Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

PENGEMBANGAN ALAT SKRINING UNTUK HIPERTENSI Heryudarini Harahap; Yekti Widodo; Sri Muljati; Agus Triwinarto; Imam Effendi
GIZI INDONESIA Vol 33, No 2 (2010): September 2010
Publisher : PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36457/gizindo.v33i2.92

Abstract

THE DEVELOPMENT OF SCREENING TOOL FOR HYPERTENSIONThe increasing prevalence of hypertension is an important public health problem contributing to significant excess disease and mortality. The risk factors of high blood pressure were smoking, sex, age, consumption, activity, obesity, and heredity. Studies showed that subjects didn’t aware about their blood pressure as well as subjects’ knowledge about risk and symptom of hypertension was not good. Hypertension prevention can be done by giving screening tools to detect the blood pressure as well asgiving information about risk and symptom of hypertension. The objective of the study was to develop screening tool to detect hypertension. A cross-sectional survey was conducted in Bogor, North Jakarta and Tangerang district. Blood pressure was collected using spyhgmanometer. The JNC 7 was used to classify of hypertension. Screening tool and leaflet was developed based on the result of Basic Health Research data set as well as literature study. The study had three activities that were focus group discussion, validity and reliability, as well as screening tool trial. Results: Validity test showed that over 17 questions only 6 questions were valid (p0,05, r = 0,176). After re-construction of screening tool questions then validity test was done again. Over 15 questions, 12 was valid (p0,05, r = 0,07).Eventhough 3 questions were not valid that questions were still included in that screening tools. Reliabilty of screening tool was realiable (α Cronbach’s = 0.586). The sensitivity (Se) and Specificity (Sp) of subjects that had been have 7 scores or higher was had Se 61.6 and 64.1 Sp respectively. Conclusion: This study implies that hypertension screening tool can be used as screening tool to detect hypertension.Keywords: hypertension, obesity, sensitivity, screening tool, specificity
GANGGUAN PERTUMBUHAN DAN DEFISIT BERAT BADAN PADA BALITA DI PERKOTAAN DAN PEDESAAN Sri Muljati; Dwi Hapsari; Basuki Budiman
GIZI INDONESIA Vol 28, No 2 (2005): September 2005
Publisher : PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36457/gizindo.v28i2.22

Abstract

GROWTH FAILURE AND BODY WEIGHT DEFICIT OF UNDERFIVE CHILDREN IN URBAN AND RURAL AREASThe prevalence of malnutrition in Indonesia in 2003 is 19 percents; three percents of them are severe malnutrition. Study on the age beginning deviation of growth failure and the extent of the deficit in body weight of underfive children in Indonesia is scarce. We analysed 1694 records of children underfive year old from National Household Survey (SKRT) having complete data in weight, height and age. The study revealed that 42.9% children underfives suffered from growth failure, in which the magnitude was greater in rural than urban e.i. 53.8% and 46.2% respectively growth failure started. In the age 4 months, infant begins deficit his her body weight and the peak of the deficit is infant in six months e.i 21.05%. This analysis supports international finding that deviation in growth failure begin at 4 month for Indonesian children should be consideredKeywords: under five year children, growth
DISABILITAS PADA LANJUT USIA MENURUT STATUS GIZI, ANEMIA DAN KARAKTERISTIK SOSIODEMOGRAFI Sri Muljati; Agus Triwinarto; Yudi Kristanto
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 37 No. 2 (2014)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v37i2.4012.87-100

Abstract

ABSTRACTIt is estimated that Indonesian elderly population will increase to 10.14 percent of the total population in year of 2020 and 16.19 percent in 2030. The consequence of elderly (60 years old or above) will add more burden to government on health care program for this group. As the population grows older, the risk of disability and burden of desease in the population is increasing, therefore government should allocate more fund for health care. The objective this study is to assess association between nutritional status and anemia on elderly after controlled by age, sex, education, occupation, by multiple logistic regression test. The result showed that based on six models, elderly group age ≥70 years old had twice risk, elderly with malnutrition had 1.3 to 1.5 times risk, while the anemic elderly had 1.3-1.6 times risk to have physical disabilities of cognitive domain, mobility domain, personal care, friendship care, daily activities as well as participation. On the other hand, obese elderly had risk of 1,4 to experience disability in mobility domain. One of ways to prevent disability of elderly group is through improvement of nutritional status focusing on controlling of anemia, underweight and obesity.Keyword: disability, anemia, underweight, elderly ageABSTRAKSalah satu tantangan kependudukan di Indonesia yaitu meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia) yang pada tahun 2010 berjumlah 18,037 juta jiwa (7,59%). Diperkirakan pada tahun 2020 menjadi 10,14 persen dan pada tahun 2030 mencapai 16,19 persen dari total penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk lansia mengakibatkan meningkatnya kebutuhan program kesehatan bagi lanjut usia. Konsekuensi tingginya prevalensi berbagai penyakit yang menjadi determinan terhadap disabilitas pada lansia dan masih tingginya prevalensi masalah gangguan gizi pada lansia memerlukan biaya tinggi untuk pemeliharaan kesehatan. Tulisan ini mengkaji hubungan antara status gizi, anemi terhadap disabilitas pada lansia setelah dikontrol oleh faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan melalui pemodelan dengan uji regresi logistik ganda. Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan enam pemodelan yang dihasilkan, lansia yang berusia ≥70 tahun memiliki risiko dua kali, lansia dengan status gizi kurus memiliki resiko 1,3 hingga 1,5 kali, lansia dengan anemia memiliki risiko 1,3 hingga 1,6 kali untuk mengalami disabilitas baik terhadap domain kognitif, mobilitas, perawatan diri, memelihara persahabatan, mengerjakan pekerjaan sehari-hari maupun partisipasi. Sedangkan lanjut usia dengan status gizi obesitas memiliki risiko 1,4 kali untuk mengalami disabilitas dalam domain mobilitas. Maka salah satu upaya untuk mencegah disabilitas pada lansia dapat dilakukan melalui perbaikan gizi pada lansia dengan prioritas mengatasi anemia, kurang gizi (underweight) dan obesitas. [Penel Gizi Makan 2014, 37(2): 87-100]Kata kunci: disabilitas, anemi, kurang gizi (underweight), lanjut usia (lansia)
RIWAYAT KONSUMSI MAKANAN PENDERITA STROK YANG MASUK RUMAH SAKIT Basuki Budiman; M. Karyana; Sri Muljati
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 37 No. 2 (2014)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v37i2.4013.101-108

Abstract

ABSTRACTStroke is one of main contributing diseases to global death as well as in Indonesia. One of risk factors for stroke is food pattern while the post stroke food pattern affect on later survival. This study provided the food pattern of hospitalized stroke patient. Data were derived from Indonesia stroke registry 2011-2012 which covered 3999 patients from 17 main hospitals in Sumatera, Java, Bali and West Nusa Tenggara. Diagnosis of stroke followed ICD_X. A number 3401 out of 3999 patients were analyzed for the food pattern with complete data. Patients were interviewed for their food consumption using food frequency questionnaire (FFQ) method and then the result scored in five groups’ i.e. every day was scored by 30.4; if consumed 4-6 days in a week was scored 21.7; and 2-3 days and 1-3 in a week were scored by 8,70 and 2,40 respectively. Scored 1 for food consumption 1-2 or never consumed at all in last 3 months. Different pattern of frequency distribution of food consumption adjusted by gender failed to detect the different food pattern, but when the pattern adjusted by ethnic and food group and ever happened in previous stroke, the differences were found. Hemorrhagic stroke patients especially 65 years or over whom consumed high sweetened, salty, fatty and high content cholesterol more frequent than ischemic one. An in-depth study should be conducted to confirm the result.Keywords : food frequency, stroke registry, food patternABSTRAKStrok merupakan penyumbang kematian utama di dunia dan juga di Indonesia. Pola konsumsi makanan dipercaya sebagai faktor risiko terjadinya strok. Pola makanan pasca strok berpengaruh terhadap kemunculan strok berikutnya. Makalah ini menyajikan riwayat pola konsumsi makanan penderita strok yang masuk rumah sakit. Data penderita strok diperoleh dari registri strok tahun 2011-2012 dari 17 rumah sakit Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 3999 penderita didiagnosis mengikuti definisi strok ICD_X, namun sebanyak 3401 yang mempunyai data konsumsi makanan. Pola konsumsi diperoleh dengan wawancara dan menggunakan metode food frequency questionnaires (FFQ). Makanan dikelompokkan dalam sembilan jenis kelompok bahan makanan. Frekuensi makan dalam sebulan disandi 30,4 jika jenis makanan tertentu dikonsumsi setiap hari. Selanjutnya 21,7 jika 4-6 hari/minggu; 8,70 jika 2-3 hari/minggu; 2,40 jika 1-3 hari/minggu; 1 jika 1-2 hari/3 bulan atau tidak pernah. Distribusi konsumsi dianalisis menurut jenis kelamin, etnis, umur dan jenis strok. Pola distribusi frekuensi konsumsi sembilan kelompok makanan menurut gender ditemukan tidak berbeda, Namun menurut etnis, jenis dan riwayat strok berulang ditemukan berbeda. Penderita strok hemoragik terutama yang berusia 65 tahun atau lebih mengonsumsi lebih sering makanan dan minuman manis, asin, berlemak dan makanan mengandung kolesterol tinggi daripada penderita strok iskemik. Penelitian lebih mendalam diperlukan untuk konfirmasi pola makanan ini. [Penel Gizi Makan 2014, 37(2): 101-108]Kata kunci: frekuensi makan, registri strok, pola konsumsi
HUBUNGAN PANJANG BADAN LAHIR TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12 BULAN Fitrah Ernawati; Sri Muljati; Made Dewi S; Amalia Safitri
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 37 No. 2 (2014)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v37i2.4014.109-118

Abstract

ABSTRACTGrowth retardation such as stunting among children under five years old in Indonesia was serious. Stunting have negative effects on mental development especially in children under five years old. We conducted a 24 months follow up study at 10 primary health care (Puskesmas) in Bogor District. Subjects of the study were children in their gestational stage which were followed up for 12 months after birth. The indicator of stunting was measured by Z-score of height for age (HAZ), while child development was assesed using Bailey’s test III. Spearman correlation is used in data analysis. The result of the study showed that 9.5 percent children were born with low birth weight (birth weight < 2500 gr) and stunted ( body length < 48 cm). There was an association between birth length and motoric as well as socio-emotional development since birth (0 month old) (rho=0,33; p=0,004 for motoric, and rho=0,244 ,p=0,036 for socio-emotion). On the other hand, significant correlation between birth length and linguistic development only showed up at one month old (rho=0,29, p=0,031 ), and the correlation with cognitive development showed up at two month old (rho=0,031,p=0,0011). The linguistic abilities of a stunted child were lower than that of a normal child. The duration of breast feeding also had a role in the development of these children. Length of child at birth has an effect on child development.Keywords: birth length, birth weight, child developmentABSTRAKPendek (stunting) adalah gangguan pertumbuhan pada anak balita di Indonesia yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu dampaknya adalah stunting, terutama pada anak usia kurang dua tahun yang mengakibatkan penurunan tingkat kecerdasan. Artikel ini menggunakan data penelitian yang dilakukan di 10 puskesmas di Kabupaten Bogor, selama 48 bulan dengan disain follow up study. Partisipan dalam penelitian ini adalah bayi yang diikuti mulai dari dalam kandungan sampai bayi berusia 12 bulan. Data yang diolah adalah data panjang badan, umur dan tingkat perkembangan. Data stunting didapatkan berdasarkan z-skor tinggi badan terhadap umur, sedangkan data perkembangan anak didapatkan mengguankan Bailey’s Test III. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 9,5 persen bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan 22 persen stunting. Nilai z-skor panjang badan terhadap umur pada bayi baru lahir berkolerasi dengan perkembangan motorik dan sosial emosi sejak bayi berumur nol bulan, yaitu rho=0,33; p=0,004 untuk motorik dan rho=0,244 dengan p=0,036 untuk sosial emosi. Sedangkan korelasi terhadap perkembangan bahasa baru tampak pada saat bayi berumur satu bulan yaitu rho=0,29 dengan p=0,031 dan korelasi terhadap perkembangan kognitif terjadi pada usia dua bulan rho=0,318 dengan p=0,011. Pada anak lahir stunting median perkembangan bahasa lebih rendah dibandingkan kelompok yang normal. [Penel Gizi Makan 2014, 37(2): 109-118]Kata kunci : stunting, status gizi, perkembangan anak
STATUS GIZI ANAK BALITA DAN KETERLIBATAN IBU DALAM KEGIATAN DI LUAR RUMAH Sri Muljati
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) JILID 16 (1993)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v0i0.2274.

Abstract

Tulisan ini menyajikan analisis dari data hasil penelitian Aspek psikososial pada anak balita KKP yang dilakukan di wilayah kabupaten Bogor dengan rancangan kasus kontrol berjodoh (match case control). Dari data tersebut diperoleh 42 anak balita penderita gizi buruk (kasus) dan 42 anak balita dengan status gizi balk sebagai kontrol. Status gizi ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis dan indeks berat badan menurut umur. Sedangkan kontrol ditentukan berdasarkan kriteria: jenis kelamin, umur, sosial ekonoml dan lingkungan tempat tinggal yang relatif sama dengan kasus. Data yang diolah adalah status gizi anak, pengetahuan gizi ibu, sumber informasi tentang cara memberi makan kepada anak, dan kegiatan di luar rumah tangga yang diikuti ibu. Sumber informasi tentang cara memberi makan kepada anak umumnya berasal dari kerabat dekat yaitu orang tua, famili, tetangga dan teman, berturut-turut pada kelompok anak gizi baik dan buruk sebanyak 88.1% dan 92.0%. Pengetahuan ibu tentang gizi sebagian besar tergolong kurang, yaitu sebanyak 69.1% pada kelompok anak gizi baik dan 73.8% pada kelompok anak gizi buruk. Disamping itu ditemukan 76.2% dan 57.2% ibu dari kelompok anak balita gizi baik dan buruk yang mengikuti kegiatan penimbangan serta 69.0% dan 59.5% ibu dari kelompok anak gizi baik dan buruk yang mengikuti kegiatan pengajian. Namun kedua kegiatan tersebut nampaknya belum dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan gizi kepada masyarakat. Hal ini tampak dari sebagian besar ibu-ibu yang mengikuti kegiatan penimbangan, masih memiliki pengetahuan gizi yang kurang yaitu sebanyak 47.7% pada kelompok anak gizi baik dan 45.2% pada kelompok anak gizi buruk.
POLA MENYUSUI DAN PEMBERIAN MAKANAN PADA ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI WILAYAH BOGOR Sudjasmin Sudjasmin; Sri Muljati; Sihadi Sihadi; Suhartato Suhartato; M. A. Husaini
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) JILID 16 (1993)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v0i0.2275.

Abstract

Penelitian pola menyusui dan pemberian makanan pada penderita Gizi Buruk telah dilakukan terhadap pengunjung Klinik Gizi Bogor, berusia antara 6 bulan sampai dengan 48 bulan. Anak-anak penderita Gizi Buruk yang diteliti umumnya berumur di bawah 24 bulan dan hanya sedikit di atas 24 bulan. Yang paling banyak ditemui adalah marasmus (90.8%), sedangkan kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor hanya sedikit yaitu masing-masing 4.6% dan 4.6%. Umumnya anak-anak ini disapih pada usia sangat muda, bahkan lebih dari setengahnya (53.3%) telah disapih pada usia kurang dari 7 bulan. Alasan disapih adalah karena ibu hamil lagi, ibu sakit dan ASI tidak keluar. Anak-anak penderita Gizi Buruk ini juga telah mendapat makanan tambahan terlalu dini yaitu sejak berumur kurang dari 4 bulan. Selain itu juga sering diberi makanan jajanan berupa chiki, pisang goreng, ubi, agar-agar dan roti (biskuit); tabu diberi makan ikan; dan mengalami sulit makan karena sering sakit.
PRAKTIK PEMBERIAN MAKANAN PADA BAYI DI BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR SOSIAL BUDAYA YANG MEMPENGARUHI Arnelia Arnelia; Sri Muljati
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) JILID 16 (1993)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v0i0.2276.

Abstract

Telah dilakukan penelitian di daerah perkotaan dan pedesaan Ciomas di Kabupaten Bogor, untuk mempelajari praktek pemberian makanan pada bayi serta faktor sosial budaya yang mempengaruhi dengan menggunakan metoda Rapid Assesment Procedures (RAP). Sampel penelitian adalah ibu-ibu yang mempunyai bayi umur (13-18) bulan, kader Posyandu, dukun bayi dan tokoh masyarakat. Hasil penelitian menunjukan bahwa makanan pralaktasi berupa madu dan air putih, biasa diberikan kepada bayi baru lahir di kedua desa. Bayi di daerah perkotaan sudah diberi ASI sejak berusia sehari, sedangkan di pedesaan umumnya pada hari ke empat karena ASI pada tiga hari pertama dianggap kotor dan biasanya dibuang. Pemberian makanan tambahan dimulai pada usia terlalu dini, yaitu rata-rata usia dua minggu di pedesaan dan satu bulan di perkotaan. Sebaliknya pemberian sayuran hijau dan protein hewani umumnya terlambat. Sayuran hijau baru diberikan setelah usia sembilan bulan di perkotaan, dan setelah 18 bulan di pedesaan. Protein hewani umumnya baru mulai diberikan setelah bayi berusia 12 bulan. Bahkan di daerah pedesaan, jenis ikan basah baru diberikan setelah anak berusia tiga tahun.
KERAGAAN ANAK BALITA PASCA PEMULIHAN GIZI BURUK Arnelia Arnelia; Astuti Lamid; Sri Muljati; Paul Matulessy
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) JILID 15 (1992)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v0i0.2246.

Abstract

Salah satu upaya penanggulangan KEP berat adalah kegiatan Pemulihan Gizi Buruk yang dikembangkan oleh Puslitbang Gizi Buruk. Sekitar 80% anak balita dapat pulih setelah mengikuti paket kegiatan selama enam bulan. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1991 terhadap 60 anak usia balita dan telah selesai mengikuti pemulihan gizi buruk pada tahun 1987 sampai 1990, dengan tujuan untuk pengkajian keragaan mereka sekarang. Data yang dikumpulkan adalah berat badan, tinggi badan, umur, kondisi klinis dan sosial ekonomi. Status gizi ditentukan menurut baku Harvard serta gabungan indeks antropometri menurut baku WHO-NCHS. Sampel terbanyak berumur lebih dari empat tahun (40%) dan 2-3 tahun (30%), dengan umur terendah 18 bulan dan tertinggi 60 bulan. Tingkat pendidikan orang tua rata-rata SD, sebagian besar bekerja sebagai buruh dan tukang atau supir. Berdasarkan indeks Berat Badan/Umur, terlihat status gizi anak meningkat dibandingkan dulu (selesai pemulihan) yaitu gizi buruk turun dari 21.7% menjadi 18.3% dan gizi baik naik dari 3.3% menjadi 6.7%. Demikian pula indeks Berat Badan/Tinggi Badan, gizi buruk tetap 1.6% dan gizi baik naik dari  15.1% menjadi 36.7%. Sebaliknya, dampak gizi buruk waktu lampau terlihat lebih jelas dengan indeks Indeks Tinggi Badan/Umur, yaitu gizi buruk naik dari 33.3% menjadi 43.3% dengan gizi baik 5.0%. Jika digunakan gabungan ketiga indeks, keragaannya adalah 65% termasuk baik pernah kurang gizi, 20% gizi buruk dulu sampai sekarang, 8.3% normal. Pengelompokkan dalam gabungan indeks ini akan lebih memudahkan untuk menentukan langkah selanjutnya guna meningkatkan status gizi anak balita pasca pemulihan gizi buruk.
ANALISIS RISIKO TERJADINYA KKP PADA ANAK BATITA KARENA IBU MENDERITA ASMA Sri Muljati; Arnelia Arnelia; Basuki Budiman
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) JILID 15 (1992)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v0i0.2248.

Abstract

ANALISIS RISIKO TERJADINYA KKP PADA ANAK BATITA KARENA IBU MENDERITA ASMA