Artikel ini membahas konsep tanah terjanji dalam Al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Mā’idah [5]: 21, serta relevansinya dengan sejarah panjang konflik Israel-Palestina dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat dunia. Ayat tersebut menegaskan perintah Allah kepada Bani Israil pada masa Nabi Musa untuk memasuki tanah suci, yang dalam berbagai tafsir dimaknai sebagai kawasan Syam, termasuk Palestina. Namun, para ulama sepakat bahwa perintah tersebut bersifat historis dan tidak dapat dijadikan dasar legitimasi klaim politik Israel modern atas Palestina. Selanjutnya, artikel ini menelusuri akar konflik Israel-Palestina dari masa kerajaan kuno Bani Israil, diaspora bangsa Yahudi, kekuasaan imperium besar, hingga munculnya Zionisme modern dan berdirinya Israel pada 1948 yang memicu tragedi Nakba. Konflik tersebut terus berlanjut hingga kini, ditandai dengan perang besar, pendudukan wilayah, ekspansi permukiman ilegal, dan kebijakan diskriminatif terhadap rakyat Palestina. Dampak konflik ini bersifat multidimensi. Dari sisi kemanusiaan, masyarakat Palestina mengalami penderitaan berupa korban jiwa, kerusakan infrastruktur, pengungsian, hingga pelanggaran hak asasi manusia. Dari sisi politik internasional, konflik ini memunculkan tarik-menarik kepentingan negara besar, melemahkan efektivitas hukum humaniter, serta memunculkan perdebatan di berbagai forum global. Sementara itu, bagi masyarakat Muslim, Palestina telah menjadi simbol perjuangan dan solidaritas global, yang ditunjukkan melalui aksi kemanusiaan, gerakan solidaritas, serta penguatan identitas sosial. Dengan demikian, konflik Israel-Palestina tidak hanya menjadi persoalan regional, tetapi juga isu global yang mencerminkan pertemuan antara sejarah keagamaan, politik internasional, dan nilai kemanusiaan. Artikel ini menegaskan bahwa penyelesaian konflik menuntut kesungguhan politik global, penghormatan terhadap hukum internasional, serta penguatan solidaritas masyarakat dunia, khususnya umat Muslim, dalam menegakkan nilai keadilan dan kemanusiaan.