Politik Hukum Desentralisasi Aceh tidak lepas dari “Historical View” atas hubungan antara Pusat-Daerah dan dinamika politik untuk mencapai titik tengah "Konsolidasi Demokrasi", yang bermuara pada sensitif politik yang belum tuntas penyelesaiannya. Tulisan ini merupakan sebuah catatan atas konsekuensi dari karakteristik perencanaan (het plan/plannen) di Provinsi Aceh dalam kacamata desentralisasi. Melalui metode penelitian yuridis normatif, terdapat beberapa poin yang dapat disimpulkan, Pertama, dalam sistem desentralisasi di Indonesia mengenalkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, dimana pendekatan dalam menyusun perencanaan tidak memungkinkan adanya bentuk “diskoneksi” melalui jalur “pengkhususan.” Kedua, Desentralisasi membuka daerah untuk menetapkan “nilai” khusus sebagaimana Aceh menerapkan syariat Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Aceh sepanjang sejarah mereka. Ketiga, berdasarkan pada kondisi tersebut, maka Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2012-2032 mengalami “diskoneksi” dan butuh upaya reharmonisasi sebagaimana tercantum dalam Qanun Aceh tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2025-2045. Kata Kunci: Aceh; Desentralisasi; Perencanaan; Plannen/Het-Plan. The Legal Politics of Decentralization in Aceh is inseparable from the historical view of the relationship between the central and regional governments, as well as the political dynamics aimed at reaching a middle ground of democratic consolidation, which ultimately centers around unresolved political sensitivities. This paper serves as a note on the consequences of the characteristics of planning (het plan/plannen) in Aceh Province from the perspective of decentralization. Using a normative juridical research method, several conclusions can be drawn.First, Indonesia’s decentralization system introduces the National Development Planning System (SPPN) as regulated in Law Number 25 of 2004, where the planning approach does not allow for a “disconnection” through “specialization.”Second, decentralization allows regions to adopt specific “values,” as in the case of Aceh, which implements Islamic law as a living legal system within its society throughout its history.Third, based on these conditions, the Long-Term Development Plan (RPJP) of the province, as regulated in Qanun Aceh Number 9 of 2012 concerning the 2012–2032 Aceh Long-Term Development Plan, experiences a “disconnection” and requires reharmonization efforts as reflected in the Qanun Aceh on the Aceh Long-Term Development Plan for 2025–2045. Keywords: Aceh; Decentralization; Planning; Plannen/Het-Plan.