Articles
WANPRESTASI AKIBAT PENYALAHGUNAAN KEADAAN DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG KOPERASI DI KOTA MANADO
Febiola V Katiandagho;
Ronny A. Maramis;
Toar Neman Palilingan
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilakukan sama sekali. Berdasarkan pasal 1238 KUHPerdata menjelaskan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah atau akte sejenisnya atau berdasarkan kekuatan dari perikatan itu sendiri, yaitu bila perikatan ini menyebabkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul wanprestasi. Kegiatan pinjam meminjam uang pada koperasi sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat saat ini, Koperasi sebagai gerakan ekonomi yang tumbuh dari masyarakat, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat atas asas kekeluargaan. Koperasi berasal dari bahasa “co operation” yang berarti kerja sama. Pada masa sekarang atau masa yang akan datang khususnya masyarakat kalangan menengah kebawah tetap masih memerlukan koperasi. Zaman yang semakin berkembang pada seluruh aspek kehidupan, tentunya akan memberikan dampak yang berpengaruh bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Tujuan koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khusunya dan masyarakat pada umumnya.
Sengketa Pengadaan Tanah Tanpa Konsinyasi Melalui Pengadilan Negeri
Deiby Rifka Purwanti Wagiran;
Ronny A. Maramis;
Jemmy Somdakh
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 3 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31004/innovative.v3i3.2207
Sengketa pengadaan tanah tanpa konsinyasi merujuk pada perselisihan atau konflik yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah oleh pihak pemerintah atau pihak swasta tanpa adanya kesepakatan atau persetujuan dari pemilik tanah yang terdampak. Tujuan penyelesaian sengketa pengadaan tanah tanpa konsinyasi adalah untuk menjaga kestabilan sosial, melindungi hak-hak individu, dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat. Penting untuk mencari solusi yang seimbang antara kepentingan publik dalam pembangunan dan perlindungan hak-hak pemilik tanah yang terdampak dalam konteks pengadaan tanah tanpa konsinyasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang penyelesaian sengketa pengadaan tanah tanpa konsinyasi melalui pengadilan negeri dalam konteks hukum Indonesia. Hasil penelitian ini dapat memberikan panduan dan rekomendasi bagi mahasiswa S2, praktisi hukum, serta pihak terkait lainnya dalam menghadapi sengketa pengadaan tanah tanpa konsinyasi dan memastikan perlindungan hukum yang adil bagi pemilik tanah yang terdampak.
Analisis Yuridis Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Keuangan BUMD Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
Ronny A. Maramis;
Brandon Ridle Julio Tumanduk;
Dani R. Pinasang
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 3 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31004/innovative.v3i3.2286
Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, Pemerintah Daerah memerlukan langkah dan upaya untuk menambah sumber pendapatan daerah guna meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, pembangunan daerah dan memenuhi kebutuhan masyarat daerah itu sendiri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah membentuk suatu badan usaha milik daerah untuk menunjang sumber pendapatan asli daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan untuk pembangunan daerah dan nasional. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh daerah. Daerah dalam hal ini bisa melakukan penyertaan modal pada badan usaha milik daerah sebagaiman yang tercantum dalam Pasal 304 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian hukum ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan badan usaha milik daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan untuk menganalisis pelaksanaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan badan usaha milik daerah. Metode penelitian yakni melalui pendekatan yuridis normative. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan dan pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan badan usaha milik daerah harus memperhatikan dalam menetapkan suatu badan usaha milik daerah dari segi perencanaan dan dari segi pembiayaan untuk mewujudkan tujuan dari pendirian badan usaha milik daerah.
Pemberian Izin Pertambangan Pada Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di Era Otonomisasi
Yusak M. Papendang;
Ronny A. Maramis;
Dani R. Pinasang
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 3 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31004/innovative.v3i3.2642
Keberadaan Pancasila khususnya Sila ke Lima bersama Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 18, Pasal 33 telah menjamin eksistensi otonomi daerah terutama pengelolaan sumber daya alam untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, sehingga segala bentuk ketimpangan yang dirasakan oleh daerah terhadap hilangnya kewenangan dalam pemanfaatannya merupakan sebuah pelanggaran. Saat ini pemberian izin pertambangan pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang luas wilayahnya kurang dari 2000 km2 seperti di Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara mendapat penolakan dari warga masyarakat terdampak sehingga berujung gugatan pada pengadilan tata usaha negara. Manfaat penelitian ini adalah memberikan alternatif pemikiran sebagai sebuah sumbangsi bagi perkembangan ilmu pengetahuan bidang hukum pemerintahan daerah. Penelitian ini bertipe penelitian yuridis normatif bersama beberapa pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konseptual juga teknik pengumpulan datanya adalah studi kepustakaan.
Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) Di Indonesia
Ronny A. Maramis;
Meylicia Vinolitha Kamagi;
Natalia Lengkong
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 3 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31004/innovative.v3i3.2719
Zaman modern mempengaruhi perkembangan kemajuan teknologi dan informasi. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi kejahatan di dunia maya juga ikut bertambah, salah satunya kekerasan berbasis gender yang dilakukan melalui media online yang dikenal dengan Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS). Saat ini penegakan kasus KBGS menggunakan aturan yang lebih baru yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) namun karena aturan ini baru saja disahkan, penanganan kasus KBGS masih menggunakan aturan yang lama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak Pidana Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) dan bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) dalam bentuk pelecehan seksual. Hasil penelitian menunjukan bahwa aturan yang lama belum berfokus ke perlindungan korban sehingga UU TPKS hadir sebagai pelengkap aturan yang lama, namun penegakan kasus KBGS masih menemui kendala dikarenakan beberapa faktor yaitu kurangnya kapasitas penyidik, fasilitas untuk kepentingan penyidikan yang belum memadai, kesulitan mengumpulkan barang bukti digital serta korban yang umumnya merupakan perempuan tidak terlalu terbuka dalam memberikan informasi terkait kejadian yang dialami disebabkan adanya perasaan takut juga malu dikarenakan hal ini bersifat sangat intim.
Eksistensi Kewenangan Jaksa Dalam Penyidikan Perkara-Perkara Pidana di Bidang Perbankan Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi
Arthur Piri;
Ronny A. Maramis;
Friend H. Anis
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 4 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31004/innovative.v3i4.2785
Eksistensi kewenangan jaksa dalam penyidikan perkara-perkara pidana di bidang perbankan yang berimplikasi tindak pidana korupsi adalah hal yang penting untuk menjaga integritas dan efektivitas penegakan hukum di sektor perbankan. Di bawah hukum Indonesia, penyidikan perkara pidana biasanya merupakan tugas dari kepolisian, namun, terdapat pengecualian dalam beberapa sektor, termasuk sektor perbankan. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memberikan pengecualian bagi jaksa untuk melakukan penyidikan dalam perkara pidana tertentu. Penting untuk menjaga integritas, transparansi, dan independensi jaksa dalam melaksanakan tugas penyidikan di sektor perbankan yang berimplikasi tindak pidana korupsi. Dengan adanya kewenangan jaksa dalam penyidikan perkara-perkara pidana di sektor perbankan, diharapkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dapat berjalan lebih efektif dan adil. Kewenangan jaksa dalam penyidikan di sektor perbankan juga mencakup tindakan penggeledahan, pemeriksaan saksi, dan pemanggilan pihak terkait untuk membantu dalam penyelidikan dan proses pengumpulan bukti. Kata Kunci : Penyidikan Perkara Pidana, Tindak Pidana Korupsi, UU No.16 Tahun 2004
Pengawasan Produk Bahan Makanan Beku (Frozen Food) Yang Beredar Di Masa Pandemi Dan Sesudahnya Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen
Preisy C.J. Mokoagouw;
Wulanmas A.P.G. Frederik;
Ronny A. Maramis
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 4 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31004/innovative.v3i4.3543
Tren makanan beku (frozen food) di kalangan masyarakat semakin meluaskarena gaya hidup masyarakat modern saat ini yang serba sibuk sehingga lebih memilih makanan yang praktis, cepat saji, dan sekaligus enak. Fenomena ini terlihat dengan banyaknya dijumpai makanan olahan yang berasal dari frozen food sejak masa pandemi hingga sesudahnya. Ketentuan izin edar bagi pelaku usaha didasarkan untuk melindungi masyarakat dari risiko produk pangan yang tidak aman, tidak bermutu, dan tidak bergizi agar tidak merugikan konsumen. Akan tetapi, masih terdapat beberapa konsumen yang tidak memperhatikan mengenai izin edar pangan, serta masih adanya pelaku usaha yang bersikap tidak bertanggung jawab dengan tidak mencantumkan izin edar produk pangan. Bentuk pengawasan terhadap makanan olahan ini, dipertanyakan pengawasannya karena menyangkut dengan perlindungan konsumen. Sehingga pada penelitian ini, berfokus pada Upaya pemerintah dalam mengawasi makanan olahan. Penelitian ini menitik beratkan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen, Metode penelitian yang digunakan yakni metode pendekatan yuridis normative untuk menemukan Upaya pemerintah dalam mengawasi makanan olahan sehingga aman sampai pada konsumen atau masyarakat. Hasil penelitian menujukan Ijin edar makanan dan minuman beku merupakan kewenangan kementerian Kesehatan dan kementerian perdagangan dan semua kewenangan itu telah dilimpakan kepada BPOM untuk memeriksa produk makanan dan minuman beku yang layak diedarkan kepasar ditengah masa pandemi dan penegakan hukum harus dilakukan terhadap pelaku usaha produsen makanan dan minuman beku yang melanggar aturan dan standart mutu Kesehatan.
The Existence of the Rights of Indigenous People in the Implementation of Regional Autonomy
Helben Gainau;
Ronny A. Maramis;
Merry Elisabeth Kalalo;
Caecilia J. J. Waha
International Journal of Applied Business and International Management Vol 8, No 2 (2023): August 2023
Publisher : AIBPM Publisher
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.32535/ijabim.v8i2.2426
In essence, regional autonomy is given to the people as a legal community unit that is given the authority to regulate and manage its own government affairs given by the central government to the regions and in its implementation is carried out by the regional head and DPRD with the assistance of regional apparatus.The goal of this research is to examine and analyze how indigenous peoples' rights are construed legally on a national and international level, as well as how their protection can be used as a tool for participation in the implementation of regional autonomy. It also aims to produce conclusions about the existence of indigenous peoples' rights in the implementation of regional autonomy.A statutory approach, conceptual approach, historical approach, case approach, and comparative approach are some of the study methods utilized in normative legal research. 25 2The results showed (1) The concept of indigenous peoples in international law and international indigenous law is the main subject of international law, (2) Strictly speaking, there is no recognition and regulation of the rights of indigenous peoples in national legal instruments to develop their existence and culture and involve indigenous peoples in aspects of development programs and projects, (3) The involvement of indigenous peoples in the administration of local government is not yet optimal, including the recognition of customary government organisational structures.
KEDUDUKAN DEWAN PENGUPAHAN DALAM MENENTUKAN UPAH MINIMUM PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA
Sinta Lamria Yulianti Siagian;
Ronny A. Maramis;
Maarthen Youseph tampanguma
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kedudukan dewan pengupahan dalam penetapan upah minimum dan untuk mengetahui bagaimana hubungan dewan pengupahan dengan Gubernur pada penetapan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Dewan pengupahan bersifat indenpenden dan nonstruktural yang memiliki dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2021. Tugas dan Wewenang Dewan Pengupahan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 menuliskan bahwa dewan pengupahan memberi saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta pengembangan sistem pengupahan nasional. Dewan Pengupahan Provinsi juga bertugas menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota juga bertugas menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional. Pembentukan, pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Pengupahan dilakun para pihak yang terlibat dalam pembuatan Kebijakan Upah Minimum. 2. Gubernur dan Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki hubungan yang sangat erat dalam penetapan Upah Minimum, mulai dari pemberian saran dan pertimbangan maupun rekomendasi dalam rangka penetapan Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten/kota. Kata Kunci : Kedudukan Dewan, Upah Minimum, Buruh
PENDIRIAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Serina Soriton;
Ronny A. Maramis
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mengkaji syarat perizinan pendirian lembaga keuangan mikro berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro dan untuk mengetahui dan mengkaji status kepemilikan modal lembaga keuangan mikro. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Syarat perizinan pendirian lembaga keuangan mikro berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, berkaitan dengan perizinan, maka sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan untuk memperoleh izin usaha LKM: susunan organisasi dan kepengurusan, permodalan, kepemilikan, dan kelayakan rencana kerja dan tata cara perizinan usaha diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. 2. Status kepemilikan modal lembaga keuangan mikro, mengenai permodalan sangat diperlukan karena permodalan dianggap penting apalagi jika bentuk badan hukum seperti koperasi atau perseroan terbatas. Perseroan terbatas sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Sisa kepemilikan saham perseroan terbatas dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, atau koperasi dan kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham perseroan terbatas sebesar paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen). Kata Kunci : lembaga keuangan mikro