Artikel ini mengkaji perbedaan epistemologi hadis antara Sunni dan Syiah dengan menyoroti aspek-aspek seperti metodologi, sumber otoritas, kriteria validitas, koleksi kitab hadis, konsep imamah, klasifikasi hadis mutawatir dan ahad, serta peran akal dalam pemahaman hadis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi pustaka untuk mengeksplorasi literatur yang relevan, dengan tujuan memahami perbedaan mendalam dalam cara kedua mazhab memahami dan mengaplikasikan hadis dalam praktik keagamaan mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan epistemologi hadis antara Sunni dan Syiah tidak hanya berakar pada perbedaan teologis, tetapi juga membawa dampak praktis dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Sebagai contoh, pendekatan skeptis Sunni terhadap hadis ahad berbeda dengan penerimaan Syiah yang lebih fleksibel terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para imam, yang dianggap sebagai sumber otoritas utama dalam tradisi Syiah. Penelitian ini juga menekankan pentingnya dialog antarmazhab untuk memperkuat kerukunan dan pemahaman di kalangan umat Islam, khususnya dalam menghadapi tantangan modernitas yang semakin kompleks. Dengan demikian, artikel ini memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika keilmuan dalam tradisi Islam dan menegaskan pentingnya kolaborasi antarmazhab dalam konteks pluralisme agama yang terus berkembang. This article examines the differences in the epistemology of hadith between Sunni and Shia, focusing on aspects such as methodology, sources of authority, criteria for validity, collections of hadith, the concept of imamate, the classification of mutawatir and ahad hadith, and the role of reason in understanding hadith. This study employs a qualitative approach with a literature review method to explore relevant literature, aiming to understand the deep differences in how both sects understand and apply hadith in their religious practices. The findings indicate that the differences in the epistemology of hadith between Sunni and Shia are not only rooted in theological differences but also have practical implications for the daily lives of Muslims. For instance, Sunni's more skeptical approach toward ahad hadith contrasts with the Shia's more flexible acceptance of hadith narrated by the imams, who are considered the primary source of authority in Shia tradition. The study also emphasizes the importance of inter-sect dialogue to strengthen understanding and harmony among Muslims, particularly in facing the increasingly complex challenges of modernity. Thus, this article contributes to a deeper understanding of the scholarly dynamics within Islamic tradition and underscores the importance of collaboration between sects in the context of the growing religious pluralism.