Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERUBAHAN UUD 1945 BENTUK KEWAJIBAN DAN TUGAS ANGGOTA MPR Emy Hajar Abra; Parningotan Malau
PETITA Vol 4, No 1 (2022): PETITA Vol. 4 No. 1 Juni 2022
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/pta.v4i1.4349

Abstract

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan, pada perubahan yang pernah terjadi tersebut dinilai lebih bernuansa kebutuhan politik semata. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum tertinggi yang seharusnya mampu menjadi suara rakyat justru didominasi tarik menarik kepentingann partai politik. Perubahan-perubahan Pasal pun hanyalah pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangan kepala pemerintahan dan kelembagaan Indonesia. Oleh karenanya Konstitusi Republik Indonesia secara substansi dan prosedural belum mampu menyentuh kebutuhan dan partisipasi masyarakat. Jika dilihat pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebenarnya kebutuhan partisipasi masyarkat menjadi bagian dari tugas MPR, namun hingga sekarang tugas atas amanah undang-undang tersebut sama sekali belum mampu diimplementasikan.
EFEKTIFITAS SISTEM MULTIPARTAI DI INDONESIA DALAM BINGKAI KONSTITUSI Emy Hajar Abra
Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau Vol 4 No 2 (2022): Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau
Publisher : Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.562 KB) | DOI: 10.55108/jbk.v4i2.215

Abstract

Abstrak Multipartai tidak bisa dilepaskan dari kehidupang bernegara Indonesia. Bahkan multipartai telah ada sebelum Indonesia merdeka. Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia sistem multipartai adalah satu-satunya sistem yang berlaku di Indonesia. Namun yang menjadi problematik adalah sistem multipartai tidak berbanding lurus dengan banyaknya calon presiden yang ada, khususnya pasca pemilihan umum tahun 1999, sehingga menjadi perbincangan menarik tentang efektifitas multipartai itu sendiri. Karena sebagaimana yang difahami salah satu tujuan partai politik adalah untuk berperan aktif dalam pemerintahan dan lebih dari itu untuk dapat memimpin pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu tulisan ini berfokus pada bagaimana efektifitas multipartai dalam bingkai konstitusi di Indonesia. Jenis penelitian pada tulisan ini adalah dengan menggunakan hukum doktrinal/ normatif/ positivisme. Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik kepustakaan, yakni mengkaji dan menela’ah bahan-bahan pustaka dan dokumen yang ada, yang sesuai dengan bidang penulisan ini. System multipartai harus mampu berdayaguna dalam system politik di Indonesia hal ini sebagaimana Amanah konstitusi.
PEMILU SERENTAK DI INDONESIA (ANTARA ORIGINAL INTENT DAN IMPLEMENTASI) Emy Hajar Abra
Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau Vol 1 No 1 (2019): Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019
Publisher : Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.838 KB) | DOI: 10.55108/jbk.v1i1.223

Abstract

Since the decision of the Constitutional Court (MK) No. 14 / PUU-XI / 2013 was read, the electoral system underwent a historicdemocratic construction, namely the general election held simultaneously to elect the President and Vice President, DPR, DPD,Provincial, Regency / City DPRD in 2019 and so on. The decision was based on the interpretation of the original intent of Article 22E of the 1945 Constitution, in fact was not able to run as well as expected. Various legal, social and political problems are becoming increasingly out of control. In principle, the problems before, during and after the election that occurred have been understood since the Constitutional Court decided on the constitutionality of the presidential threshold. The decision seemed to "force" the people to elect the President and Vice President from the threshold quantity. So that the people seemed forced by the system to compete into two camps of twenty political parties that seemed to have no meaning.
IUS CONTITUENDUM PENEGAKAN HUKUM POLITIK UANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA Emy Hajar Abra
Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau Vol 2 No 1 (2020): Menakar Problematika Pilkada 2020
Publisher : Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (278.79 KB) | DOI: 10.55108/jbk.v2i1.229

Abstract

Politik uang dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah terus menjadi problematika menarik untuk dibahas namun memiliki daya penyelesaian yang dapat dikatakan lemah. Sebagaimana diketahui bahwa hukum akan berjalan baik ketika tiga faktor utama berjalan dengan baik pula, yakni substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum. Jika melihatberdasarkan substansi hukum, regulasi politik uang dalam undang-undang pilkada telah mengakomodir kebutuhan hukum tersebut. Walau demikian ada hal penting yang patut diperhatikan bersama yakni terkait unsur TSM yang harus terpenuhi hingga dapat dikatakan sebagai pelanggaran politik uang. Selain itu, budaya hukum sebagai salah satu unsur sistem hukum menjadi perhatian khusus dalam penegakkan politik uang pada tulisan ini. Sebaik apapun regulasi dan sebanyak apapun lembaga penegak hukum pemilihan kepala daerah, jika tidak disertai dengan kultur hukum yang baik dari berbagai pihak, maka penegakkan hukum tersebut hanya menjadi sia-sia.
KETIDAKADILAN PRESIDENTIAL TRESHOLD DALAM KONSTITUSI INDONESIA Emy Hajar Abra
Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau Vol 3 No 2 (2021): Electoral Justice Pada Pemilu 2024
Publisher : Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.123 KB) | DOI: 10.55108/jbk.v3i2.259

Abstract

Presidential Thresholddimaknai sebagai ambang batas perolehan suara calon presiden dan atau wakil presiden yang harus diperoleh oleh partai politik dalam pemilu pada sistem politik Indonesia saat ini adalah salah satu bentuk pelemahan demokrasi dan penyimpangan konstitusi.Sejak Indonesia berdiri konsep ini tidak pernah dihidupkan bahkan di dalam UUD 1945 sendiri tidak pernah ada.Dalam sejarahnya partai politik hidup sebagai multipartai dengan membebaskan rakyat mencalonkan dan memilih presidennya, entah itu dalam pemilu langsung ataupun tidak langsung.Kondisi presidential threshold menjadikan nilainilai hak dipilih dan memilih dibatasi, sekaligus hanya memberikan ruang pada pemilik modal dan pemegang kekusaan.Nilai-nilai kedaulatan sebagaimana Pancasila dan Konstitusi menjadi konsep yang semakin tidaktersentuh.Mahkamah konstitusi sendiri dalam putusannya beberapa kali terkait presidential threshold seakan tidak mampulagi mendengarkan kebutuhan rakyat yang sebenarnya adalah bagian dari nilai-nilai konstitusi itu sendiri. Ditambah lagiPresidential threshold sebesar 20 persen suara DPR atau persen suara sah nasional sama saja dengan tidak memberikan ruang pada partai-partai kecil bahkan seakan memaksa partai kecil untuk memilih bergabung atau tidak menjadi peserta pencalonanpresiden.
Problematika Norma Landasan Partai Politik Indonesia Emy Hajar Abra
Jurnal Selat Vol. 8 No. 2 (2021): Jurnal Selat
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1056.833 KB) | DOI: 10.31629/selat.v8i2.3649

Abstract

The interpretation of political parties in the political party law can be used as the heart of the political party law. Unfortunately, the problem of norms related to the basis of political parties is not properly emphasized, on the contrary, it becomes multiple interpretations on the basis of political parties which should be the only source of law in determining the basis of political parties in Indonesia. This clearly causes the weak implementation of the law on political parties. This can certainly be seen how each political party can provide a multi-basic basis on the basis of norms as stated in the political party law. In fact, if examined more deeply, the law on political parties does not give room for multiple interpretations when referring to the definition of political parties.
KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI LEMBAGA INDEPENDEN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA Nasution, Haikal Luthfan; Abra, Emy Hajar
PETITA Vol 5, No 2 (2023): PETITA VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2023
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/pta.v5i2.6143

Abstract

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara Independen yang bertugas untuk menindak pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia, dalam menjalankan tugasnya Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi ini kerap sekali mendapatkan Problematika seperti pelemahan status independensi-nya, sehingga itu membuat tugas dari lemabaga ini menjadi terhambat, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa, dan penanganannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara konvensional melainkan harus dilaksanakan dengan cara-cara yang maksmal, kenyataanya upaya pelemahan pun sering menghampiri lemabaga ini. Adapun rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini yaitu Bagaimana Problematika Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia dan Bagaimana Kedudukan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Independen dalam Ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, analisis data yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (Library Based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa Problematika dari komisi pemberantasan korupsi terdapat pada undang-undang KPK yang baru, yang mana undang-undang tersebut dinyatakan masih belum matang dalam penyusunannya, kemudian pengajuan uji formil dan materil pun dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi untuk mempertahankan Independensi KPK. dan keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa KPK masih tetap Independen walau adanya dewan pengawas, berada di ranah eksekutif.
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) BERDASARKAN TEORI DEMOKRASI Seftiani, Refina; Abra, Emy Hajar; Azrianti, Seftia
PETITA Vol 5, No 1 (2023): PETITA VOL. 5 NO. 1 JUNI 2023
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/pta.v5i1.5530

Abstract

Gerakan reformasi menjadi salah satu wujud perkembangan Indonesia sebagai suatu bangsa menjadi pertanda penyesuaian struktur berbangsa dan bernegara dengan perubahan zaman dan tuntutan yang berkembang. Masa transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi dibidang ketatanegaraan yang mencakup perubahan konstitusi. Pembentukan DPD inilah yang menimbulkan banyaknya problematika yang ada pada ketatanegraan kita sehingga membuat struktur ketatanegaraan kita perlu dilakukannya ius constituendum untuk memperkuat lembaga negara tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang terjadi pada lembaga perwakilan yakni DPD juga untuk mengetahui apa saja yang dapat dilakukan perubahan melalui ius constituendum. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan pendekatan yang berdasarkan perundang-undangan, teori-teori hukum dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini dapat mengetahui seperti apa problematika DPD yang terjadi pasca amandemen dan kewenangan dan fungsi DPD yang harus diperkuat melalui ius constituendum demi bicameral yang setara.
PROBLEMATIKA KEPATUHAN DAN PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM PEMILIHAN UMUM INDONESIA TAHUN 2024 Abra, Emy Hajar; Rahmayani, Nuzul
Al-Adl : Jurnal Hukum Vol 17, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31602/al-adl.v17i1.14131

Abstract

Ada beberapa Peraturan KPU (PKPU) yang sangat problemtik dalam perjalanan demokrasi pemilihan umum Indonesia. Problematika yang akan di kaji tersebut diantaranya adalah syarat presentase 30% Perempuan partai politik dalam pemilihan umum (pemilu), syarat laporan harta kekayaan, dan laporan sumbangan dana kampanye. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana problematika PKKPU dalam pemilihan umum tahun 2024. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal atau normatif dengan sumber data sekunder dari berbagai bahan hukum yang relevan yang kemudian dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif. Beberapa persoalan diatas menyebabkan hilangnya penegakkan hukum dan sangat berpotensi pada bermasalahnya integritas peserta pemilihan umum. Problematika tersebut semakin tidak berkesudahan ketika PKPU terkait presentase perempuan dan syarat mantan narapidana diajukan uji materi ke Mahkamah Agung dan dikabulkan. Namun KPU tetap tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung tersebut. Hal tersebut tidak hanya mencederai penegakkan hukum semata, namun juga menjadi salah satu akar persoalan demokrasi dalam pemilihan umum 2024 di Indonesia. Jika KPU adalah satu-satunya pelaksana konstitusional pesta demokrasi pemilu, namun beragam persoalan ketaatan hukum dan problematika regulasi tidak memiliki penyelesaian persoalan yang baik, maka KPU menjadi preseden buruk perjalanan demokrasi, sekaligus mencederai nilai-nilai konstitusi itu sendiri.
Pasang Surut Demokrasi Dalam Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Pasca Reformasi Abra, Emy Hajar; Hadiyanto, Alwan; Hanafi, Hanafi; Laila, Saviarnis; Ciptono, Ciptono; Arianto, Dian; Herningtyas, Tuti; Sriono, Sriono; Marfuah, Siti; Amin, Saifuddin
JURNAL DIMENSI Vol 14, No 1 (2025): JURNAL DIMENSI (MARET 2025)
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/dms.v14i1.7065

Abstract

Sebuah negara dikatakan berdemokrasi ketika dijalankannya sistem pemilihan umum. Begitupun dengan Indonesia yang sepanjang perjalanan pasca kemerdekaan telah menjalankan sistem pemilihan umum baik legislatif juga eksekutif dengan beragam formula dan perubahannya. Indonesia kemudian mulai berbenah sistem ketatanegaraan dengan didahului pada amandemen konstitusi yakni pada masa refromasi tahun 1998. Dalam perubahan konstitusi konstruksi pemilihan umum khususnya pada pemilihan presiden dan wakil presiden mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari masa jabatan presiden, sistem pemilihan, asal presiden sampai pada proses pemberhentian. Sayangnya, perubahan konstitusi tidak berbanding lurus pada pelaksanaan undang-undang pemilu. Undang-undang pemilihan umum khususnya untuk presiden dan wakil presiden kian hari mengalami pasang surut nilai demokrasi. Lantas bagaimana melihat pasang surut demokrasi dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia. Metode penulisan ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan dengan data kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang kemudian dianalisa secara deksriptif kualitatif. Pasang surut demokrasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia ini kemudian penulis kaji menggunakan tiga kategori sebagai pisau Analisa, dengan hasil dan kesimpulan sebagai berikut. Pertama ambang batas pemilihan umum presiden dan wakil presiden untuk menjadi pintu masuk dalam penyederhanaan partai politik demi penguatan system presidensial menjadi tidak tepat. Kedua; terkait konstruksi parpol Indonesia. Bahwa penyederhanaan partai politik harus memperhatikan alasan-alasan fundamental yang tidak dapat terlepas dari. Ketiga; terkait dengan produk hukum pemilihan umum, maka undang-undang pemilihan umum dari masa ke masa mengalami proses kemunduran demokrasi.