Claim Missing Document
Check
Articles

Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Cipta Sinematografi dari Pembajakan pada Situs Web Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Sandi Gunawan Sadda; Neni Sri Imaniyati; Asep Hakim Zakiran
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (127.124 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.446

Abstract

Abstract. Cinematography is a creation which comes from human thoughts. Cinematography are a mass communication media for motion pictures, which include: documentary films, reportage, or a story made with scenarios or cartoon films. In the cinematography industry, there are cases of act against the law which is cinematography piracy without rights through an unofficial websites. This study aims to understand the legal protection of copyright law in cinematography films and to understand the legal responsibility of cinematography piracy without rights in terms of Law Number 28 of 2014 concerning Copyrights. The research method in this thesis uses normative juridical using the secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials obtain through library research by using research specifications that are descriptive analysis through a qualitative juridical approach, which is a research starting point from copyrights and then analyzed qualitatively. The results of this research can be concluded that the preventive legal protection and repressive legal protection as well for the owner of cinematography copyrights of Keluarga Cemara film has been fulfilled and is in accordance with existing regulations. When the cases reviewed from the aspect of civil liability and criminal liability, there are aspects that are not fulfilled by the hijackers, which is the aspect of liability based on fault, where there should be a civil liability in the form of material compensation. Then if the cases viewed from Article 1365 Civil Code the decision in this case is not appropriate because there is no compensation as the responsibility of the hijackers to PT. Visinema Pictures as the copyright owner whose economic rights are violated. Abstrak. Sinematografi merupakan sebuah karya cipta yang dihasilkan dari olah pikir manusia. Karya sinematografi merupakan media komunikasi masa gambar gerak, yang meliputi: film documenter, film iklan, reportase, atau film cerita yang dibuat dengan scenario atau film kartun. Dalam industri sinematoragfi film terdapat kasus perbuatan melawan hukum yaitu pembajakan sinematografi film tanpa hak melalui situs web tidak resmi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami perlindungan hukum terhadap hak cipta sinematografi film serta untuk memahami pertanggung jawaban hukum terhadap pembajakan sinematografi tanpa hak ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Metode penelitian dalam penyusunan skripsi ini menggunakan yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh melalui studi kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analisis melalui pendekatan masalah secara yuridis kualitatif yang merupakan penelitian berititik tolak dari perundang-undangan hak cipta kemudian dianalsis secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini dapat penulis simpulkan bahwa perlindungan hukum secara preventif dan juga perlindungan hukum represif terhadap pemilik hak cipta sinematografi film Keluarga Cemara telah terpenuhi dan telah sesuai dengan aturan yang ada. Jika ditinjau dari aspek pertanggung jawaban perdata dan aspek pertanggung jawababan pidana, terdapat aspek yang tidak dipenuhi oleh pembajak yaitu dari aspek liability based on fault, di mana seharusnya terdapat pertanggung jawaban perdata berupa ganti rugi yang bersifat material. Kemudian apabila ditinjau dari Pasal 1365 KUHPerdata keputusan terhadap kasus ini belum sesuai karena tidak adanya ganti rugi sebagai pertanggungjawaban dari pembajak kepada PT Visinema Pictures selaku pemilik hak cipta yang hak ekonominya di langgar.
Penggunaan Logo Merek Terdaftar yang Menyerupai Sketsa Monumen Selamat Datang erdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis Riska Andina Putri; Neni Sri Imaniyati; Asep Hakim Zakiran
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.742 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.832

Abstract

Abstract A brand is a sign to distinguish a product produced by a person or a legal entity from a product produced by another party. The arrangement regarding brands that must be rejected is regulated in The Brand Law No. 20 of 2016 concerning Brands and Geographical Indications.But in fact there are registered brands that resemble welcome monument sketches. This research aims to find out the Legal Protection for registered brands that resemble welcome monument sketches under Brand Law No. 20 of 2016 on Brands and Geographical Indications and the legal consequences of the use of registered brand logos that resemble welcome monument sketches reviewed from Brand Law No. 20 of 2016 on Brands and Geographical Indications. Research methods use normative juridical approaches using secondary data in the form of primary legal materials, obtained through (Library Research) using research specifications that are descriptive of analysis and then analyzed qualitatively. The results showed the legal consequences of the use of a registered brand logo that resembled a welcome monument sketch, namely Grand Indonesia was sanctioned to pay compensation of 1 billion to heirs Henk Ngantung as the copyright holder of the welcome monument sketch work. nonconformity of the Brand & IG Law in the registration of Grand Indonesia, where the Grand Indonesia brand should be denied registration. The existence of similarities between the logo and the welcome monument sketch is the reason for the rejection of the Registration of the Grand Indonesia brand. Keywords: Legal protection, registered marks, sketches, unauthorized Use. Abstrak Merek merupakan tanda untuk membedakan produk yang dihasilkan oleh seseorang atau suatu badan hukum dengan produk yang dihasilkan pihak lain. Pegaturan mengenai merek yang harus ditolak sudah diatur didalam Undang-Undang Merek Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.Tetapi pada faktanya terdapat merek terdaftar yang menyerupai skesta monumen selamat datang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perlindungan Hukum bagi merek terdaftar yang menyerupai sketsa monumen selamat datang berdasarkan Undang-Undang Merek Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan akibat hukum dari penggunaan logo merek terdaftar yang menyerupai sketsa monumen selamat datang ditinjau dari Undang-Undang Merek Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, yang diperoleh melalui studi kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analisis kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan Akibat hukum dari penggunaan logo merek terdaftar yang menyerupai skesta monumen selamat datang yaitu Grand Indonesia dijatuhi sanksi untuk membayar ganti rugi sebesar 1 milyar kepada ahli wari Henk Ngantung selaku pemegang hak cipta dari karya sketsa monumen selamat datang tesebut. ketidaksesuaian UU Merek & IG didalam pendaftaran Grand Indonesia, dimana seharusnya merek Grand Indonesia tersebut ditolak pendaftarannya. Adanya persamaan diantara logo dengan sketsa monumen selamat datang itulah yang menjadi alasan untuk ditolaknya pendaftaran merek Grand Indonesia tersebut. Kata kunci: Perlindungan hukum, merek terdaftar, penggunaan tanpa izin
Perlindungan Hukum terhadap Karya Potret Tanpa Izin sebagai Iklan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Riefa Adzany; Neni Sri Imaniyati; Asep Hakim Zakiran
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.288 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.843

Abstract

Abstract. Advances technology and information affect the use of portrait in daily life, especially in business sector because can increase selling value. However, technology advances provide risks because easy access to online platforms can misused by others and used as personal gain. Case in use unauthorized portraits taken through blog sites and used for advertising to reap profits cause losses for portrait owners. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta regulated the rights of the creator and procedures for using portraits which part of copyrighted works that receive legal protection. This research was conducted to find out the legal protections against the use of portrait works without permission as advertisements and how legal efforts can be made by owners of portrait works used without permission. This research uses normative juridical methods, research specifications using descriptive analytical, type of data used is secondary data, data collection techniques library research, data analysis techniques using qualitative juridical.Based on the results of this research, preventive legal protection is obtained before the occurrence of violations or prevention efforts in the form of registering objects of creation to Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual and applying a license. Repressive protection is carried out after violations through the Pengadilan Niaga and Arbitration and Alternative Institutions of Dispute Resolution. In addition, legal efforts can pursued by the creator are civil legal efforts by filing damages to Pengadilan Niaga and criminally by filing a complaint that settlement in litigation path can be carried out, in addition can pursued through non-litigation channels. Abstrak. Kemajuan teknologi dan informasi mempengaruhi penggunaan potret dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam sektor bisnis karena dapat meningkatkan nilai jual dan merupakan aspek yang penting. Namun, adanya kemajuan teknologi memberikan risiko karena akses yang mudah pada platform online dapat disalahgunakan oleh pihak lain dan digunakan sebagai keuntungan pribadi. Seperti yang terjadi dalam penggunaan potret tanpa izin yang diambil melalui situs blog dan digunakan untuk iklan untuk meraup keuntungan yang menimbulkan kerugian untuk pemilik potret. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah mengatur mengenai hak pencipta dan prosedur menggunakan potret yang merupakan bagian dari karya cipta yang mendapat perlindungan hukum.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap penggunaan karya potret tanpa izin sebagai iklan dan bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik karya potret yang digunakan tanpa izin. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, dengan teknik pengambilan data studi kepustakaan, dan teknik analisis data menggunakan yuridis kualitatif. Berdasarkan hasil penilitian ini, diperoleh perlindungan hukum preventif yang diberikan sebelum terjadinya pelanggaran atau upaya pencegahan berupa mendaftarkan objek ciptaan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan mengajukan lisensi. Perlindungan represif dilakukan setelah terjadinya pelanggaran melalui Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu, upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pencipta yaitu upaya hukum secara perdata dengan mengajukan tuntutan ganti rugi ke Pengadilan Niaga dan secara pidana dengan mengajukan pengaduan agar penyelesaian dijalur litigasi dapat terlaksana, selain itu dapat ditempuh melalui jalur non-litigasi.
Pencantuman Label Halal dalam Produk Umkm Tauco Cianjur menurut Undang-Undang Jaminan Produk Halal sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Adinda Mutiara I; Neni Sri Imaniyati; Asep Hakim Zakiran
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (175.855 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.931

Abstract

Abstract. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection states that consumers have the right to comfort, a security and safety in consuming goods and or services. For Muslim consumers, safe goods or services are halal goods or services. The obligation to include halal products is stated in an article 4 of Law Number 33 of 2014 concerning to guarantee Halal Products. A survey conducted by Frontier shows that 82.6% of Muslim consumers want the inclusion of a halal label. Based on data from LPPOM MUI, the issuance of Halal Certification is relatively low. The Cianjur government has the “ Gerbang Marhamah” Concept, but there is still Cianjur MSME products that have not been certified halal, including Tauco Cianjur.The purpose of this study is to understand the responsibility of business actors for the inclusion of halal labels in Tauco Cianjur MSME products as an effort to protect consumers in terms of Law Number 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantee and to understand the implementation of the inclusion of halal labels in Tauco Cianjur MSME products in terms of Law Number 33 of 2014 concerning a halal Product Guarantee. The researcher uses a normative juridical approach with descriptive analytical research specifications and uses primary and secondary data types. The data collection techniques used are a library and interview methods and data analysis methods using a qualitative analysis.The results of this study are the responsibility of business actors for the inclusion of halal labels as an effort to protect consumers in terms of Law Number 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantees is absolute responsibility (Stick Liability) and uses the principle of a reverse liability. the implementation of the inclusion of halal labels in MSME products Tauco Cianjur in terms of Law Number 33 of 2014 concerning to Guaranteed Halal Products is not yet implemented as whole. Abstrak. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Bagi konsumen muslim, barang atau jasa yang aman adalah barang atau jasa yang halal. Kewajiban mencantumkan kehalalan produk tertera pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Survey yang dilakukan oleh frontier menunjukan 82,6 % konsumen muslim menghendaki pencantuman label halal. Berdasarkan data LPPOM MUI, penerbitan Sertifikasi Halal relative rendah. Pemerintah Cianjur memiliki Konsep Gerbang Marhamah, namun masih terdapat produk UMKM Cianjur yang belum bersertfikasi halal termasuk Tauco Cianjur. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami tanggung jawab pelaku usaha terhadap pencantuman label halal dalam produk UMKM Tauco Cianjur sebagai upaya pelindungan konsumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal serta untuk memahami implementasi pencantuman label halal dalam produk UMKM Tauco Cianjur ditinjau dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.Peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis normative dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis dan menggunakan jenis data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan dan wawancara serta metode analisis data menggunakan analisis kualitatif.Hasil penelitian ini adalah tanggung jawab pelaku usaha terhadap pencantuman label halal sebagai upaya pelindungan konsumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal adalah tanggung jawab mutlak (Stict Liability) dan menggunakan prinsip pertanggungjawaban terbalik. Implementasi pencantuman label halal dalam produk UMKM Tauco Cianjur ditinjau dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal adalah belum terimplementasi secara keseluruhan.
Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Praktek Fintech Peer to Peer Lending yang Merugikan Konsumen Jasa Keuangan Anwar Hafidz Amrullah; Neni Sri Imaniyati
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.846 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.952

Abstract

Abstract. The presence of this globalization has provided the development of the fintech peer to peer lending industry in Indonesia, but problems are found in the peer to peer lending industry in Indonesia, namely the large number of illegal peer to peer lending fintechs that can harm financial consumers. The Financial Services Authority as an independent institution that oversees financial services has the authority to regulation and supervision of fintech peer to peer lending. The purpose of this study is to explain the regulation regarding the supervision of the Financial Services Authority on the practice of fintech peer to peer lending and to explain the implementation of the supervision of the Financial Services Authority against irregularities in the practice of fintech peer to peer lending that harms consumers of financial services in terms of law positive. The research method used is normative juridical because this research is based on the approach of OJK legislation relating to fintech peer to peer lending related to the supervision of the Financial Services Authority on the practice of fintech peer to peer lending that harms consumers of financial services. The regulation regarding OJK supervision of fintech peer to peer lending was first held in 2016 namely POJK No. 77/POJK.01/2016 concerning Technology-Based Lending and Borrowing Services which discusses the implementation of the mechanism for implementing fintech peer to peer lending and only supervises sub-sectorally. , this form of supervision is external supervision. Regarding sanctions in POJK No.77/POJK.01/2016 there is no legal certainty and can lead to disputes in the future, in 2018 OJK issued POJK regulation No.13/POJK.02/2018 concerning Digital Financial Innovation as a form of preventive supervision. The implementation of OJK supervision on irregularities in the practice of fintech peer to peer lending that harms consumers of financial services. The author's suggestion for OJK is to regulate more clearly and specifically regarding the supervision contained in POJK regulation No.77/POJK.01/2016 and for the Investment Alert Task Force to improve the detection system for illegal fintech peer to peer lending and improve the quality in supervision of fintech peer to peer lending illegal. Abstrak. Hadirnya globalisasi ini memberikan perkembangan industri fintech peer to peer lending di Indonesia namun ditemukan permasalahan dalam industri peer to peer lending di Indonesia yaitu banyaknya fintech peer to peer lending illegal yang dapat merugikan konsumen keuangan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga independen yang mengawasi jasa keuangan memiliki kewenangan dalam pengaturan dan pengawasan fintech peer to peer lending dalam Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaturan tentang pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap praktek fintech peer to peer lending dan menjelaskan pelaksanaan pengawasan Otoritas Jasa keuangan terhadap penyimpangan praktek fintech peer to peer lending yang merugikan konsumen jasa keuangan ditinjau hukum positif. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif karena penelitian ini berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan OJK yang berkaitan dengan fintech peer to peer lending dihubungkan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap praktek fintech peer to peer lending yang merugikan konsumen jasa keuangan. Pengaturan tentang pengawasan OJK terhadap fintech peer to peer lending ini pertama kali di tahun 2016 yaitu POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi membahas penyelenggaraan mekanisme penyelenggaraan fintech peer to peer lending dan hanya mengawasi secara sub-sektoral saja, bentuk pengawasan ini adalah pengawasan eksternal. Terkait mengenai sanksi pada POJK No.77/POJK.01/2016 terdapat tidak ada kepastian hukum dan bisa menimbulkan sengketa di kemudian hari, ditahun 2018 OJK mengeluarkan peraturan POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital sebagai bentuk pengawasan preventif. Pelaksanaan pengawasan OJK terhadap penyimpangan praktek fintech peer to peer lending yang merugikan konsumen jasa keuangan OJK membentuk Satuan Tugas Waspada Investasi untuk mengatasi beredarnya fintech-fintech ilegal namun masih belum maksimal karena keterbatasan kewenangan pada OJK. Saran penulis untuk OJK adalah mengatur lebih jelas dan spesifik mengenai pengawasan yang terdapat pada peraturan POJK No.77/POJK.01/2016 dan untuk Satgas Waspada Investasi meningkatkan sistem pendekteksi fintech peer to peer lending ilegal dan meningkatkan kualitas dalam pengawasan fintech peer to peer lending ilegal.
Tanggung Jawab Penyelenggara Jasa Marketplace Terhadap Perdagangan Software Bajakan berdasarkan PP No. 80 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Transaksi Melalui Sistem Elektronik Muhamad Firhan Fauzan; Neni Sri Imaniyati
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (167.033 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.1176

Abstract

Abstract. Software or computer program is an object of creation that is protected by the copyright regime based on Article 40 Paragraph 1 letter (s) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. Software that can be purchased legally will get an official license as a sign of the legality of ownership of the software, however, trade in pirated software is rife in the online marketplace buying and selling platforms. The problems that will arise are 1.) What are the Responsibilities of Marketplace Service Providers Against Pirated Software Trading According to Regulations Legislation ? 2.) What are the Legal Consequences of the Implementation of the Marketplace on the Trading of Pirated Software Based on Government Regulation No. 80 of 2019 concerning the Implementation of Transactions Through Electronic Systems? The method used is qualitative normative with a normative juridical approach by using secondary data in the form of primary legal materials (laws and regulations) and secondary legal materials from the literature (doctrine, journals, internet, books) relating to rights. Intellectual Property according to Law Number 28 of 2014 concerning Copyright and Government Regulation No. 80 of 2019 concerning the Implementation of Transactions Through Electronic Systems. Based on the results of research and discussion, it can be concluded that Shopee's responsibility for trading pirated software on the marketplace platform it manages is included in the scope of several laws and regulations, namely Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trading Through Electronic Systems, then Law Number 11 of 2019 2008 concerning Information and Electronic Transactions and Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. Legal actions between the seller and Shopee, both of which are part of the marketspace platform, have legal consequences, namely the loss of the economic rights of the copyright holder 10 and 114 UUHC can be a legal basis to impose responsibility on the organizers of the Shopee marketplace Keywords: Software, marketplace, responsibility. Abstrak. Software atau program komputer merupakan objek ciptaan yang dilindungi oleh rezim hak cipta berdasarkan Pasal 40 Ayat 1 huruf (s) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Software dapat dibeli secara legal akan mendapatkan lisensi resmi sebagi tanda legalitas atas kepemilikan software tersebut namun, perdagangan software bajakan marak terjadi di platform jual beli online marketplace.Permasalahn yang akan muncul adalah 1.) Bagaimana Tanggung Jawab Penyelenggara Jasa Marketplace Terhadap Perdagangan Software Bajakan Menurut Peraturan Perundang-Undangan ? 2.)Bagaimana Akibat Hukum Dari Penyelenggaraan Marketplace Terhadap Perdagangan Software Bajakan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Transaksi Melalui Sistem Elektronik ? Metode yang digunakan yaitu normatif kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dengan dengan menggunakan data-data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan) dan bahan-bahan hukum sekunder dari kepustakaan (doktrin, jurnal, internet, buku) yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Transaksi Melalui Sistem Elektronik. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan, Pertanggungjawaban pihak Shopee terhadap perdagangan software bajakan di platform marketplace yang dikelolanya termasuk kedalam lingkup dari beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, Kemudian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Serta Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Perbuatan hukum antara pihak penjual dan pihak Shopee yang keduanya merupakan bagian dari platform marketpace menimbulkan akibat hukum yaitu hilangnya hak ekonomi pemegang hak cipta 10 dan 114 UUHC dapat menjadi dasar hukum untuk membebankan pertanggungjawaban kepada pihak penyelenggara marketplace Shopee. Kata Kunci: Software, marketplace, tanggung jawab.
Kedudukan Hukum Debt Collector dalam Melaksanakan Penagihan Kepada Debitur Perusahaan Pembiayaan dan Tanggung Jawabnya di Hubungkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Mentari Nuralya Fahirattunisa; Neni Sri Imaniyati; Rimba Supriatna
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.199 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.2258

Abstract

Abstract. A finance company is a financial company that is engaged in the service sector, in this case a company that provides funds in the form of credit/or financing. Collector is a collection of people/groups of people who sell services to collect the debts of a person or institution that hires their services. Debt Collector is a third party connected between creditors and debtors in terms of credit collection. Debt collection services created a cooperation agreement, so that it can represent the financial company / bank to withdraw consumer goods. However, in terms of collection by debt collectors, it is detrimental to the customer. The approach method used in this study is a normative juridical approach. The approach method is by taking material or data from the literature, which refers to the rules and legal norms in society. The research specifications that the authors do are descriptive analytical. Analytical descriptive research method is a method that describes the object to be studied thoroughly and systematically from the subject matter. In this study the author will describe the relationship between the matters of the problem that are intended or to the object being carried out, regarding debt collection by debt collectors against bank credit debtors who are in default based on applicable laws and regulations. This type of research is a technique of collecting data by means of document studies, namely by using literatures, scholarly scientific works, laws and regulations, and scientific notes to obtain secondary data. The results of this study conclude that the bank is responsible for all things done by debt collectors in billing to customers and debt collectors have responsibilities to two parties, namely to the bank that recruits and the customer. Abstrak. Perusahaan pembiayaan merupakan perusahaan yang bergerak dalam sector jasa keuangan,dalam hal ini perusahaan yang menyediakan dana dalam bentuk kredit/atau pembiayaan.pada tahun 2018 otoritas jasa keuangan atas kewenangan independennya telah menerbitkan peraturan nomor 35/POJK.05/2018 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan.Debt Collector merupakan kumpulan orang/sekumpulan orang yang menjual jasa untuk menagih utang seseorang atau lembaga yang menyewa jasa mereka. Debt Collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit. Jasa penagih utang lahir karena perjanjian kerjasama, untuk itu dapat mewakili pihak perusahaan finance/Bank menarik barang milik konsumen.namun dalam hal ini penagihan oleh debt collector banyak merugikan pihak nasabah. Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Yaitu metode pendekatan dengan cara mengambil bahan ataupun data dari kepustakaan, dimana penelitian ini mengacu para peraturan dan norma-norma hukum dalam masyarakat Adapun Spesifikasi penelitian yang penulis lakukan bersifat deskriptif analitis. Metode penelitian deskriptif analitis adalah metode yang menggambarkan objek yang akan diteliti secara menyeluruh dan sistematis dari pokok permasalahannya. Dalam penelitian ini penulis akan menggambarkan keterkaitan hal-hal dari permasalahan yang bermaksud diungkapkan atau terhadap objek yang diteliti, mengenai penagihan utang oleh debt collector terhadap debitur kredit bank yang melakukan wanprestasi tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jenis penelitian ini adalah Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumen, yaitu dengan literatur-literatur, karya ilmiah sarjana, peraturan perundang-undangan, serta catatan–catatan ilmiah untuk memperoleh data sekunder. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa bank bertanggung jawab atas semua hal yang dilakukan oleh debt collector dalam penagihan kepada nasabah dan debt collector memiliki tangung jawab terhadap dua pihak yaitu kepada pihak bank yang merekrut dan pihak nasabah
Legal Consequences And Responsibility of Wa’ad Bonding Power to Sharia Compliance in Akad Al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik Mustofa Abdul Basir; Dian Prihanto; Idhofi Fahrizal; Neni Sri Imaniyati
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.10758

Abstract

The existence of sharia bukan-bank financial institutions (NBFI) today is very important and one form of financing is al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik (IMBT), which is a lease agreement (ijarah) with the transfer of ownership of the object that is used as a lease in when the IMBT contract ends which is based on the existence of wa’ad (promise). This research is a normative juridical research on the IMBT contract in the Fatwa of the National Sharia Council through analysis based on Islamic and Civil law. The nature of wa’ad in IMBT is that the law is not binding, this is contradictory to several arguments in the Qur'an and al-Hadith that command to fulfill and keep promises, which means the promise is binding. If wa’ad is carried out, the legal consequence is that rights and obligations arise between the lessee and the lessor to hand over and receive the object of the lease and violate the prohibition against making transactions in one contract. However, if the wa’ad is not implemented, the IMBT contract does not exist, there is only the Ijarah contract and the legal consequence is that the IMBT contract is null and void or considered to have never existed.Keberadaan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) syariah dewasa ini sangat penting dan salah satu bentuk pembiayaannya adalah al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik (IMBT) yang merupakan akad sewa menyewa (ijarah) dengan peralihan kepemilikan atas objek yang dijadikan sewa menyewa pada saat akad IMBT berakhir yang didasari atas adanya wa’ad (janji). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif atas akad IMBT dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional melalui analisis berdasarkan hukum Islam dan Perdata. Sifat wa’ad dalam IMBT adalah hukumnya tidak mengikat, hal ini kontradiktif dengan beberapa dalil dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang menyuruh untuk memenuhi dan menepati janji yang artinya janji itu mengikat. Jika wa’ad dilaksanakan maka akibat hukumnya adalah timbul hak dan kewajiban antara penyewa dan yang menyewakan untuk menyerahkan dan menerima objek sewa menyewa dan melanggar larangan melakukan transaksi dalam satu akad. Tetapi, jika wa’ad tidak dilaksanakan maka akad IMBT menjadi tidak ada, yang ada adalah akad Ijarah saja serta akibat hukumnya adalah akad IMBT batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.
Pencantuman Keterangan Tidak Halal pada Produk Farmasi Jenis Obat-Obatan yang Mengandung DNA Babi Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Arham Bima Amantana; Asep Hakim Zakiran; Neni Sri Imaniyati
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.4936

Abstract

Abstract. Law Number 33 of 2014 concerning Guarantees for Halal Products (UUJPH) regulates the obligation of business actors to include non-halal information on products containing haram ingredients. The existence of regulations regarding these obligations in practice are not followed by compliance with business actors, in Indonesia itself the last 4 years have been enlivened by cases of the discovery of pharmaceutical products containing haram ingredients circulating in the Indonesian market without including non-halal information on their packaging. This study aims to determine the responsibility of business actors who do not include non-halal information on pharmaceutical products types of drugs containing Pig DNA according to Law Number 33 of 2014 concerning Guarantees for Halal Products and to determine legal protection for consumers for the distribution of pharmaceutical types of drugs containing Pig DNA without including information that is not halal according to Law Number 33 of 2014 concerning Guarantees for Halal Products. The researcher uses a normative juridical approach with analytical descriptive research specifications and uses secondary data types. The data collection technique used is the method of literature and the method of analysis used is qualitative analysis. The results of this study are that the responsibility of business actors who do not include non-halal information on pharmaceutical products of the type of drugs containing Pig DNA according to Law Number 33 of 2014 concerning Guarantees for Halal Products is absolute responsibility and uses the principle of inverted liability. Legal protection for Muslim consumers for the circulation of pharmaceutical products of the type of drugs containing Pig DNA without including non-halal information according to Law Number 33 of 2014 concerning Guarantees for Halal Products can be carried out through internal and external legal protection. Abstrak. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH) mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha untuk melakukan pencantuman keterangan tidak halal pada produk yang mengandung bahan haram. Adanya peraturan mengenai kewajiban tersebut dalam prakteknya tidak di ikuti dengan patuhnya oleh para pelaku usaha, di Indonesia sendiri belakangan 4 tahun ini diramaikan dengan kasus ditemukannya produk farmasi yang mengandung bahan haram beredar dipasaran Indonesia dengan tanpa mencantumkan keterangan tidak halal didalam kemasannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha yang tidak mencantumkan keterangan tidak halal pada produk farmasi Jenis obat-obatan yang mengandung DNA Babi menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen atas beredarnya produk farmasi jenis obat-obatan yang mengandung DNA Babi tanpa mencantumkan keterangan tidak halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis dan menggunakan jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan serta metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Hasil penelitian ini adalah tanggung jawab pelaku usaha yang tidak mencantumkan keterangan tidak halal pada produk farmasi jenis obat-obatan yang mengandung DNA Babi menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal adalah tanggung jawab mutlak dan menggunakan prinsip pertanggungjawaban terbalik. Perlindungan hukum terhadap konsumen muslim atas beredarnya produk farmasi jenis obat-obatan yang mengandung DNA Babi tanpa mencantumkan keterangan tidak halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dapat dilakukan melalui perlindungan hukum secara internal dan eksternal.
Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pelaku Pelanggaran Hak Cipta Atas Tindakan Pembajakan Drama Series Platform Penyedia Layanan Streaming Pada Media Sosial Ditinjau Dari Hukum Positif Tarisya Ramadhania Putri; Neni Sri Imaniyati
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.4937

Abstract

Abstract. Cinematographic works are a category of creation protected by the Copyright Act. With advances in technology, cinematographic works such as drama series are being pirated on several social media such as Tiktok, Telegram, and Facebook. Cinematography piracy on social media includes copyright infringement and is an illegal act. This study aims to understand the regulation of civil liability for the perpetrators of drama series piracy on social media in terms of positive law and to find out the government's role in supervising the practice of copyright infringement in cinematography. The researcher uses a normative juridical approach with descriptive analytical research specifications and uses secondary data types. The data collection technique used is the method of literature and the method of analysis used is qualitative analysis. The results of this study the authors conclude that as a result of acts of piracy, civil liability is born from the aspect of fault liability based on fault to the perpetrators for the losses they cause in the form of material compensation. This is based on Article 1365 of the Civil Code which explains that everyone who commits an unlawful act is required to compensate for losses arising from his mistakes. The decision in this case is not appropriate because there is no compensation by the pirate to the Streaming Service Provider Platform and this social media piracy case is still ongoing today. In this case the government has carried out its role as a regulator and facilitator but the role as a dynamicator, the government is still said to be not optimal. The role of the government as a regulator includes preventive and repressive supervision. While the role that has been carried out by the government as a facilitator is included in external supervision. Keywords: Cinematography Piracy, Drama Series, Social Media. Abstrak. Karya sinematografi merupakan sebuah kategori ciptaan yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Dengan kemajuan teknologi karya sinematografi seperti drama series dilakukan pembajakan di beberapa media sosial seperti Tiktok, Telegram, dan Facebook. Pembajakan sinematografi pada media sosial termasuk pelanggaran hak cipta dan merupakan perbuatan melawan hukum. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaturan pertanggungjawaban perdata terhadap pelaku tindakan pembajakan drama series pada media sosial ditinjau dari hukum positif serta untuk mengetahui peran pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap praktik pelanggaran hak cipta dalam bidang sinematografi. Peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analisis dan menggunakan jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan serta metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini penulis simpulkan bahwa akibat dari tindakan pembajakan lahirlah pertanggungjawaban perdata dari aspek fault liability based on fault terhadap pelaku atas kerugian yang ditimbulkannya berupa ganti rugi yang bersifat material. Hal ini berdasar pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahanya tersebut. Keputusan pada kasus ini belum sesuai karena tidak adanya ganti rugi oleh pembajak kepada Platform Penyedia Layanan Streaming dan kasus pembajakan pada media sosial ini masih berlangsung hingga sekarang. Dalam kasus ini pemerintah telah menjalankan perannya sebagai regulator dan fasilitator namun peran sebagai dinamisator, pemerintah masih dikatakan belum optimal. Peran yang dilakukan pemerintah sebagai regulator termasuk ke dalam pengawasan secara preventif dan represif. Sedangkan peran yang telah dilakukan pemerintah sebagai fasilitator termasuk ke dalam pengawasan secara eksternal. Kata Kunci: Pembajakan Sinematografi, Drama Series, Media Sosial.