Claim Missing Document
Check
Articles

Determining Stunting Risk Areas Using a Combined AHP-GIS approach: A Case Study of Pesawaran Regency, Lampung, Indonesia Yushananta, Prayudhy; Ahyanti, Mei
Ruwa Jurai: Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 19 No. 1 (2025)
Publisher : Poltekkes Kemenkes Tanjung Karang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26630/rj.v19i1.5046

Abstract

Considering the highly detrimental future impacts of stunting, a risk map is needed. It will serve as a basis to design stunting control strategies. This study aims to determine stunting risk areas by combining the Analytical Hierarchy Process (AHP) and Geographic Information System (GIS). This study used ecological design, with a case being studied was Pesawaran Regency, Lampung Province. All secondary data were aggregate, and used sub-districts as spatial boundaries. Study variables comprised access to safe drinking water, healthy sanitation, exclusive breastfeeding, complete immunization, diarrhea, number of health facilities, fourth visit during pregnancy (ANC-K4), and child growth and development monitoring. The map was developed by employing Weighted Sum Overlay (WSO) technique. Determining weights involving multiple criteria was conducted by using AHP. The AHP yielded weighted values for each variable, namely exclusive breastfeeding (22.9%), ANC-K4 (14.4%), monitoring of child growth and development (11.7%), access to safe drinking water (11.0%), diarrhea (10.8%), number of health facilities (10.1%), complete basic immunization (10.1%), and healthy sanitation (9.0%). WSO technique revealed that three out of eleven sub-districts were included in the high-risk category for stunting (Tegineneng, Kedondong, and Padang Cermin). Meanwhile, the remaining areas were included in the medium category (Way Khilau, Marga Punduh, and Punduh Pedada) and low category (Negara Katon, Gedong Tataan, Way Lima, Way Ratai, and Teluk Pandan). GIS and AHP methods were applied to determine stunting risk areas. Areas with a high risk of stunting category are Tegineneng, Kedondong, and Padang Cermin. Suggested fundamental programs to control stunting are improvement in exclusive breastfeeding, ANC-K4 visit, monitoring of children growth and development, access to drinking water, and prevention of diarrhea.
Analisis Pengelolaan Limbah Medis Padat di Puskesmas Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2025 Sekar Ayu, Anisa Panca; Gultom, Tati Baina; Ahyanti, Mei; Yushananta, Prayudhy; Santosa, Imam; Murwanto, Bambang
Jurnal Dunia Kesmas Vol 14, No 3 (2025): Volume 14 Nomor 3
Publisher : Persatuan Dosen Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Limbah medis padat merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dihasilkan dari kegiatan pelayanan kesehatan dan dapat membahayakan kesehatan serta mencemari lingkungan jika tidak dikelola sesuai standar. Kabupaten Lampung Tengah memiliki 39 Puskesmas yang tersebar di wilayah dengan karakteristik campuran antara perkotaan dan pedesaan. Observasi awal menunjukkan bahwa masih ditemukan praktik pengelolaan limbah medis padat yang tidak sesuai, seperti pewadahan tanpa kode warna, serta penyimpanan lebih dari 2×24 jam tanpa fasilitas cold storage. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif yang dilakukan pada delapan Puskesmas di Kabupaten Lampung Tengah yang dipilih berdasarkan tingkat akreditasi. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan checklist berdasarkan Permenkes No. 18 Tahun 2020, dengan fokus pada tahap pemilahan, pengangkutan internal, dan penyimpanan sementara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilahan limbah medis telah dilaksanakan sesuai standar di seluruh Puskesmas Madya dan Paripurna, namun belum sepenuhnya di Puskesmas Utama. Seluruh Puskesmas belum memenuhi standar dalam pengangkutan internal dan penyimpanan sementara.Kata Kunci : akreditasi, Lampung Tengah, pengelolaan limbah medis padat
Utilization of Banana Pith Starch From Agricultural Waste As A Cationic Coagulant Yushananta, Prayudhy; Ahyanti, Mei
Jurnal Aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan Vol 7, No 1: March, 2022
Publisher : Universitas Aisyah Pringsewu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (682.169 KB) | DOI: 10.30604/jika.v7i1.856

Abstract

The coagulation method is the most commonly used in water treatment. However, long-term use of chemical coagulants can increase the risk of Alzheimer's disease and neurotoxicity, in addition to harming organisms, lowering the pH of the water, corrosion of pipes, and the use of high doses of chlorine. The study synthesized banana pith starch from agricultural waste as a cationic coagulant for river water treatment. Banana pith starch was modified by grafting cations from GTA (3-Chloro-2-hydroxypropyl trimethyl ammonium chloride) into the backbone structure of starch using microwave radiation. Performance tests were carried out on variations in dose (4), speed (3), and stirring time (3). Parameters tested were turbidity, TDS, and color, with four replications. The study found that the synthetic cationic coagulant could reduce turbidity up to 94.4%, while the color and TDS were 87.46% and 57.33%, respectively. The various treatments seemed to work on all test parameters (p less than 0.05). However, the most effective treatment was at a dose of 300 ppm, a stirring speed of 200 rpm, for 5 minutes. Research has proved that banana pith starch can be modified into an effective cationic coagulant to remove colloid compounds in water.Abstrak: Saat ini metode koagulasi merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengolahan air. Namun, penggunaan koagulan kimia jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit Alzheimer danneurotoksik, selain juga merugikan organisme, pH air menjadi rendah, korosi pipa, penggunaan clorin dosis tinggi. Penelitian bertujuan memanfaatkan pati empulur pisang dari limbah pertanian, sebagai koagulan kationik untuk pengolahan air sungai. Modifikasi pati empulur pisang dilakukan dengan cara mencangkokkan kation dari GTA (3-Chloro-2-hydroxypropyl trimetil amonium klorida) ke dalam struktur tulang punggung pati, menggunakan radiasi gelombang mikro. Pengujian kinerja dilakukan pada variasi dosis (4), kecepatan (3), dan waktu pengadukan (3). Parameter yang diuji adalah kekeruhan, TDS, dan warna, dengan empat kali ulangan. Penelitian mendapatkan bahwa koagulan kationik hasil sintesis mampu mereduksi kekeruhan hingga 94,4%, sedangkan warna dan TDS sebesar 87,46% dan 57,33%. Ragam perlakuan terlihat bekerja pada semua parameter uji (p kurang dari 0,05). Namun begitu, perlakuan paling efektif pada dosis 300 ppm, kecepatan pengadukan 200 rpm, selama 5 menit. Penelitian telah berhasil membuktikan bahwa pati empulur pisang dapat dimodifikasi menjadi koagulan kationik yang efektif untuk menghilangkan senyawa koloid dalam air.
Coagulation and Filtration Methods on Tofu Wastewater Treatment Bambang Murwanto; Agus Sutopo; Prayudhy Yushananta
Jurnal Aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan Vol 6, No 2: June 2021
Publisher : Universitas Aisyah Pringsewu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1475.984 KB) | DOI: 10.30604/jika.v6i2.505

Abstract

The tofu industry is a small industry (home industry) that produces wastewater between 100-200 times the allowable limit and is usually discharged directly into water bodies, thus polluting the environment. This study aims to combine the coagulation method (stage 1) using Polyalumunium Chloride (PAC) with filtration (stage 2) on several variations of materials (quartz, activated carbon, and zeolite). The study was conducted with six replications. The comparison of waste quality (BOD, COD) was observed at each stage of the study. The SAS 9.4 was used for data analysis, including the application of the T-test and ANOVA. The study found that coagulation with PAC 690 mg/L reduced BOD by 51.7% and a dose of 765 mg/L by 61.1%. In the COD parameter, the reductions were 65.84% and 67.55%. In the second stage (filtration), the reduction in BOD was higher in activated carbon (79.33%) compared to zeolite (78.67%) and quartz (75.46%). Activated carbon also had the most COD reduction effect (73.22%). Although the statistical results showed significant differences in all doses and media, the use of 765 mg / L PAC and activated carbon filtration had the most effect on reducing BOD and COD of tofu industrial wastewater. This research can be used as an alternative in the physical processing of tofu industrial wastewater.Abstrak: Industri tahu dan tempe merupakan industri kecil (home industry) yang menghasilkan limbah  antara 100-200 kali batas yang diijinkan dan biasanya langsung dibuang ke badan air, sehingga mencemari lingkungan. Penelitian bertujuan menggunakan metode koagulasi (tahap 1) dengan Polyalumunium Chloride (PAC), dan metode filtrasi (tahap 2) dengan tiga variasi bahan (kuarsa, karbon aktif, dan zeolit). Penelitian dilakukan dengan enam replikasi. Perbandingan kualitas limbah (BOD, COD) diamati pada setiap tahap penelitian. Perangkat SAS 9.4 digunakan untuk analisis data, termasuk penerapan uji T dan ANOVA. Penelitian mendapatkan, bahwa nilai BOD dan COD limbah segar industri tahu sebesar 1.813 mg/L dan 2.570 mg/L. Pada tahap pertama perlakuan (koagulasi dengan PAC 690 mg/L dan 765 mg/L) terjadi penurunan BOD sebesar 51,7%, dan 61,1%. Pada parameter COD, penurunan sebesar 65,84% dan 67,55%. Pada tahap kedua (filtrasi), penurunan BOD lebih tinggi pada carbon aktif (79,33%) dibandingkan dengan zeolit (78,67%) dan kuarsa (75,46%). Penurunan COD terbesar juga pada karbon aktif (73,22%). Walaupun hasil statistik menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua variasi dosis dan media, namun penggunaan PAC dosis 765 mg/L dan filtrasi karbon aktif memberikan efek terbesar terhadap penurunan BOD dan COD limbah cair industri tahu. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai alternatif dalam pengolahan fisika limbah cair industri tahu.