Kata Syariâah berakar kata syaraâa () yang berarti âsesuatu yang dibuka secara lebar kepadanyaâ. Dari sinilah ter- bentuk kata syariâah yang berarti âsumber air minumâ. Kata inikemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diikuti (Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mesir: 1979, III). Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syariâah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba- Nya untuk diikuti, (Syariâah adalah aturan-aturan yang ditetapkan Allah atau ketetapan oleh dasar-dasarnya (al-Qurâan dan al-Sunnah) supaya manusia dapat menjadikannya sebagai pedoman untuk dirinya sendiri dalam berhubungan dengan Tuhannya, hubungan dengan saudaranya sesama muslim, berhubungan dengan sesama manusia serta dengan alam dan sekitarnya) (Mahmud Syaltut, Kairo: Dar al-Syur uq, 1980).Dari pengertian yang dijelaskan di atas, baik menurut bahasa maupun istilah, dapat dipahami syariâah adalah firman-fir man Allah Swt. yang tertuang dalam kitab sucinya, menyangkut bidang aqidah (teologi), fiâliyah (hukum Islam), dan khuluqiyah (etika/ akhlaq). Perinciannya adalah aqidah/teologi merupakan realisasi syariâah yang berhubungan dengan keyakinan manusia terhadap Tuhannya dan semua ajaran-ajaran-Nya. Hukum Islam sebagai bagian dari syariâah mengatur semua perilaku manusia dalam aspek perbuatannya (fiâliyah) manusia. Dalam hal ini aspek perbuatan manusia di beri status hukum, boleh dilakukan atau tidak. Sedangkan akhlaq merupakan aspek syariâah yang memberikan tinjauan kebaikan dan keburukan terhadap perbuatan manusia.Dari ketiga aspek syariâat itu, semua perbuatan manusia mendapat landasan teologis (dimensi ilahiyah) dari syariâat Is- lam. B er hub un gan  den gan hal t er se but , dituntut adan ya aktualisasi ketiga dimensi syariâat Allah dalam kehidupan sehari- hari seorang muslim. Artinya aturan firman-firman Tuhan Swt. idealnya dapat menyikapi kebekuan dan kesenjangan antara idealisme syariâat Islam yang tertuang dalam al-Qurâan dan al- Sunah dengan realitas masyarakat yang dinamis akibat tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari usaha ini, terobosan demi terobosan dilakukan supaya syariâat Islam dapat menjawab problematika yang dihadapi umat Islam pada masa modern. Maksudnya har us ada usaha untuk memahami aturan-aturan syariâah yang tertuang dalam kitab suci, sehingga tetap relevan dengan dunia modern sekarang ini. Inilah kemudian yang disebut dengan modernisasi Islam.  Memang Harun Nasution mengatakan modernisme berasal dari Barat. Modernisme ini mengandung pengertian pikiran- pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Harun Nasution, Jakarta: 1975, 11) (Dede Rosyada, Jakarta: 1996, 174). Menurut pendapat ini, pikiran dan aliran kehidupan keagamaan Barat, bertujuan untuk menyesuai- kan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama katolik dan protestan dengan ilmu pengetahuan dan falsafah modern, yang berakhir dengan munculnya sekularisme di barat. Lalu adanya kontak dunia muslim dengan Barat di awal abad ke-19, ide-ide demikian masuk pula ke dunia Islam, sehingga memunculkan pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham keagamaan Is- lam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (ibid, 11-12).Dari pendapat Harun Nasution di atas, modernisasi Islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam dan kontekstualisasi nilai- nilai I slam ke dalam keh idupan. Seb agai salah  satu pendekatan pembar uan Islam, rasionalisasi mengandung arti sebagai upaya menemukan substansi dan penanggalan lambang- lambang, sedangkan kontekstualisasi mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi tersebut dengan pelataran sosial- budaya tertentu dan penggunaan lambang-lambang tersebut un tuk m emb un gkus kem bali sub stansi t erseb ut. De ngan ungkapan lain bahwa rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses substansi (pemaknaan secara hakiki etika dan moralitas) Islam ke dalam proses kebudayaan dengan  melakukan desimbolisasi (penanggalan lambang-lambang) budaya asal (baca: Arab), dan pengalokasian nilai-nilai tersebut ke dalam budaya baru (lokal) (Din Syamsudin, Jurnal Ulumul Qurâan, Vol. IV, No. 3 Tahun 1993, 69). Dari sini modernisasi sebagai proses substansiasi pembar uan Islam yang melibatkan pendekatan substantivistik, bukan formalistik terhadap Islam.Salah satu contoh kajian tentang syariaâh dilakukan oleh Modernis Muslim India yakni Syekh Wali Allah al-Dihlawi. Seorang pembaru India yang hidup pada abad 18 M, tepatnya pada masa kerajaan Mughal. Sebuah era di mana masyarakat muslim Indo-Pakistan dihadapkan pada krisis Ekonomi, Politik dan spiritual. Krisis ini disikapi oleh Syekh Waliyullah dengan mengajukan konsep syariâah. Menurutnya tujuan utama Agama adalah adanya ketaâatan kepada Allah baik dalam kehidupan personal maupun kehidupan sosial, dengan berdasar pada prinsip- prinsip kebaikan (usul al-bir), menjaga keseimbangan antara sisi angelic (dimensi kemalaikatan) dan bestial (kebinatangan) serta ada improvisasi institusi sosial yang oleh syekh Wali Allah disebut den gan irt ifaqat . ( Al- D ih lawi, B eir ut :  2000, I, 133). Dia mengatakan, muamalah adalah salah satu bagian dari pendukung p e r adab an  yan g  di dalam n ya  t e r wujud p e laksan aan  dan penegakan prinsip tukar-menukar dan tolong-menolong antar sesama manusia. Dengan membahas syariâah dalam bidang muamalah, akan terlihat aplikasi dan relevansi dari ajaran Islam dalam merespon permasalahan yang sarat dengan perubahan dan perkembangan, akibat dari dinamika masyarakat modern. Pada zaman ini mendesak kebutuhan kepada ilmu-ilmu yang dapat merespon, memberikan jawaban terhadap semua problematika  masyarakat yang dinamis. Di sinilah nanti terlihat kelebihan syariâat Islam menyikapi kesenjangan antara idealisme teori dengan realita masyarakat di sekitarnya yang selalu dinamis dan kompleks.Lebih jauh Syekh Wali Allah mengelaborasi asal-usul dari syariâah Islam, dengan menyatakan bahwa syariâah Islam tidaklah mengambil bentuk dalam r uang kosong, tetapi syariâah hidup dalam masyarakat yang di dalamnya berkembang adat kebiasaan masyarakat dan urf tertentu. Dalam hal ini Syekh Wali Allah me njelaskan o rigin alitas syariâah I slam dalam  keh idup an masyarakat Arab pra-Islam dengan mengklasifikasi syariâah dalam dua bagian. Pertama disebut dengan irtifaqat (Social Institusion ) yang masuk di dalamnya bentuk-bentuk hukum politik, hukum civil, adat kebiasaan (custom). Bagian kedua dia sebut dengan ibadat yang konsisten untuk mengatur masalah-masalah ritual dan kepatuhan kepada Tuhan. Demikian juga improvisasi syariâah dia lakukan dengan mengatakan bahwa syariâah didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan maslahah (general good).Dari beberapa ide pemikiran hasil elaborasi syariâah tersebutdapat diambil sebuah pemahaman terhadap tipe pemikiran syariâah oleh Syekh Wali Allah sebagai modernist rasionalis yang telah memberikan inspirasi pembaruan di dunia Islam di masa kontemporer ini. Statemen ini juga menjadi antitesis terhadap pendapat Schacht yang mengatakan bahwa ide dan pemikiran modernisasi sebenarnya datang dari Barat, pernyataan ini juga didukung oleh Gibb yang menyatakan bahwa modernism adalah pengarus utamaan fungsi liberalisasi Barat atau lebih umumnya adalah Eropa (Muhamad al-Ghazali, Islamic of Social Saciences, 2000).  Dalam kasus Syekh Wali Allah adalah berbeda, dia dengan kreativitas pemikirannya berusaha mencarikan solusi kebekuan syariâat Islam dalam menyikapi krisis multidimensi, dengan mengekplorasi originalitas Islam, pra Islam di Arab, direlevansikan dengan dunia yang mengitarinya yaitu anak benua India. Sehingga sampai sekarang banyak ulama India dan Pakistan dalam hal pembar uan pemikiran Islam banyak yang berafiliasi kepada Syekh Wali Allah.Demikian juga Syekh Wali Allah dalam pemikiran Syariâahkhususnya bidang hukum Islam mempunyai konsep bermadhab, taqlid, dan perbandingan madhhab yang tertuang dalam kitabnya al-Inshaf fi Bayani Ikhtilaf al-fuqahaâ. Sebagai responnya al- Dihlawi terhadap masyarakat Hindia yang pada saat ini tengah mengalami kemunduran dan stagnasi dalam ranah intelektual. Berhubungan dengan ini, kalau dilihat dari paradigma Weberian, maka timbul pertanyaan, apa makna religius yang dapat ditangkap dari g erakan p em bar uan yang dilakukan oleh  al-D ih lawi khususnya tentang syariâat tersebut? Apakah dalam rangka pemurnian ajaran, atau sikap sebagai tradisi bermadhab, atau menginginkan perubahan dan rasionalitas ajaran. Di sini akan di lihat dialektika antara ide pemikiran al-Dihlawi yang tertuang dalam konsepnya al-Syariâah dengan suasana sosial politik yang terjadi kala itu, mer upakan upaya al-Dihlawi dalam rangka melaksanakan purifikasi (pemurnian) ajaran dengan melakukan interpretasi rasionalitas tradisi bermadhab dalam konteks sosial budaya masyarakat Indo-pakistan tersebut.Untuk itu, buku ini mer upakan refleksi penulis dalamm e n y ika p i  p r o b l e m at ika  M usl im  I n do n e sia ,  ke m udi andikonfirmasi dengan ajaran-ajaran Islam yang tertuang al-Qurâan dan al-Sunnah. Dalam bahasanya meliputi muqadimah (kata pengantar), wacana tentang syariâah dalam bidang tauhid dan akidah, dinamika pemikiran fiqih atau hukum Islam, akhlaq atau etika yang dari hari ke hari semakin mengkhawatirkan, sejarah dan pemikiran Islam yang selalu dinamis, kemudian di akhiri dengan penutup dan bibliografi.