Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

PENGARUH PEMBERIAN OPLOSAN MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) DAN ETANOL 10% DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GRADASI KERUSAKAN OTAK TIKUS WISTAR Laily, Novita Shalatiah; Djannah, Fathul; Syamsun, Arfi
Jurnal Kedokteran Vol 3 No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar belakang: Penyalahgunaan minuman beralkohol semakin meningkat, salah satunya minuman keras campuran (oplosan). Dalam pembuatan oplosan, alkohol jenis etanol sering dicampur dengan berbagai bahan, salah satunya dengan MSG (monosodium glutamate). Etanol dan MSG dalam jumlah berlebih bisa menimbulkan efek toksik yang merusak organ. Otak adalah organ paling vital dan sensitif, sehingga jika otak terkena efek toksik, akan mengganggu homeostasis tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat terhadap gradasi kerusakan otak tikus wistar. Metode: Penelitian menggunakan desain penelitian eksperimental dengan rancangan Post Test Only Kontrol Group Design. Penelitian ini menggunakan 6 kelompok yaitu 3 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Kelompok kontrol negatif (KN) yaitu tikus yang mendapat aquadest 4 ml, kelompok kontrol 1 (K1) menggunakan etanol murni kadar 10% sebanyak 4 ml dan kelompok kontrol 2 (K2) menggunakan MSG yang diambil dari larutan dosis letal 16,6 gr/kgBB sebanyak 4 ml. Serta tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok perlakuan 1 (P1) yang diberikan oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:3 sebanyak 4 ml, kelompok perlakuan 2 (P2) yang diberi oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:4 sebanyak 4 ml, kelompok perlakuan 3 (P3) yang diberi oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml. Hasil: Terdapat perbedaan kerusakan otak yang bermakna antara kelompok KN dengan P3 (p=0,019) dan kelompok P1 dengan P3 (p=0,019), juga antara kelompok P2 dengan P3 (p=0,019) dengan p
PENGARUH PEMBERIAN OPLOSAN MSG DAN ETANOL 10% DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GRADASI KERUSAKAN JANTUNG TIKUS WISTAR Paparan MSG dan Tuak Fermentasi Dosis Bertingkat terhadap Gradasi Kerusakan Jantung Tikus Wistar Nirmalasari, Nur Oktia; Djannah, Fathul; Syamsun, Arfi
Jurnal Kedokteran Vol 3 No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendahuluan: Penyalahgunaan minuman beralkohol di dunia terus meningkat. Di Indonesia, telah ditemukankasus kematian akibat konsumsi oplosan minuman beralkohol dengan berbagai bahan, salah satunya monosodium glutamat (MSG). Alkohol dengan komponen utama etanol berbahaya bagi tubuh, terutama jantung. Sementara itu penggunaan MSG dalam makanan masih diragukan. Etanol dan MSG adalah bahan yang jika berlebihan dalam tubuh dapat menimbulkan gangguan berbagai organ. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat terhadap gradasi kerusakan jantung pada hewan percobaan tikus Wistar. Metodologi peneliian: Penelitian menggunakan desain penelitian eksperimental sederhana dengan rancangan post-test only control group design. Penelitian ini menggunakan 6 kelompok yaitu 3 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol negatif (KN) diberikan aquades, kelompok kontrol pertama (K1) diberi etanol, kelompok kontrol kedua (K2) diberi larutan MSG dosis letal 16,6 g/KgBB. Sementara kelompok perlakuan 1 (P1) diberi campuran MSG dan etanol dengan perbandingan 1:3, perlakuan 2 (P2) diberi campuran MSG dan etanol dengan perbandingan 1:4, perlakuan 3 (P3) diberi campuran MSG dan etanol dengan perbandingan 1:5. Seluruh kelompok diberikan perlakuan sebanyak 4 ml, selama 7 hari dengan jarak 2 hari. Setelah 14 hari, tikus dibius, diambil organ jantung melalui pembedahan, dan difiksasi dengan formalin 10% untuk pemeriksaan mikroskopis. Hasil: Terdapat perbedaan gambaran histopatologi jantung yang bermakna antara KN dengan P3 (p=0,005), P1 dengan P3 (p=0,005), P2 dengan P3 (p=0,005) dimana p
PENGARUH PEMBERIAN OPLOSAN MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) DAN ETANOL 10% DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GRADASI KERUSAKAN HEPAR TIKUS WISTAR Pengaruh Paparan Dosis MSG dan Tuak Fermentasi Dosis Bertingkat terhadap Gradasi Kerusakan Hepar Tikus Wistar. Hidayati, Nurul; Syamsun, Arfi; Djannah, Fathul
Jurnal Kedokteran Vol 3 No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar belakang: Penyalahgunaan minuman beralkohol dewasa ini semakin meningkat, salah satunya dengan cara dicampur (dioplos) dengan bahan lain. Bahan lain yang sering ditambahkan pada minuman keras beralkohol salah satunya adalah monosodium glutamate (MSG). Organ hepar merupakan tempat utama metabolisme zat-zat yang masuk ke dalam tubuh sehingga kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan pada organ ini sangat besar.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat terhadap gradasi kerusakan hepar tikus wistar. Metode: Penelitian menggunakan desain penelitian eksperimental dengan rancangan roandomized control group only design. Hasil: Menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kontrol satu (p=0,001), kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan dua (p=0,001) dan kelompok kontrol negatif dengan perlakuan tiga (p=0,001) dimana p
Korelasi antara Usia dengan Ekspresi Epstein-Barr Virus pada Kanker Nasofaring Tipe Undifferentiated Carcinoma Pratama, Aditya Agung; Yudhanto, Didit; Kadriyan, Hamsu; Djannah, Fathul
Jurnal Kedokteran Vol 6 No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar belakang: Karsinoma nasofaring merupakan keganasan sel skuamosa epitel nasofaring yang paling sering terjadi di daerah fossa rosenmuller yang selanjutnya dapat meluas ke struktur anatomi di sekitarnya. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kanker nasofaring antara lain adalah genetik, infeksi Ebstein-Barr virus dan lingkungan. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mendeteksi Ebstein-Barr virus pada kanker nasofaring terutama LMP1. Kanker nasofaring paling banyak terjadi pada usia 40-49 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara usia dengan ekspresi Epstein-Barr virus pada pasien Kanker Nasofaring. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional). Sampel penelitian ini adalah pasien kanker nasofaring yang berada di Rumah Sakit Umum Nusa Tenggara Barat, yang ditentukan dengan teknik consecutive sampling. Pada sampel penelitian ini dilakukan pemeriksaan ekspresiEpstein-Barr viruspada blok paraffin pasien kanker nasofaring menggunakan pemeriksaan imunohistokimia.Data dianalisis dengan uji korelasi koefisien kontingensi. Hasil: Sampel pada penelitian ini berjumlah 44 sampel dengan rentang usia 22-70 tahun. Jumlah sampel terbanyak pada rentang usia 40-49 tahun yaitu sebanyak 13 orang. Jumlah sampel pasien yang berusia ≤45 tahun sebanyak 27 orang (61,36%) dan yang berusia >45 tahun sebanyak 17 orang (38,64%) dengan rata-rata usia 43,29 tahun. Berdasarkan hasil pemeriksaan imunohistokimia, dari 44 sampel yang diteliti, 15 orang (34,09%) mengekspresikan LMP1 positif sedangkan yang negatif sebanyak29 orang (65,90%). Sampel pasien yang berusia ≤45 tahun yang mengekspresikan LMP 1 positif sebanyak 9 orang (33,33%) dan negatif 18 orang (66,66%). Sampel pasien yang berusia >45 tahun yang mengekspresikan LMP 1 positif sebanyak 6 orang (35,29%) dan negatif 11 orang (64,70%). Hasil uji korelasi koefisien kontingensi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat lemah (r = 0,020) antara usia dengan ekspresi Epstein-Barr virus pada pasien Kanker Nasofaring dan tidak bermakna secara signifikan (p = 0,894). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik pada hasil pemeriksaan ekspresi EBV pada sediaan blok parafin pasien kanker nasofaring dengan usia pasien kanker nasofaring.
KORELASI ANTARA JENIS KELAMIN DENGAN EKSPRESI Bcl-2 PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING WHO III chaeruddin, Muhammad bagus syaiful; Kadriyan, Hamsu; Sulaksana, Mochammad Alfian; Djannah, Fathul
Jurnal Kedokteran Vol 6 No 3.1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Karsinoma nasofaring merupakan keganasan epitelial yang berasal dari permukaan dinding lateral dan posterior nasofaring. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kanker nasofaring antara lain adalah genetik, infeksi Ebstein-Barr virus dan lingkungan. distribusi Jenis kelamin di setiap kejadian karsinoma nasofaring 2 sampai 3 kali lipat lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Ekspresi Bcl-2 pada KNF yang tidak berdiferensiasi berhubungan dengan penghambatan proses apoptosis serta perpanjangan kelangsungan hidup sel. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang atau cross sectional. Rancangan penelitian ini adalah penelitian yang pengukuran dan pengamatannya dilakukan secara simultan dalam satu waktu (pada waktu yang bersamaan). Sampel penelitian ini adalah pasien kanker nasofaring yang berada di Rumah Sakit Umum Nusa Tenggara Barat, yang ditentukan dengan teknik consecutive sampling dengan menyesuaikan dengan usia pasien. Pada sampel penelitian ini dilakukan pemeriksaan ekspresi Bcl-2 pada blok paraffin pasien kanker nasofaring menggunakan pemeriksaan imunohistokimia. Data dianalisis dengan uji korelasi lambda. Hasil: Berdasarkan hasil pemeriksaan imunohistokimia, dari 30 sampel yang diteliti, 10 orang (33,3%) mengekspresikan Bcl-2 (-) negatif, 8 orang (26,7%) mengekspresikan Bcl-2 (+), 2 orang (6,6%) mengekspresikan Bcl-2 (++), 10 orang (33,3%) mengekspresikan Bcl-2 (+++). Hasil uji chi square menunjukan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara jenis kelamin dengan Bcl-2 pada karsinoma nasofaring WHO III (P= 0,965) dengan korelasi yang sangat lemah berdasarkan uji korelasi lambda (r = 0,03). Kesimpulan: Terdapat korelasi antara jenis kelamin dengan ekspresi Bcl-2 pada karsinoma nasofaring tetapi data yang di hasilkan tidak bermakna.
KORELASI ANTARA USIA DENGAN EKSPRESI BCL-2 PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING WHO TIPE III Putra, Putu Arthana; Kadriyan, Hamsu; Aryani, Gusti Ayu Trisna; Djannah, Fathul
Jurnal Kedokteran Vol 6 No 3.1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Karsinoma nasofaring adalah karsinoma pada mukosa nasofaring dan paling banyak terjadi pada usia 40-49 tahun. Kegagalan apoptosis merupakan mekanisme dasar terjadinya karsinoma tersebut. Salah satu faktor yang berkaitan dengan abnormalitas apoptosis yang terjadi pada karsinoma nasofaring adalah Bcl-2 Tujuan: Mengetahui korelasi antara usia dengan ekspresi Bcl-2 pada pasien Karsinoma Nasofaring WHO tipe III Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan design cross sectional. Penelitian ini menggunakan data rekam medik pasien karsinoma nasofaring WHO tipe III dari Rumah Sakit Umum Provinsi NTB dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mendeteksi ekspresi Bcl-2 pada blok paraffin pasien tersebut. Usia pasien dikategorikan menjadi <45 tahun dan ≥45 tahun. Pemeriksaan imunohistokimia pada penelitian ini mengelompokkan hasil ekspresi Bcl-2 menjadi 4 kategori (ekspresi Bcl-2 negatif, positif 1, positif 2, dan positif 3). Sampel penelitian ini ditentukan dengan teknik consecutive sampling. Data dianalisis dengan uji korelasi lambda. Hasil: Pasien karsinoma nasofaring WHO tipe III di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB yang berusia <45 tahun 26 pasien dan yang berusia ≥45 tahun 18 pasien. Hasil pemeriksaan imunohistokimia, dari 44 sampel yang diteliti, 15 orang mengekspresikan Bcl-2 negatif, 13 orang mengekspresikan Bcl-2 positif 1, 1 orang mengekspresikan Bcl-2 positif 2, dan 15 orang mengekspresikan Bcl-2 positif 3. Hasil uji korelasi lambda menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara usia dengan ekspresi Bcl-2 pada pasien karsinoma nasofaring WHO tipe III (p = 0,562). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara usia dengan ekspresi Bcl-2 pada pasien Karsinoma Nasofaring WHO tipe III di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB
HUBUNGAN ANTARA GAMBARAN HISTOPATOLOGI DENGAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS DI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2019 Alfaridzi, Muhammad; Lestarini, Ima Arum; Djannah, Fathul
Jurnal Kedokteran Vol 10 No 1 (2021): volume 10 nomor 1 2021
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jku.v10i1.453

Abstract

Background: Indonesia is the 3rd country with the highest incidence of tuberculosis (TB) in the world. 15% of TB cases are EPTB with 50% of them being lymphadenitis TB (LNTB). The histopathological features of the biopsy samples play an important role in the diagnosis of this disease by producing the images of WOG or POG. The number of leukocytes can describe the immune response in people with LNTB. Methods: This study is an observational analytic study with a cross-sectional approach. The data were obtained by documenting the medical records of LNTB patients who were treated at the RSUD Provinsi NTB and RSUD Kota Mataram in the January 2019 - February 2020 period. Results: The total number of research subjects is 51 people. In the histopathological features, 37 samples included WOG, and 14 samples included POG. On the leukocyte count, none of the patients had leukopenia, 39 patients had normal leukocyte counts and 12 patients had leukocytosis. The results of the Spearman correlation test obtained p = 0.005 and r = 0.384 Conclusion: There is a significant correlation between the histopathological features and the number of leukocytes in patients with LNTB in NTB in January 2019 - February 2020. The correlation is weak.
Skrining Kanker Serviks Pada Wanita Dengan Faktor Risiko Di Kota Mataram Novrita Padauleng; Fathul Djannah; Lale Maulin Prihatina
Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) Vol 1 (2018): Prosiding PKM-CSR Konferensi Nasional Pengabdian kepada Masyarakat dan Corporate Socia
Publisher : Asosiasi Sinergi Pengabdi dan Pemberdaya Indonesia (ASPPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (287.329 KB)

Abstract

Tingginya insidensi dan mortalitas kanker serviks di Indonesia, termasuk di antaranya provinsi NTB, menunjukkan pentingnya program pencegahan dan kontrol atau pengawasan terhadap kanker serviks. Salah satu program pencegahan dan kontrol kanker serviks yang dapat dilakukan adalah pencegahan sekunder dengan melakukan skrining dan terapi. Skrining ini bertujuan untuk mencari adanya lesi prekanker atau kanker serviks pada wanita berisiko, yang umumnya tidak menunjukkan gejala apapun. Salah satu alternatif metode sederhana yang dapat dilakukan adalah tes sitologi konvensional Pap smear. Tes ini menggunakan instrumen untuk mengambil sampel endoserviks dan ektoserviks dan mendeteksi adanya lesi prekanker dan kanker serviks, sehingga dapat diterapi sedini mungkin. Kegiatan pengabdian ini merupakan wujud implementasi kepedulian dan pelaksanaan atas himbauan Menteri Kesehatan untuk mendukung upaya Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) oleh FK Universitas Mataram dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Mataram, khususnya di wilayah NTB. Skrining kanker serviks dilakukan terhadap 30 partisipan di Kota Mataram. Hasil pemeriksaan papsmear menunjukkan bahwa 1 partisipan (10%) memiliki lesi displasia berat dan disarankan untuk melalukan pemeriksaan lebih lanjut dengan open biopsi, serta 2 partisipan dengan lesi ASCUS dan disarankan untuk pemeriksaan papsmear ulang setelah 3 bulan. Kota Mataram merupakan lokasi pertama yang dipilih pada kegiatan skrining ini, dari serangkaian kegiatan skrining yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan di Provinsi NTB, yang meliputi 10 Kabupaten dan Kota yang terdapat di pulau Lombok dan Sumbawa.
Hubungan antara Umur dengan Ekspresi MIF (Macrophage Migration Inhibitory Factor) pada Penderita Limfadenitis Tuberkulosis Nimas Resti; Fathul Djannah; Philip Habib
Unram Medical Journal Vol 11 No 4 (2022): volume 11 no 4
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jku.v11i4.803

Abstract

Abstrak Latar belakang: Prevalensi TB ekstra paru pada tahun 2019 dilaporkan mencapai sekitar 16% dari 7,1 juta kasus kejadian TB di dunia. Di Indonesia dengan insidensi tinggi tuberkulosis, limfadenitis tuberkulosis merupakan kasus tersering dari TB ekstra paru. MIF (Macrophage Migration Inhibitory Factor) merupakan salah satu sitokin yang berperan dalam mempengaruhi ketahanan tubuh pasien limfadenitis TB. Kadar MIF pada setiap tingkatan umur berbeda-beda, mulai dari lahir hingga dewasa. Terdapat perbedaan hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya terkait hubungan antara umur dengan ekspresi MIF, beberapa menyatakan keduanya memiliki hubungan, sedangkan yang lainnya menyatakan sebaliknya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara umur dengan ekspresi MIF (Macrophage Migration Inhibitory Factor) pada penderita limfadenitis tuberkulosis. Metode: Desain penelitian menggunakan rancangan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional. Pemilihan sampel menggunakan consecutive sampling, yang diperoleh dari data rekam medis penderita limfadenitis tuberkulosis di Nusa Tenggara Barat berupa sampel blok parafin. Besar sampel penelitian berjumlah 100 orang dengan analisis statistik menggunakan uji korelasi rank spearman. Hasil: Total subjek penelitian berjumlah 100 orang, 54 sampel perempuan dan 46 sampel laki-laki. Penelitian ini didominasi oleh responden dengan rentang umur 20-60 tahun (74,0%), lalu diikuti oleh rentang umur 11-19 tahun (16,0%). Immunoreactive score yang dominan dalam penelitian ini yaitu IRS 1 (43,0%). Hasil dari uji korelasi spearman didapatkan nilai p= 0.567 dan (r didapat) < r minimal (0,4). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara umur dengan ekspresi MIF (Macrophage Migration Inhibitory Factor) pada penderita limfadenitis tuberkulosis. Kata kunci: MIF (Macrophage Migration Inhibitory Factor), umur, limfadenitis tuberkulosis, immunoreactive score, pewarnaan IHC.
SKRINING LIMFADENOPATI PADA KONTAK ERAT PENDERITA TUBERCULOSIS DI DESA BINAAN FK UNIVERSITAS MATARAM Fathul Djannah; Arfi Syamsun; Rika Hastuti Setyorini
Jurnal Pepadu Vol 3 No 3 (2022): Jurnal PEPADU
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (626.062 KB)

Abstract

Berdasar atas data WHO Global Report 2018 Indonesia masuk ke dalam 20 negara dengan jumlah pasien tertinggi di dunia. Limfadenitis Tuberculosis (LN-TB) adalah tuberculosis extra paru yang paling sering terjadi. Limfadenopati adalah keluhan utama limfadenitis TB. Banyak pasien datang dengan keluhan benjolan yang besar dan tidak meyadarinya sejak awal. Pemberdayaan masyarakat dan peningkatkan pengetahuan serta kesadaran sejak dini untuk waspada pada diri sendiri dapat mencegah keluarga penderita TB menjadi penderita TB pula. Selain memeriksa pembesaran kelenjar leher dan keluhan klinis pada semua kontak erat penderita TB juga meningkatkan kemampuan programmer dan kader kesehatan di masyarakat dalam menemukan kasus baru TB. Skrining kepada kontak erat penderita TB aktif baik TB paru maupun TB kelenjar. Skrining dilakukan dengan memeriksa leher dan keluhan klinis TB pada orang orang di sekitar penderita TB dan diharapkan akan meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku kader kesehatan dalam penemuan penyakit tuberkulosis. Kegiatan dilakukan pada tanggal 17-24 oktober 2021 di area wilayah puskesmas Meninting Lombok Barat. Skrining dilakukan dengan mendatangi rumah rumah pasien dan memeriksa kontak erat dengan penderita yaitu sebanyak 62 orang. Didapatkan 5 orang dengan limfadenopati dengan diameter 0,5-2 cm. Pada hasil FNAB didapatkan 4 orang dengan hasil reaktif limfoid hiperplasia dan 1 orang mencurigakan suatu TB kelenjar. Skrining kepada kontak erat penderita TB aktif baik TB paru maupun TB kelenjar adalah salah satu metode efektif untuk menemukan kasus TB baru. Kemampuan skrining limfadenopati seharusnya juga dimiliki oleh tenaga kesehatan di bidang TB.