Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Majalah Kedokteran Andalas

KEMATIAN TAHANAN DI RUANG SEL POLISI KONTROVERSI PEMBUNUHAN ATAU BUNUH DIRI DILIHAT DARI SUDUT PANDANG ILMU KEDOKTERAN FORENSIK Rika Susanti
Majalah Kedokteran Andalas Vol 36, No 1 (2012): Published in April 2012
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.289 KB) | DOI: 10.22338/mka.v36.i1.p113-120.2012

Abstract

AbstrakKematian tahanan cukup sering ditemukan, beberapa cara mati dapat terjadi. Kasus yang banyak adalah cara mati dengan bunuh diri. Tugas dokter dalam menangani kasus kematian yang diotopsi adalah untuk menentukan sebab mati dan mekanisme mati, sedangkan cara mati adalah kewenangan penyidik. Pada kematian akibat asfiksia mekanik, akan ditemukan ciri umum yang sama, tetapi dokter dapat memperkirakan jenis asfiksia dari gambaran luka yang ditemukan tubuh korban.Dua kakak beradik, laki-laki, umur masing-masing 18 tahun dan 15 tahun ditemukan dalam keadaan tergantung di runag tahanan polisi. Otopsi dilakukan antara 24-48 jam post mortem. Pada pemeriksaan ditemukan luka lecet tekan dengan pola sesuai kasus gantung dileher dan beberapa luka lecet dan memar dianggota gerak terutama anggota gerak bawah. Kuku berwarna keunguan, daerah leher dan wajah berwarna lebih gelap. Tubuh kedua korban sudah mulai membusuk. Pada pemeriksaan dalam ditemukan memar pada otot leher, tanda-tanda mati lemas pada beberapa organ, sedangkan pada bagian tubuh lain tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.Sebab kematian kekerasan tumpul dileher karena ditemukan tanda-tanda intravitalitas luka, dan tanda- tanda asfiksia pada tubuh korban, pola luka dileher sesuai pola gantung. Tidak ditemukan tanda kekerasan lain yang bisa menyebabkan kematian. Beberapa luka lecet dengan umur yang berbeda-beda ditemukan di ekstremitas hal ini bisa disebabkan oleh berbagai kekerasan tumpul. Kasus ini menjadi kontroversi karena kematian di tahanan dianggap ada kelalain petugas, dan korban adalah usia anak dan kakak beradik.Kata kunci : kematian di tahanan-asfiksis mekanik-cara matiAbstractDeath of prisoner quite often find in several methods. The most case of death are by suicide method. Physician role in autopsy is to found cause of death and death mechanism, whereas death method is authority of investigating officer. Death caused by mechanical asphyxia will find the same general characteristic, but physician can estimated kind of asphyxia from wound appearance in victim body.LAPORAN KASUS113Two siblings, boys, 18 years old and 15 years old, have found in hanging position in prison. Autopsy has done between 24-48 hours postmortem. In examination, we find pressure abrasion wound in pattern appropriate with hanging case in neck and some of abrasion and bruise wound in extremity, especially inferior extremity. Nails color are purplish, color of neck and face are darker. Victim body has started to decay. In inside examination, we find bruise in neck muscle, shown evidence of dead cause asphyxia in some organs, whereas in other part of body did not find sign of force.Cause of death is blunt wound in neck because we find a sign of intra-vitality injury and asphyxia sign in victim body, pattern of wound in neck are appropriate hanging pattern. We did not find other force sign which cause a death. Some of abrasion wound with different age find in extremity, and this case can caused by many blunt wound.This case be a controversial because death in prison considered by dereliction of officer, and as we know, victim are children and sibling.Key word: Death in prisoner-asphyxia-dead method
PAYUNG HUKUM PELAKSAAN ABORTUS PROVOKATUS PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN Rika Susanti
Majalah Kedokteran Andalas Vol 34, No 1 (2010): Published in April 2010
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (309.975 KB) | DOI: 10.22338/mka.v34.i1.p25-30.2010

Abstract

AbstrakPada survei yang dilakukan WHO dibeberapa kota besar di Asia pada tahun 1996 di Indonesia ditemukan bahwa pada wanita yang berumur diatas 16 tahun dikota Jakarta dan Surabaya pada 1400 sampel didapatkan 2,7% pernah mengalami perkosaan. Beberapa korban hamil, dan ingin mengakhiri kehamilan. Hukum di Indonesia (KUHP), menjelaskan bahwa semua usaha dalam rangka menghentikan kehamilan adalah suatu tindak pidana dan tidak dipersoalkan apakah indikasi dari pengguguran kandungan tersebut. Setelah adanya UU Kesehatan RI No 23 tahun 1992, barulah abortus provokatus atas indikasi medis mendapatkan payung hukum. Disini dijelaskan bahwa jika abortus dalam rangka menyelamatkan nyawa ibu atau anak diperbolehkan (indikasi medis). Legitimasi abortus provokatus atas indikasi medis saat ini dianggap tidak mencukupi lagi, sehingga diperlukan pula legalisasi indikasi non medis, seperti pada korban pemerkosaan dan child abuse. Dengan keluarnya UU Kesehatan No.36 tahun 2009, maka sudah melegalkan tindakan aborsi pada kehamilan akibat perkosaan.Kata kunci: perkosaan, kehamilan, abortus provokatus, payung hukum, KUHP, UU Kesehatan.AbstractIn the survey conducted by WHO in several major cities in Asia in 1996 in Indonesia found that in women aged over 16 years in the city of Jakarta and Surabaya in 1400 samples were obtained 2.7% had experienced rape. Some victims become pregnant due to rape action and there is a desire to terminate the pregnancy. The law in Indonesia is regulated in the Penal Code (KUHP), explain determined that all efforts in order to stop the pregnancy is a crime and not questioned whether the indications of such abortions. After the Health Law (Undang-Undang Kesehatan RI) No. 23 of 1992, then provoked abortion on medical indication obtain legal protection. Here was explained that if the abortion in order to save the life of the mother or child is allowed (a medical indication). The legitimacy of provoked abortion on medical indication currently considered no longer sufficient, so that will be required to legalize non-medical indications, such as the victims of rape and child abuse. With the release of the Health Law No.36 of 2009, it had legalized abortion in pregnancies due to rape. Key words : rape, pregnancy, abortus, legal protection, article of the Penal Code, the Law on Health.
Analisis genetik lokus CSF1PO, TH01, dan TPOX short tandem repeats pada etnis minangkabau Taufik Hidayat; Rika Susanti
Majalah Kedokteran Andalas Vol 41, No 3 (2018): Published in September 2018
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (351.621 KB) | DOI: 10.25077/mka.v41.i3.p94-100.2018

Abstract

Identifikasi  forensik  terus mengalami kemajuan yang pesat sesuai dengan perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Tujuan: Untuk mengetahui frekuensi alel-alel dan membuat data dasar alel-alel lokus CSF1PO, THO1 dan TPOX Short Tandem Repeats pada etnis Minangkabau. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan sampel 30 orang coba beretnis Minangkabau, sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan isolasi DNA lokus CSF1PO, TH01 dan TPOX dan dilakukan sekuensing dengan kit experion DNA 1 K. Alel yang didapat dianalisis dengan software EasyDNA. Hasil: Didapatkan frekuensi alel lokus CSF1PO yaitu 16 alel, lokus TH01 sebanyak 12 alel, dan lokus TPOX yaitu 10 alel. Frekuensi alel tertinggi CSF1PO yaitu 165 bp (0,0167) dan alel 170 bp (0,0167). Frekuensi alel tertinggi lokus TH01 yaitu 93 bp (0,217). Frekuensi alel TPOX tertinggi adalah 85 bp (0,267)  Nilai heterozigositas observasi tertinggi terdapat pada lokus TPOX (0,4) diikuti oleh lokus TH01 (0,33) dan lokus CSF1PO (0,2). Nilai power of discrimination tertinggi terdapat pada lokus CSF1PO (0,98), TH01 (0,973) dan TPOX (0,949).  Simpulan: didapatkan data frekuensi alel lokus CSF1PO, TH01, dan TPOX etnis Minangkabau. Lokus CSF1PO, TH01 dan TPOX dapat digunakan sebagai pembanding dalam identifikasi forensik.
PARADIGMA BARU PERAN DOKTER DALAM PELAYANAN KEDOKTERAN FORENSIK Rika Susanti
Majalah Kedokteran Andalas Vol 36, No 2 (2012): Published in August 2012
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.809 KB) | DOI: 10.22338/mka.v36.i2.p145-154.2012

Abstract

AbstrakPelayanan kedokteran forensik semakin hari semakin luas, pada masa dahulu hanya sebatas pemeriksaan korban tindak pidana yang meninggal, sekarang sudah berkembng diantaranya pemeriksaan korban tindak pidana hidup, kekerasan dalam rumah tangga, child abuse and neglect, perselisihan pada perceraian, ragu ayah (dispute paternity) hingga ke pelanggaran hak asasi manusia. Bentuk ekspertise dari dokter forensik saat ini, tidak hanya terbatas pada hasil visum et repertum, akan tetapi juga pengeluaran surat keterangan kematian dan pengisian asuransi. Pelayanan kedokteran forensik sebagian besar dilakukan oleh dokter umum karena terbatasnya jumlah spesialis forensik. Peran dokter umum dalam pelayanan kedokteran forensik antara lain pemeriksaan korban tindak pidana hidup, pemeriksaan korban tindak pidana meninggal, sebagai saksi ahli, mengeluarkan surat keterangan kematian, penanganan kasus death on arrival, pengisian asuransi. Supaya tidak terjadi permasalahan terkait dengan pelayanan kedokteran forensik, diharapkan dokter menambah pengetahuan tentang kedokteran forensik dan aspek medikolegalnya.Kata kunci : pelayanan kedokteran forensik-peran dokter umum-aspek medikolegalAbstractForensic medicine service develop extensively from the dead victim examination to the various medical examination in the living victim, marriage violence,child abuse and neglect,divorce conflict,dispute paternity and violence in human rights. The expertise from forensic medicine specialist not only to publish visum et repertum but also to sign certificate of death and to admiss life insurance. Most of forensic medicine services performed by general practitioner because the lack of quantity of the forensic medicine specialist. The role of general practitioner in forensic medicine services are including the examination of the living and dead victims,expert witness in the court, publishing the certificate of the death,handling death on arrival patient, and admissing the insurance form. To avoid the problem, general practitioners should to improve their knowledge in forensic medicine services and its medicolegal aspect.Keywords: forensic medical services-physician role-medicolegal aspects