Abstract This study aims to comprehensively explain the development of the Nucleus Estate and Smallholder (NES/Perkebunan Inti Rakyat) Program in the PIR V region of Arso District, Keerom Regency, Papua Province. Using the analytical framework of Sociology through the application of Max Weber's social action theory, Gramsci's hegemony theory, and ideas about empathy and a sense of justice from Adam Smith, this article focuses the study on the experiences, perceptions, and actions of the communities involved in the PIR V program. This study uses a qualitative approach to gain an in-depth understanding of the constraints faced in the implementation of the government program. The methods employed include direct observation and interviews with informants. The findings reveal that various obstacles—such as limited infrastructure, weak management, high maintenance costs, fluctuating palm oil prices, and the lack of processing facilities—are the main factors contributing to the program’s failure. Policy evaluation, infrastructure improvement, subsidies, and the development of adequate processing facilities are proposed as solutions to revitalize the program. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan secara komprehensif tentang perkembangan Program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di wilayah PIR V di kawasan Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Perangkat analisis menggunakan disiplin ilmu Sosiologi melalui penerapan teori tindakan sosial dari Max Weber, teori hegemoni dari Gramsci, serta pemikiran tentang empati dan rasa keadilan dari Adam Smith, artikel ini memfokuskan kajian pada pengalaman, persepsi dan tindakan masyarakat yang terlibat dalam program PIR V. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami secara mendalam kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program pemerintah. Metode yang digunakan meliputi observasi langsung dan wawancara dengan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai hambatan, seperti keterbatasan infrastruktur, lemahnya manajemen, biaya perawatan yang tinggi, fluktuasi harga sawit, serta ketiadaan fasilitas pengolahan, menjadi faktor utama penyebab kegagalan program ini. Evaluasi kebijakan, peningkatan infrastruktur, subsidi, serta pembangunan fasilitas pengolahan yang memadai menjadi solusi yang diusulkan untuk menghidupkan kembali program tersebut.