Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Litera : Jurnal Bahasa dan Sastra

HITAM PUTIH PARIWISATA BUDAYA DALAM PERSPEKTIF SEMIOTIKA LINGUISTIK Ni Wayan Mekarini
LITERA : Jurnal Bahasa Dan Sastra Vol. 2 No. 1 (2016): LITERA JURNAL BAHASA DAN SASTRA
Publisher : LPPM Universitas Dhyana Pura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36002/litera.v2i1.334

Abstract

ABSTRAK Menerima fakta bahwa Bali sebagai tujuan wisata membuat orang membiarkan arus orangdatang dan menikmati aset yang dimiliki oleh Bali. Pengunjung juga membawa kebiasaan mereka dan itu dilakukan di sini di negeri ini dan dalam beberapa kasus orang lokalmengadopsinya. Hal positifnya, apa yang pernah dilakukan sejak lama mungkin ditingkatkan sesuai dengan persepsi dunia global untuk membiarkan semua orang mendapat kepuasan dalammenikmati liburan. Makalah ini membahas pandangan para wisatawan mancanegara maupundomestik mengnai Pulau Bali itu sendiri. Kebanggaan dan makna yang lebih rendah lainnya dilakukan dalam bentuk slogan-slogan dan dalam memahaminya memerlukan pemahaman yanglebih dalam. Sebuah lexis besar dapat menampung dua atau lebih lapisan makna dalam pengertian yang berbeda. Semantik, kata dieksplorasi dengan menerapkan teori semiotik(Barthes, 2007) untuk mendapatkan hubungan yang lebih mendalam antara makna yangterkandung di dalamnya. Penelitian dilakukan pada masyarakat sosial dan ditemukan bahwa beberapa kata yang membuat kita bangga juga mengandung nilai yang lebih rendah. Keywords: makna, label, nilai, kebanggaan ABSTRACT Accepting Bali as tourism destination made people let the flow of people come and enjoy theisland. Visitors also bring their habit and made it done here in the country  and in some cases local people adopt it. Positively, what got in previous centuries might be upgraded according tothe world-wide perception to let everybody got satisfaction vacation. This paper discuss various utterances of how visitors and domestics  see the island of Bali. Pride  and other lower meaningsare carried out in the slogans  which is needed deeper understanding. A great lexis may accommodate two or more layers of meaning in different senses. Semantically, words  areexplored by applying semiotics  theory  (Barthes, 2007) to gain deeper relationship betweenthose meaning contained. The research is done in social community and found out that some words which make us proud  also contain lower value.  Keywords:  meaning, label, humanism, value, prid
IDEOLOGI KESETARAAN DALAM TEKS KAWIN CAMPUR ETNIS BALI Ni Wayan Mekarini
LITERA : Jurnal Bahasa Dan Sastra Vol. 4 No. 2 (2018): LITERA : Jurnal Litera Bahasa Dan Sastra
Publisher : LPPM Universitas Dhyana Pura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36002/litera.v4i2.602

Abstract

ABSTRAKPenelitian ini berusaha untuk menyelidiki ideologi di luar perkawinan antar etnis yang seringdiadakan di Bali terutama oleh etnis Bali sebagai dampak dari era global dan status Bali sebagaitujuan wisata internasional. Budaya pulau ini menarik lebih banyak pengunjung. Ini adalahalasan besar ribuan orang datang mengunjunginya, mengambil pekerjaan, membuka usaha,membangun kegiatan tertentu, bahkan beberapa bertemu kekasih mereka dan menikah denganorang Bali. Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan konteks situasi berdasarkan LinguistikSistemik dan wacana kritis. Ditemukan bahwa pernikahan Bali mengikuti norma purusa garisorangtua di mana wanita bergabung dengan keluarga pria dan menjadi bagian darinya. Wanitaitu setelah menghadiri ritual sudhi wadani (menyatakan dirinya menerima Wedha danmengikuti prinsip-prinsip Hindu) mendapat status yang sama dengan orang yang dilahirkandalam keluarga Hindu. Ritual ini melibatkan pamangku yang menjelaskan tujuan ritual denganjelas kepada peserta. Secara garis besar, teks sudhi wadani terbuka dan memperlakukan pesertasebagai anggota keluarga dengan hak dan tanggung jawab yang sama.Kata kunci: ideologi, perkawinan antar etnis, sudhi wadani, purusa, status yang samaABSTRACTThis research attempt to investigate the ideology beyond the inter-ethnic marriage which isoften held in Bali especially by Balinese ethnic as an impact of global era and the status of Balias international tourist destination. The culture of this island attracts more and more visitors.It is a big reason of thousand people come to visit it, take job, open business, build certainactivities, even some meet their lovers and married with Balinese. The research was done byapplying situation context based on Systemic Linguistics and critical discourse. It is found outthat Balinese wedding follows the norm of purusa line of parenthood in which the lady joinsthe man family and become part of it. The lady after attending sudhi wadani ritual (declareherself accepting Wedha and follow Hindu principles) got the equal status as the one who wereborn in Hindus family. The ritual involves pamangku who explain the ritual goal clearly tothe participant. Shorthly, the sudhi wadani text is open and treat the participant as the familymember with similar right and responsibilities.Keywords: ideology, inter-ethnic marriage, sudhi wadani, purusa, equal
GAYA BAHASA DAN REFERENSIAL DALAM PUISI ‘DOA YANG DITUKAR’ KARYA FADLI ZON Ni Wayan Mekarini
LITERA : Jurnal Bahasa Dan Sastra Vol. 5 No. 2 (2019): LITERA : Jurnal Litera Bahasa Dan Sastra
Publisher : LPPM Universitas Dhyana Pura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36002/litera.v5i2.905

Abstract

ABSTRAKPuisi berjudul 'Doa yang Ditukar' (Doa dipertukarkan) menjadi kontroversial di bulankedua tahun 2019. Beberapa komentar mengemuka yang sebagian besar dari merekamenyalahkan penulis. Dalam puisi ini, Fadli Zon, penulis memilih gaya bahasa informal.Tampaknya tetap pada tujuannya agar dapat diakses dengan mudah oleh setiap penutur asliBahasa Indonesia. Gaya ini tidak perlu pengetahuan ekstra dari pembaca untukmemahaminya karena menggunakan kata-kata umum. Penulis menggunakan media sosialuntuk mendukung karya ini yang tersebar luas sekaligus. Dalam hal pilihan kata, puisi diisidengan ekspresi emosional di balik doa suci yang dinyatakan di awal. Pada bait pertama,emosi dilakukan dalam struktur kalimat dengan strategi garis depan. Dalam strategi ini iamembangun Non-Subjek Fokus bukan Subjek Fokus. Dalam bait berikutnya, pergeseranmuncul pada pilihan kata daripada posisi struktural seperti yang terlihat sebelumnya.Serangkaian kata-kata positif muncul dalam jumlah yang lebih kecil daripada konotasinegatif yang terjadi. Secara referensi, penyair memilih kombinasi sistem referensiendophoria dan exophoria. Pada awalnya, penyair menggunakan referensi kataforis dandiikuti dengan sistem anaforis. Dalam bait penutup, itu adalah sistem referensi exophoria dimana pembaca membutuhkan pengetahuan yang baik untuk menemukan anteseden.Untungnya, exophoric ini tidak memaksa pembaca seperti teks lainnya, karena latarbelakangnya sudah dipublikasikan di stasiun TV atau media sosial.Kata kunci: puisi, gaya Bahasa, kata-kata umum, referensiABSTRACTThe poem entitled ‘Doa yang Ditukar’ (Prayers are exchanged) become controversialin the second month of 2019. Some comments raised which most of them blamed the writer.In this poem, Fadli Zon, the writer chooses informal language style. It seems fixed to his goalto be accessed easily by every native speaker of Bahasa Indonesia. This style need not extraknowledge from the reader to understand it since it uses common words. The writer usedsocial media to supports this piece of work spread widely at once. In terms of word choices,the poem is filled with emotional expression behind the sacred prayer which is stated at thevery beginning. At the first couplet, the emotion was carried out in the structure of thesentence with the fronting strategy. In this strategy it built the Non-Subjects Focused insteadof Subject Focused. In the next couplet, a shift appeared to the word’s choice rather thanstructural position as seen before. A series of positive words come up in smaller number thannegative connotations occurred. Referentially, the poet chooses combination of endophoriaand exophoria reference system. In the beginning, the poet used cataphoric reference andfollowed with anaphorical system. In the closing couplet, it is exophoria reference systemwhere the reader needs a good knowledge to find the antecedent. Luckily, this exophoric did  not force the reader much as the other text, since the background is already published on TVstation or social media.Key words: poem, language style, common words, reference
BAHASA WARNA DALAM KONTEKS BUDAYA BALI Mekarini, Ni Wayan
LITERA : Jurnal Bahasa Dan Sastra Vol. 7 No. 1 (2021): LITERA : Jurnal Litera Bahasa Dan Sastra
Publisher : LPPM Universitas Dhyana Pura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36002/litera.v7i1.1420

Abstract

ABSTRAKManusia adalah makhluk homo sapiens yang mampu berpikir dan menyampaikan pemikirandan gagasannya melalui bahasa baik bahasa verbal maupun nonverbal. Bahasa verbalmenggunakan kata-kata baik disampaikan secara lisan maupun tertulis. Sebaliknya, bahasanonverbal diaplikasikan dengan simbol. Eksistensi kedua jenis bahasa tentu hidup dimasyarakat mengingat tidak semua objek dapat diwakilkan dengan kata-kata secaramenyeluruh. Contoh bahasa nonverbal seperti gerakan mengepalkan jemari yang berartimemberi semangat, membuka tangan berarti tidak tahu, atau melambaikan tangan berartiselamat berpisah. Penggunaan bahasa warna sebagai salah satu bentuk bahasa nonverbalmerujuk pada pilihan warna beserta arti yang diwakilinya, misalnya tampak pada warnabendera, warna dinding, warna pakaian dan cat rambut. Bahasa warna dalam budaya Balimemiliki arti tersendiri direalisasikan dalam persembahan canang, segehan maupun caru.Setiap arah angin diwakili oleh warna tertentu sekaligus merujuk pada dewa penguasa mataangin tersebut. Warna hitam dipakai untuk arah utara dan mengangungkan dewa Wisnu. Warnaputih untuk arah timur sekaligus memuja dewa Iswara. Merah di selatan sebagai bentukpenghormatan kepada Dewa Brahma. Kuning di arah barat untuk pemujaan Dewa Mahadewa,sedangkan warna campuran (brumbun) di tengah sebagai bentuk pemujaaan bagi Dewa Siwa.Komposisi warna tersebut bersumber pada Dewa Pengider-Ider yang menguasai penjuru bumisesuai ajaran Hindu. Dengan demikian, warna tidak saja suatu bias cahaya yang ditangkap mata,melainkan mengandung nilai yang lebih dalam menyangkut keyakinan. Melalui warna tersebutmasyarakat Bali memuja keagungan dewata dan berbakti kepadaNya.Kata Kunci: bahasa nonverbal, simbol, warna, budaya Bali.ABSTRACTHumans are homo sapiens with the capability of thinking and conveying their thoughts andideas through language, both verbal and nonverbal. Verbal language uses words which isdelivered orally or written down. In the other side, nonverbal language is applied with symbols.The existence of these two types of language certainly lives in society since not all objects canbe explained completely by words. Examples of nonverbal language such as put a fist whichmeans encouraging or supporting, opening hands means have no ideas, or waving meanssaying goodbye. The use of color as a form of nonverbal language refers to the choice of colorsand the meanings they represent, for example flag colors, wall, uniform or hair paint. Thelanguage of color in Balinese culture has its own meaning which is realized in the offerings ofcanang, segehan and caru. In Bali, each direction is represented by a certain color and at thesame time refers to the god who rules it. The black color is used for the north and representDeva Vishnu. White color for the east to worship Deva Iswara. Red in the south as a form ofrespect for Deva Brahma. Yellow in the west is for worshiping Deva Mahadeva, while the mixedcolor (brumbun) in the middle is a form of worship for Deva Shiva. The color compositionoriginates from the God of Pengider-Ider who rules over the earth according to Hindu belief. Thus, color is not only a bias of light that is captured by the eyes, but contains a deeper valueregarding belief. Through certain colors, the Balinese people express the greatness of gods andworship Him.Keywords: nonverbal language, symbol, colors, Balinese culture
Co-Authors Aerial Yeremia Jumadi Agnes Rai Madalena Anak Agung Ratih Wijayanti Arini, Ni Nyoman Cahyani, Ni Luh Putu Charisa Gracia Ola Christoper, I Putu Erick Raditya Clarissa, Sarita Vania Devi Anggriani Dewi, Kadek Ayu Arista Dewi, Putu Rika Arista Diputra, I Gusti Agung Putu Sagung Angga Edy Moeljadi Frederika Banyo Gunawan Wibisono Holyness Nurdin Singadimedja I Gede Kesuma Arimbawa I Gusti Made Sutjaja I Ketut Sutapa I Ketut Sutapa I Made Ardana I Made Ari Sedana I Made Bayu Wisnawa I Made Ngurah Ryan Yasa Permana I Made Suwitra Wirya I Nengah Sandi Artha Putra I Nengah Subadra I Nyoman Komang Adi Saputra I Putu Agus Suarsana Ariesta I Putu Agus Suarsana Ariesta I Wayan Agus Arif Budi Astina I Wayan Kartimin I WAYAN PASTIKA Ida Bagus Nyoman Krisna Prawira Yuda Jaka Nur Hidayat Kadek Dirda Dwiadnyani Kardana, I Ketut Kedang, Yohanes Oge Komang Shintiya Nita Kristiana Putri Kristina Rati Ratna L.K Herindyah Kartika Yuni Lubis, Richard Marco Luh Putu Pusparini Made Hedy Wartana Made Padmarani Sudewiputri Maria Agusta Hipolita Ampur Maria Angelia Selvira Foglin Ni Luh Gede Eka Wintari Ni Luh Putu Agustini Karta Ni Made Pramita Dewi Ni Nyoman Arini Ni Nyoman Nidya Trianingrum Ni Putu Yunik Anggreni Ni Putu Yunik Anggreni Nyoman Ayu Putri Lestari Putra, Pande Gede Mahadana Putra, Putu Devan Maheswara Putra, Putu Guntur Pramana Putu Agus Prayogi Putu Agus Prayogi Putu Sutama Sudarsana, Komang Sulistiyo Adi Joko Saharjo Sulistyoadi Joko Saharjo Sunata, I Made Suryaningsih, Ida Ayu Anggreni Widiana, I Wayan Adi Wiles, Erna Zulaeni Yohanes Oge Kedang Zelamewani, Ni Kadek Resy