Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search
Journal : LEX CRIMEN

IMPLEMENTASI HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENGATURAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Bawole, Herlyanty Yuliana Anggreny
LEX CRIMEN Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Upaya pencegahan dan penanggulangan hukum terhadap kejahatan yang banyak terjadi harus dilakukan secara terpadu antar institusi yang berhubungan dengan penegakan hukum yaitu: adanya aparatur yang tertata dengan baik, professional di bidangnya (SDM) serta sarana dan prasarana yang up to date, hukum dalam perwujudan sebagai undang-undang dalam proses penegakan hukum (sistem peradilan pidana/ criminal justice system), yang semakin bermutu dan berorientasi pada kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, koordinasi serasi antarfungsionaris hukum dan aparatur pemerintah terkait, Partisipasi masyarakat yang harus dimotifikasi, agar kondisi potensial dapat terangkat menjadi kekuatan nyata warga masyarakat yang peduli terhadap kejahatan dan aktif ambil bagian dalam penanggulangan, dan melakukan sikap antisipatif terhadap kejahatan.
IMPLEMENTASI PENDEKATAN RESTORATIF DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN KORPORASI MENURUT SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA Bawole, Herlyanty Y. A.
LEX CRIMEN Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perkembangan sistem hukum pidana yang dianut oleh berbagai negara yang sudah banyak mengadopsi konsep dasar pendekatan restoratif dan berbagai penyelesaian kasus tindak pidana korporasi melalui pendekatan dalam praktek hukum di Indonesia saat ini, maka dapat dikatakan konsep pendekatan resotratif memiliki potensi yang besar untuk disandingkan ke dalam sistem peradilan pidana sebagai alternatif pilihan dalam penanggulangan tindak pidana korporasi di Indonesia. Pandangan ini sejalan dengan himbauan PBB dalam Deklarasi Bangkok tahun 2005 yang menganjurkan agar setiap negara menggunakan konsep-konsep pendekatan restoratif sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, sehingga setiap penyelesaian tindak pidana dapat ditempuh melalui konsep yang lebih menghargai hak-hak korban dan lebih mudah untuk melakukan proses rehabilitasi pelaku tindak pidana sambil mencari alternatif dari penuntutan dengan cara menghindari efek-efek pemenjaraan yang selama ini masih dipergunakan dalam sistem peradilan pidana pada umumnya. Beberapa konsep dasar pendekatan restoratif yang dapat dipergunakan sebagai landasan penanggulangan tindak pidana korporasi sebagai bagian dari sistem peradilan pidana pada umumnya di Indonesia antara lain pendayagunaan masyarakat khususnya korban dan pelaku untuk bersama-sama berperan aktif dalam p-enyelesaian tindak pidana korporasi. Konsep dasar pendayagunaan mesyarakat khususnya bagi korban tindak pidana, merupakan cirri dan landasan utama bagi pendekatan restoratif dalam menyelesaikan atau menanggulangi suatu tindak pidana korporasi. Konsep dasar pendayagunaan masyarakat khususnya bagi korban tindak pidana, merupakan cirri dan landasan utama bagi pendekatan restoratif dalam menyelesaikan atau menanggulangi suatu tindak pidana korporasi. Keterlibatan pelaku dan korban dimaknai sebagai pihak yang lebih memiliki kewenangan untuk mencari bentuk dan cara penyelesaian yang paling baik bagi mereka, karena merekalah pemilik konflik itu sendiri.[1] Keterlibatan korban dalam proses penyelesaian tindak pidana korporasi merupakan cermin dari pelaksanaan prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Pendayagunaan masyarakat khususnya korban untuk ikut serta dalam proses penyelesaian tindak pidana korporasi bukan hanya semata-mata untuk memberikan kesempatan atau keseimbangan, tetapi hal tesebut berkaitan erat dengan proses pencapaian makna keadilan itu sendiri. Pendekatan restoratif memaknai keadilan hanya dapat diberikan melalui keterlibatan para pihak dalam menyelesaikan suatu konflik yang timbul akibat tindak pidana, dan bukan sekedar pemenuhan keadilan menurut ketentuan perundang-undangan. Memberikan hak kepada pelaku dan korban untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka, merupakan hal yang utama dalam pandangan pendekatan restoratif karena pendekatan ini memandang suatu tindak pidana bukan semata-mata merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum negara tetapi merupakan suatu perbuatan dari seseorang kepada orang lain yang menimbulkan kerusakan atau kerugian yang harus dipulihkan. Pandangan bahwa suatu tindak pidana yang bukan semata-mata merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum negara, memberi pemahaman bahwa pertanggungjawaban pidana adalah ditujukan kepada korban bukan kepada negara. Negara hanya dianggap sebagai pemberi fasilitas dan menjaga terselenggaranya proses penyelesaian yang adil dan seimbang khususnya untuk mendorong dan memfasilitasi pelaku dapat diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat [1] Hutauruk. Rufinus Hotmaulana, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 253.
PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN YURISDIKSI TINDAK PIDANA SIBER DI INDONESIA DAN DI AFRIKA SELATAN Bawole, Herlyanty Yuliana Anggraeny
LEX CRIMEN Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dasar pengaturan yurisdiksi kriminal terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Buku I Pasal 2 sampai Pasal 9 dan Pasal 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menganut prinsip territorial, prinsip bendera negara kapal dan prinsip pesawat negara terdaftar, prinsip nasional, prinsip perlindungan, prinsip universal, dan prinsip dual criminality. Sedangkan Pengaturan yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana siber di Afrika Selatan terdapat dalam Act no.25 of 2002 tentang Electronic Communication and Transaction Act, 2002 yang menganut prinsip dalam Konvensi Dewan Eropa 2001 yakni prinsip territorial subyektif, prinsip territorial obyektif, prinsip ekstra terirotial, prinsip nasional, prinsip bendera negara kapal, dan prinsip pesawat negara terdaftar. Pengaturan yurisdiksi kriminal dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik relatif singkat dan padat sehingga dalam implementasinya diperlukan penafsiran-penafsiran dan pengempangan terhadap prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional publik dan teori locus delicti dalam hukum pidana. Oleh karena itu, perlu adanya perluasan prinsip untuk meminimalisir dan menanggulangi berbagai tindak pidana siber yang semakin marak terjadi di Indonesia, seperti halnya Afrika Selatan yang memperluas prinsip dalam Konvensi Dewan Eropa 2001 untuk menentukan hukum negara mana yang harus digunakan jika melibatkan dua negara dalam tindak pidana siber dan perlu adanya upaya konsultasi antara dua negara tersebut agar tidak terjadi duplikasi permintaan yurisdiksi.
KEKERASAN DALAM BERPACARAN (DATING VIOLENCE) TERHADAP REMAJA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA JEANE ESTRELA PARERA; Herlyanty Bawole; Hironimus Taroreh
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam berpacaran dan untuk mengetahui dan memahami bagaimana penegakkan hukum bagi pelaku kekerasan dalam berpacaran terhadap remaja. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat sebagai berikut: 1. Korban tindak kekerasan dalam berpacaran mendapat perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban seperti rehabilitasi, konseling, ganti rugi dan bantuan hukum. 2. Aturan-aturan hukum yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku kekerasan dalam pacaran, dilihat berdasarkan usia korban. Bila korban dibawah umur (<18 tahun) maka dikenakan pasal 76C, 76D, dan 76E Undang-Undang Perlindungan Anak. Bila korban berusia diatas 18 tahun maka dikenai pasal 351 KUHP, 352 KUHP, dan 354 KUHP untuk kejahatan penganiayaan, pasal 310 KUHP dan 315 KUHP tentang kekerasan verbal, dan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan apabila korban mengalami kekerasan seksual maka akan dikenakan pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jika pelakunya seorang yang berusia diatas 18 tahun maka diterapkan sanksi pidana sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya namun jika seorang anak berusia dibawah 18 tahun yang menjadi pelaku tindak pidana maka aturan hukum yang dipakai menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu: Sanksi Tindakan dan Sanksi Pidana. Kata Kunci : Anak, Kekerasan, Pacaran, Remaja
SANKSI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN DI BIDANG KEHUTANAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN Rovvy Weldry Gibrael Karinda; Ronald J. Mawuntu; Herlyanty Bawole
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kejahatan di bidang Kehutanan menurut Undang-Undang Nomor. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta untuk mengkaji dan menganalisa tentang sanksi yang dapat diberlakukan terhadap pelaku kejahatan kehutanan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Terdapat beberapa bentuk kejahatan kehutanan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kehutanan, yakni; merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan serta menimbulkan kerusakan hutan, membakar hutan, menebang pohon dan memiliki hasil hutan secara illegal, melakukan penambangan dan eksplorasi serta eksploitasi bahan tambang tanpa ijin, memiliki hasil hutan tanpa surat keterangan, membawa satwa liar atau tumbuh-tumbuhan yang dilindungi. 2. Bahwa sanksi pidana dalam kasus kejahatan kehutanan dapat diterapkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Hukum Pidana karena pada dasarnya kejahatan kehutanan, secara umum berkaitan dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu : Pengrusakan, Penggelapan dan Penadahan. Kata Kunci : kejahatan kehutanan
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PUTUSAN BEBAS OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI MANADO TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NO. 4/Pid.Sus-TPK/2021/PN Mnd) Julio Enriko Kristi Tumuwo; Adi Tirto Koesomo; Herlyanty Bawole
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Korupsi sering kali menjadi perbuatan yang dapat mengancaman keuangan dan perekonomian Negara. Dalam persidangan di Indonesia, Pengadilan banyak menangani kasus perkara Korupsi akan tetapi jarang di temukan kasus korupsi yang dalam persidangan di putuskan Bebas bagi para terdakwa apa lagi Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa(extraordinary cime). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan adalah untuk mengetahui bagaimana putusan bebas dapat di terapkan, dan apa saja faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi lahirnya putusan bebas, serta bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana korupsi yang di tinjau dari aspek yuridis Kata Kunci : Korupsi, putusan bebas, putusan nomor 4/Pid.Sus-TPK/2021/PN Mnd.
Pemberlakuan Ketentuan Pidana Apabila Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Industri Pertahanan Feibi Kamu; Herlyanty Bawole; Marcel Maramis
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk larangan apabila membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis bagi pertahanan dan keamanan dan bagaimana pemberlakuan ketentuan pidana apabila melakukan tindak pidana di bidang industri pertahanan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: Bentuk-bentuk larangan apabila membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis bagi pertahanan dan keamanan, seperti diantaranya membocorkan informasi yang bersifat rahasia, memproduksi alat peralatan pertahanan dan keamanan serta menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis, dilarang membeli dan/atau mengimpor alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis tanpa mendapat izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. Pemberlakuan ketentuan pidana apabila melakukan tindak pidana di bidang industri pertahanan, seperti pidana penjara dan pidana denda yang terjadi baik karena kelalaian atau perbuatan dengan sengaja, diantaranya kelalaiannya mengakibatkan bocornya informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi atau perbuatan dengan sengaja mengakibatkan bocornya informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi termasuk memproduksi Alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis tanpa mendapat izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. Kata kunci: Pemberlakuan Tindak Pidana, Industri Pertahanan