesimpulan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan teknik kepustakaan dan wawancara dan menggunakan metode analisis kualitatif, maka diperoleh hasil penelitian yaitu pertama; bentuk tindak pidana penganiayaan dalam penerapan restorative justice pada tingkat Kejaksaan negeri Deli Serdang adalah penganiayaan ringan, penganiayaan terhadap pelaku anak, penganiayaan yang pelakunya dan korbannya mempunyai hubungan emosional, kedua;, faktor-faktor penghambat dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan melalui penerapan restorative justice pada Kejaksaan Negeri Deli Serdang adalah faktor penegak hukum, faktor substansi hukum, dan faktir budaya, ketiga; penerapan restorative justice penyelesaian tindak pidana penganiayaan pada Kejaksaan Negeri Deli Serdang adalah berdasarkan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020. Melalui Peraturan Kejaaksaan Tersebut bahwa kewenangan Penuntut Umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum dengan alassan telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
KAJIAN HUKUM PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (Studi Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor 341/Pid.B/2017/PN Pdg) Roland Aldini Hutahaean; Dani Dizky M; Alusianto Hamonangan; Nanci Yosepin Simbolon
JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Vol 5 No 1 (2023): EDISI BULAN JANUARI
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/jurnalrectum.v5i1.2818

Abstract

Dalam suatu badan peradilan hakim memiliki peran penting karena hakimlah yang berhak memutus suatu perkara yang terjadi di dalam persidangan. hakim selalu berpegang pada prinsip-prinsip peradilan yang bebas atau tidak memihak. Sebagai salah satu dari pelaksana hukum yaitu hakim diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Pertimbangan putusan terdiri dari dua bagian, yaitu pertimbangan tentang fakta hukum dan pertimbangan hukumnya. Pertimbangan tentang fakta diperoleh dengan cara memeriksa alat bukti seecara empiris dalam persidangan. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan selanjutnya diuji menggunkan teori kebenaran koresponden untuk memperoleh fakta hukum dan petunjuk. Putusan yang melepaskan terdakwa (onslag van alle rechtvervolging) menurut KUHAP diatur dalam Pasal 191 ayat (2) yang menyatakan, bahwa: “Jika pengadilan berpendapat jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum Penelitian ini menggunakan metode normatif yuridis, yaitu segala sumber di ambil dari kepustakaan, undang-undang, putusan dan media lainnya.Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan surat, Kedua, bagaimana penerapan penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum oleh hakim? (Studi Putusan Pengadilan Padang Nomor 341/Pid.B/2017/PN Pdg) dan ketiga bagaimana pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan. Pengaturan tindak pidana pemalsuan surat dalam hukum pidana bahwa pemalsuan surat diuraikan dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 KUHP. Pada tiap pasal yang bersangkutan terdapat unsur yang terkandung didalamnya. Penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat dalam putusan Nomor 341/2017/PN Pdg) telah terbukti melakukan perbuatan, namun perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Dan pertimbangan hukum oleh hakim kemudian hakim memutuskan melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (Onslag van alle recht vervolging). Pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertimbangan hukum hakim secara yuridis dan non-yuridis. Secara yuridis dengan melihat fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, sedangkan nonyuridis dengan melihat latar belakang dari terdakwa.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP BENTUK PEMBINAAN NARAPIDANA DILEMBAGA PEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (STUDI KASUS DI RUTAN KELAS II B BALIGE) Nanci Yosepin Simbolon; Alex Obryan Simamora
JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Vol 5 No 1 (2023): EDISI BULAN JANUARI
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/jurnalrectum.v5i1.2887

Abstract

ABSTRAK Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Hukum merupakan salah satu pranata yang dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan yang pesat dalam kehidupan manusia. Selain itu hukum juga diperlukan untuk mengantisipasi penyimpangan- penyimpangan yang terjadi. Salah satu bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat misalnya munculnya suatu tindak pidana yang menyebabkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat pada khususnya dan kehidupan bernegara pada umumnya. Pada dasarnya segala macam tindak pidana kebanyakan dampaknya merugikan masyarakat luas.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana bentuk pembinaan narapidana di Rumah Tahanan Kelas II B Balige dan mengetahui apakah terdapat faktor-faktor penghambat pembinaan tersebut dalam UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, sehingga pemilihan judul penelitian “Analisis Yuridis Terhadap Bentuk Pembinaan Narapidana Dilembaga Pemasyarakatan Menurut Undang-Undang Ri Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Kasus Di Rutan Kelas Ii B Balige)”.
TINJAUAN KRIMINOLOGI MENGENAI KETIMPANGAN RELASI KUASA DAN RELASI GENDER DALAM KASUS KEKERASAN SEKSUAL Nanci Yosepin Simbolon; Ria Sintha Devi; Alusianto Hamonangan; Muhammad Yasid
PKM Maju UDA Vol 3 No 3 (2022): Edisi Bulan OKTOBER
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung (UDA) Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.863 KB) | DOI: 10.46930/pkmmajuuda.v3i3.1916

Abstract

Saat ini sedang banyak terjadi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, dengan rata-rata korban adalah seorang perempuan dan rata-rata pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dikenal oleh korbannya ataupun orang terdekat korban. Dimana dalam terjadinya kekerasan seksual ini selalu berkaitan dengan adanya ketimpangan relasi gender dan relasi kuasa yang selalu membuat pelakunya berada dalam posisi superior dan korbannya berada dalam posisi inferior. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Dalam terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan maka korban sebagai pihak yang dirugikan membutuhkan suatu perlindungan, dan pemerintah telah berusaha memberikan perlindungan melalui beberapa peraturan perundang-undangan seperti Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) dan peraturan- peraturan lainnya serta beberapa teori sebab-sebab terjadinya kejahatan dari para tokoh kriminolog.
PENYULUHAN HUKUM DALAM UPAYA PENINGKATAN KESADARAN HUKUM BERLALULINTAS MELALUI PEMAHAMAN TERHADAP ISI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Nanci Yosepin Simbolon; Mhd. Ansori Lubis; Alusianto Hamonangan; Lestari Victoria Sinaga
Jurnal Abdimas Bina Bangsa Vol. 4 No. 1 (2023): Jurnal Abdimas Bina Bangsa
Publisher : LPPM Universitas Bina Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46306/jabb.v4i1.496

Abstract

The development of science and technology in the field of transportation has an impact on human life, where currently the use of motorized vehicles is increasing rapidly in supporting various community activities. In addition to providing benefits, an increase in the number of motorized vehicles on the highway can cause traffic jams and is also directly proportional to the increase in the number of traffic violations that occur on the highway which can be one of the causes of traffic accidents, where traffic violations occur due to lack of knowledge and understanding of the law that causes low awareness and compliance with public law in traffic on the highway. For this reason, it is important to carry out community service activities in the form of legal counseling regarding the culture of orderly traffic on the highway according to Law Number 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation, so as to provide legal knowledge and understanding to the public and then will raise awareness and legal compliance with traffic regulations on the highway. The research method used is a normative juridical approach, descriptive analytical research specifications. The research phase was carried out through a literature study to examine primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Data collection techniques were carried out through document studies, and data analysis methods were carried out through normative qualitative. The results of the study show that understanding the contents of Law No. 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation is difficult to measure the level of legal awareness of citizens because there are other influencing factors, namely the role model of officials and oversight mechanisms also determine it
PERTANGGUNG JAWABAN PENYIDIK POLRI DALAM KAITAN TERJADINYA SALAH TANGKAP Muhammad Ikhsan; Arowamati Laia; Gomgom T.P Siregar; Nanci Yosepin Simbolon
JURNAL RETENTUM Vol 4 No 2 (2022): SEPTEMBER
Publisher : Pascasarjana UDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/retentum.v4i2.2793

Abstract

Penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana, penyidik harus memiliki cukup bukti, baik mengenai unsur tindak pidana yang dipersangkakan maupun mengenai identitas seseorang yang disangka tersebut. Namun dalam praktiknya tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses penangkapan terjadi salah tangkap. Terjadinya salah tangkap oleh Penyidik Polri, dalam istilah hukum disebut dengan error in persona yang artinya kekeliruan atau kekhilafan mengenai orangnya. Korban salah tangkap memiliki suatu kerugian yang harus segera dilakukan penanganan, khususnya pada kerugian immateriil. Kerugian yang utama adalah terkait tercemarnya nama baik mereka oleh stigma negatif dari masyarakat sekitar. Kompensasi yang diberikan oleh Negara terhadap Korban salah tangkap yang berbentuk materiil, belum cukup untuk mengembalikan nama baik mereka. Ironisnya adalah ketika stigma negatif terhadap mereka tersebut terjadi, bukan hanya hak kemerdekaannya saja yang hilang, namun hak untuk bersosial pun juga tertindas, sehingga disamping adanya tuntutan ganti rugi kepada Negara, maka juga dibutuhkan rehabilitasi terhadap korban salah tangkap. Pasal 1 angka (20) KUHAP bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penelitian ini menggunakan metode normatif yuridis, yaitu segala sumber di ambil dari kepustakaan, undang-undang, jurnal, internet dan media lainnya. Fungsi polri dalam penegakan hukum di Indonesia di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Melakukan proses penyelikan hingga penyidikan perkara.Perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap atau kesalahan dalam penyidikan yang diatur dalam kuhap adalah dengan pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi. Mekanisme pengajuan tuntutan ganti rugi sebagaimana akibat dari penahanan yang tidak sah diatur dalam pasal 95 KUHAP. Pertanggungjawaban penyidik polri terhadap korban salah tangkap terdapat dalam 3 (tiga) hal. Pertama, pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Pasal 333 KUHP, Pasal 334 KUHP, Pasal 335 KUHP. Kedua, pertanggungjawaban perdata yaitu bentuk ganti rugi kepada korban salah tangkap dan ketiga pertanggungjawaban admisnistratif dan displin.
PENYULUHAN TINDAK PIDANA PENYEBARAN BERITA HOAX MELALUI MEDIA SOSIAL DI KALANGAN GENERASI MUDA PADA MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DARMA AGUNG MEDAN Ria Sintha Devi; Rudolf silaban; Nanci Yosepin Simbolon
Jurnal PKM Hablum Minannas Vol. 1 No. 2 (2022): Edisi Bulan Oktober 2022
Publisher : LPPM Yayasan Pendidikan Islam Tholabul Ilmi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47652/jhm.v1i2.181

Abstract

The development of information and communication technology was then responded by the government by issuing a law. Media managers in Indonesia are still developing their abilities in an effort to face the new world and provide excellent programs that suit the needs of the community, especially young people. This activity will conducted through face-to-face meetings attended by students of the Faculty of Law, Darma Agung University, social media on the one hand is private. An account belonging to someone on social media, such as Facebook, is interpreted as a substitute for that person's appearance in cyberspace which contains information about the owner, such as name and photo and identity to other privacy, spreading false and misleading news that results in consumer losses in electronic transactions and disseminating information aimed at causing hatred or hostility to certain individuals and/or community groups based on ethnicity, religion, race, and inter-group (SARA). Finally, a person can be punished for sending electronic information and/or electronic documents that contain threats of violence or intimidation aimed at personally