Claim Missing Document
Check
Articles

Konsep Ji’alah dalam Perspektif Imam Al-Nawawi Terhadap Sistem Upah dalam Program Afiliasi Tiktok Sholichah, Mas Amaliyatus; Mustofa, Imron; Rohmah, Elva Imeldatur
Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman Vol. 12 No. 1 (2024): Juni
Publisher : INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52431/tafaqquh.v12i1.2668

Abstract

The In today's digital era, many people are leveraging social media platforms such as TikTok to earn additional income through TikTok affiliate programs. Consequently, the use of TikTok affiliate programs is increasingly widespread and highly sought after by the public. However, there are concerns regarding the validity of the ji'alah contract, which serves as the foundation of this program. The ji'alah contract is a legitimate transaction according to Shariah law, where rewards or percentages are given to individuals who have contributed to performing a certain task. The purpose of this research is to find solutions to this issue, with a focus on the concept of ji'alah according to Imam al-Nawawi. The research method used is a literature review with a qualitative approach, involving document analysis, secondary data, and interviews with relevant parties. The findings of this research will identify the pillars of ji'alah that are in accordance with Shariah principles and relevant in the current context of TikTok affiliate programs. The implications of this research include a better understanding of the concept of ji'alah and its application in TikTok affiliate programs, as well as recommendations to ensure the compliance of these programs with Shariah principles.
Perempuan Sebagai Pelopor Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada Anak di Lingkungan Keluarga Rohmah, Elva Imeldatur
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 4 No. 3 (2023): Juni
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya (https://uinsa.ac.id/fsh/facility)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v4i3.242

Abstract

Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin menjamur di tengah-tengah masyarakat. Kasus ini terjadi di lingkungan sekolah hingga keluarga dengan latar belakang serta bentuk kekerasan yang beragam. Tindak kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa dipisahkan dari posisi rentan perempuan dan anak perempuan. Dalam hierarki dehumanisasi, anak perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan, dari etnis minoritas, serta cacat, berada pada posisi terendah. Mereka mengalami penindasan berlapis. Meskipun tidak mutlak bahwa hanya mereka yang dapat mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan peristiwa tragis yang menyasar eksistensi seseorang dan meninggalkan trauma mendalam sehingga membutuhkan penanganan khusus. Kekerasan seksual ini mengakibatkan dampak secara fisik dan psikis seperti gangguan pola makan, hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa, trauma secara seksual, mimpi buruk, munculnya rasa malu dan bersalah, krisis kepercayaan, disosiasi, depresi, pengulangan memori, hypoactive sexual desire disorder, hingga menjadi pelaku di kemudian hari. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif studi fenomenologi dengan tujuan mempelajari peran perempuan dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perempuan yang memiliki peran penting dalam keluarga mampu menjadi pioneer dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak. Sebagai seorang ibu, perempuan dapat menjalin komunikasi informasi edukasi secara intens terhadap anak, memberikan pendidikan agama lebih mendalam, melakukan pengawasan secara aktif, memberikan pendidikan seksual sesuai usia, mendorong anak untuk berani melawan kejahatan, menjadi konselor terhadap masalah anak, serta memberikan pelatihan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.
Revenge Porn dalam Kajian Viktimologi Ramadhan, Sagita Destia; Rohmah, Elva Imeldatur
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 5 No. 1 (2024): Februari
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya (https://uinsa.ac.id/fsh/facility)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v5i1.317

Abstract

Abstract: Revenge porn is the act of distributing pornographic material without the consent of the victim. Based on this, this paper aims to examine victims of revenge porn or revenge pornography by reviewing from the perspective of victimology. This paper is a normative legal research, using statutory, case, and conceptual approaches. The study concluded that victims of pornography often resort to revenge. The occurrence of this victimization process begins with the victim himself. Many lovers initially love each other, but when they break up they hate each other and end up taking revenge by spreading pornographic things when they are still dating. These cases are dominated by women, but some also occur in men. Revenge porn is categorized as sexual violence. Revenge porn is an act that can degrade or insult someone non-physically by showing or spreading something sexually related to the victim in cyberspace or digital world without the consent of the victim. Revenge porn is a criminal offense because it injures the privacy of the victim. In the Criminal Code (KUHP) the protection of victims of revenge pornography is regulated in Article 411, Article 14 of the Sexual Violence Crime Law (TPKS Law). Revenge porn can result in deep trauma for the victim. Therefore, victims must be protected, among others, through restitution, namely the provision of compensation by the perpetrator to the victim concerned. Keywords: Revenge porn, sexual violence, victimization, victimology, law. Abstrak: Revenge porn merupakan tindakan menyebarkan materi pornografi tanpa adanya persetujuan dari pihak korban. Berdasarkan hal tersebut maka tulisan ini bertujuan menelaah korban revenge porn atau pornografi balas dendam dengan meninjau dari perspektif viktimologi. Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, kasus, dan konseptual. Penelitian ini menyimpulkan bahwa korban pornografi sering melakukan balas dendam. Terjadinya proses viktimisasi ini berawal dari korban sendiri. Banyak pasangan kekasih yang awalnya saling mencintai, namun ketika putus keduanya saling membenci dan berakhir balas dendam dengan menyebarkan hal-hal yang berbau pornografi saat mereka masih berpacaran. Kasus ini didominasi oleh perempuan, namun beberapa juga terjadi pada laki-laki. Revenge porn dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Revenge porn merupakan suatu perbuatan yang dapat merendahkan ataupun menghina seseorang secara non fisik dengan mempertontonkan atau menyebarkan sesuatu yang bermuatan seksual terkait diri korban di dunia maya atau dunia digital tanpa adanya persetujuan dari si korban. Revenge porn merupakan tindak pidana karena mencederai privasi korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perlindungan terhadap korban pornografi balas dendam diatur pada Pasal 411, Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Revenge porn dapat mengakibatkan trauma yang mendalam bagi korban. Karena itu korban harus dilindungi diantaranya melalui restitusi, yakni pemberian ganti rugi oleh pelaku kepada pihak korban yang bersangkutan. Kata Kunci: Revenge porn, kekerassan seksual, korban, viktimologi, hukum.  
Constitutionality of Regional Head Election Campaigns on Campus Based on Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XXII/2024 Rohmah, Elva Imeldatur
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 6 No. 1 (2025): February
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya (https://uinsa.ac.id/fsh/facility)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v7i1.438

Abstract

The Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XXII/2024 marks a significant shift in Indonesia's electoral democracy landscape by allowing regional election campaigns to be conducted on university campuses, provided certain conditions are met. This decision has sparked new discourse concerning academic freedom, students' political rights, and the principle of institutional neutrality in higher education. This study aims to examine the constitutionality of regional election campaigns on campus based on the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XXII/2024, while also analyzing the practical challenges of its implementation. Using a normative juridical method with statutory and conceptual approaches, the study finds that the Court acknowledges the constitutional rights of the academic community to access political education and actively participate in democratic processes. However, the potential for unequal campaign access, concerns over campus neutrality, and the absence of detailed technical regulations pose serious implementation challenges. Furthermore, the principle of academic neutrality must be upheld to ensure that higher education institutions remain spaces for scholarly dialogue, not arenas for political contestation. Therefore, it is recommended that the General Elections Commission (KPU) and higher education institutions promptly formulate technical guidelines for on-campus campaigning to safeguard equality, neutrality, and academic integrity. Additionally, the role of students as agents of deliberative democracy should be strengthened through political literacy and open dialogue grounded in academic values
Konsep Bughat Dalam Pandangan Al-Mawardi Dan Tradisi Fikih Rohmah, Elva Imeldatur
Tadrisuna : Jurnal Pendidikan Islam dan Kajian Keislaman Vol. 2 No. 2 (2019): September 2019
Publisher : Prodi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tabiyah Raden Santri Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bughat adalah pembangkangan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil). Jarimah bughat memiliki tiga unsur, yaitu pembangkangan terhadap imam, dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan ada niat untuk melawan hukum. Sanksi hukum bughat yang terdapat dalam al-Qur’an adalah dengan dibunuh, dipotong kaki dan tangan dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri. Al-Mawardi menyatakan dengan jelas bahwa rakyat memiliki hak untuk menggulingkan penguasa yang gagal melaksanakan tugas imamat, tetapi al-Mawardi tidak menjelaskan bagaimana caranya. Al-Mawardi mendefinisikan bughat sebagai orang-orang Muslim yang meninggalkan hukum komunitas dan kesetiaan mereka kepada Imam yang adil, baik demi tujuan politik atau karena kesalahan pemahaman terhadap agama. Penetapan Al-Mawardi bahwa pemberontak dianggap hanya mereka yang meninggalkan ketaatan mereka kepada Imam yang adil menambah dimensi baru dalam pemikiran politik Islam ketika ia melarang Imam untuk memerangi orang-orang yang meninggalkan kepatuhan mereka karena kesalahpahaman agama atau muta'awwil, karena mereka bukan pemberontak dari sudut pandang Islam. Al-Mawardi menentang klaim kepatuhan yang tidak terbantahkan kepada Imam. Namun ia tidak menetapkan prosedur hukum bagaimana menegakkan hukum terhadapnya. Selain itu, tampaknya al-Mawardi tidak ingin bekerja melawan teori umum revolusi dalam pemikiran politik Islam. Ini menjadi dilema bukan hanya untuk al-Mawardi saja, tetapi untuk semua pemikir politik Sunni secara umum.