Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

From occultism to hybrid Sufism: the transformation of an Islamic-hybrid spiritual group in contemporary Indonesia Muttaqin, Ahmad
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies Vol 4, No 1 (2014): Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies
Publisher : State Institute of Islamic Studies (STAIN) Salatiga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This paper discuses transformation of an Islamic-Hybrid Spiritual group, theBhakti Nusantara (literally means ‘devotion to nation’), from spiritualitas kasar[rough spirituality] of occult-based spirituality to the finer spirituality [spiritualitasalus] which is linked to Sufi spiritual practices. Based on my field work inYogyakarta, in 2009 and 2010, the paper explains sociological context of group’sinstitutional and spiritual transformation amid contemporary Islamic revivaland modernizing process of the country. It then argues that the transformationof the group was driven by the logic for presenting spiritual heritages thatare practically appropriate for modern life and which also fit religiously withorthodox Islam. Both the institutional transformation and the change of spiritualorientation of the group mark BN, as a hybrid spiritual group, to activelyinvolve in the opportunities of modernity, instead of resisting the challengesand pressures of modern life.Tulisan ini membahas proses transformasi dalam sebuah kelompok spiritualitashybrida bernama Bhakti Nusantara (BN) dari “spiritualitas kasar” yang terkait dengan praktik klenik-kejawen ke spiritualitas halus yang berbasis pada praktiftasawuf/Sufisme. Berdasar hasil riset lapangan di Yogyakarta tahun 2009 dan2010, paper ini mencoba mengungkap konteks sosiologis dari transformasikelembagaan maupun perubahan orientasi spiritualnya di tengah prosesmodernisasi dan kebangkitan Islam di Indonesia pasca reformasi. Transformasidari spiritualitas kasar ke spiritualitas halus ini terjadi, diantaranya, dilatarioleh nalar untuk menyesuaiakn praktik dan layanan spiritual agar lebih sesuaidengan alam pikiran dan kebutuhan manusia modern dan praktik spiritualyang tidak bertentangan dengan ortodoksi keberagaan umat Islam. Transformasiyang terjadi di BN telah mengantarkan kelompok spiritualitas hibrida ini untukmenawarakan formula spiritual yang lebih pro aktif dalam menyongsong peluangyang ditawarkan modernitas, bukan formula spiritualitas untuk melawantantangan dan menghidnari tekanan kehidupan modern.
Problems, Challenges and Prospects of Indonesian Muslim Community in Sydney for Promoting Tolerance Muttaqin, Ahmad; Arifin, Achmad Zainal; Wajdi, Firdaus
KOMUNITAS: INTERNATIONAL JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE Vol 8, No 2 (2016): Komunitas, September 2016
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v8i2.5971

Abstract

This paper elucidates a map of Indonesian Muslim communities around Sydney in order to observe the possibility to promote a moderate and tolerance of Indonesian Islam worldwide. Indonesian Muslims who live in Australia are relatively small if we consider that we are the closer neighbor of Australia and have the biggest Muslim populations in the world. Most Indonesian Muslim communities in Sydney are in a form of kelompok pengajian (Islamic study group), which is commonly based on ethnicity, regionalism (province and regency), and religious affiliation with Indonesian Islamic groups. The main problems of Indonesian Muslim communities in Sydney are an ambiguous identity, laziness integration, and dream to home country. Most Indonesian Muslim diaspora in Sydney only consider Australia as the land for making money. Therefore, their inclusion to Australian community is just being “Indonesian Muslim in Australia” and it seems hard for them to be “Australian Muslim”, especially in the case of those who already changed to be Australian citizens. This kind of diaspora attitude differs from Muslims Diasporas from the Middle East and South Asia countries who are mostly ready to be fully Australian Muslim. Naturally, most Indonesian Muslim communities put their emphasis to develop their community based on social needs and try to avoid political idea of Islamism. In this case, the Indonesian government, through the Indonesian Consulate in Sydney, has great resources to promote moderate and tolerant views of Indonesian Islam to other Muslim communities, as well as to Western media. In optimizing resources of Indonesian Muslim communities in Sydney to envoy Indonesian cultures and policies, it is necessary for Indonesian government to have a person with integrated knowledge on Islamic Studies who are working officially under the Indonesian consulate in Sydney.  It is based on the fact that most Indonesian Muslim communities needs a patron from the government to manage and soften some differences among them, especially related to problems of identities, as well as to link them with the wider Australian communities.
Islam and the Changing Meaning of Spiritualitas and Spiritual in Contemporary Indonesia Muttaqin, Ahmad
Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies Vol 50, No 1 (2012)
Publisher : Al-Jamiah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2012.501.23-56

Abstract

Spiritualitas, an Indonesian term derived from English word’s spirituality, and spiritual from English’s spiritual, are now commonly used in Indonesian discourses. This paper traces earliest usages of the term spiritualitas and spiritual and then explores their changing meaning in contemporary Indonesia. Unlike in the past, where Indonesian government broadly used the terms to refer indigenous mystical legacies of the Aliran Kepercayaan or Kebatinan designing them as not religion but merely cultural legacy (adat, budaya spiritual), the current usage of the terms indicates a growing trend of Indonesian world religions, mainly Islam, in absorbing and acquiring the terms as kind of religious expressions. This trend is quite different from that happen in the West; while the growing of spirituality is correlated to the declining of Western affiliation and participation in religion, mainly Christianity; in Indonesia, world religions, especially Islam, seem to be the sponsor of spirituality. Thus, instead of spirituality will silently take over religion as predicted by Jaremy Carrette and Richard King (2005), the mainstream religious groups seem to take over spirituality.[Istilah spiritual dan spiritulitas akhir-akhir ini banyak digunakan di Indonesia, merujuk tidak hanya pada ekspresi spiritual di luar agama, namun juga yang ada dalam tradsi keagaamaan. Tulisan ini menelaah awal mula penggunaan istilah spiritual dan spiritualitas dalam khazanah literatur pasca kemerdekaan serta fase-fase perubahan makna dari istilah tersebut pada masa-masa sesudahnya. Pada fase awal, pemerintah Indonesia secara massif menggunakan istilah spiritual untuk menunjuk tradisi keberagamaan di luar agama-agama resmi yang berbasis pada mistisisme agama-agama lokal seperti Aliran Kepercayaan dan Kebatinan. Hal ini mengisyaratkan bahwa istilah spiritual tersebut digunakan untuk menekankan bahwa tradisi beragamaan lokal tersebut bukan agama, hanya warisan budaya atau adat istiadat. Namun, kecenderangan baru sejak akhir 1990an hingga saat ini menunjukkan bahwa agama-agama resmi, terutama Islam, secara massif telah menggunakan istilah spiritual maupun spiritualitas sebagai padanan dari ekspresi batin keberagamaan (inner religious expression). Trend semacam ini cukup unik bila dibandingkan dengan yang terjadi di Barat, sebab tumbuh suburnya gerakan spiritual di Barat terjadi pada saat menurunnya tingkat afiliasi publik terhadap agama-agama besar, terutama Kristen; sedangkan di Indonesia agama-agama besar dunia, terutama Islam, menjadi sponsor utama populernya istilah spiritual dan spiritualitas serta munculnya gerakan-gerakan spiritual berbasis agama. Oleh karena itu, prediksi Jaremy Carrete dan Richard King yang menyatakan “pengambil alihan peran agama oleh spiritualitas” sebagaimana yang terjadi di dunia Barat, tidak terjadi di Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi di Indonesia adalah agama-agama besar dunia telah mengambil alih peran dan fungsi spiritualitas.]
Ethnicity-Based Religiousity: Multi-Faceted Islam in Miami, USA, in the Age of War on Terrorism Muttaqin, Ahmad; Maarif, Samsul
Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies Vol 44, No 2 (2006)
Publisher : Al-Jamiah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2006.442.275-294

Abstract

Minoritas muslim seringkali menunjukkan perilaku yang ambigu. Satu sisi mereka mendambakan pengakuan dan perlakukan yang tidak diskriminatif dari kalangan mayoritas-non Muslim, namun di sisi lain ada “keengganan” untuk berbaur dengan kelompok mayoritas. Tulisan ini menguraikan dua tipe minoritas Muslim di Miami, Florida, Amerika Serikat, Muslim imigran dan Muslim kelahiran Amerika, serta menjelaskan berbagai faktor keengganan mereka dalam berbaur dengan mayoritas non Muslim. Di antara faktor keengganan tersebut adalah kesulitan mereka mencari rujukan ajaran Islam yang melegitimitasi “etika proaktif ” minoritas terhadap mayoritas, segmentasi etnis, kebangsaan dan paham keagamaan minoritas Muslim, serta beban psikis mereka yang merasa belum sepenuhnya menjadi warga negara Amerika Serikat. Dibandingkan kaum Muslim imigran yang sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan Pakistan, kaum Muslim keturunan Afrika yang lahir di Amerika cenderung lebih terbuka dan aktif berbaur dengan kelompok mayoritas non-Muslim. Sikap ini ternyata berkorelasi positif dengan perlakukan yang mereka peroleh pasca tragedy 9/11. Kelompok pertama merasa selalu menjadi target operasi anti teror pemerintah Amerika, sedangkan kelompok kedua justru menekankan bahwa mereka adalah korban dari terorisme tersebut.
Problems, Challenges and Prospects of Indonesian Muslim Community in Sydney for Promoting Tolerance Muttaqin, Ahmad; Arifin, Achmad Zainal; Wajdi, Firdaus
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 8, No 2 (2016): Komunitas, September 2016
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v8i2.5971

Abstract

This paper elucidates a map of Indonesian Muslim communities around Sydney in order to observe the possibility to promote a moderate and tolerance of Indonesian Islam worldwide. Indonesian Muslims who live in Australia are relatively small if we consider that we are the closer neighbor of Australia and have the biggest Muslim populations in the world. Most Indonesian Muslim communities in Sydney are in a form of kelompok pengajian (Islamic study group), which is commonly based on ethnicity, regionalism (province and regency), and religious affiliation with Indonesian Islamic groups. The main problems of Indonesian Muslim communities in Sydney are an ambiguous identity, laziness integration, and dream to home country. Most Indonesian Muslim diaspora in Sydney only consider Australia as the land for making money. Therefore, their inclusion to Australian community is just being “Indonesian Muslim in Australia” and it seems hard for them to be “Australian Muslim”, especially in the case of those who already changed to be Australian citizens. This kind of diaspora attitude differs from Muslims Diasporas from the Middle East and South Asia countries who are mostly ready to be fully Australian Muslim. Naturally, most Indonesian Muslim communities put their emphasis to develop their community based on social needs and try to avoid political idea of Islamism. In this case, the Indonesian government, through the Indonesian Consulate in Sydney, has great resources to promote moderate and tolerant views of Indonesian Islam to other Muslim communities, as well as to Western media. In optimizing resources of Indonesian Muslim communities in Sydney to envoy Indonesian cultures and policies, it is necessary for Indonesian government to have a person with integrated knowledge on Islamic Studies who are working officially under the Indonesian consulate in Sydney.  It is based on the fact that most Indonesian Muslim communities needs a patron from the government to manage and soften some differences among them, especially related to problems of identities, as well as to link them with the wider Australian communities.
AGAMA DAN ANCAMAN GLOBAL (REVITALISASI FUNGSI DAN PERAN AGAMA DI ERA GLOBAL) Muttaqin, Ahmad
Religi: Jurnal Studi Agama-agama Vol 2, No 1 (2003)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/rejusta.2003.%x

Abstract

Globalisasi di satu sisi menawarkan kemudahan dan kemajuan, namun di sisi lain ia juga mengidap berbagai titik rawan yang dapat mengancam kelangsungan masa depan umat manusia, termasuk di dalamnya agama. Untuk itu diperlukan upaya serius dalam rangka mewujudkan tatanan yang damai, aman, dan tentram di era global ini. Agama memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan keinginan mulia tersebut. Peneguhan etika global agama-agama yang ada di dunia adalah bagian dari tanggung jawab global yang harus diemban oleh setiap institusi agama. Untuk itu agama harus melakukan revitalisasi dan fungsionalisasinya di era global ini. Agar revitalisasi dan fungsionalisasi tersebut berjalan dengan problem-problem empiris yang dihadapi umat manusia baik secara sosiologis, psikologis maupun antropologis.
Was Jesus An Anti-Semitic? Muttaqin, Ahmad
Religi: Jurnal Studi Agama-agama Vol 6, No 1 (2007)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/rejusta.2007.%x

Abstract

Di antara  empat  injil  dalam Perjanjian Baru,  deskripsi paling negatif tentang orang  Yahudi  terdapat  pada  Injil  Yohanes.  Gambaran negatif  Yahudi  dalam Injil  ke empat  ini  dinilai  oleh  beberapa  kalangan  sebagai  pemicu sikap anti-Semitic umat Ktistiani –yang pernah  memuncak  pada peristiwa Holocolous-  dan  mengantarkan  asumsi  kuat  bahwa  Yesus  itu  sendiri memang anti-Semitic.  Artikel  ini  mencoba  menelusuri  pangkal  deskripsi negatif  Yahudi  dalam  Iniil  Yohanes  tersebut  dari  perspektif  sejarah agama-agama, dalam  konteks  kemunculan "new  religious movement"  pada  era Yesus hidup dan  Yohanes  menulis Iniilnya.  Dilihat dari  perspektif  ini, deskripsi  negatif  Yahudi  dalam  Injil  Yohanes  lebih  ditujukan  pada  pimpinan agama  dan  kalangan  aristokrat  Yahudi yang  pada  waktu  itu  memusuhi Jesus, menolak  seruan  Yesus dan  mengeksekusi  pengikut  Yesus  dari  Synagog.  Berdasar  hal  ini,  asumsi  bahwa  Yesus itu  anti-Semitik menjadi  tidak akurat.
KONSTRUK MEDIA ATAS WACANA KRISTENISASI DI INDONESIA Muttaqin, Ahmad
Religi: Jurnal Studi Agama-agama Vol 3, No 1 (2004)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/rejusta.2004.%x

Abstract

Wacana Kristenisasi terkadang memperlebar jurang relasi antara Muslim-Kristen, namun ketika hal ini dilihat secara lebih dekat, akan tempak tersekubung yang kompleks yang meliputi wacana tersebut, terlebih ketika media massa turut membentuk opini. Belum lagi kepentingan media itu sendiri yang ada dibalik wacana tersebut. Tulisan berikut akan menelusuri wacana tersebut yang dibangun opini-opini publik yang dikonstruk oleh media massa. Dengan analisis wacana yang dipakai untuk mengupas persoalan ini, penulis ingin menunjukkan melting pot opini-opini tersebut.
From occultism to hybrid Sufism: the transformation of an Islamic-hybrid spiritual group in contemporary Indonesia Ahmad Muttaqin
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies Vol 4, No 1 (2014): Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies
Publisher : IAIN Salatiga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18326/ijims.v4i1.81-104

Abstract

This paper discuses transformation of an Islamic-Hybrid Spiritual group, theBhakti Nusantara (literally means ‘devotion to nation’), from spiritualitas kasar[rough spirituality] of occult-based spirituality to the finer spirituality [spiritualitasalus] which is linked to Sufi spiritual practices. Based on my field work inYogyakarta, in 2009 and 2010, the paper explains sociological context of group’sinstitutional and spiritual transformation amid contemporary Islamic revivaland modernizing process of the country. It then argues that the transformationof the group was driven by the logic for presenting spiritual heritages thatare practically appropriate for modern life and which also fit religiously withorthodox Islam. Both the institutional transformation and the change of spiritualorientation of the group mark BN, as a hybrid spiritual group, to activelyinvolve in the opportunities of modernity, instead of resisting the challengesand pressures of modern life.Tulisan ini membahas proses transformasi dalam sebuah kelompok spiritualitashybrida bernama Bhakti Nusantara (BN) dari “spiritualitas kasar” yang terkait dengan praktik klenik-kejawen ke spiritualitas halus yang berbasis pada praktiftasawuf/Sufisme. Berdasar hasil riset lapangan di Yogyakarta tahun 2009 dan2010, paper ini mencoba mengungkap konteks sosiologis dari transformasikelembagaan maupun perubahan orientasi spiritualnya di tengah prosesmodernisasi dan kebangkitan Islam di Indonesia pasca reformasi. Transformasidari spiritualitas kasar ke spiritualitas halus ini terjadi, diantaranya, dilatarioleh nalar untuk menyesuaiakn praktik dan layanan spiritual agar lebih sesuaidengan alam pikiran dan kebutuhan manusia modern dan praktik spiritualyang tidak bertentangan dengan ortodoksi keberagaan umat Islam. Transformasiyang terjadi di BN telah mengantarkan kelompok spiritualitas hibrida ini untukmenawarakan formula spiritual yang lebih pro aktif dalam menyongsong peluangyang ditawarkan modernitas, bukan formula spiritualitas untuk melawantantangan dan menghidnari tekanan kehidupan modern.
Islam and the Changing Meaning of Spiritualitas and Spiritual in Contemporary Indonesia Ahmad Muttaqin
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies Vol 50, No 1 (2012)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2012.501.23-56

Abstract

Spiritualitas, an Indonesian term derived from English word’s spirituality, and spiritual from English’s spiritual, are now commonly used in Indonesian discourses. This paper traces earliest usages of the term spiritualitas and spiritual and then explores their changing meaning in contemporary Indonesia. Unlike in the past, where Indonesian government broadly used the terms to refer indigenous mystical legacies of the Aliran Kepercayaan or Kebatinan designing them as not religion but merely cultural legacy (adat, budaya spiritual), the current usage of the terms indicates a growing trend of Indonesian world religions, mainly Islam, in absorbing and acquiring the terms as kind of religious expressions. This trend is quite different from that happen in the West; while the growing of spirituality is correlated to the declining of Western affiliation and participation in religion, mainly Christianity; in Indonesia, world religions, especially Islam, seem to be the sponsor of spirituality. Thus, instead of spirituality will silently take over religion as predicted by Jaremy Carrette and Richard King (2005), the mainstream religious groups seem to take over spirituality.[Istilah spiritual dan spiritulitas akhir-akhir ini banyak digunakan di Indonesia, merujuk tidak hanya pada ekspresi spiritual di luar agama, namun juga yang ada dalam tradsi keagaamaan. Tulisan ini menelaah awal mula penggunaan istilah spiritual dan spiritualitas dalam khazanah literatur pasca kemerdekaan serta fase-fase perubahan makna dari istilah tersebut pada masa-masa sesudahnya. Pada fase awal, pemerintah Indonesia secara massif menggunakan istilah spiritual untuk menunjuk tradisi keberagamaan di luar agama-agama resmi yang berbasis pada mistisisme agama-agama lokal seperti Aliran Kepercayaan dan Kebatinan. Hal ini mengisyaratkan bahwa istilah spiritual tersebut digunakan untuk menekankan bahwa tradisi beragamaan lokal tersebut bukan agama, hanya warisan budaya atau adat istiadat. Namun, kecenderangan baru sejak akhir 1990an hingga saat ini menunjukkan bahwa agama-agama resmi, terutama Islam, secara massif telah menggunakan istilah spiritual maupun spiritualitas sebagai padanan dari ekspresi batin keberagamaan (inner religious expression). Trend semacam ini cukup unik bila dibandingkan dengan yang terjadi di Barat, sebab tumbuh suburnya gerakan spiritual di Barat terjadi pada saat menurunnya tingkat afiliasi publik terhadap agama-agama besar, terutama Kristen; sedangkan di Indonesia agama-agama besar dunia, terutama Islam, menjadi sponsor utama populernya istilah spiritual dan spiritualitas serta munculnya gerakan-gerakan spiritual berbasis agama. Oleh karena itu, prediksi Jaremy Carrete dan Richard King yang menyatakan “pengambil alihan peran agama oleh spiritualitas” sebagaimana yang terjadi di dunia Barat, tidak terjadi di Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi di Indonesia adalah agama-agama besar dunia telah mengambil alih peran dan fungsi spiritualitas.]