Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis kontribusi linguistik forensik sebagai instrumen analitik dalam pembuktian hukum kasus cyberbullying yang dilakukan oleh Generasi Z, serta menelaah keterkaitan antara tingkat literasi hukum digital dan kecenderungan keterlibatan mereka dalam ujaran kebencian berbasis media daring. Dengan menggunakan metode kualitatif berparadigma deskriptif-analitis, data diperoleh melalui teknik observasi partisipatif terhadap teks digital di media sosial (TikTok, Instagram, dan Facebook), wawancara mendalam dengan pakar linguistik dan praktisi hukum, serta penyebaran survei terhadap 75 responden Generasi Z. Hasil penelitian mengidentifikasi bahwa tindak perundungan siber banyak diwujudkan dalam bentuk sarkasme, body shaming, imperative bernada ancaman, dan labeling yang diskriminatif. Temuan linguistik forensik menunjukkan kemampuan dalam merekonstruksi intensi komunikatif pelaku dan mengaitkannya dengan norma hukum, khususnya dalam konteks Undang-Undang ITE. Survei mengungkap bahwa mayoritas responden belum memiliki pemahaman hukum digital yang memadai, yang berdampak pada rendahnya kesadaran preventif terhadap ujaran bermasalah. Penelitian ini merekomendasikan integrasi model literasi hukum digital berbasis tiga pilar sebagai pendekatan edukatif preventif, serta menekankan pentingnya kolaborasi multidisipliner antara linguistik dan hukum dalam membangun sistem pembuktian yang adaptif terhadap dinamika kejahatan bahasa di era digital