This study aims to analyze the forms of identity politics in the 2024 elections and the extent to which these practices challenge the consolidation of democracy in Indonesia. The research is motivated by concerns over the widespread use of SARA issues, religious symbols, and digital narratives spread by buzzers and influencers, which have triggered social polarization, disinformation, and political character assassination. The study employs a normative legal method with statutory, conceptual, and case approaches, using a literature review of regulations, doctrines, and academic works. The findings reveal that identity politics in the 2024 elections manifested in various forms, including religion, gender, age, lineage, and digital politics, which negatively affected social integration and the quality of democracy. However, identity politics may also play a positive role as a means of empowering marginalized groups in promoting equality and human rights. The novelty of this research lies in its critical analysis of digital identity politics, which has become increasingly massive, thus offering a new perspective on the challenges of democracy consolidation in the digital era. The study recommends strengthening political education, enforcing campaign ethics, regulating digital media, and fostering cross-identity dialogue to promote an inclusive and civilized democracy.   Penelitian ini bertujuan menganalisis bentuk-bentuk politik identitas dalam Pemilu 2024 dan sejauh mana praktik tersebut menjadi tantangan bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Latar belakang penelitian didasari oleh kekhawatiran atas maraknya penggunaan isu SARA, simbol keagamaan, serta narasi digital melalui buzzer dan influencer yang memicu polarisasi sosial, disinformasi, hingga pembunuhan karakter politik. Metode yang digunakan adalah metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus, melalui studi kepustakaan atas regulasi, doktrin, serta literatur akademik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa politik identitas dalam Pemilu 2024 hadir dalam beragam bentuk, mulai dari isu agama, gender, usia, garis keturunan, hingga politik digital, yang berdampak negatif terhadap integrasi sosial dan kualitas demokrasi. Namun, politik identitas juga dapat berfungsi positif sebagai sarana perjuangan kelompok marginal dalam memperjuangkan kesetaraan dan hak asasi manusia. Kebaruan penelitian ini terletak pada analisis kritis terhadap politik identitas di ruang digital yang semakin masif, sehingga memberikan perspektif baru mengenai tantangan konsolidasi demokrasi di era digital. Rekomendasi penelitian menekankan pentingnya pendidikan politik, penegakan etika kampanye, penguatan regulasi media digital, serta dialog lintas identitas guna mendorong demokrasi yang inklusif dan berkeadaban.