Claim Missing Document
Check
Articles

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KARYAWAN YANG DITAHAN IJAZAHNYA OLEH PERUSAHAAN Junaidi, Junaidi
Solusi Vol 16 No 3 (2018): SOLUSI
Publisher : Faculty of Law, University of Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.107 KB) | DOI: 10.36546/solusi.v16i3.138

Abstract

A work agreement is an agreement between a worker / laborer and an employer or employer that contains the work conditions, rights and obligations of the parties. The work agreement was made to obtain certainty regarding what was promised, both parties must respect each other. In the work agreement that must be considered is not violating the rule of law, each party must agree and may not be forced or forced, the contents of the work agreement must be clear, so that there is no misunderstanding in the future which results in default. An agreement in a company ideally protects the interests of all parties involved in the agreement because an agreement should be made based on the agreement between the two parties. The substance of the work agreement made may not conflict with the applicable labor regulations. Therefore work relations must contain the principle of justice, harmonization of the elements in industrial relations (employers, workers / laborers and the government).
KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA MASYARAKAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DESA Romli, Desmawaty; Junaidi, Junaidi; Merta, Martindo
Solusi Vol 20 No 1 (2022): SOLUSI
Publisher : Faculty of Law, University of Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36546/solusi.v20i1.526

Abstract

Public activities are never separated from social communication. Village community groups adhere to the characteristics of a peaceful and serene life, it cannot be separated from differences of opinion. Conflict issues that arise are triggered by conflicts of interest that cause debate. If this is allowed, it will damage the value of decency, social values ​​that cause disturbances in the security and comfort of the village community. The application of dispute resolution or violence in Indonesia, culturally, uses a lot of local community structures. To maintain harmony, organize and improve life in the village, it is more important to prioritize solving problems by consensus around people where there is a conflict, it is carried out peacefully. Ending the problem that was carried out by deliberation and consensus was carried out to maintain a harmonious life as the duty of the Village Head to resolve conflicts among its citizens. The authority of the Village Head to be able to resolve customary cases in examining and adjudicating according to their customs and not by law. The village head's obligation does not cancel the wishes of several individuals if they wish to have their case resolved in court, where it has been determined that the village head's obligations are to carry out his duties in resolving every community conflict in his village. The role of the Village Head as a conflict resolution issuer is very much needed to create a working judiciary in Indonesia. Conflict resolution based on local wisdom as explained in the Town Law can be utilized as much as possible in an effort to realize justice for the community.
LEGALISASI ABORSI AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN JO PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI Junaidi Junaidi
Jurnal Tengkhiang Vol 3 No 1 (2019): Edisi Desember 2019 Jurnal Thengkyang
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Dalam Pasal 75 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan dalam kondisi tertentu yaitu indikasi kedaruratan medis dan perkosaan. Pada ayat 4 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai syarat pengecualian dilakukannya aborsi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, yang dimaksud yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dijelaskan bahwa dengan alasan korban perkosaan maka seseorang dapat dengan legal melakukan aborsi. Alasan pembenaran aborsi, setelah adanya bukti atas surat keterangan dokter, keterangan penyidik dan keterangan psikolog, belum memberikan kepastian hukum, pembuktian yang harus terpenuhinya delik pemerkosaan adalah adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam pembuktian adanya kekerasan tidak selamanya kekerasan itu meninggalkan jejak atau bekas yang berbentuk luka, dengan demikian tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita tidak terjadi kekerasan. Disini kembali pentingnya atau alasannya mengapa dokter harus menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuatnya. Sebelum melakukan upaya pengguguran kandungan yang dilakukan oleh korban pemerkosaan, harus terlebih dahulu dibuktikan melalui putusan hakim yang inkracht demi menjamin kepastian hukum dan sebagai landasan kuat bahwa telah benar terjadi peristiwa tindak pidana pemerkosaan.
TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DIAWALI HUBUNGAN PERJANJIAN junaidi junaidi junaidi
Jurnal Tengkhiang Vol 4 No 1 (2020): Edisi Juni 2020 Jurnal Thengkyang
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Karakteristik wanprestasi dan penipuan, keduanya memiliki karakteristik yang sama, yaitu samasama didahului dengan atau diawali dengan hubungan hukum kontraktual atau perjanjian. Ketika kontrak ditutup diketahui sebelumnya ada tipu muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong oleh salah satu pihak, maka hubungan hukum ini dinamakan penipuan. Apabila setelah kontrak ditutup terdapat adanya tipu muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong, maka hubungan ini dinamakan wanprestasi. Terjadinya penipuan dalam hukum pidana merupakan suatu hubungan hukum yang senantiasa diawali atau didahului hubungan hukum perjanjian atau kontraktual. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian; untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis putusan Mahkamah Agung terutama mengenai unsur-unsur penipuan dan wanprestasi. Untuk meneliti hal tersebut Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangandengan mengacu pada aturan hukum yang berlaku serta implementasinya oleh para aparatpenegak hukum.
ASAS HAKIM PASIF DALAM REGLEMENT OP DE RECHTSVORDERING (R.V) DAN PRINSIP HAKIM AKTIF DALAM HERZIENE INDONESISCH REGLEMENT (HIR) DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN Junaidi Junaidi; M Martindo Merta
Qistie Jurnal Ilmu Hukum Vol 13, No 1 (2020): Qistie : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31942/jqi.v13i1.3426

Abstract

Secara normatif, ketentuan-ketentuan H.I.R., R.Bg., maupun R.v. tidak menyebut secara eksplisit istilah asas hakim aktif dan hakim pasif. Dalam berbagai literatur hukum, kedua asas ini juga tidak didefinisikan secara pasti dan sistematis. Secara normatif maupun empiris, kedua asas tersebut sama-sama diterapkan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan. Meskipun demikian, bukan berarti hubungan antara kedua asas tersebut komplementer, kedua-duanya sama-sama fundamental karena memiliki fungsinya masing-masing. Pada saat menunggu datangnya perkara yang diajukan padanya maupun bersikap pasif dalam hal menentukan batasan tentang perkaranya (ruang lingkup perkara). Hanya pihak pencari keadilan (penggugat dalam gugatannya dan tergugat dalam jawabannya) yang mengetahui tujuan yang ingin mereka capai dalam penyelesaian perkara mereka. Sejak perkara diserahkan kepada hakim sebagai pemutus perkara, maka hakim yang menjunjung nilai impartiality (ketidakberpihakan) dan kebijaksanaan sebagai seorang ahli dalam penyelesaian sengketa hukum, harus memastikan agar para pencari keadilan mampu menyelesaikan sengketa secara efektif dan mengakomodir lebih banyak hasrat keadilan bagi keduanya (audi et alteram partem). Di sinilah hakim harus bersikap aktif. Jika para pihak sudah menyerahkan sengketa mereka pada hakim, mereka seharusnya menyadari bahwa hakim adalah orang yang paham hukum (ius curia novit) dan ia telah dipercaya untuk memutus sengketa antara keduanya.
Penerapan Pasal 54, 103 dan 127 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan Negeri Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Bagi Diri Sendiri Junaidi Junaidi
BINAMULIA HUKUM Vol 8 No 2 (2019): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v8i2.84

Abstract

Penyalahgunaan narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Bentuk perbuatan penyalahgunaan narkotika yang paling sering dijumpai adalah perbuatan yang mengarah kepada pecandu narkotika. Adapun pengertian pecandu narkotika yang termuat di dalam Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Aparat penegak hukum dalam penanganan penyalahgunaan narkotika khususnya penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, untuk dapat mengutamakan Pasal 54, Pasal 103 dan Pasal 127 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Kata Kunci: penyalahgunaan narkotika, pidana narkotika, penerapan pidana narkotika.
HUBUNGAN TENAGA MEDIS DALAM INFORMED CONSENT DAN PERJANJIAN TERAPEUTIK TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT Junaidi Junaidi
Al Tamimi Kesmas: Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat (Journal of Public Health Sciences) Vol 10 No 1 (2021): Al-Tamimi Kesmas: Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat (Journal of Public Health Sci
Publisher : STIKes Al-Insyirah Pekanbaru

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35328/kesmas.v10i1.1517

Abstract

The relationship between medical personnel, hospital and patient are known by therapeutics agreements, which are the legal relations that generate health rights and obligation. This therapeutic relationship begins with the patient’s informed assement of medical presence as well as informed consent. The underlying legal relationships between medical personnel, patient and hospital under article 1367 of the civil law code. These proposed legal relationship led to the principle of vicpredictability, where any omission or missteps of medical action committed by hospital personnel became hospital responbility. According article 46 of Law Number 44 of the year 2009 statute on hospitals determines that there is a concentrated legal responbility for any omission made by hospital personnel..
Penerapan Pasal 86 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Di Peradilan Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Palangkaraya No 80/Pdt.G/2012/PA.Plk) ) Junaidi *
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2018: Volume 5 Nomor 1 Desember 2018
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (662.244 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i1.118

Abstract

Dalam mengajukan permohonan perceraian, tidak sedikit dari mereka yang menggabungkan beberapa tuntutan dalam satu gugatan. Biasanya disebut kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Penggabungan gugatan terhadap beberapa masalah hukum dalam satu surat gugatan tidak dilarang oleh Hukum Acara Perdata. Boleh saja digabungkan dalam satu gugatan asalkan ada hubungan erat atau koneksitas satu sama lain. Untuk mengetahui adanya koneksitas dalam persoalan yang akan digugat itu perlu dilihat dari sudut kenyataan peristiwa yang terjadi dan fakta-fakta hukum yang menjadi dasar tuntutan. Tujuan penggabungan gugatan itu tidak lain agar perkara yang itu dapat diperiksa oleh hakim yang sama guna menghindarkan kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan. Tujuan penggabungan gugatan adalah untuk menyederhanakan proses pemeriksaan di persidangan dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan. Tidak seharusnya gugatan Penggugat tidak diterima oleh Hakim. Kata Kunci : Kumulasi Gugatan, Penyelesaian Perkara Perceraian, Harta Bersama Abstract In submitting a divorce application, not a few of them combine several demands in one claim. It is usually called a cumulative claim or samenvoeging van vordering, which is the merging of more than one law suit into one claim. Merging a lawsuit against a number of legal issues in a claim is not prohibited by the Civil Procedure Code. It may be combined in one suit provided there is a close relationship or connection with one another. To find out the existence of connectivity in the problem to be sued, it needs to be seen from the point of view of the reality of the events that took place and the facts of the law on which the claim was based. The purpose of the merger is nothing else so that the case can be examined by the same judge in order to avoid the possibility of conflicting decisions. The purpose of the lawsuit merger is to simplify the process of examination at the trial and avoid conflicting decisions. The Plaintiff's claim should not be accepted by the Judge. Daftar Pustaka Buku Arto, Mukti. H, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2000. Harahap. M. Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. ------------------------, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka Kartini. 1997. -----------------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta : Gramedia, 1995. Kamil, Ahmad dan Fauzan M, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta : Kencana, 2004. Lubis, Sulaikin, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Kencana, 2008. Maru, Sophar, Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 2012. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2009. ----------------------, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 2004. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992. Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1999. ---------------------, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Bandung : PT. Citra Aditya, 2009. -------------------- dan Saleh, Mohammad, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Indonesia: Perspektif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya¸ Jakarta : Alumni. 2012. Prodjodikoro, R. Wiyono, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 1992. Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung : PT. Citra Aditya, 2002. Rambe, Ropaun, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta : Sinar Grafika, 2003. Rasyid, A. Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013. Sibuea, Pardomuan, Hotma dan Sukartono, Heryberthus, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Krakatauw Book, 2009. Soeroso, R, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2003. Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Grafindo, 1996 Syahlani, Hensyah, Pembuktian dalam Beracara Perdata dan Teknis Penyusunan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, Yogyakarta: 2007. Syahrani, Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2009. Tutik, Triwulan, Titik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Van Peusen, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta, 2009. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam. Artikel Jurnal, Majalah atau Harian Ahmad, Acara Pemeriksaan Penggabungan Perkara Sengketa Perkawinan dengan Sengketa Harta Bersama di Pengadilan Agama, Makalah disampaikan pada Diskusi IKAHI Cabang PTA Yogyakarta, 30 Maret 2011. Bahri, Samsul, Justice Delayed Justice Denied, Webportal Pengadilan Agama Subang, 23 Oktober 2011. Dworkin, Ronald, dalam Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi”, Fakultas Hukum, USU, tanggal 18 Pebruari 2003. Mujib AY, Abdul, (Wakil Ketua PA Tanah Grogot Kalimantan Timur), Kumulasi Permohonan Itsbat Nikah dengan Asasl Usul Anak (dalam perspektif hukum positif Indonesia), 19 Agustus 2010. Syam, Marjohan, (Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru), Pasal 86 Ayat (1) Penyebab Lamanya Perkara Perceraian (Kendala Peraturan Perundang-Undangan), 08 Januari 2008. Internet Mahkamah Syari’ah Takengon:http://localhost/?pilih=new&aksi=lihat&id=53, diunduh tanggal 05 Desember 2016.
Kajian Yuridis Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Terhadap Pencurian Internet Wifi Junaidi Junaidi
Wajah Hukum Vol 4, No 2 (2020): Oktober
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/wjh.v4i2.190

Abstract

The use of private wifi internet, especially at home, has become commonplace, wifi internet is used without permission from the owner, especially without his knowledge, if this happens it will result in the owner experiencing losses. Home wifi internet that should be used by the family but is also enjoyed by other people without the permission and knowledge of the owner, the owner who pays but other people use it. The crime of theft is regulated in Article 362 of the Criminal Code, while Article 3o of Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions is more about illegal access. The application of criminal law ini the crime of theft of internet wifi, as regulated in : a) Article362 of the Criminal Code, internet wifi can be interpreted extensively as one form of “goods” which in an element of Article 362 of the Criminal Code, this can be equated with “electricity” and “gas” although it does not have a from, is not visible and felt, but has an economic value to be said as “goods” because to be able to use or enjoy wifi internet service users must purchase a wifi internet package first; b) Article 30 paragraph (1), (2) dan (3) Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transaction may be imposed on perpetrators of wifi internet theft because it is related to illegal access. The act of stealing internet quota by using software or computer applications to break into the internet network to obtain a wifi internet username and password in order to gain access using wifi internet. In the settlement of a criminal act, proof is essential, because in the settlement of a criminal case what is sought is a material truth.
PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSUMEN TERHADAP PASAL 480 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MENGENAI PENADAHAN Desmawaty Romli; Junaidi
Journal of Innovation Research and Knowledge Vol. 1 No. 3: Agustus 2021
Publisher : Bajang Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.213 KB)

Abstract

The criminal act of detention as regulated in Article 480 of the Criminal Code, in which the detention element in the article is very easy to ensnare anyone who receives the proceeds of crime with an intentional element (dolus), which means that the perpetrator of the detention can be deemed appropriate must be can suspect the origin of goods from crime and it is difficult to prove that the collector really knows about it (the origin of the goods) As for the relationship with consumer protection related to this case, it can be seen in Article 4 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which describes consumer rights. Detention based on Article 480 of the Criminal Code is combined between deliberate offense (knowing) that an item originates from a crime and an offense of negligence (culpa) marked with the words "should be able to know" that item comes from crime. Element intentional or culpa This is alternatively mentioned against other elements, namely that the goods were obtained by crime. It is not necessary that the perpetrators of custody know or should be able to suspect with what crime the goods were obtained, namely whether by theft, or embezzlement, or extortion, or threats, or fraud. Consumer protection is carried out to provide protection to consumers from deceptive and misleading business practices and to provide access to information disclosure, and to ensure legal certainty, especially regarding consumer rights as regulated in Article 4 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection.