cover
Contact Name
Ilham
Contact Email
Ilham.fishaholic@gmail.com
Phone
+6221-64700928
Journal Mail Official
jra.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
Gedung Balibang KP II, Lantai 2 Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
Location
Kab. jembrana,
Bali
INDONESIA
Jurnal Riset Akuakultur
ISSN : 19076754     EISSN : 25026534     DOI : http://doi.org/10.15578/JRA
Core Subject : Agriculture, Social,
Jurnal Riset Akuakultur as source of information in the form of the results of research and scientific review (review) in the field of various aquaculture disciplines include genetics and reproduction, biotechnology, nutrition and feed, fish health and the environment, and land resources in aquaculture
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 746 Documents
ISOLASI, IDENTIFIKASI, DAN ANALISIS EKSPRESI GEN PENGKODE GROWTH HORMONE PADA IKAN SIDAT (Anguilla bicolor) Hamdan Syakuri; Satrio Haryu Wibowo; Anandita Ekasanti; Petrus Hary Tjahja Soedibya; Sri Marnani; Emyliana Listiowati; Dewi Nugrayani; Purnama Sukardi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 19, No 1 (2024): (Maret 2024)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.19.1.2024.69-83

Abstract

Gen hormon pertumbuhan (growth hormone, GH) perlu dipelajari untuk mendukung domestikasi ikan sidat Anguilla bicolor di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi gen pengkode GH serta menganalisis ekspresinya pada sampel ikan sidat A. bicolor. Primer untuk amplifikasi gen GH ikan sidat A. bicolor didesain berdasarkan sekuen gen GH dari beberapa spesies ikan sidat lain yang tersedia di GenBank. Sampel cDNA hipofisa dan otak ikan sidat digunakan untuk amplifikasi gen GH. Hasil amplifikasi disekuensing dan hasilnya dianalisis menggunakan analisis BLAST, multiple sequences alignment, hormon signature, dan filogenetik. Analisis ekspresi gen GH dilakukan menggunakan teknik realtime PCR dengan metode delta-delta CT pada 14 sampel ikan sidat (23,1 ± 19,6 g; 24,5 ± 4,2 cm). Fragmen DNA sepanjang 486 bp berhasil diamplifikasi dan disekuensing. Sekuen gen GH A. bicolor memiliki similaritas nukleotida sebesar 98,49-99,14% jika dibandingkan dengan gen GH ikan sidat A. anguilla, A. australis, dan A. japonica. Sekuen parsial tersebut secara in silico diketahui mengkode bagian dari protein GH sepanjang 155 asam amino (aa). Sekuen asam amino protein GH A. bicolor sangat mirip dengan sekuen spesies ikan sidat lain dengan hanya tiga perbedaan asam amino dan membentuk satu percabangan pada pohon filogenetik. Tingkat ekspresi gen GH pada sampel ikan sidat memiliki variasi yang tinggi. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk studi selanjutnya khususnya berkaitan dengan peran gen GH dalam pertumbuhan ikan sidat A. bicolor.The growth hormone (GH) gene needs to be studied to support the domestication of the Anguilla bicolor eel in Indonesia. This study aimed to isolate and identify the GH coding gene and analyze its expression in samples of the eel A. bicolor. Primers for amplification of the GH gene of A. bicolor eels were designed based on GH gene sequences from several other eel species available in GenBank. Pituitary and brain cDNA samples of eel were used for GH gene amplification. The amplification results were sequenced and the results were analyzed using BLAST analysis, multiple sequence alignment, hormone signature, and phylogenetic analysis. The GH gene expression analysis was carried out using the real-time PCR technique with the delta-delta CT method on 14 eel samples (23.1 ± 19.6 g; 24.5 ± 4.2 cm). The 486 bp DNA fragment was successfully amplified and sequenced. The GH gene sequence of A. bicolor has a nucleotide similarity of 98.49-99.14% when compared with the GH gene of other eel species A. anguilla, A. australis, and A. japonica. This partial sequence was found in silico to code 155 amino acids (aa) GH protein. The amino acid sequence of the A. bicolor GH protein is very similar to that of other eel species with only three amino acid differences and forms one branch on the phylogenetic tree. The expression level of the GH gene in eel samples had high variations. The results of this study could be a basis for further studies, especially regarding the role of the GH gene in the growth of the eel A. bicolor. 
KHASIAT EKSTRAK DAUN NIPAH (Nypa fruticans WURMB) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK MENCEGAH INFEKSI Aeromonas hydrophila PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Tanbiyaskur Tanbiyaskur; Retno Cahya Mukti; Sefti Heza Dwinanti; Sandra Moethia Oktaviani
Jurnal Riset Akuakultur Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.18.4.2023.207-216

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun nipah sebagai imunostimulan pada ikan nila. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas empat perlakuan berupa suplementasi dosis ekstrak daun nipah yang berbeda dalam pakan yaitu tidak diberi ekstrak daun nipah (P0), serta supplementasi ekstrak daun nipah sebanyak 1 g kg-1 (P1), 1,5 g kg-1 (P2), dan 2 g kg-1 (P3) pakan. Ikan nila yang telah diberi pakan perlakuan masing-masing selama 14 hari, diuji tantang dengan bakteri Aeromonas hydrophila melalui perendaman selama 60 menit dengan kepadatan bakteri 106 cfu mL-1 pada hari ke-15. Parameter diamati antara lain gejala klinis, kadar hematokrit (He) sebelum dan sesudah infeksi, prevalensi, pertumbuhan bobot dan panjang mutlak, dan kelangsungan hidup. Data dari semua parameter dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak daun nipah memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan, nilai hematokrit, prevalensi, kelangsungan hidup, dan gejala klinis ikan nila yang diinfeksi A. hydrophila. Perlakuan penambahan ekstrak daun nipah sebanyak 2 g kg-1 (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya yaitu gejala klinis yang lebih ringan, kadar hematokrit setelah infeksi 41,86-43,47%, kelangsungan hidup setelah infeksi 96,33%, prevalensi 4,16%, pertumbuhan panjang mutlak 1,60 cm, dan pertumbuhan bobot mutlak 4,87 g. Hal ini berhubungan dengan adanya senyawa bioaktif pada daun nipah yang berperan sebagai imunostimulan dan antibakteri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun nipah sebanyak 2 g kg-1 efektif berperan sebagai imunostimulan dan dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produksi budidaya ikan nila.This study aimed to determine the effect of nipa leaves extract as an immunostimulant in tilapia. The experimental design used a completely randomized design (CRD) consisting of four treatments in the form of supplementation with different doses of nipa leaves extract in the feed, namely no nipa leaves extract (P0), and supplementation of nipa leaves extract as much as 1 g kg-1 (P1), 1.5 g kg-1 (P2), and 2 g kg-1 (P3) feed. Tilapia fish that had been given experimental feed for 14 days were challenged with Aeromonas hydrophila bacteria by soaking for 60 minutes with a bacterial density of 106 cfu mL-1 on day 15. Parameters observed included clinical symptoms, hematocrit levels (He) before and after infection, prevalence, absolute weight and length growth, and survival. Data from all parameters were analyzed descriptively. The results of the study showed that the addition of nipa palm leaves extract had an influence on the growth, hematocrit level, prevalence, survival, and clinical symptoms of tilapia infected with A. hydrophila. Treatment with the addition of 2 g kg-1 nipa leaves extract (P3) showed better results than other treatments, namely lighter clinical symptom, hematocrit levels after infection of 41.86-43.47%, survival after infection of 96.33 %, prevalence of 4.16%, absolute length growth of 1.60 cm, and absolute weight growth of 4.87 g. This is related to the presence of bioactive compounds in nipa palm leaves which act as immunostimulants and antibacterials. Therefore, it can be concluded that giving 2 g kg-1 of nipah leaves extract effectively acts as an immunostimulant and can be applied to increase the production of tilapia farming.
PENGARUH PENAMBAHAN Cinnamomum burmanii DALAM PAKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI Aeromonas hydrophila PADA IKAN JAMBAL SIAM (Pangasius hypophthalmus) Juniarty Manurung; Henni Syawal; Morina Riauwaty
Jurnal Riset Akuakultur Vol 19, No 2 (2024): Juni (2024)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.19.2.2024.109-121

Abstract

Motile Aeromonas septicemia (MAS) merupakan penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila dan sering menyerang ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus). Kayu manis merupakan tanaman yang memiliki senyawa aktif, seperti minyak atsiri yang mengandung cinnamaldehyde dan berperan sebagai antibakteri. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektifitas penambahan larutan kayu manis dalam mencegah infeksi A. hydrophila penyebab penyakit MAS pada ikan jambal siam. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL), lima perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut: Kn (kontrol negatif), Kp (kontrol positif), dan (P1; P2; dan P3 penambahan larutan kulit kayu manis dengan dosis 15; 30; dan 45 mL kg-1 pakan). Ikan (10 ± 2 cm) dipelihara dalam akuarium berukuran 40 x 30 x 30 cm3 dengan kepadatan 10 ekor per akuarium. Pada hari ke-32 pemeliharaan, ikan diuji tantang dengan menginfeksikan A. hydrophila sebanyak 0,1 mL per ekor dengan kepadatan 108 CFU mL-1 yang dilakukan secara intramuskular. Ikan dipelihara selama 14 hari hingga hari ke-46. Parameter yang diamati adalah kadar kalsium, magnesium, dan fosfor dalam serum darah, aktivitas lisozim, tingkat kelulushidupan, dan relative percent survival 91,07 ±7,78%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan larutan kayu manis yang terbaik adalah dosis 30 mL kg-1 pakan yang ditandai dengan angka kelulushidupan pascauji tantang (93,33%) dan profil biokimia darah (kadar kalsium 9,33 mg dL-1, magnesium 3,10 mg dL-1, dan fosfor 3,93 mg dL-1) serta aktivitas lisozim (285 unit mL-1) tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan larutan kulit kayu manis pada pakan efektif untuk mencegah penyakit MAS pada ikan jambal siam.Motile Aeromonas septicemia (MAS) is a disease caused by Aeromonas hydrophila and often attacks Siamese catfish (Pangasius hypophthalmus). Cinnamon is a plant that has active compounds, such as essential oil which contains cinnamaldehyde and acts as an antibacterial. The aim of this study was to determine the effectiveness of cinnamon solution addition in preventing A. hydrophila infection which causes MAS disease in Siamese catfish. The study used an experimental trial consisting of five treatments with three replicates arranged in a completely randomized design (CRD), five treatments and three replications. The treatments applied were as follows: Nc (negative control), Pc (positive control), and (P1; P2; and P3 cinnamon bark solution addition at doses of 15; 30; and 45 mL kg-1 feed). Fish (10 ± 2 cm) were reared in aquariums with a dimension of 40 x 30 x 30 cm3 at a density of 10 fish per aquarium. On the 32nd day of rearing, each fish were challenged with A. hydrophila through the injection of 0.1 mL solution containing A. hydrophila at a density of 108 CFU mL-1 through intramuscular route. The fish were reared for 14 days until the 46th day. The parameters observed were levels of calcium, magnesium and phosphorus in blood serum, lysozyme activity, survival rate, and relative percent survival 91.07 ± 7.78%. The results of the study showed that the best addition of cinnamon solution was a dose of 30 mL kg-1 feed, which was characterized by better post-challenge survival rate (93.33%) and blood biochemical profile (calcium level 9.33 mg dL-1, magnesium 3.10 mg dL-1, and phosphorus 3.93 mg dL-1) and the highest lysozyme activity (285 units mL-1). These findings showed that the addition of cinnamon bark solution to feed was effective in preventing MAS disease in Siamese catfish.
RESPONS KEKEBALAN BAWAAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN SUPLEMENTASI DAUN ALPUKAT (Parsea americana Mill) Sri Dwi Hastuti; Anis Zubaidah; Siti Fatimah
Jurnal Riset Akuakultur Vol 19, No 1 (2024): (Maret 2024)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.19.1.2024.15-29

Abstract

Penyakit pada budidaya ikan nila merupakan permasalahan utama yang dapat menurunkan produksi dan menyebabkan kerugian. Selama ini upaya pengobatan dan pencegahan penyakit dilakukan dengan menggunakan antibiotik dan bahan kimia yang tidak ramah lingkungan, sehingga dapat meninggalkan residu pada daging ikan dan mencemari perairan. Oleh karena itu perlu alternatif penanggulangan penyakit dengan pemanfaatan bahan alami seperti daun alpukat yang mengandung senyawa saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, dan fenol yang dapat berfungsi sebagai imunostimulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respons kekebalan nonspesifik ikan nila yang diberi pakan dengan suplementasi daun alpukat. Metode yang digunakan adalah eksperimen dengan rancangan acak lengkap menggunakan empat perlakuan dan tiga ulangan. Dosis perlakuan yang digunakan adalah: perlakuan P1 (suplementasi daun alpukat 0,25%); perlakuan P2 (suplementasi daun alpukat 0,5%); perlakuan P3 (suplementasi daun alpukat 0,75%); dan perlakuan P0 (kontrol tanpa suplementasi daun alpukat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila yang diberi pakan mengandung daun alpukat menunjukkan level hematokrit, leukokrit, dan aktivitas fagositosis yang berbeda nyata (P<0,05) dengan ikan yang diberi pakan kontrol. Hematokrit tertinggi diperoleh pada dosis  0,5%;  sedangkan leukokrit tertinggi diperoleh pada dosis 0,75% dan aktivitas fagositosis terbaik diperoleh pada dosis 0,75% dengan nilai sebesar 33,69, 2,44, dan 72% secara berturut-turut. Suplementasi daun alpukat pada pakan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nila. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa daun alpukat memiliki potensi dalam meningkatkan sistem kekebalan bawaan ikan nila, khususnya pada hematokrit dan leukokrit serta aktivitas fagositosisnya.Disease in tilapia farming is a major problem that can reduce production and inflict irrevocable economic losses. Conventionally, efforts to treat and prevent diseases are carried out using antibiotics and chemicals that are not environmentally friendly, leaving residues on the fish flesh and polluting the aquatic environment. Therefore, alternative disease preventions and cures are increasingly researched, focusing on natural ingredients such as avocado leaves, which contain saponins, tannins, flavonoids, alkaloids, and phenols that can function as immunostimulants. This study aimed to evaluate the nonspecific immune response of tilapia fed with feed supplemented with avocado leaves. The study used experimental units consisting of four treatments and three replications arranged in a completely randomized design. The treatment doses were: treatment P1 (0.25% avocado leaves supplementation); treatment P2 (0.5% avocado leaves supplementation); treatment P3 (0.75% avocado leaves supplementation); and treatment P0 (control without avocado leaves supplementation). The results showed that tilapia fed with feed containing avocado leaves showed levels of hematocrit, leukocrit, and phagocytic activity that were significantly different (P<0.05) from the fish fed with the control feed. The highest hematocrit was obtained at the dose of 0.5%; while the highest leukocrit was obtained at the dose of 0.75% and the best phagocytic activity was obtained at the dose of 0.75% with values of 33.69, 2.44, and 72%, respectively. Supplementation of avocado leaves in feed did not have a significant effect on the growth and survival of tilapia. Based on the results, This study concludes that avocado leaves have the potential to improve the innate immune system of tilapia, especially in hematocrit and leukocrit as well as phagocytic activity.
PERAN MONOSODIUM GLUTAMAT PADA PAKAN TERHADAP KINERJA HATI BENIH IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) Indra Suharman; Desi Rahmadani Siagian; Netti Aryani; Fitrahadi Halil; Yusuf Subiantoro
Jurnal Riset Akuakultur Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.18.4.2023.259-267

Abstract

Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan komoditas budidaya yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Salah satu sistem budidaya yang digunakan adalah tanpa pergantian air selama masa pemeliharaan. Kondisi ini dapat menyebabkan amoniak yang berasal dari sisa pakan dan feses meningkat dalam wadah pemeliharaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan monosodium glutamat (MSG) terhadap kinerja hati benih ikan baung. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari lima perlakuan yaitu P0 sebagai kontrol (0,0 g MSG), P1 (0,5 g MSG), P2 (1,0 g MSG), P3 (1,5 g MSG), dan P4 (2,0 g) dengan tiga ulangan. Dua puluh ekor ikan baung didistribusikan secara acak ke setiap akuarium dan dipelihara dalam kondisi tanpa ganti air selama 50 hari. Ikan diberi pakan tiga kali sehari secara ad satiation pada pukul 08:00, 13:00, dan 18:00. Dalam penelitian ini, observasi visual pada warna hati digunakan untuk menunjukkan kondisi hati. Hati ikan berwarna abnormal (berwarna pucat) ditemukan memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi yaitu sebesar 5,2% sedangkan hati ikan berwarna normal (berwarna merah) sebesar 3,76% pada perlakuan P0. Persentase hati berwarna merah pada kontrol (46,67%) lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan MSG (50-76,67%). Selanjutnya nilai hepatosomatic index (HSI) pada P0 (2,51) lebih tinggi dibandingkan P4 sebesar 2,15. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan MSG pada pakan dapat memperbaiki kinerja hati benih ikan baung karena menghasilkan perubahan warna jaringan hati, kadar lemak hati lebih rendah, dan nilai HSI yang lebih rendah.Asian redtail catfish (Hemibagrus nemurus) is a cultivated commodity that is widely cultivated in Indonesia. One of the cultivation systems used is without water replacement during the rearing period. This condition can cause ammonia from leftover feed and feces to increase in the rearing container. This study aimed to evaluate the effects of adding monosodium glutamate (MSG) on the liver performance of Asian redtail catfish fry. This study used a completely randomized design (CRD) consisting of five treatments, namely P0 as control (0.0 g MSG), P1 (0.5 g MSG), P2 (1.0 g MSG), P3 (1.5 g MSG), and P4 (2.0 g) with three replications. Twenty Asian redtail catfish were randomly distributed into each container and reared without changing the water for 50 days. Fish were fed three times a day ad satiation at 08:00, 13:00, and 18:00. In this study, visual observation of liver color was used to indicate liver condition. Abnormal colored fish liver (pale colored) was found to have a higher fat content, (5.2%), while normal colored fish liver (red colored) was 3.76% in the P0 treatment. The percentage of red liver in the control (46.67%) was lower than in the MSG treatment groups (50-76.67%). Furthermore, the hepatosomatic index (HSI) value at P0 (2.51) was higher compared to P4 at a value of 2.15. In conclusion, this experiment shoed that the addition of MSG to feed can improve the liver performance of Asian redtail catfish fry because it produces changes in liver tissue color, lower liver fat content, and lower HSI values. 
KELIMPAHAN DAN JENIS BAKTERI Vibrio PADA AIR DAN SEDIMEN TAMBAK UDANG VANAME SISTEM MONOKULTUR DAN POLIKULTUR DENGAN Gracilaria sp. DI KABUPATEN BREBES Restiana Wisnu Ariyati; Lestari Lakhsmi Widowati; Amelia Rahmawati; Sarjito Sarjito; Sri Rejeki
Jurnal Riset Akuakultur Vol 18, No 3 (2023): (September, 2023)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.18.3.2023.181-195

Abstract

Infeksi bakteri Vibrio merupakan salah satu masalah yang banyak dihadapi pada budidaya udang vaname. Serangan vibriosis disebabkan oleh tingginya limbah organik di perairan. Rumput laut jenis Gracilaria sp. memiliki senyawa aktif dan kemampuan memperbaiki kualitas air sehingga dapat mereduksi kelimpahan bakteri Vibrio. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelimpahan dan jenis bakteri Vibrio pada budidaya udang vaname secara monokultur dan polikultur dengan Gracilaria sp. Sampel air dan sedimen diambil dari lima tambak monokultur dan lima tambak polikultur di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.  Bakteri Vibrio dihitung kelimpahannya dengan metode total plate count dan diidentifikasi secara morfologi, mikroskopis, dan uji biokimia. Kelimpahan bakteri Vibrio air di tambak polikultur lebih rendah (3,46 × 104  CFU mL-1) dibanding tambak monokultur (2,18 × 105  CFU mL-1). Bakteri V. alginolyticus terdapat pada substrat dan air di tambak monokultur, namun pada tambak polikultur hanya terdapat di air. Hal ini diduga karena Gracilaria sp. memiliki kandungan senyawa bioaktif (alkaloid, flavonoid, steroid, dan fenolik) yang berperan sebagai antibakteri alami. Lebih lanjut, kandungan nitrat dan fosfat di tambak polikultur (0,3-0,5 ppm dan 1,3-1,4 ppm) lebih rendah dibanding tambak monokultur (2,2-2,4 ppm dan  2,5-2,1 ppm). Kondisi ini menyebabkan Bakteri Vibrio fluvialis dan Vibrio vulnificus terdapat pada tambak monokultur yang memiliki nitrat dan fosfat yang lebih tinggi dari tambak polikultur. Hal ini menunjukkan bahwa Gracilaria sp. memiliki kemampuan dalam mereduksi nutrien melalui thallusnya, sehingga menciptakan lingkungan perairan yang lebih baik untuk mereduksi kelimpahan bakteri Vibrio. Vibrio bacterial infection is one of the problems often faced in Pacific white leg shrimp cultivation. Vibriosis attacks are caused by high levels of organic waste in waters. Gracilaria sp. has active compounds and the ability to improve water quality so that it can reduce the abundance of Vibrio bacteria. The aim of this study was to determine the abundance and types of Vibrio bacteria in cultivation of Pacific white leg shrimp in monoculture and polyculture with Gracilaria sp. Water and sediment samples were taken from five monoculture ponds and five polyculture ponds in Brebes, Central Java. The abundance of Vibrio bacteria was calculated using the total plate count method and identified morphologically, microscopically, and biochemically. The abundance of Vibrio bacteria in water of polyculture ponds was lower (3.46 × 104 CFU mL-1) than in monoculture ponds (2.18 × 105 CFU mL-1). Vibrio alginolyticus is found in the substrate and water of monoculture ponds, but in polyculture ponds it was only found in water. This was thought to be because Gracilaria sp. contains bioactive compounds (alkaloids, flavonoids, steroids, and phenolics) which act as natural antibacterials. Furthermore, the nitrate and phosphate content in polyculture ponds (0.3-0.5 ppm and 1.3-1.4 ppm) was lower than in monoculture ponds (2.2-2.4 ppm and 2.5-2.1 ppm). This condition caused Vibrio fluvialis and Vibrio vulnificus found in monoculture ponds which had higher nitrate and phosphate than polyculture ponds. This showed that Gracilaria sp. has the ability to reduce nutrients through its thallus, thus creating a better aquatic environment to reduce the abundance of Vibrio bacteria. 
FILOGENETIK IKAN SUMATRA (Puntius tetrazona) ALAM DAN BUDIDAYA BERDASARKAN GEN COI Mochamad Syaifudin; Elydia Rossanty
Jurnal Riset Akuakultur Vol 18, No 2 (2023): (Juni, 2023)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.18.2.2023.105-116

Abstract

Ikan sumatra (Puntius tetrazona) memiliki beberapa varietas, meliputi  tiger barb, hijau, albino, dan balon. Namun, belum diketahui karaker genetiknya menggunakan DNA barcoding terhadap spesies asal perairan di Sumatra Selatan. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase kemiripan sekuen gen cytochrome oxidase c subunit I (COI) DNA mitokondria, jarak genetik dan filogenetik ikan sumatra alam serta budidaya. Penelitian barcoding DNA pada ikan sumatra dilakukan dengan beberapa tahap terdiri atas isolasi DNA, perbanyakan DNA berdasarkan polymerase chain reaction (PCR), elektroforesis, dan sekuensing gen COI pada mtDNA. Ikan sumatra dari alam berasal dari Sungai Lematang (n=2), Sungai Musi (n=2), dan dari budidaya komersial (n=7) dikoleksi di wilayah Palembang. Produk gen COI mtDNA berhasil diperoleh menggunakan metode PCR dengan suhu penempelan primer 51℃ selama 30 detik dalam 35 siklus. Sekuensing gen COI menghasilkan panjang nukleotida 604 bp. BLAST-N menunjukkan ikan sumatra dari alam (Sungai Lematang dan Sungai Musi) memiliki persentase kemiripan lebih kecil (94,56-95,16%) dibandingkan dari budidaya (99,55-100%) terhadap P. tetrazona yang diperoleh dari pusat data Genbank. Konstruksi filogenetik terbentuk dua subcluster yang terpisah antara ikan sumatra alam dan budidaya dengan jarak genetik 0,046 ± 0,00, menunjukkan perbedaan genetik antara kedua populasi.Sumatra barb (Puntius tetrazona) had several strains, including tiger barb, green tiger barb, albino tiger barb, and balloon tiger barb. However, its genetic characteristics are not yet known using DNA barcoding in species from waters in South Sumatra. This study aimed to analyse similarity percentage, genetic distance, and phylogenetic construction of wild and cultured sumatra barb based on the sequence of cytochrome c oxidase subunit I (COI) gene on the mitochondrial DNA. The methods conducted in barcoding DNA were performed with several steps consisting of DNA isolations, DNA amplification based on polymerase chain reaction (PCR), electrophoresis, and sequencing of COI of mtDNA. The wild sumatra barb were obtained from Lematang River (n=2), Musi River (n=2), and those from commercial fish farming (n=7) were collected in Palembang. The mtDNA COI gene were acquired from PCR with an annealing temperature of 51℃ for 30 seconds in 35 cycles. The COI gene of sumatra barb had a nucleotide length of 604 bp. BLAST-N indicated that the wild sumatra barb (Lematang and Musi Rivers) had a lower similarity (94.56-95.16%) than the cultured samples (99.55-100%) to P. tetrazona obtained from Genbank database. The phylogenetic construction formed two separated subclusters between the wild and cultured sumatra barb with a genetic distance of 0.046 ± 0.001 indicated a genetic difference between two populations.
MINIREVIEW ON SUSTAINABLE ANTIVIRULENCE STRATEGY FOR AQUACULTURE Pande Gde Sasmita Julyantoro; Peter Bossier; Tom Defoirdt
Jurnal Riset Akuakultur Vol 19, No 2 (2024): Juni (2024)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.19.2.2024.157-176

Abstract

The increasing occurrence of antibiotic-resistant bacteria is one of the major challenges currently faced by the aquaculture sector. Ineffective applications of antibiotics to treat bacterial diseases, leading to the need for alternative strategies to address the problem. The antivirulence approach is a highly promising strategy that aims to stop pathogenic bacteria from causing harm to the host by disrupting their virulence mechanisms. This approach involves understanding the mechanisms of bacterial pathogenicity that can be developed into new therapeutic methods. There have been numerous advancements in combating bacterial infections, such as disrupting host-pathogen communication and inhibiting quorum sensing (QS). Antivirulence therapy offers a significant advantage as it specifically targets bacterial virulence without imposing excessive pressure on bacterial growth, reducing the risk of resistance development. This review outlines the limitations of antibiotic use and presents current insights into bacterial pathogenicity mechanisms and antivirulence strategies in aquaculture. It particularly highlights the impact of host-pathogen signaling via catecholamines, stress hormones, and QS mechanisms in certain aquaculture-pathogenic bacteria. The influence of host stress hormones on pathogen growth and virulence is noteworthy. Quorum sensing (QS) is known to regulate the expression of certain virulence genes in response to bacterial density by releasing and detecting a small signal molecule called autoinducers. This review further explains various strategies to interfere with QS mechanisms, including inhibiting signal molecule biosynthesis, using QS antagonists, chemical inactivation, or biodegradation of QS signals. These promising strategies have been considered as the first step and proof of concept of antivirulence strategies to prevent disease outbreaks in aquaculture.Meningkatnya jumlah bakteri yang resisten terhadap antibiotik merupakan salah satu tantangan besar yang saat ini dihadapi oleh sektor akuakultur. Penerapan antibiotik yang tidak efektif untuk mengobati penyakit bakterial, menyebabkan perlunya strategi alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Pendekatan antivirulensi adalah strategi yang sangat menjanjikan yang bertujuan untuk menghentikan bakteri patogen dalam menyebabkan kerusakan pada inang dengan mengganggu mekanisme virulensinya. Pendekatan ini melibatkan pemahaman mekanisme patogenisitas bakteri yang dapat dikembangkan menjadi metode terapi baru. Terdapat banyak perkembangan dalam melawan infeksi bakteri, seperti mengganggu komunikasi inang-patogen dan menghambat quorum sensing (QS). Terapi antivirulensi menawarkan keuntungan yang signifikan karena secara spesifik menargetkan virulensi bakteri tanpa memberikan tekanan berlebihan pada pertumbuhan bakteri, sehingga mengurangi risiko berkembangnya resistensi. Reviu ini menguraikan keterbatasan penggunaan antibiotik dan menyajikan wawasan terkini mengenai mekanisme patogenisitas bakteri dan strategi antivirulensi dalam budidaya perikanan. Reviu ini terutama menyoroti dampak sinyal patogen inang melalui katekolamin, hormon stres, dan mekanisme QS pada bakteri patogen tertentu dalam akuakultur. Pengaruh hormon stres inang terhadap pertumbuhan dan virulensi patogen patut diperhatikan. Quorum sensing (QS) diketahui mengatur ekspresi gen virulensi tertentu sebagai respons terhadap kepadatan bakteri dengan melepaskan dan mendeteksi molekul sinyal kecil yang disebut autoinduser. Reviu ini lebih lanjut menjelaskan berbagai strategi untuk mengganggu mekanisme QS, termasuk menghambat biosintesis molekul sinyal, menggunakan antagonis QS, inaktivasi kimia, atau biodegradasi sinyal QS. Strategi yang menjanjikan ini telah dianggap sebagai langkah pertama dan bukti dari konsep strategi antivirulensi untuk mencegah wabah penyakit pada budidaya perikanan.
APLIKASI MADU HUTAN TERHADAP MASKULINISASI, PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP DARI LARVA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Nursanti Abdullah; M Irfan; Yuliana Yuliana; Riyadi Subur; Waode Munaeni
Jurnal Riset Akuakultur Vol 18, No 1 (2023): (Maret 2023)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.18.1.2023.37-47

Abstract

Ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai kemampuan tinggi dalam bereproduksi, sehingga sulit untuk mencegah inbreeding yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan. Salah satu alternatifnya adalah dengan maskulinisasi atau budidaya ikan monoseks dengan satu jenis kelamin saja. Madu memiliki kandungan chrysin dan kalsium yang berperan dalam maskulinisasi. Tujuan dari riset ini idalah mengevaluasi penggunaan madu hutan dari Desa Pohea melalui perendaman dengan tiga level dosis yang berbeda terhadap persentase jantan, pertumbuhan mutlak serta kelangsungan hidup dari larva ikan nila. Ikan uji pada penelitian ini merupakan larva dari ikan nila umur 7 hari, dengan panjang 4,01±0,03 mm. Metode pemberian madu melalui perendaman selama 24 jam. Perlakuan terdiri dari tiga dosis madu yang berbeda yaitu dosis 1% (A), 1,5% (B), dan 2% (C), sedangkan kontrol tanpa perendaman madu (D). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberian madu hutan secara signifikan (P<0,05) memberikan persentase jantan yang lebih tinngi dibandingkan dengan kontrol. Pertumbuhan mutlak pada larva yang diberikan dosis madu 2% (C) signifikan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa pemberian madu atau kontrol (D). Kelangsungan hidup larva menunjukkan bahwa pemberian madu mampu memberikan kelangsungan hidup yang signifikan lebih tinggi atau berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa pemberian madu  atau kontrol (D). Dosis terbaik yang mampu meningkatkan persentase jantan, pertumbuhan mutlak, dan kelangsungan hidup adalah perlakuan dengan dosis 2% (C).Tilapia (Oreochromis niloticus) has a high reproductive ability leading to difficulty in preventing inbreeding which causes slow growth. Suppressing the effects of this trait can be done through masculinization or "monosex fish farming”. Honey contains chrysin and calcium, which play a role in masculinization. This study set out to assess the effects of forest honey, administered in varying doses via immersion method, on the survival rate, growth rate, and percentage of male tilapia larvae. The fish used in this study were tilapia larvae at 7 days old, with an average length of 4.01±0.02 mm. The method of giving honey was through immersion for 24 h. The treatment consisted of three different doses, namely 1% (A), 1,5% (B), and 2% (C), while the control was without honey (D). The findings of this study revealed that providing forest honey significantly (P<0,05) increased the percentage of males compared to the control. The absolute growth of larvae given a dose of 2% honey (C) was significantly different (P<0,05) from the control (D). The survival rate of larvae revealed that honey treatment provided significant (P<0,05) benefits over the control (D). The best dose that was able to increase the percentage of males, absolute growth, and survival rate was the treatment with a dose of 2% (C). 
PENGARUH PENAMBAHAN BINDER TEPUNG RUMPUT LAUT (Eucheuma spinosum) DENGAN PERSENTASE BERBEDA TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI PAKAN UDANG Alfiatus Salma; Apri Arisandi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023)
Publisher : Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15578/jra.18.4.2023.217-226

Abstract

Binder carboxy methyl cellulose (CMC) biasa digunakan dalam formulasi pakan udang, tetapi mempunyai harga mahal dan tidak memberi dampak terhadap penambahan nutrisi pakan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bahan binder pengganti CMC yang lebih murah dan memberi dampak penambahan nutrisi dalam pakan udang. Dosis perlakuan binder tepung rumput laut dalam pakan uji sebesar 5% (P1), 10% (P2), 15% (P3), dan 20% (P4). Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan tiga ulangan, antara lain (P0) binder CMC sebagai kontrol dan (P1-P4) binder tepung rumput laut. Pakan perlakuan diuji kadar air, protein, dan lemaknya dengan metode analisis proksimat. Hasil nilai kadar air pada P0 (3,3%), P1 (3,8%), P2 (4,2%), P3(6%), dan P4 (6,3%), kadar protein pada P0 (40,40%), P1 (28,43%), P2 (40,40%), P3 (32,90%), dan P4 (28,40%), kadar lemak pada P0 (9,97%), P1 (9,98%) dan P1-P4 (9,97%). Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan penambahan binder CMC dibandingkan dengan perlakuan penambahan binder tepung rumput laut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap penambahan nutrisi pakan udang. Hasil tersebut membuktikan bahwa tepung rumput laut dapat menggantikan CMC sebagai binder dalam formulasi pakan udang.The binder, carboxy methyl cellulose (CMC), is commonly used in shrimp feed formulations, but it is expensive and has no impact on adding feed nutrition. This experiment aimed to find a binder substitute for CMC that is cheaper and has the effect of adding nutrients to shrimp feed. The doses of binder from seaweed meal treatment in the test feed were 5% (P1), 10% (P2), 15% (P3), and 20% (P4). This study used a completely randomized design with five treatments and three replications, including (P0) CMC binder as a control and (P1-P4) seaweed meal binder. The test feed were tested for water, protein and fat content using the proximate analysis method. Results of water content in P0 (3.3%), P1 (3.8%), P2 (4.2%), P3 (6%), and P4 (6.3%), protein content in P0 (40 .40%), P1 (28.43%), P2 (40.40%), P3 (32.90%), and P4 (28.40%), lipid content in P0 (9.97%), P1 (9.98%) and P1-P4 (9.97%). This experiment showed that the treatment with the addition of CMC binder compared to the treatment with the addition of seaweed meal binder did not have a significant effect on the addition of nutrients to shrimp feed. These results proved that seaweed meal can replace CMC as a binder in shrimp feed formulations.

Filter by Year

2006 2025


Filter By Issues
All Issue Vol 20, No 2 (2025): Juni (2025) Vol 20, No 1 (2025): Maret (2025) Vol 19, No 2 (2024): Juni (2024) Vol 19, No 1 (2024): (Maret 2024) Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023) Vol 18, No 3 (2023): (September, 2023) Vol 18, No 2 (2023): (Juni, 2023) Vol 18, No 1 (2023): (Maret 2023) Vol 17, No 4 (2022): (Desember 2022) Vol 17, No 3 (2022): (September) 2022 Vol 17, No 2 (2022): (Juni) 2022 Vol 17, No 1 (2022): (Maret, 2022) Vol 16, No 4 (2021): (Desember, 2021) Vol 16, No 3 (2021): (September, 2021) Vol 16, No 2 (2021): (Juni, 2021) Vol 16, No 1 (2021): (Maret, 2021) Vol 15, No 4 (2020): (Desember, 2020) Vol 15, No 3 (2020): (September, 2020) Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020) Vol 15, No 1 (2020): (Maret, 2020) Vol 14, No 4 (2019): (Desember, 2019) Vol 14, No 3 (2019): (September, 2019) Vol 14, No 2 (2019): (Juni, 2019) Vol 14, No 1 (2019): (Maret, 2019) Vol 13, No 4 (2018): (Desember 2018) Vol 13, No 3 (2018): (September 2018) Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018) Vol 13, No 1 (2018): (Maret 2018) Vol 12, No 3 (2017): (September 2017) Vol 12, No 4 (2017): (Desember 2017) Vol 12, No 2 (2017): (Juni 2017) Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017) Vol 11, No 3 (2016): (September 2016) Vol 11, No 4 (2016): (Desember 2016) Vol 11, No 2 (2016): (Juni 2016) Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016) Vol 8, No 3 (2013): (Desember 2013) Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010) Vol 5, No 2 (2010): (Agustus 2010) Vol 5, No 1 (2010): (April 2010) Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007) Vol 2, No 1 (2007): (April 2007) Vol 1, No 1 (2006): (April 2006) Vol 10, No 4 (2015): (Desember 2015) Vol 10, No 3 (2015): (September 2015) Vol 10, No 2 (2015): (Juni 2015) Vol 10, No 1 (2015): (Maret 2015) Vol 9, No 3 (2014): (Desember 2014) Vol 9, No 2 (2014): (Agustus 2014) Vol 9, No 1 (2014): (April 2014) Vol 8, No 2 (2013): (Agustus 2013) Vol 8, No 1 (2013): (April 2013) Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012) Vol 7, No 2 (2012): (Agustus 2012) Vol 7, No 1 (2012): (April 2012) Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011) Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011) Vol 6, No 1 (2011): (April 2011) Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009) Vol 4, No 2 (2009): (Agustus 2009) Vol 4, No 1 (2009): (April 2009) Vol 3, No 3 (2008): (Desember 2008) Vol 3, No 2 (2008): (Agustus 2008) Vol 3, No 1 (2008): (April 2008) Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007) Vol 1, No 3 (2006): (Desember 2006) Vol 1, No 2 (2006): (Agustus 2006) More Issue