Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search
Journal : LEX ADMINISTRATUM

PEJABAT YANG MELAKUKAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ORANG SEBAGAI TINDAK PIDANA PENYIKSAAN SEKSUAL MENURUT PASAL 11 UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Vanya Meryam Notanubun; Noldy Mohede; Herlyanty Y.A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 3 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana penyiksaan seksual dalam Pasal 11 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022 dan bagaimana pengenaan pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan tindak pidana penyiksaan seksual dalam Pasal 11 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022, yaitu: Setiap pejabat atau orang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan pejabat; Melakukan kekerasan seksual terhadap orang; Dengan tujuan: intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga; persekusi atau memberikan hukuman terhadap perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya; dan/atau mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/atau seksual dalam segala bentuknya; di mana kekerasan seksual dalam pasal ini mencakup baik perbuatan seksual secara fisik maupun perbuatan seksual secara nonfisik. 2. Pengenaan pidana terhadap pelaku diputuskan oleh hakim untuk memilih apakah akan mengenakan pidana secara alternatif antara pidana penjara atau pidana denda, atau mengenakan pidana secara kumulatif yaitu mengenakan pidana penjara dan juga pidana denda. Kata kunci: Pejabat Yang Melakukan Kekerasan Seksual Terhadap Orang, Tindak Pidana, Penyiksaan Seksual. Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEKERASAN FISIK YANG TERJADI PADA KALANGAN ANAK MUDA SAAT MASA PACARAN DI DESA SINSINGON Strelita Inka Limbat; Herlyanty Bawole; Herry Tuwaidan
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 3 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap kekerasan fisik dan untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan kekerasan fisik terhadap anak muda pada masa pacaran di Desa Sinsingon. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Perlindungan hukum menjadi dasar utama terhadap korban kekerasan fisik pada anak muda, agar memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan fisik pelaku kekerasan fisik di hukum dengan KUHP pasal 351 tentang penganiayaan. 2. Upaya pencegahan kekerasan fisik terhadap anak muda di desa sinsingon sangat bermanfaat terhadap korban kekerasan fisik dengan melapor kepada pihak berwajib korban sudah terhindar dari perbuatan kekerasan fisik. Kata Kunci : kekerasan fisik, Desa Sinsingon
PERLINDUNGAN TERHADAP PASIEN MATI OTAK DARI PENCABUTAN ALAT PENUNJANG HIDUP DITINJAU DARI HUKUM DI INDONESIA Kartini Tungkagi; Herlyanty Y. A. Bawole; Theodorus H. W. Lumunon
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana metode untuk mendiagnosis mati otak terhadap pasien menurut prinsip hukum kesehatan serta untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien dari pencabutan alat penunjang hidup. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1.Metode mendiagnosis mati otak terhadap pasien menurut prinsip hukum Kesehatan dimaksudkan menjadi sebuah acuan sebagai langkah-langkah yang boleh dan dapat dilakukan oleh tenaga medis untuk memastikan kematian batang otak yang lebih pasti dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor. 2. Perlindungan hukum pada pasien bertujuan untuk melindungi segala hak yang dimiliki oleh pasien. Hak atas informasi medis dan memberikan persetujuan, hak atas rahasia medis, hak untuk menolak pengobatan dan tindakan medis, hak atas second opinion atau pendapat kedua, dan hak untuk mengetahui isi rekam medik. Pencabutan alat penunjang hidup adalah suatu upaya untuk menghentikan (withdrawing) semua terapi bantuan hidup kepada pasien yang berada dalam keadaan tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang diderita atau akibat kecelakaan parah yang mana tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile). Pada kasus pasien yang tidak sadarkan diri, persetujuan tindakan medis dilimpahkan kepada keluarga dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Kata Kunci : pasien mati otak, pencabutan alat penunjang hidup
KEWENANGAN PENYIDIK MELAKUKAN PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA TERHADAP PEMALSUAN UANG Gabriel Christian Wuisan; Butje Tampi; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan penyidik melakukan pemeriksaan tindak pidana terhadap pemalsuan uang dan bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana pemalsuan uang, sehingga diperlukan upaya untuk melakukan penyidikan. Dengan menggunakan metode peneltian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kewenangan penyidik melakukan pemeriksaan tindak pidana terhadap pemalsuan uang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, menjelaskan selain kewenangan penyidik sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, penyidik juga berwenang untuk membuka akses atau memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam arsip komputer, jaringan internet, media optik, serta semua bentuk penyimpanan data elektronik lainnya dan untuk kepentingan penyidikan penyidik dapat menyita alat bukti dari pemilik data dan penyedia jasa layanan elektronik. 2. Bentuk-bentuk tindak pidana pemalsuan uang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, yaitu setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan rupiah palsu serta bagi setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan rupiah yang diketahuinya merupakan rupiah palsu serta setiap orang yang membawa atau memasukkan rupiah palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat kenakan dengan pidana penjara dan pidana seumur hidup, termasuk pidana denda. Kata kunci: Kewenangan Penyidik, Tindak Pidana, Pemalsuan Uang.
PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI Gabriela; Debby Telly Antow; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana efektivitas penerapan aturan pelaporan LHKPN terhadap tingkat angka korupsi oleh pejabat Penyelenggara Negara di Indonesia serta bentuk bertanggungjawaban Penyelenggara Negara yang tidak melakukan pelaporan LHKPN. Tingginya angka korupsi dalam suatu negara tidak terlepas dari keterlibatan para Penyelenggara Negara yang memiliki posisi strategis di dalam tata kelola pemerintahan. Hal tersebut juga senantiasa menjadi persoalan bagi negara Indonesia, sehingga mendorong pemerintah untuk mengupayakan berbagai tindakan preventif guna memanimalisir terjadinya tindak pidana korupsi di kalangan pejabat negara. Penerapan aturan pelaporan LHKPN menjadi salah satu alternatif yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam mencegah terjadinya korupsi di kalangan Penyelenggara Negara. Dibawah koordinasi KPK program ini dijalankan dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan yang dimiliki secara berkala sehingga memudahkan KPK dalam memonitoring aliran harta kekayaan dari Penyelenggara Negara tersebut. Dari penelitian ini, penulis menemukan hasil bahwa penerapan aturan pelaporan LHKPN ini belum cukup efektif dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di kalangan Penyelelenggara Negara. Selanjutnya bentuk pertanggungjawaban dari Penyelenggara Negara yang tidak taat dalam melaporkan LHKPN masih sebatas pada kesediaan Penyelenggara Negara tersebut untuk menerima sanksi administratif yang dijatuhkan oleh pimpinan instansi terkait. Kata kunci: Efektivitas, Korupsi, Penyelenggara Negara, LHKPN, Sanksi.
TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA BEGAL YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR Brilliandro Kasenda; Herlyanty Y. A. Bawole; Boby Pinasang
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor pendorong anak di bawah umur melakukan tindak pidana begal dan upaya penanggulangannya sesuai dengan Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Begal Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur. Dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Disimpulkan: 1. Tindak pidana begal atau pembegalan sudah sangat meresahkan masyrakat dengan aksinya yang mengganggu keamanan serta kenyamanan dari masyrakat. Yang menjadi pelaku begal bukan hanya orang dewasa tetapi banyak ditemukan pelakunya anak di bawah umur, sekarang ini banyak sekali pelaku kejahatan tindak pidana begal adalah seorang anak di bawah umur. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seorang anak melakukan tindak pidana begal yaitu faktor pergaulan, faktor ekonomi, kurangnya skil atau potensi yang dimiliki, faktor kurangnya perhatian khusus dari orang tua terhadap anak, dan tindakan pembullyan serta akibat terjadinya berbagai macam tontonan kekerasan. 2. Penanggulangan tindak pidana begal yang dilakukan oleh seorang anak di bawah umur adalah diperketatnya pengawasan dan pengamanan dari pihak kepolisian, diadakan sosialisasi mengenai pembegalan kepada anak-anak yang ada dilingkungan pendidikan, serta pemerintah memiliki perhatian khusus dan juga sebisa mungkin memberantas kekerasan yang terjadi dilingkungan pendidikan, dan perhatian khusus dari keluarga mengenai pola asuh dari orang tua terhadap anak. Kata Kunci: kriminologi dan tindak pidana begal yang dilakukan anak di bawah umur
SANKSI HUKUM BAGI PENYIDIK KEPOLISIAN ATAS PERILAKU TERHADAP TERSANGKA MENURUT PERATURAN KAPOLRI NOMOR 8 TAHUN 2009 Vanessa Nataly Karwur; Herlyanty Y. A. Bawole; Ronald Elrik Rorie
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa pengaturan yang benar bagi penyidik kepolisian dalam melaksanakan dan menjalankan tugas sesuai dengan peraturan yang berlaku dan untuk mengetahui sanksi apa yang akan di terima oleh penyidik kepolisian yang masih memperlakukan tersangka bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pengaturan hukum terhadap perilaku penyidik kepolisian menurut Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 yaitu Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur tentang Aparat Kepolisian dalam hal ini melakukan tugasnya dalam hal melakukan penyidikan harus sesuai dengan prosedur dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang kemudian jika melakukan hal yang bertentangan dengan Peraturan Kapolri ini akan dikenakan sanksi. 2. Sanksi hukum bagi penyidik kepolisian atas perilaku terhadap tersangka yang bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia yaitu hukuman disiplin dan kode etik serta dikenakan proses peradilan pidana umum sesuai dengan KUHP dan KUHAP yang berlaku di Indonesia. Kata Kunci : sanksi hukum, penyidik kepolisian
TINJAUAN PIDANA TERHADAP PENYADAPAN GETAH PINUS DI HUTAN LINDUNG GUNUNG SOPUTAN Jeremy Peter Lasut; Herlyanty Y. A. Bawole; Edwin N. Tinangon
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait kasus penyadapan getah pinus dan untuk mengetahui bagaimana pemberian sanksi tindak pidana terhadap pelaku penyadapan getah pinus. Dengan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan : 1. Pengaturan hukum penyadapan getah pinus terdapat beberapa undang-undang dan regulasi yang mengatur penyadapan getah pinus di Indonesia, termasuk Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Pencegahan Perusakan Hutan. Ketepatan, kejelasan, dan konsistensi implementasi peraturan ini masih memerlukan perhatian lebih. 2. Terdapat sanksi pidana yang telah diatur dalam undang-undang yang dapat diterapkan terhadap pelaku penyadapan getah pinus tanpa izin, yakni dalam praktiknya, penegakan hukum dan konsistensi penerapan sanksi masih menjadi permasalahan. Kata Kunci : penyadapan getah pinus, hutan lindung gunung soputan
PERTIMBANGAN HAKIM ALASAN PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) TERDAKWA TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN DALAM STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NOMOR : 53/PID/2020/PT BBL Tiara Maharani Amisi; Ralfie Pinasang; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum di Indonesia terkait kriteria dan syarat suatu tindakan dapat dikatakan sebagai Pembelaan Terpaksa (noodweer); dan untuk mengetahui analisis pertimbangan hukum hakim terhadap terdakwa tindak pidana pengeroyokan yang menggunakan alasan pembelaan terpaksa (noodweer) secara tidak sesuai dalam putusan Nomor 53/PID/2020/PT BBL. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pembelaan Terpaksa diatur dalam Pasal 49 KUHP ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”. 2. Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa tidak termasuk dalam pembelaan terpaksa (Noodweer). Namun, menurut penulis hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa terlalu ringan dengan apa yang dialami oleh korban. Hukuman yang dijatuhi kepada para terdakwa hanya 2 tahun 6 bulan dimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada pasal 170 ancaman pidana penjara bagi pelaku pengeroyokan paling lama 5 tahun 6 bulan. Jauhnya perbedaan antara hukuman yang diberikan hakim dan ancaman pidana penjara yang diatur oleh KUHP tampak tidak mencerminkan beratnya tindakan pengeroyokan yang dilakukan oleh para terdakwa dan ditakutkan tidak menimbulkan efek jera untuk para terdakwa. Kata Kunci : noodweer, tindak pidana pengeroyokan
ANALISIS YURIDIS ATAS PENGGUNAAN VISUM ET REPERTUM DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Oktaviani Kemala Franny Christina; Rodrigo F. Elias; Herlyanty Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 3 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana isi dari Visum et Repertum yang digunakan sebagai alat bukti dalam suatu peristiwa pidana dan untuk mengetahui bagaimana fungsi alat bukti Visum et Repertum dalam sidang pengadilan pidana. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Visum et Repertum berisi, Identitas tempat pembuatan visum berdasarkan surat permohonan mengenai jam, tanggal, dan tempat, Pernyataan dokter, identitas dokter, Identitas peminta visum, Wilayah, Identitas korban, dan Identitas tempat perkara. Hasil dari visum et repertum yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Dalam kesimpulan Visum et Repertum memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat Visum et Repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya Visum et Repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat jenis luka, kekerasan penyebabnya dan derajat kualifikasi luka. Di bagian akhir Visum et Repertum memuat tangan dokter pembuat Visum et Repertum. 2. Fungsi dari Visum et Repertum sebagai bukti yang mewakili kesaksian korban dalam proses peradilan. Visum et Repertum berfungsi untuk kelengkapan berkas tindak pidana pembunuhan yang diserahkan penyidik ke penuntut umum. Hasil yang dimuat dalam visum et repertum dapat membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, di mana tidak ada yang melihat kejadiannya dan membantu untuk membuat suatu kesimpulan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dalam proses peradilan. Kata Kunci : visum et repertum, tindak pidana pembunuhan