cover
Contact Name
Agung Suharyanto
Contact Email
suharyantoagung@gmail.com
Phone
+628126493527
Journal Mail Official
suharyantoagung@gmail.com
Editorial Address
Program Studi Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan Universitas Negeri Medan, Jalan Willem Iskandar, Pasar V, Medan Estate, Sumatera UtaraUniversitas Negeri Medan, Jalan Willem Iskandar, Pasar V, Medan Estate, Sumatera Utara, 20221, Telp.(061) 6625973 Fax. (061) 6614002, Mobile: 08126493527 E-mail:anthropos@unimed.ac.id
Location
Kota medan,
Sumatera utara
INDONESIA
ANTHROPOS: JURNAL ANTROPOLOGI SOSIAL DAN BUDAYA (JOURNAL OF SOCIAL AND CULTURAL ANTHROPOLOGY)
ISSN : 24604585     EISSN : 24604593     DOI : 10.24114
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya(Journal of Social and Cultural Anthropology) is a Journal of Social and Cultural Anthropology for information and communication resources for academics, and observers of Social and Cultural Anthropology, Educational Social and Cultural Anthropology/Sociology, Methodology of Social and Cultural Anthropology/Sociology. The published paper is the result of research, reflection, and actual critical study with respect to the themes of Social and Cultural Anthropology/Sociology. All papers are blind peer-review. The scope of Anthropos is the Science of Social and Cultural Anthropology/Sociology. Published twice a year (Juli and January) and first published for print and online edition in July 2015
Articles 189 Documents
Digital Governance dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan melalui Kearifan Lokal di Kota Bandung Deliarnoor, Nandang Alamsah; Suwaryo, Utang; Hermawati, Rina; Taryana, Agus
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol 9, No 2 (2024): Januari
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v9i2.57126

Abstract

Ketergantungan pangan yang tinggi terhadap daerah lain membuat Kota Bandung sangat rentan terhadap ketahanan pangan, tidak memiliki kedaulatan pangan, rentan terhadap gejolak harga, atau tidak dapat mengontrol harga pangan yang beredar. Tata kelola digital melalui indigenous knowledge di Kota Bandung menjadi aspek penting untuk mewujudkan ketahanan pangan, salah satunya melalui pertanian perkotaan terpadu yang disebut Buruan Sae (Pekarangan Sehat Alami dan Ekonomis). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus di Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Bandung melalui DKPP belum menerapkan tata kelola pemerintahan digital pada program Buruan Sae, baru baru memulai yaitu dengan pembuatan aplikasi yang belum sempurna yang merupakan layanan menuju pemerintahan digital, belum sampai pada kategori SPBE. Padahal program buruan sae dapat membantu masyarakat memanfaatkan sumber tanaman pekarangan sebagai alternatif untuk ketahanan pangan, dengan adanya teknologi digital yang mendukung program buruan sae DKPP dapat melacak alur barang dari petani hingga ke konsumen, memonitoring kualitas produk, dan memastikan pemenuhan standar keamanan pangan yang memberikan kepercayaan konsumen terhadap produk lokal. Such high food dependence on other areas means that the city of Bandung is very vulnerable to food security, does not have food sovereignty, is vulnerable to price fluctuations, or cannot control the price of food in circulation. Digital governance through indigenous knowledge in the city of Bandung is an important aspect of realizing food security, one of which is through integrated urban farming called Buruan Sae (Natural and Economical Healthy Yard). This research uses a qualitative approach with a case study method in the city of Bandung. The results of the research show that the City of Bandung, through DKPP, has not yet implemented digital governance in the Buruan Sae program, only just starting out, namely with the creation of a rudimentary application that is a service towards digital government, not yet reaching the SPBE category. Even though the sae hunting program can help the community utilize garden plant sources as an alternative for food security, the existence of digital technology that supports the sae hunting DKPP can track the flow of goods from farmers to consumers, monitor product quality, and ensure compliance with food safety standards that provide consumer trust in local products.
Akses Lapangan Pekerjaan Bagi Penyandang Disabilitas Di Kota Medan Siregar, Hairani; Berlianti, Berlianti; Dalimunthe, Ritha; Supsiloani, Supsiloani
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol 10, No 1 (2024): Juli
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v10i1.62640

Abstract

Penyandang disabilitas masih banyak yang tidak dapat memiliki akses atau kesempatan seperti masyarakat non-disabilitas lainnya, salah satunya akses dalam memperoleh pekerjaan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran pemerintah dalam mengupayakan ketersediaan akses lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas di Kota Medan serta untuk melihat apa saja yang menjadi faktor penghambat tersedianya lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas baik dari sektor pemerintah maupun swasta. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, FGD, observasi, dan dokumentasi. Berdasarkan kondisi tersebut, masih terdapat permasalahan yang dihadapi oleh para disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan. Diperlukan pemberdayaan masyarakat penyandang disabilitas guna meningkatkan skill dan kemampuan para disabilitas dengan tujuan dapat mencari pekerjaaan sesuai dengan keahlian para disabilitas, sangat dibutuhkan data berdasarkan jenis kedisabilitasan serta keahlian para disabilitas. Disamping itu perlu sosialisasi tentang kebijakan/ program dari Pererintah Kota Medan untuk pencari kerja disabilitas. There are still many people with disabilities who do not have access or opportunities like other non-disabled people, one of them is access to employment. The study aims to analyze the role of the government in ensuring the availability of access to employment for people with disabilities in Medan City and to see what factors hinder the availability of employment for people with disabilities, both from the government and private sectors. This research uses qualitative research methods with a descriptive approach. Data collection techniques were carried out using interviews, FGD, observation and documentation. Based on these conditions, there are still problems faced by people with disabilities in getting work. It is necessary to empower people with disabilities to improve the skills and abilities of people with disabilities with the aim of being able to find work according to the skills of people with disabilities. Data is really needed based on the type of disability and the skills of people with disabilities. Apart from that, there is a need to socialize policies/programs from the Medan City Government for job seekers with disabilities.
Interpretative Symbolic Anthropology: Islamic Dynamics of the Indonesian Chinese Islamic Association (PITI) in Jepara Regency Ansori, Miswan; Nafisah, Zahrotun
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol 9, No 2 (2024): Januari
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v9i2.52719

Abstract

Penelitian antropologi simbolik interpretatif ini bertujuan untuk memahami dinamika keislaman dalam Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Kabupaten Jepara. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini mengeksplorasi berbagai simbol-simbol keislaman yang ada dalam komunitas PITI, serta bagaimana simbol-simbol ini memberikan makna dan pengaruh pada kehidupan keagamaan dan kebudayaan para anggotanya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian etnografi dengan model wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan analisis dokumen terkait PITI. Informan penelitian terdiri dari ketua dan anggota komunitas PITI, tokoh agama, dan masyarakat lokal di Kabupaten Jepara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keislaman dalam PITI adalah hasil dari integrasi antara budaya Tionghoa dan ajaran Islam. Simbol-simbol keislaman seperti nisan, pakaian tradisional, dan perayaan hari raya keagamaan memiliki makna yang mendalam bagi anggota PITI dalam mempertahankan identitas agama dan budaya mereka. Selain itu, simbol-simbol ini juga berperan dalam menjalin hubungan harmonis antara komunitas PITI dengan masyarakat sekitarnya. Dinamika keislaman dalam PITI juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi di Kabupaten Jepara. Transformasi sosial dan perkembangan teknologi juga memainkan peran dalam mempengaruhi cara anggota PITI mengamalkan agama mereka dan memahami simbol-simbol keislaman. This interpretive symbolic anthropology research aims to understand Islamic dynamics in the Indonesian Chinese Islamic Association (PITI) in Jepara Regency. Through a qualitative approach, this research explores various Islamic symbols that exist in the PITI community, as well as how these symbols provide meaning and influence on the religious and cultural life of its members. The research method used is ethnographic research using in-depth interviews, participatory observation, and analysis of documents related to PITI. Research informants consisted of leaders and members of the PITI community, religious leaders and local communities in Jepara Regency. The research results show that Islam in PITI is the result of integration between Chinese culture and Islamic teachings. Islamic symbols such as gravestones, traditional clothing, and religious holiday celebrations have deep meaning for PITI members in maintaining their religious and cultural identity. Apart from that, these symbols also play a role in establishing harmonious relations between the PITI community and the surrounding community. Islamic dynamics in PITI are also influenced by social, political and economic factors in Jepara Regency. Social transformation and technological developments also play a role in influencing the way PITI members practice their religion and understand Islamic symbols
Siapa Kita? Sebuah Kritik Representasi dalam Etnografi Maulana, Moh. Faiz
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol 10, No 1 (2024): Juli
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v10i1.47337

Abstract

Tulisan ini mencoba mengkritisi ide tentang representasi dan generalisasi yang ada dalam karya etnografi. Kritik yang dilontarkan adalah bahwa dalam penggambaran etnografis yang ditulis para peneliti mengalami bias dan tidak bisa dipercaya, karena disiplin-disiplin akademis mereka muncul dari sebuah periode sejarah Eropa yang ditandai oleh penjajahan dan pengetahuan yang dihasilkan dianggap sebagai motor bagi mesin-mesin dominasi “Barat”. Perdebatan yang timbul belakangan ini terfokus pada pertanyaan apakah etnografer sebagai “subjek-subjek” partikular itu mampu menghasilkan gambaran-gambaran kebudayaan dan the others yang andal dan obyektif. Di sini teks-teks dalam karya etnografi berperan sebagai pengantar atau pembuka terhadap wacana dan perdebatan tentang ide-ide representasi dan generalisasi dalam karya etnografi. Selanjutnya penulis melakukan analisis dan interpretasi menggunakan pemikiran James Clifford dan Lila Abu-Lughod tentang teori dekolonialisasi dalam antropologi. Interpretasi dilakukan dengan menarasikan kritik ke dalam wacana atau diskursus tentang ide-ide tentang representasi dan generalisasi dalam karya etnografi. This paper tries to criticize the ideas about representation and generalization that exist in ethnographic works. The criticism leveled is that in ethnographic descriptions written by researchers is biased and unreliable, because their academic disciplines emerged from a period of European history marked by colonialism and the knowledge it produced was seen as the engine for “Western” domination machines. Recent debates have focused on the question of whether ethnographers as particular “subjects” are capable of producing reliable and objective images of culture and the others. Here the texts in ethnographic works act as introductions or openings to discourses and debates about representational ideas and generalizations in ethnographic works. Next, the author analyzes and interprets using the thoughts of James Clifford and Lila Abu-Lughod on the theory of decolonization in anthropology. Interpretation is done by narrating criticism into discourse or discourse about ideas about representation and generalizations in ethnographic works.
Jaringan Sosial Kelompok Perempuan Muara Tanjung dalam Konservasi Hutan Mangrove Baiduri, Ratih; Harahap, Nur Ainun
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol 9, No 2 (2024): Januari
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v9i2.58314

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis: (1) jaringan sosial yang terbentuk didalam kelompok perempuan Muara Tanjung dalam konservasi hutan mangrove; (2) struktur jaringan yang ada baik itu didalam maupun diluar kelompok. Penelitian ini termasuk kedalam penelitian kualitatif dengan menggunakan metode pendekatan etnografi. Informan dalam penelitain ini ialah ketua kelompok perempuan Muara Tanjung, penggurus dan anggota kelompok yang aktif, anggota kelompok jaringan sosial luar yang bekerjasama dengan kelompok perempuan Muara Tanjung. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan catatan lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ialah teknik analisis wawancara etnografis, analisis domain dan analisis taksonomi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu untuk mengungkap bahwasannya dalam sebuah kelompok diperlukannya jaringan sosial yang mengikat didalamnya baik itu secara internal maupun ekternal. Bagi kelompok perempuan Muara Tanjung sendiri jaringan sosial merupakan satu hal yang penting di miliki oleh sebuah kelompok. Melalui jaringan sosial ini terbentuk sebuah kerjasama yang tentunya mampu meningkatkan kinerja anggota kelompok Muara Tanjung sendiri. Kelompok perempuan Muara Tanjung merupakan kelompok yang memiliki struktur keanggotaan yang unik. Struktur keanggotaan yang ada didalam kelompok perempuan Muara Tanjung hanya terdiri dari anggota keluarga saja. Fenomena ini merupkan fenomena yang jarang terlihat dalam sebuah organisasi. Fenomena ini jugalah yang menjadikan kelompok perempuan Muara Tanjung memiliki kelebihan sekaligus kekurangan dalam organisasi kelompoknya. Adapun kelebihannya yaitu kelompok perempuan Muara Tanjung ini memiliki ikatan kekerabatan yang kuat sehingga anggota kelompok memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan organisasi. Adapun kekurangannya adalah kelompok ini sulit menerima keanggotaan di luar lingkar keluarga. This article aims to explain the social network that is formed within the Muara Tanjung women’s group as well as the network structure that exists both inside and outside the group. This reaserch is included in qualitative research using an ethnographic approach method.  The informant in this research was the Muara Tanjung Womens’s Group where the group leader, Mrs. Jumiati, was the key informant. Apart from that, other additional informants were external network groups that collaborated with the Muara Tanjung Women’s Group. This research also use data collection techniques through participant observation, in-depth interviews, documentation and field notes. The data collection techniques used in the research are ethnographic interview analysis techniques, domain analysis and taxonomic analysis techniques. The result obtained from this research show at in a group a social network is needed that binds it both internally and externally. For the Muara Tanjung women’s group, social network are an important thing for a group to have. Thourgh social networks, a collaboration will be formed which will certainly be able to improve the quality of the members of the Muara Tanjung itself. Apart rom that, the Muara Tanjung women’s group is also a group that has a uniqe membership structure. The membership structure in the Muara Tanjung Womens’s group only consists of family members. This phenomenon is a phenomenon that is rarely seen in organization. This is what makes the Muara Tanjung Women’s group different from other women’s groups.
Hiduik Mamakai and Early Marriage: A Means of Gender Identity for Gambir Peasant Women Jelly, Jelly; Yulkardi, Yulkardi; Yunarti, Yunarti
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol 10, No 1 (2024): Juli
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v10i1.56005

Abstract

We want to explain about the lifestyle philosophy of "hiduik mamakai" to the gambir farming community in Minangkabau. The philosophy of hiduik mamakai is the basis for the Minangkabau community of gambir farmers towards the occurrence of early marriage. The philosophy of hiduik mamakai is a view of life regarding the existence of matter used for the pleasure of life. This philosophy also developed as a basis for the Minangkabau community of gambir farmers in carrying out social activities, one of which is marriage. The philosophy of hiduik mamakai has a correlationality to the phenomenon of early marriage in the Minangkabau community of gambir farmers. Some cases of early marriage in gambir farming communities are initiated by the idea that stability can be obtained through marriage even though they are not at the right age or mentality. This is because there is a belief that after marriage there will be a "safe realm" for women to be able to live a lifestyle of "hiduik mamakai". The results of this research indicate that there is a correlational relationship between early marriage and the philosophy of "hiduik mamakai." The philosophy of "hiduik mamakai" is one of the influencing factors, although it is not the sole cause of the phenomenon of early marriage. The causal relationship between these two domains is correlational, not causal. There is no guarantee that the disappearance of the "hiduik mamakai" philosophy will reduce the rate of early marriages. What occurs is that the concept of "hiduik mamakai" philosophy affects the phenomenon of early marriage in a mutually correlating relationship. While it is not the only factor, the philosophy of "hiduik mamakai" is an integral part of the lifestyle of the Minangkabau Gambir farming community. This is because the income of the Gambir farming community is enough to put the economic system on a stable life.
Menggali Perspektif Lintas Budaya: Analisis Perbandingan Perilaku Memilah Sampah di Indonesia dan Jerman Marbun, Yovita Ramos; Yunanto, Taufik Akbar Rizqi
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol 9, No 2 (2024): Januari
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v9i2.48970

Abstract

Studi ini menganalisis perbedaan perilaku memilah sampah antara Indonesia dan Jerman menggunakan dimensi budaya Hofstede yaitu jarak kekuasaan, individualisme-kolektivisme, dan penghindaran ketidakpastian. Meskipun telah ada upaya untuk mengelola sampah, penelitian ini membantu menjelaskan mengapa negara berkembang, termasuk Indonesia, menemui tantangan dalam menerapkan perilaku pro-lingkungan, terutama dalam memilah sampah. Kajian literatur digunakan dengan pendekatan psikologi lintas budaya yang merupakan studi perbandingan kritis tentang bagaimana budaya memengaruhi psikologi. Melalui kajian literatur dengan pendekatan psikologi lintas budaya, studi ini membandingkan tentang bagaimana budaya mempengaruhi psikologi. Pada budaya jarak kekuasaan, Indonesia memerlukan teladan dalam implementasi kebijakan lingkungan, sedangkan Jerman memiliki partisipasi masyarakat tinggi dalam pemilahan sampah. Indonesia termasuk kolektivis cenderung memilah sampah bersama dalam komunitas, sementara Jerman yang individualis menekankan tanggung jawab individu. Pada budaya penghindaran ketidakpastian, Indonesia memerlukan standarisasi aturan dan fasilitas bank sampah, sementara Jerman memberlakukan aturan dan sanksi jelas untuk memperkuat perilaku memilah sampah. Kesimpulannya, terdapat perbedaan perilaku memilah sampah antara Indonesia dan Jerman yang terkait faktor kebijakan. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk melakukan studi yang lebih eksploratif dan komprehensif dalam setiap dimensi budaya, dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal lainnya.  This study analyzes the differences in waste sorting behavior between Indonesia and Germany using Hofstede's cultural dimensions: power distance, individualism-collectivism, and uncertainty avoidance. Despite efforts to manage waste, this research helps explain why developing countries, including Indonesia, face challenges in implementing pro-environmental behavior, particularly in waste sorting. A literature review is used with a cross-cultural psychology approach, which critically examines how culture influences psychology. Within the power distance culture, Indonesia requires role models in environmental policy implementation, while Germany exhibits high public participation in waste sorting. Indonesia, as a collectivist society, tends to sort waste jointly in communities, whereas Germany, an individualistic society, emphasizes individual responsibility. In the uncertainty avoidance culture, Indonesia needs standardized rules and waste bank facilities, while Germany enforces clear regulations and sanctions to strengthen waste sorting behavior. In conclusion, there are differences in waste sorting behavior between Indonesia and Germany related to policy factors. Also, several efforts can be considered to improve waste sorting behavior in Indonesia. Further research is recommended to conduct more exploratory and comprehensive studies in each cultural dimension, considering other internal and external factors.
Eksistensi Sistem Tenurial Tradisional Masyarakat Adat Cipta Gelar Menghadapi Deagrarianisasi Delazenitha, Regina Aura; Pujiriyani, Dwi Wulan; Lestari, Novita Dian
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol 10, No 1 (2024): Juli
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v10i1.59533

Abstract

Masyarakat Adat Cipta Gelar merupakan masyarakat yang sebagian besar mengusahakan pertanian. Tanah pertanian menjadi penopang kehidupan yang sangat penting bagi mereka. Meskipun demikian, pada tahun 2001 sampai dengan 2022, terjadi perubahan lahan pertanian secara drastis menjadi permukiman dan homestay.  Berkurangnya lahan pertanian merupakan gejala deagrarianisasi yang bisa menjadi ancaman serius bagi Masyarakat Adat Cipta Gelar. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan eksistensi sistem tenurial tradisional Masyarakat Adat Ciptagelar di tengah ancaman deagrarianisasi akibat alih fungsi lahan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode etnografi cepat. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi dan wawancara. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan melakukan visualisasi lanskap dan kategorisasi praktik budaya pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deagrarianisasi tidak mengubah sistem tenurial tradisional Masyarakat Adat Cipta Gelar. Dari empat gejala yang menandai terjadinya deagrarianisasi yaitu: dislokasi nafkah, penurunan kemampuan untuk berswasembada pangan dan memenuhi kebutuhan dasar, dis-eksistensi agraris, dan relokasi spasial, hanya relokasi spasial yang ditemukan. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem tenurial tradisional Masyarakat Adat Cipta Gelar masih lestari dan masih memberikan jaminan keberlanjutan bagi generasi berikutnya. Cipta Gelar Indigenous Community is a community that mostly practices agriculture. Agricultural land is a ver important life support for them. However, from 2001 to 2022, there was a drastic change in agricultural land into residential areas and homestays.  The reduction in agricultural land is a symptom of deagrarianization which could be a serious threat to the Cipta Gelar Indigenous Community. This article aims to explain the existence of the traditional tenure system of the Ciptagelar Indigenous Community amidst the threat of deagrarianization due to land conversion. This research was conducted using rapid ethnographic methods. Data collection techniques were carried out through participant observation and interviews. Data analysis was carried out qualitatively by visualizing the landscape and categorizing agricultural cultural practices. The research results show that deagrarianization does not change the traditional tenure system of the Cipta Gelar Indigenous People. Of the four symptoms that mark the occurrence of deagrarianization, namely: dislocation of livelihood, decreased ability to be self-sufficient in food and fulfill basic needs, agrarian dis-existence, and spatial relocation, only spatial relocation was found. This situation shows that the traditional tenure system of the Cipta Gelar Indigenous People is still sustainable and still provides a guarantee of continuity for the next generation.
Ketika Peneliti Mencemari Risetnya: Isu Refleksivitas Internal pada Etnografi Sulaiman, Ahmad; Mashuri, Muhammad Fath; Banfield, Grant
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol. 10 No. 2 (2025): Januari
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v10i2.56122

Abstract

Etnografi menderita suatu krisis representasi internal. Krisis itu bermakna bahwa setiap pengetahuan yang diproduksi oleh etnografi merupakan sekedar pandangan relatif milik individu peneliti yang berada di balik catatan lapang dan analisa. Walhasil, tidak ada suatu ˜kebenaran objektif™ mengingat produk etnografi terikat oleh jarak pandang, konteks dan konstruksi-kognitif sang peneliti. Kritik tersebut mendiskreditkan etnografi sebagai suatu metode ilmiah yang gagal mencapai tujuan asasinya. Inilah yang menyebabkan banyak ilmuwan sosial menghindari atau bahkan menolak penggunaan etnografi ke dalam proses investigasi keilmuan mereka. Studi ini merespon kritik tersebut dengan menganalisa reflektivitas dalam penelitian etnografi. Dua jenis reflektivitas, yakni reflektivitas teori dan reflektivitas relasi peneliti-partisipan menjadi focus utama. Pada yang pertama ia membentuk pertanyaan penelitian hingga kesimpulan melalui asumsi-asumsi rasional. Adapun yang kedua memberi dampak pada penelitian melalui perbedaan subjektivitas yang dihasilkan peneliti atas kedekatan atau jarak diri dengan partisipan dan konteks penelitian. Reflektivitas menjadi penting agar peneliti etnografi dapat secara seksama mempertimbangkan aspek-aspek itu dan kemudian melakukan tindakan sadar-aktif dalam mengompensasi potensi bias atau pembatasan dalam proses penelitiannya.
Dinamika Sosial dalam Pengelolaan Perpustakaan Sekolah: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Deli Tua Wizman, Wizman; Subhilhar, Subhilhar; Irmayani, Tengku
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) Vol. 11 No. 1 (2025): Juli
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/antro.v11i1.68329

Abstract

This study aims to analyze the social dynamics (actor relations, power structures, and norms) in the management of school libraries and their impact on the implementation of the School Literacy Movement (Gerakan Literasi Sekolah/GLS) at SMA Negeri 1 Deli Tua. The research employs a qualitative approach with an intrinsic case study design. Data were collected through triangulation methods: participant observation, in-depth interviews (with the principal, head librarian, teachers, and students), and policy document analysis. Participants were selected using purposive sampling. Data analysis was guided by the framework of social practice theory. The findings reveal that social dynamics—particularly centralized power, role conflicts, and conservative norms—have created a disjuncture between national policy (Permendikbud No. 23/2015) and field-level practice. Transforming school libraries requires a restructuring of power relations, strengthening of human resource capacity, and the integration of context-based multiliteracies. The impact of the GLS implementation remains suboptimal, as evidenced by incidental literacy practices and digital transformation hindered by staff technophobia.