cover
Contact Name
Khamami Zada
Contact Email
jurnal.ahkam@uinjkt.ac.id
Phone
+6221-74711537
Journal Mail Official
jurnal.ahkam@uinjkt.ac.id
Editorial Address
Faculty of Sharia & Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda 95 Ciputat Jakarta 15412 Telp. (62-21) 74711537, Faks. (62-21) 7491821 Website:http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam E-mail: jurnal.ahkam@uinjkt.ac.id
Location
Kota tangerang selatan,
Banten
INDONESIA
Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah
ISSN : 14124734     EISSN : 24078646     DOI : 10.15408
Core Subject : Religion, Social,
Focus and Scope FOCUS This journal focused on Islamic Studies and present developments through the publication of articles and research reports. SCOPE Ahkam specializes on islamic law, and is intended to communicate original research and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines. Fatwa; Islamic Economic Law; Islamic Family Law; Islamic Legal Administration; Islamic Jurisprudence; Islamic Law and Politics; Islamic Legal and Judicial Education; Comparative Islamic Law; Islamic Law and Gender; Islamic Law and Contemporary Issues; Islamic Law and Society; Islamic Criminal Law
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol 24, No 2 (2024)" : 12 Documents clear
Islamic Law and the Blasphemy Debate in Contemporary Indonesia Mufidah, Mufidah; Hartiwiningsih, Hartiwiningsih; Isharyanto, Isharyanto; Wardi, Musa
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.41287

Abstract

Blasphemy is a sensitive and complex issue in Indonesia, the largest Muslim-majority country in the world. This article examines the regulation of blasphemy, which often clashes with Indonesia's social, cultural, and political dynamics. It evaluates the reconstruction of blasphemy laws through the lens of maqāṣid al-‘uqūbāt in Islamic law. The study concludes that reconstructing the blasphemy law is necessary as part of legal reform that aligns with Indonesia's constitutional principles of the rule of law and democracy. This reconstruction should integrate Islamic legal principles based on maqāṣid al-‘uqūbāt in several key areas, including defining the legal subjects of blasphemy, providing clarification as part of the resolution process by considering shubhāt and al-dan ta'wīl, and developing mechanisms for resolving blasphemy cases. The urgency for reform arises from several critical factors: the ambiguous formulation of blasphemy norms, which significantly impacts court decisions; the absence of consistent justice-based law enforcement mechanisms; disparate treatment toward certain groups; and the tendency to generalize blasphemy cases as criminal acts due to a lack of alternative measures. These issues reflect legal uncertainty and the potential misuse of blasphemy laws for political purposes.AbstrakPenistaan agama merupakan isu yang sensitif dan kompleks di Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Artikel ini mengkaji pengaturan penodaan agama yang sering kali berbenturan dengan dinamika sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Artikel ini mengevaluasi rekonstruksi hukum penodaan agama melalui lensa maqāṣid al-'uqūbāt dalam hukum Islam. Penelitian ini menyimpulkan bahwa rekonstruksi undang-undang penodaan agama diperlukan sebagai bagian dari reformasi hukum yang selaras dengan prinsip-prinsip konstitusional Indonesia tentang negara hukum dan demokrasi. Rekonstruksi ini harus mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum Islam berdasarkan maqāṣid al-'uqūbāt di beberapa bidang utama, termasuk mendefinisikan subjek hukum penodaan agama, memberikan klarifikasi sebagai bagian dari proses penyelesaian dengan mempertimbangkan syubhat dan al-ta'wīl, dan mengembangkan mekanisme penyelesaian kasus penodaan agama. Urgensi reformasi muncul dari beberapa faktor kritis: rumusan norma penodaan agama yang ambigu, yang secara signifikan berdampak pada putusan pengadilan; ketiadaan mekanisme penegakan hukum yang berbasis keadilan yang konsisten; perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok-kelompok tertentu; dan kecenderungan untuk menggeneralisasi kasus-kasus penodaan agama sebagai tindakan kriminal karena kurangnya upaya-upaya alternatif. Isu-isu ini mencerminkan ketidakpastian hukum dan potensi penyalahgunaan undang-undang penodaan agama untuk tujuan politik.
Tabot Ritual in Islamic Law: Philosophical Reflections on Sunni and Shiite Harmonization Asmara, Musda; Sugeng, Anggoro; Taufik, Mohammad; Harahap, Purnama Hidayah; Kurniawan, Rahadian
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.36285

Abstract

This study aims to analyze the philosophy of the Tabot ritual, commemorating the death of Ḥasan in the fields of Karbala, rooted in the traditions of Shia and Sunni, from the perspective of Islamic law. The Tabot ritual embodies noble Islamic values intertwined with local wisdom and cultural acculturation in Bengkulu society. This study employs a field research approach, collecting data through in-depth interviews and documentation with religious leaders, traditional leaders, community figures, and residents in Bengkulu. The findings reveal that the nine stages of the Tabot ritual—Mengambik Tanah, Duduk Penja, Menjara, Meradai, Arak Penja, Arak Serban, Gam, Arak Gedang, and Tabot Tebuang—are imbued with profound philosophical meanings in line with Islamic principles. These include the value of acculturation in Mengambik Tanah, self-purification in Duduk Penja, the spirit of Islamic brotherhood in Menjara, and self-reflection in Tabot Tebuang. From an Islamic legal perspective, the Tabot ritual illustrates a harmonious adaptation of ritual practices while adhering to respect and coexistence within Islamic teachings. The ritual’s symbolic modifications, such as removing elements deemed offensive to the Companions of the Prophet Muḥammad SAW, reflect a commitment to maintaining Islamic unity. Although originating from a Shiite tradition, the Tabot ritual has been contextualized and accepted broadly, including by Sunni communities, showcasing its alignment with Islamic jurisprudential values. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis filosofi Tabot sebagai ritual memperingati wafatnya Ḥasan di padang Karbala yang berakar pada tradisi Syiah dan Sunni dari sudut pandang hukum Islam. Ritual Tabot merupakan perwujudan nilai-nilai luhur Islam yang terjalin dengan kearifan lokal dan akulturasi budaya masyarakat Bengkulu. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian lapangan, yaitu pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan dokumentasi terhadap tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan warga di Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sembilan tahapan ritual Tabot—Mengambik Tanah, Duduk Penja, Menjara, Meradai, Arak Penja, Arak Serban, Gam, Arak Gedang, dan Tabot Tebuang—memiliki makna filosofis yang mendalam dan sejalan dengan prinsip Islam. Di antaranya adalah nilai akulturasi budaya dalam Mengambik Tanah, penyucian diri dalam Duduk Penja, semangat persaudaraan Islam dalam Menjara, dan refleksi diri dalam Tabot Tebuang. Dari sudut pandang hukum Islam, ritual Tabot menggambarkan adaptasi praktik ritual yang harmonis dengan tetap berpegang pada rasa hormat dan hidup berdampingan dalam ajaran Islam. Modifikasi simbolik ritual tersebut, seperti menghilangkan unsur-unsur yang dianggap menyinggung para Sahabat Nabi Muhammad SAW, mencerminkan komitmen untuk menjaga persatuan Islam. Meski berasal dari tradisi Syiah, ritual Tabot telah dikontekstualisasikan dan diterima secara luas, termasuk oleh komunitas Sunni, yang menunjukkan keselarasan dengan nilai-nilai yurisprudensi Islam.
Exploring Abhakalan Culture (Early Marriage) in Madura: A Dialogue of Customary Law, Religion, and The State Setiyawan, Deni; Wahyuningsih, Sri Endah; Hafidz, Jawade; Mashdurohatun, Anis; Benseghir, Mourad
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.36070

Abstract

This study explores the culture of Abhakalan in Madura in the context of early marriage, analyzing its intersections with customary law, religion, and the state. While aimed at preserving family honor, this practice often prioritizes the principle of ḍarran (harm), leading to gender inequality and injustices toward women. The research seeks to evaluate the implications of this cultural practice on women's rights and gender equality, using an empirical legal method grounded in conflict theory and social change, combined with Islamic concepts of ‘urf (accepted custom), naf'an (benefit), and ḍarran (harm). Findings indicate that Abhakalan culture denies women agency in marriage decisions, perpetuating stereotypes of female inferiority and limiting their opportunities for empowerment and education. This study highlights the need for cultural reform through gender advocacy, mindset shifts, and family economic empowerment. By fostering dialogue among customary law, religion, and state policies, the research underscores pathways to equitable and sustainable gender equality. AbstrakPenelitian ini mengkaji budaya Abhakalan di Madura dalam konteks pernikahan dini dengan menganalisis keterkaitannya dengan hukum adat, agama, dan negara. Meskipun bertujuan menjaga kehormatan keluarga, praktik ini sering mengedepankan prinsip ḍarran (bahaya) yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan dan ketimpangan gender. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak budaya ini terhadap hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, menggunakan metode hukum empiris yang berlandaskan teori konflik dan perubahan sosial, serta konsep Islam seperti ‘urf (adat yang diterima), naf’an (manfaat), dan ḍarran (kerugian). Temuan menunjukkan bahwa budaya Abhakalan mengabaikan hak perempuan dalam pengambilan keputusan terkait pernikahan, memperkuat stereotip inferioritas perempuan, serta membatasi peluang pendidikan dan pemberdayaan mereka. Penelitian ini menekankan pentingnya reformasi budaya melalui advokasi gender, perubahan pola pikir, dan pemberdayaan ekonomi keluarga, dan dengan mendorong dialog antara hukum adat, agama, dan kebijakan negara, studi ini menawarkan langkah menuju kesetaraan gender yang adil dan berkelanjutan
Ḥajj Health Management in Dutch East Indie under Ordonantie van 1922 Wahyudhi, Johan; Madjid, M. Dien; Subchi, Imam
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.40015

Abstract

This article discusses the handling of the health of pilgrims since the Ordonantie van 1922, which regulates the organization of the ḥajj in the Dutch East Indies. As is known, during this period, there were several epidemics, such as smallpox, cholera, and the Spanish flu. Governments from around the world agreed to prevent the spread of the outbreak by cooperating in the health sector. This study uses historical research methods, which are based on four activities, starting from finding sources, criticizing sources or verifying data, interpreting and writing history. The approach used is the concept of social history to see how the Dutch East Indies government fortified its people from the threat of plague during the pilgrimage (ḥajj) season. Among the findings of this study is that the Dutch East Indies Government paid special attention to the health management of pilgrims from the East Indies. They conducted regular health checks starting from the port of Tanjung Priok to several places before entering Jeddah. These checks were carried out to prevent the spread of viruses such as cholera, smallpox, and Spanish Flu Abstrak: Artikel ini membahas tentang penanganan kesehatan jemaah haji sejak Ordonantie van 1922, yang mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji di Hindia Belanda. Sebagaimana diketahui, pada masa itu terjadi beberapa wabah penyakit seperti cacar, kolera, dan flu Spanyol. Pemerintah dari seluruh dunia sepakat untuk mencegah penyebaran wabah tersebut dengan melakukan kerja sama di bidang kesehatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, yang didasarkan pada empat kegiatan, mulai dari mencari sumber, mengkritik sumber atau memverifikasi data, menafsirkan dan menulis sejarah. Pendekatan yang digunakan adalah konsep sejarah sosial untuk melihat bagaimana pemerintah Hindia Belanda membentengi rakyatnya dari ancaman wabah penyakit pada musim haji. Di antara temuan dari penelitian ini adalah bahwa Pemerintah Hindia Belanda memberikan perhatian khusus terhadap manajemen kesehatan jemaah haji asal Hindia Belanda. Mereka melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin mulai dari pelabuhan Tanjung Priok hingga ke beberapa tempat sebelum memasuki Jeddah. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran virus seperti kolera, cacar, dan Flu Spanyol.
Istiḥsān-Based Waqf in The Carotai Tradition in Tanang River Community, Agam District, West Sumatera Nofiardi, Nofiardi; Helmy, Muhammad Irfan
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.37582

Abstract

The people of Nagari Sungai Tanang, Banuhampu District, have long performed waqf by raising fish in a large pond that the community calls Tabek Gadang. When the waqf fish are ready to be harvested, thousands of fishermen catch some of the fish several times, and the money from fishing can be used to finance mosques, prayer rooms, and other things. Some fish are sold to traders, and others are shared or fought over by the community. It is important to conduct this study to analyze Carotai Waqf in the Nagari Sungai Tanang community by exploring the values that the community considered in carrying out this tradition and how was istiḥsān view towards it, considering that this activity originated from land waqf in the form of Tabek Gadang, produced through the istiḥsān approach. A qualitative method with an ethnographic approach was used to answer the focus of this research. The result showed that people carried out Carotai Waqf to pass on the values of togetherness and kinship and to foster the nature of trust to the next generation. Even though in terms of general arguments, no one regulated or allowed it, turning to other arguments based on istiḥsān with ijmā’, this can be used to continue the tradition of Carotai Waqf.AbstrakMasyarakat Nagari Sungai Tanang Kecamatan Banuhampu sudah lama melaksanakan wakaf dengan pemeliharaan ikan di sebuah kolam ikan besar yang oleh masyarakat disebut Tabek Gadang. Setelah ikan-ikan dari wakaf itu siap panen, sebagian dipancingkan beberapa kali pemancingan dengan ribuan para pemancing dan uang hasil pemancingan tersebut dapat dipergunakan untuk pembiayaan masjid, mushalla dan peruntukkan lain. Sebagian dijual kepada para pedagang, dan sebagian lain dicarotaikan atau diperebutkan oleh ribuan masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tentang carotai wakaf pada masyarakat Nagari Sungai Tanang dengan mendalami nilai-nilai yang menjadi pertimbangan masyarakat melakukan budaya tersebut dan bagaimana pandangan istiḥsān mengingat ia berasal dari tanah wakaf berupa Tabek Gadang yang diproduktifkan. Metode kualitatif dengan pendekatan etnografi dipergunakan untuk menjawab fokus penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat melalukan carotai wakaf tersebut untuk mewariskan kepada generasi berikutnya nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan dan memupuk sifat amanah, meskipun dari segi dalil umum tidak ada yang mengatur dan membolehkannya. Akan tetapi, dengan beralihnya kepada dalil lain berdasarkan istiḥsān dengan ijmā’ dapat dijadikan pertimbangan untuk terus berlanjutnya budaya atau tradisi carotai wakaf ini.
Guiding Fiqh Analysis of Crypto Assets: A Proposed Framework Mohammed, Mustafa Omar; El Amri, Mohamed Cherif; Bakr, Ayman Mohammad
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.37346

Abstract

The emergence of cryptocurrencies has brought about revolutionary changes in financial transactions, offering speed, cost-efficiency, and enhanced privacy without the involvement of traditional intermediaries. Despite these advantages, crypto assets pose several challenges from a fiqh perspective. Firstly, there are discrepancies among researchers attempting to define them. Secondly, technological complexities have led to misunderstandings of their concept. Thirdly, there is a general misconception about their similarity to Bitcoin. Fourthly, there is a notable dearth of comprehensive fiqh studies on the topic. Therefore, this study has adopted a qualitative method to address these four research gaps in extant literature. It has critically reviewed the literature to identify the issues and propose a definition of crypto assets and has categorized them into six types. Content analysis research method was used to develop a conceptual framework for the fiqh analysis of crypto assets. The framework is expected to equip Muslim researchers and jurists with processes, risk analysis methods, and benchmarks to objectively evaluate a given crypto asset. AbstrakKemunculan mata uang kripto telah membawa perubahan revolusioner dalam transaksi keuangan, dengan menawarkan kecepatan, efisiensi biaya, dan peningkatan privasi tanpa keterlibatan perantara tradisional. Terlepas dari kelebihan tersebut, aset kripto menimbulkan beberapa tantangan dari sudut pandang fiqh. Pertama, terdapat perbedaan di antara para peneliti yang mencoba mendefinisikannya. Kedua, kompleksitas teknologi telah menyebabkan kesalahpahaman terhadap konsep mereka. Ketiga, terdapat kesalahpahaman umum tentang kemiripannya dengan Bitcoin. Keempat, masih kurangnya kajian fiqih yang komprehensif mengenai topik ini. Karena itu, studi ini mengadopsi metode kualitatif untuk mengatasi empat kesenjangan penelitian dalam literatur yang ada. Studi ini telah meninjau literatur secara kritis untuk mengidentifikasi masalah dan mengusulkan definisi aset kripto dan mengategorikannya menjadi enam jenis. Metode penelitian analisis isi digunakan untuk mengembangkan kerangka konseptual analisis fiqih aset kripto. Kerangka kerja ini diharapkan dapat membekali  proses, metode analisis risiko, dan tolok ukur kepada para peneliti dan ahli hukum Muslim untuk mengevaluasi aset kripto tertentu secara objektif.
Contextualizing Fiqh al-Siyāsah in Indonesia: A Proposed Typology of Islamic Populism Ulum, Bahrul; Arifullah, Mohd
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.37747

Abstract

Amid a political atmosphere increasingly polarized by various forms of populism, this article identifies the typology of Islamic populism in Indonesia from the perspective of Islamic political law. It reveals a new horizon by showing the adaptability of fiqh al-siyāsah to the variants of Islamic populism typology. Drawing from different approaches to Islamic populism studies in Indonesia, the article classifies three typologies of Islamic populism in Indonesia: economic-political populism, political Islamism, and political pragmatism. Each has different characteristics and missions of struggle in the political and social context. This article argues that fiqh al-siyāsah functions not only as a tool of legitimacy but also as an adaptive framework that responds to contemporary political dynamics. This adaptability not only refers to the contextualization of sharia principles but also involves adaptations that shape and give birth to more inclusive and beneficial political policies and practices within the framework of Islamic populism in Indonesia. This article expands the horizon of how the integration of political principles of Islamic law in populist movements can influence the dynamics and political policies in IndonesiaAbstrakDi tengah suasana politik yang makin terpolarisasi oleh berbagai bentuk populisme, artikel ini mengidentifikasi tipologi populisme Islam di Indonesia dari perspektif hukum politik Islam. Artikel ini mengungkap cakrawala baru dengan menunjukkan adaptabilitas fiqh al-siyāsah terhadap varian tipologi populisme Islam. Mengacu pada beberapa pendekatan studi populisme Islam di Indonesia, artikel ini mengklasifikasikan tiga tipologi populisme Islam di Indonesia: populisme ekonomi-politik, Islamisme politik, dan pragmatisme politik. Masing-masing memiliki karakteristik dan misi perjuangan yang berbeda dalam konteks politik dan sosial. Artikel ini berargumen bahwa fiqh al-siyāsah berfungsi tidak hanya sebagai alat legitimasi tetapi juga sebagai kerangka adaptif yang merespons dinamika politik kontemporer. Adaptabilitas ini tidak hanya mengacu pada kontekstualisasi prinsip-prinsip syariah tetapi juga melibatkan adaptasi yang membentuk dan melahirkan kebijakan dan praktik politik yang lebih inklusif dan bermanfaat dalam kerangka populisme Islam di Indonesia. Artikel ini memperluas cakrawala tentang bagaimana integrasi prinsip-prinsip politik hukum Islam dalam gerakan populis dapat memengaruhi dinamika dan kebijakan politik di Indonesia.
The Quest for Third Gender Equality: Challenges and Implications for Islamic Law and Muslim Women's Sustainability in Malaysia Ramli, Mohd Anuar; Kasa, Annuar Ramadhon; Muhamad Sharifuddin, Nurhidayah; Yusof, Muhammad Yusri; Hassan, Paiz
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.37746

Abstract

Fundamentally, men and women constitute the two primary gender binaries in the construction of human society. Khunthā, however, refers to individuals with anomalies. There are no specific exemptions regarding this group in the discourse of Islamic law. Recently, the third gender group has been advocating for equal rights with the binary gender group. Although the third gender is not recognized in Islam, efforts to acknowledge them have been increasing in certain Islamic nations, including Malaysia. They argue that they are assigned to an incorrect gender. Consequently, individuals transition to a different gender identity, such as trans-women or trans-men. The universalism of Western human rights serves as inspiration for the demand for third-gender rights, which opposes local religious and cultural norms. Additionally, this paper explores the implications of third-gender recognition on Muslim women and the sustainability of Islamic law in Malaysia. This qualitative study employs the library research process to collect relevant documentation to achieve the objective. Content analysis of the gathered material was conducted inductively to assess the implications of the third gender claim on Islamic law and women. According to the study's findings, recognizing the third gender's ambition for equality would lead to modifications in laws and the diminishment of women's rights as they would have to share resources and benefits with biological males. AbstrakSecara fundamental, laki-laki dan perempuan membentuk dua biner gender utama dalam konstruksi masyarakat manusia. Khunthā, bagaimanapun, merujuk pada individu dengan anomali. Dalam diskursus hukum Islam, tidak ada pengecualian khusus mengenai kelompok ini. Baru-baru ini, kelompok gender ketiga telah mulai memperjuangkan kesetaraan hak dengan kelompok gender biner. Meskipun gender ketiga tidak diakui dalam Islam, upaya untuk mengakui mereka semakin meningkat di beberapa negara Islam termasuk Malaysia. Mereka berargumen bahwa mereka ditetapkan pada gender yang tidak sesuai. Akibatnya, individu bertransisi ke identitas gender yang berbeda, seperti trans-wanita atau trans-pria. Universalitas hak asasi manusia Barat menjadi inspirasi bagi tuntutan hak kelompok gender ketiga ini, yang bertentangan dengan norma-norma agama dan budaya lokal. Artikel ini mengeksplorasi implikasi pengakuan gender ketiga terhadap perempuan Muslim dan keberlanjutan hukum Islam di Malaysia. Penelitian kualitatif ini menggunakan proses penelitian kepustakaan secara menyeluruh untuk mengumpulkan dokumentasi yang relevan guna mencapai tujuan tersebut. Analisis konten terhadap bahan yang dikumpulkan dilakukan secara induktif untuk menilai implikasi tuntutan gender ketiga terhadap hukum Islam dan perempuan. Berdasarkan temuan penelitian, pengakuan terhadap ambisi kesetaraan gender ketiga akan menyebabkan modifikasi dalam hukum dan pengurangan hak-hak perempuan karena mereka harus berbagi sumber daya dan manfaat dengan laki-laki biologis.
The State of Indonesia’s Marriage Law: 50 Years of Statutory and Judicial Reforms Wirastri, Theresia Dyah; van Huis, Stijn Cornelis
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.38424

Abstract

Because of its entanglement with religious norms, Muslim family law reform is a sensitive issue. In Indonesia, the validity, rights, and responsibilities pertaining to Muslim marriage and divorce are regulated by the 1974 Marriage Law and the 1991 Compilation of Islamic Law. The 1974 Marriage Law is both general and pluralistic in character, since it introduced general reforms applying to all religions, while leaving other matters to the legal regimes attached to a person’s religion. Muslim family law norms, including several new reforms, were subsequently laid down in the 1991 Compilation of Islamic Law. After 1991, statutory reform of Muslim family law stalled, as differences in opinion between liberal and conservative Muslims proved unbridgeable. This paper argues that, despite these divisions, reform continued – not by actions of the legislative, but by actions of the courts. These actions take two forms: first, the form of court decisions, specifically “activist” judgments by the Supreme Court and judicial review decisions by the Constitutional Court; and second, the form of Supreme Court guidelines that following the introduction of the chamber system in 2011 are issued annually by means of Supreme Court Circulars. By reinterpreting family law norms in light of women’s and children’s rights, we will show how courts initiated significant non-statutory reforms of Muslim family law. Thus, exactly 50 years following the birth of the 1974 Marriage Law, we shed new light on the role of judicial institutions in reforming and reinterpreting Muslim family law in Indonesia. Abstrak:Reformasi hukum keluarga Islam selalu menjadi isu sensitif karena berkelindan dengan norma-norma agama. Di Indonesia, keabsahan, hak, dan tanggung jawab perkawinan dan perceraian diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 (UU Perkawinan 1974) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 1991. UU Perkawinan 1974 merupakan produk hukum yang umum dan plural. Artinya, UU Perkawinan 1974 memperkenalkan reformasi yang berlaku untuk semua agama, namun rezim hukum yang berlaku bergantung pada agama yang dianut. Norma hukum keluarga Islam, termasuk beberapa reformasi baru, kemudian ditetapkan dalam KHI. Setelah tahun 1991, reformasi hukum keluarga berjalan dengan lambat karena perbedaan pendapat antara kelompok Muslim liberal dan konservatif tidak dapat dijembatani dengan baik. Melalui artikel ini kami berargumentasi bahwa terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, reformasi hukum keluarga tetap berjalan – tidak melalui perubahan undang-undang melainkan melalui lembaga peradilan. Reformasi ini terjadi dalam dua bentuk: Pertama, dalam bentuk putusan pengadilan, terutama melalui putusan yang bernuansa “aktivisme” oleh Mahkamah Agung dan hasil uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, melalui pedoman yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung setiap tahunnya, dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai implikasi dari pemberlakuan sistem kamar pada tahun 2011. Lembaga peradilan, melalui reinterpretasi terhadap norma hukum keluarga yang mengedepankan hak perempuan dan anak, telah menghasilkan reformasi hukum keluarga yang signifikan melalui mekanisme di luar perubahan UU Perkawinan. Dengan demikian, tepat 50 tahun sejak lahirnya UU Perkawinan 1974, artikel ini menyoroti peran lembaga yudikatif dalam mereformasi dan menafsirkan ulang hukum keluarga Islam di Indonesia.
Interfaith Inheritance within Muslim Families in Indonesia: Practices, Philosophical Foundations, and Prospects for the Development of National Inheritance Law Fahimah, Iim; Suwarjin, Suwarjin; Gusmansyah, Wery; Zubaedi, Zubaedi; Jayusman, Jayusman
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 24, No 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v24i2.40907

Abstract

This article examines the mechanisms of inheritance resolution in cases of different religions in several regions of Indonesia, namely North Sumatera, Central Java, Bengkulu, and East Java, focusing on integrating customary law, religious law, and state law in inheritance distribution. This research employs a descriptive qualitative approach with a case study method, where data is gathered through interviews, observations, and literature reviews on the practice of inheritance among families with different religions. The findings reveal that family deliberation remains the primary principle in resolving inheritance disputes despite the religious differences among heirs. Social and cultural values such as kinship, mutual assistance, and interfaith tolerance play a significant role in the inheritance process, with each region having its own ways of accommodating religious differences within families. The legal pluralism approach, which combines customary law, religious law, and state law, forms the foundation for developing a fair and inclusive national inheritance law. This article suggests strengthening the principle of deliberation, creating an adaptive legal unification, and formulating inclusive regulations for interfaith inheritance rights to create a harmonious and just inheritance system that aligns with the spirit of Indonesia's cultural diversity. AbstrakArtikel ini mengkaji mekanisme penyelesaian waris beda agama di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, Bengkulu, dan Jawa Timur, dengan fokus pada integrasi hukum adat, agama, dan negara dalam pembagian warisan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus, di mana data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan kajian literatur mengenai praktik waris beda agama dalam masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan agama di antara ahli waris, musyawarah keluarga menjadi prinsip utama dalam penyelesaian sengketa waris. Nilai sosial dan budaya seperti kekeluargaan, gotong royong, dan toleransi antaragama berperan penting dalam proses pembagian warisan, dengan setiap daerah memiliki cara-cara tersendiri dalam mengakomodasi perbedaan agama dalam keluarga. Pendekatan pluralisme hukum yang memadukan hukum adat, agama, dan negara menjadi landasan dalam pengembangan hukum waris nasional yang adil dan inklusif. Artikel ini menyarankan penguatan prinsip musyawarah, unifikasi hukum yang adaptif, serta penyusunan aturan inklusif untuk hak waris lintas agama, guna menciptakan sistem kewarisan yang harmonis dan adil sesuai dengan semangat keragaman budaya Indonesia.

Page 1 of 2 | Total Record : 12