Claim Missing Document
Check
Articles

ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 68/PUU-XII/2014 ATAS PASAL 2 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 Maryam Laomo; Ronny A. Maramis; Grace Yurico Bawole
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengkaji bagaimana Regulasi dan Penegakan Hukum dalam menyikapi Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan untuk mengetahui dan mengkaji Praktek Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No.68/PUU-XII/2014 terhadap Perkawinan Beda Agama. Tidak sedikit pasangan berbeda Agama melakukan berbagai cara untuk mendapatkan suatu keabsahan dalam Perkawinan. Berbagai tindakan untuk melangsungkan perkawinan beda agama adalah dengan cara : meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan melangsungkan perkawinan di luar negeri. Dalam hal ini karena Negara tidak memberikan Legalitas terkait tertib administrasi untuk dicatatkan dalam Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Namun, dalam praktek pelaksanaannya beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia seperti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Pontianak dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan penetapan kepada pasangan berbeda agama untuk dapat dicatatkan dalam Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Mahkamah Agung berpendirian bahwa dalam hal terjadinya perkawinan beda agama, Peraturan Perkawinan Campuran Stb.1989 Nomor 158 masih tetap berlaku. Sebelum berlakunya undang-undang Perkawinan, perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Perkawinan campuran diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 Nomor 158 (selanjutnya disebut GHR). Dalam Pasal 1 (GHR) Reglement op de Gemengde Huwelijken (GHR): “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan. Termasuk di sini, perkawinan berbeda agama, berbeda kewarganegaraan, dan berbeda golongan penduduk (mengingat adanya penggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda).” Kata Kunci : Perkawinan Beda Agama, Pencatatan Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi No.68/PUU-XII/2014
Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Penipuan Berlatar Belakang Bisnis Di Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan Roger Hermanus; Ronny A. Maramis; Emma V. T. Senewe
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 5 (2023): Innovative: Journal of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan Restorative Justice dalam penyelesaian perkara penipuan dengan latar belakang bisnis adalah suatu pendekatan hukum yang berfokus pada pemulihan hubungan dan keadilan yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus penipuan bisnis. Tujuan utama dari Restorative Justice adalah memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan penipuan, memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, serta menciptakan kesepakatan untuk memperbaiki situasi. Penerapan Restorative Justice dalam kasus penipuan bisnis dapat membantu menghindari proses hukum yang panjang dan mahal, serta memberikan peluang bagi semua pihak untuk berkontribusi dalam memulihkan situasi dan menjaga hubungan yang lebih baik di masa depan. Penting untuk melibatkan mediator yang berpengalaman dalam Restorative Justice untuk memastikan proses ini berjalan dengan lancar dan adil bagi semua pihak yang terlibat. Penerapan Restorative Justice dalam penyelesaian perkara penipuan dengan latar belakang bisnis di Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan (Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara) akan mengikuti prinsip-prinsip dasar Restorative Justice dengan melibatkan Kejaksaan Negeri sebagai lembaga yang memiliki kewenangan hukum.
KAJIAN HUKUM TERHADAP FAKTOR YANG MENYEBABKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAPAT DI BERHENTIKAN1 Karmenita Sendi Bawinto; Ronny A. Maramis
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang faktor apa saja yang dapat menyebabkan diberhentikannya PNS serta bagaimana sanksi terhadap Aparatur Sipil Negara yang tidak disiplin dan melakukan pelanggaran- pelanggaran sehingga di berhentikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka melakukan pembangunan nasional diperlukan adanya Aparatur Sipil Negara karena Aparatur Sipil Negara ini memegang peranan yang sangat besar dalam kelancaran pemerintahan serta pembangunan nasional5. Aparatur Sipil Negara sebagai penyelenggara pemerintahan diberikan tanggung jawab untuk merumuskan langkah- langkah strategis dan upaya-upaya kreatif guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara adil, demokratis, dan bermartabat. Sebagai Apartur Sipil Negara maka mempunyai hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Namun dalam kenyataannya, banyak aparatur sipil negara melakukan pelanggaran terhadap disiplin pegawai negeri sipil sebagaimana sudah di atur dalam PP No.94 Tahun 2021 tentang disiplin pegawai negeri sipil. Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin PNS ini antara lain memuat kewajiban, larangan, dan, hukuman Disiplin yang dapat dijatuhkan kepada PNS yang telah terbukti melakukan pelanggaran. Dalam Peraturan Pemerintah ini secara tegas disebutkan jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan terhadap suatu pelanggaran disiplin. Penjatuhan hukuman berupa jenis hukuman disiplin ringan, sedang, atau berat sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh PNS yang bersangkutan, dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak dari pelanggaran yang dilakukan. Kata kunci: PNS, Pemberhentian, Sanksi, Faktor Penyebab.
TUNTUTAN GANTI RUGI KONSUMEN TERHADAP WANPRESTASI LAYANAN OLEH PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA Christian Christmas Sihombing; Ronny A. Maramis
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban konsumen listrik menurut peraturan perundang-undangan dan untuk menganalisis tuntutan ganti kerugian konsumen listrik terhadap perusahaan umum listrik negara (PT. PLN Persero). Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Hak dan kewajiban konsumen listrik diatur di dalam UUPK dan UUK, yang ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK, serta dalam Pasal 29 UUK yang menyatakan bahwa konsumen listrik memiliki kewajiban, salah satunya membayar biaya tagihan listrik sesuai pemakaian. 2. Wanprestasi dalam perjanjian timbul dikarenakan isi perjanjian jual beli tenaga listrik tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, baik PT. PLN (Persero) yaitu kreditur maupun pelanggan (debitur) yang telah bersepakat untuk melakukan perjanjian jual beli tenaga listrik yang tertuang dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya. Proses penyelesaian wanprestasi atas perjanjian jual beli tenaga listrik, dilakukan dengan cara penyelesaian diluar pengadilan dengan cara musyawarah,bila tidak tercapai kata sepakat untuk damai maka sengketa dapat diselesaikan dengan melalui pengadilan yaitu dengan prosedur class action mengajukan gugatan dapat oleh konsumen sendiri, kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Kata Kunci : ganti rugi konsumen, PLN
Analisis Yuridis Mengenai Perpres Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha Di Bidang Pertambangan Mineral Dan Batubara Timotius Moris Tiwow; Ronny A. Maramis; Betsy A. Kapugu
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pendelegasian sebagian weweanang yang didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi oleh pemerintah pusat terkait dengan perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral dan batubara sebagaimana yang terdapat pada Perpres Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha Di Bidang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Pendelegasian ini sendiri merupakan instruksi dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dan yang terakhir untuk menjalankan pendelegasian tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha Di Bidang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Kata kunci : Pendelegasian, Pertambangan, Perpres nomor 55 tahun 2022.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DIVESTASI SAHAM PERUSAHAAN PERTAMBANGAN ASING DI INDONESIA Priscilla Sheren Sondakh; Ronny A. Maramis; Marthin L. Lambonan
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap divestasi saham perusahaan pertambangan asing di Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap perusahaan pertambangan asing di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pengaturan hukum mengenai divestasi saham telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang kemudian secara spesifik tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Nomor 09 Tahun 2017 tentang Tata Cara Divestasi Saham dan Mekanisme Penetapan Harga Saham Divestasi. 2. Mekanisme penegakan hukum terhadap divestasi saham Perusahaan pertambangan asing telah diatur dalam Pasal 151 Undang-Undang Mineral dan Batubara dimana Perusahaan pertambangan asing dapat dikenai sanksi administratif apabila tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan divestasi saham. Melalui sanksi administratif yang ada diharapkan penegakan terhadap kewajiban divestasi saham perusahaan pertambangan asing di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya agar manfaatnya dapat dirasakan oleh Masyarakat dan penguasaan negara terhadap perusahaan pertambangan asing dapat terealisasikan dengan baik. Kata Kunci : divestasi saham, perusahaan pertambangan asing
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH Adysto Dea; Ronny A. Maramis; Toar Neman Palilingan
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 3 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Demokrasi menjadi salah satu sistem yang digunakan di negara Indonesia. Netralitas birokrasi jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Pasal 9 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara harus bebas dari pegaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Bawaslu telah mengirimkan sebanyak 369 laporan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Laporan pelanggaran tersebut merupakan hasil pengawasan Bawaslu pada Pilkada 2020. Ketidaknetralan dari ASN ini tentu memberikan dampak ataupun akibat yang bisa menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan pelanggaran netralitas ASN dan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap netralitas ASN dalam pemilihan kepala daerah. Jenis penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif yang berfokus pada norma dan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pengaturan pelanggaran netralitas ASN diatur dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan antara lain Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2023, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2021, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2020, PP Nomor 42 Tahun 2004. Kemudian di dukung oleh Surat Keputusan Bersama yang di tanda tangani oleh 5 lembaga negara yaitu Bawaslu, Menpan-RB, KASN, BKN, dan Menteri Dalam Negeri. Penegakan hukum yang tegas sangat diperlukan untuk menjaga integritas, transparansi, dan kepercayaan masyarakat terhadap ASN. Dengan adanya penguatan sitem merit dan strategi pemerintah semoga dapat mengurangi pelanggaran Netralitas ASN pada Pilkada Tahun 2024 mendatang. Kata Kunci : Netralitas, ASN, Pilkada, Hukum Tata Negara.
PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT HAK WARIS ANAK YANG BELUM DEWASA AKIBAT DITINGGAL MATI KEDUA ORANG TUA Abraham Agung Poputra; Ronny A. Maramis; Sarah D. L. Roeroe
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui setiap aturan mengenai hak waris anak yang belum dewasa dan untuk mengetahui perlindungan hak yang diberikan pemerintah dalam melindungi setiap hak anak yang belum dewasa yang ditinggal mati kedua orangtua. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Pengaturan hak waris anak yang belum dewasa mencerminkan pentingnya perlindungan hukum. Anak yang belum dewasa memiliki hak waris sesuai Pasal 832 KUHPerdata dan hukum waris lainnya, baik berdasarkan surat wasiat maupun ketentuan hukum. Untuk melindungi mereka, hukum menyediakan mekanisme perwalian jika salah satu orang tua tidak memenuhi kewajiban atau meninggal. Wali akan mengelola urusan pribadi dan harta benda anak hingga mereka dewasa. Namun, perlindungan hukum terhadap hak waris tanah anak di bawah umur masih memerlukan perbaikan, terutama terkait interpretasi Pasal 393 KUHPerdata yang sering mengabaikan kepentingan anak. Revisi pasal dan peraturan yang lebih komprehensif, serta pengawasan ketat dari Badan Pertanahan Nasional, diperlukan untuk melindungi hak anak dengan prosedur yang benar. 2. Pemerintah melindungi hak anak yang ditinggal mati kedua orangtua melalui berbagai cara: perlindungan hak keperdataan, seperti akta kelahiran dan dokumen resmi untuk identitas; hak atas pemeliharaan dan pendidikan; hak untuk diwakili dalam urusan hukum; serta hak waris sesuai hukum yang berlaku. Pemerintah juga mengatur pengelolaan harta dan penetapan wali jika kedua orang tua meninggal, termasuk hak anak dari perkawinan sebelumnya untuk warisan. Kata Kunci : hak waris anak yang belum dewasa
IMPLEMENTASI KETENTUAN UPAH MINIMUM PROVINSI SULAWESI UTARA DALAM UPAYA MENIGKATKAN KESEJAHTERAAN BURUH Petra J. Pelle; Ronny A. Maramis
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 1 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengkaji pengaturan hukum tentang sistem Pengupahan menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan untuk mengetahui pelaksanaan sistem pengupahan di Propinsi Sulawesi Utara. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, maka berdasarkan hasil penelitian penulis dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Landasan hukum konsep perhitungan Komponen Upah Minimum Provinsi secara substansi telah diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada intinya menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, komponen upah meliputi upah minimum, upah kerja lembur dan lain-lain. Kemudian dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. 2. Implementasi penetapan upah minimum Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur dalam pasal 88 ayat 3 huruf dan ayat 4 serta pasal 89. Bahwa Upah Minimum ditetapkan Gubernur berdasarkan kebutuhan hidup layak sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi yang didasarkan pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Kata Kunci : Buruh, UMP, Sulut
PROSES PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA PEKERJA YANG MELAKUKAN KESALAHAN Giofani Omega Damar; Ronny A. Maramis; Maarthen Y. Tampanguma
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 1 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji bagaimana hubungan kerja, yaitu hubungan antara Pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh Pekerja dengan pengusaha, dimana Pekerja menyatakan kesanggupannya bekerja dengan pengusaha dengan menerima upah dan dimana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan Pekerja dengan membayar upah (seperti tercantum dalam perjanjan kerja), perjanjian kerja memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban Pekerja serta hak dan kewajiban pengusaha.[1], kesimpulan yang didapat : Pada dasarnya Pemutusan hubungan kerja merupakan hal yang sangat ditakutkan oleh Para Pekerja dimana pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat berakibat pada hilangnya Pekerjaan yang berakibat pada tidak lagi mendapatkan penghasilan hidup, sehingga perlu adanya Pengaturan secara khusus terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja, agar kepada Para Pekerja agar mendapatkan Haknya sebagai Pekerja yang telah mendapat Pemutusan Hubungan Kerja, karena pada faktanya didalam Masyarakat khususnya yang bekerja pada suatu Perusahaan, seringkali mendapatkan tindakan Pemutusan Hubungan Kerja dengan sewenang-wenang dan berakibat pada putusnya mata pencaharian dari Pekerja tersebut hal inilah yang menjadi faktor utama penyebab terjadinya Perselisihan Hubungan Industrial. Namun juga sering terjadi keadaan memaksa untuk dilakukannya PHK oleh karena Perusahaan yang telah tutup, Karena Merugi atau Karena Alasan Force Majeure sering juga disebut Overmacht sering juga disebut force majeure yang lazim diterjemahkan dengan keadaan memaksa dan ada pula yang menyebutnya keadaan kahar Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” sehingga dipandang perlu untuk mendapatkan pengaturan yang secara jelas demi mewujudkan keadilan bagi para Pekerja. Jika melihat begitu banyak persoalan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak yang berakibat hilangnya mata pencaharian Pekerja dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, hal tersebut juga dapat dilihat dari persoalan Pemutusan hubungan Kerja yang dilakukan oleh CV. Sakura Mart yang kepada Pekerja yang bernama Dorce Muat, dimana Pekerja tersebut mengajukan upaya penyelesaian lewat Dinas Ketenagakerjaan dan setelah mendapat hasil berupa anjuran, melanjutkan persoalan tersebut ke ranah Pengadilan, dimana Pemilik Usaha yaitu CV. Sakura Mart, tidak mau melaksanakan isi dari Anjuran tersebut, sehingga demi mendapatkan keadilan Pekerja tersebut menempuh jalur Pengadilan dan mendapat putusan yang mewajibkan Pemilik Usaha membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan upah proses, sehingga dari hal tesebut dapat dilihat bahwa apabila pemilik usaha tidak membayarkan apa yang menjadi hak Pekerja, maka Pekerja tersebut dapat menempuh langkah hukum untuk menyelesaikan persoalan yang dialami oleh Pekerja tersebut. Kata Kunci : PHK Tenaga Kerja, Hubungan Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja.