Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

AFEKSI NEGATIF SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEADILAN ORGANISASI DENGAN PERILAKU KERJA KONTRAPRODUKTIF-ORGANISASI Yoseanto, Baquandi Lutvi; Zamralita, Zamralita; Idulfilastri, Rita Markus
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i2.2315

Abstract

This study aims to look at the role of negative affection as a mediator between organizational justice and counterproductive-organizational work behavior. Negative affection is a general condition of subjective stress and unpleasant conditions including anger, disgust and so on. Organizational justice is the employee's personal evaluation of ethical and moral position on what the company does. Counterproductive-organizational work behavior is a variety of intentional behaviors that harm, including financially, the organization such as theft. The sampling method used is convenience sampling. The number of sample in this study are 73 people. Data analysis method is regression. The results of this study are: (1) it is not proven that organizational justice affects counterproductive-organizational work behavior (significance> 0.05); (2) it cannot be concluded that there is an indirect relationship between organizational justice and counterproductive-organizational work behavior because any direct effect of organizational justice on counterproductive-organizational work behavior cannot be proven; (3) it is proven that organizational justice affects negative affections with β = -0,388 (p <0.05); (4) it is proven that negative affection affects counterproductive-organizational work behavior with β = 0.403 (p <0.05).  Penelitian ini bertujuan untuk melihat  peranan afeksi negatif sebagai mediator antara keadilan organisasi dengan perilaku kerja kontraproduktif-organisasi . Afeksi negatif adalah keadaaan umum dari tekanan subjektif dan kondisi yang tidak menyenangkan meliputi kemarahan, jijik dan lain sebagainya. Keadilan organisasi adalah evaluasi pribadi karyawan tentang kedudukan etis dan moral terhadap apa yang dilakukan oleh perusahaan. Perilaku kerja kontraproduktif-organisasi adalah berbagai perilaku yang disengaja yang merugikan/membahayakan organisasi misalnya pencurian. Metode pengambilan sampel adalah convenience sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 73 orang. Teknik analisis data menggunakan regresi. Hasil penelitian ini adalah: (1) tidak terbukti bahwa keadilan organisasi mempengaruhi perilaku kerja kontraproduktif-organisasi  (signifikansi >0,05); (2) tidak dapat disimpulkan adanya  hubungan tidak langsung antara keadilan organisasi dengan perilaku kerja kontraproduktif-organisasi karena tidak bisa dibuktikan adanya pengaruh langsung dari keadilan organisasi terhadap perilaku kerja kontraproduktif-organisasi; (3) terbukti bahwa keadilan organisasi memengaruhi afeksi negatif dengan β= -0,388 (p<0,05); (4) terbukti bahwa afeksi negatif  memengaruhi perilaku kerja kontraproduktif-organisasi dengan β=0,403 (p<0,05).
PENGUJIAN KONSTRUK TES POTENSI MANAJERIAL BERDASARKAN VALIDITAS BUTIR DENGAN METODE FACTOR ANALYSIS Idulfilastri, Rita Markus
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 1 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i1.1597

Abstract

Tes Potensi Manajerial merupakan tes psikologi mengukur potensi manajerial dalam ranah kognitif berdasarkan konsep Differentiated Model of Giftedness and Talent (DMGT) yaitu terjadinya proses transformasi potensi menjadi talenta. Tujuan penelitian adalah menguji konstruk tes potensi manajerial yaitu konstruk kognitif, metakognitif dan kreativitas berdasarkan validitas butir menggunakan factor analysis, Confirmatory Factor Analysis (CFA). Jumlah butir tes sebanyak 80 butir, pengambilan data pada sampel di industri otomotif level manajerial Supervisor, Asisten Manager dan Manager berjumlah 181 subyek. Mengingat adanya penambahan butir menjadi 80 butir, dilakukan kategorisasi faktor sebagai uji pendahuluan menggunakan Exploratory Factor Analysis (EFA). Pengolahan data CFA menggunakan program Lisrel version 8.80, hasil pengujian berdasarkan model fit dan butir validi dengan Pvalue > 0,05; factor loading positif; t-value >1,96. Diperoleh hasil 11 indikator dengan jumlah 50 butir valid pada 3 konstruk. Konstruk kognitif terdiri 3 indikator, asumsi, deduktif dan interpretasi, jumlah 17 butir valid; konstruk metakognitif terdiri 5 indikator, deklarasi, kondisi, strategi, pengawasan, evaluasi, jumlah 16 butir valid dan konstruk kreativitas terdiri 3 indikator, fleksibelitas, keberanian berbeda dan spontanitas, jumlah 17 butir valid. Kesimpulan Tes Potensi Manajerial dapat dipakai di industri otomotif menggunakan 11 indikator dan 50 butir valid. Adanya perbedaan komposisi indikator dan jumlah butir yang dihasilkan dibandingkan penelitian sebelumnya sebagai indikasi tipe bisnis atau industri berbeda membutuhkan karakteristik Tes Potensi Manajerial spesifik.
Tuntutan Pekerjaan, Intensi Keluar Kerja, dan Peran Burnout sebagai Mediator Roswani, Julia; Zamralita; Idulfilastri, Rita Markus; Roebianto, Adiyo
Psyche 165 Journal Vol. 16 (2023) No. 4
Publisher : Fakultas Psikologi, Universitas Putra Indonesia YPTK Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35134/jpsy165.v16i4.315

Abstract

The Covid-19 pandemic is a very critical period and has become an epidemic that has spread throughout the world, thus affecting all aspects of people's lives in the world. The increasing demand related to information technology automation since the Covid-19 pandemic has been followed by increasing job demands for employees in the information technology industry. In line with increasing job demands, the phenomenon of burnout and turnover intention is faced by company X. High job demands can cause fatigue and can influence employees to leave the organization or company. There is a relationship between job demands and turnover intention, but this relationship is not strong (weak) so a burnout mediator role is needed. The purpose of this research is to look at the role of burnout as a mediator in the relationship between job demands and turnover intention. Turnover intention is a deliberate action with full awareness to leave the organization. Job demands are the physical, psychological, social and organizational aspects related to work that are needed to support both physical and psychological demands that are associated with physical and psychological harm. Burnout is a symptom of emotional exhaustion and a negative view (cynicism) of what one does. The number of samples in this study was 71 people. The sampling technique is non-probability sampling with convenience sampling. Measuring the variable of turnover intention uses a measuring tool, measuring burnout using the burnout assessment tool, measuring job demands using the job demands-resources questionnaire. The results of this research are that there is a relationship between job demands and burnout. There is a role of burnout as a mediator in the relationship between job demands and intention to leave work.
GAMBARAN WORK-LIFE BALANCE PADA PEKERJA DI SEBUAH PERUSAHAAN FAST MOVING CONSUMER GOODS Timesela, Jennifer Jacqualine Putri; Idulfilastri, Rita Markus; Putri, Dhindayanti
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 6 No. 3 (2022): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v6i3.18266.2022

Abstract

Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mengurangi penyebaran kasus positif COVID-19 di Indonesia, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan atau aturan. Di awal tahun 2021 hingga awal tahun 2022, kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pada saat ini aturan PPKM yang diterapkan adalah perkantoran sektor non-esensial diizinkan untuk Work From Office (WFO) maksimal sebesar 75% bagi pekerja yang telah mendapatkan vaksin dan memakai aplikasi PeduliLindungi. Pemberlakuan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) memunculkan perubahan kebiasaan dan pola baru di dunia kerja, di mana perubahan tersebut disadari atau bahkan tanpa disadari membuat batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi samar. Padahal Work-Life Balance (WLB) sangatlah penting. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran WLB pekerja di sebuah perusahaan Fast-Moving Consumer Goods (FMCG). Pengumpulan data menggunakan studi kuantitatif dengan menggunakan teknik Quota Sampling, dengan jumlah partisipan yang bersedia berpartisipasi dan mengisi kuesioner sebanyak 100 pekerja. Untuk mengukur tingkat WLB pekerja, penelitian ini menggunakan WLB Questionnaire yang dikembangkan oleh Fisher-McAuley, et. al. (2003) dan divalidasi oleh Hayman (2005). Setelah data terkumpul, data dianalisis menggunakan IBM SPSS versi 22. Hasil analisis menemukan bahwa WLB pekerja di PT GXXI berada pada tingkat sedang (M= 50.82, n= 63). Peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan bagi perusahaan untuk meningkatkan WLB pekerja.
PERAN KEPRIBADIAN NEUROTICISM TERHADAP SIKAP BERMAIN GAME PADA MAHASISWA PEMAIN GAME BATTLE ROYALE X Ronaldo, Ezra Jonathan; Idulfilastri, Rita Markus
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 6 No. 3 (2022): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v6i3.19356.2022

Abstract

Battle royale merupakan jenis game yang memadukan unsur menyusun taktik dan bertahan hidup supaya bisa melawan sejumlah musuh hingga akhir dan menjadi pemenang. Banyak fenomena yang terjadi khususnya di Indonesia yang menyebutkan bahwa terjadi berbagai kejadian merugikan yang disebabkan karena bermain game. Berbagai fenomena tersebut memberikan dampak yang negatif dan cenderung menjurus pada kepribadian neuroticism. Neuroticism menunjukkan bagaimana perasaan seseorang dan bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan situasi emosional yang berbeda. Neuroticism biasanya di konseptualisasikan sebagai kecenderungan umum untuk merasakan emosi negatif. Mengingat semakin banyaknya kejadian yang merugikan orang lain yang disebabkan oleh bermain game, maka penelitian ini penting untuk dilakukan, apakah ada peran kepribadian neuroticism terhadap sikap bermain game pada pemain Game Battle Royale X. Penelitian ini melibatkan 97 partisipan yaitu Mahasiswa pemain game battle royale x di Jakarta yang terdiri dari 44 laki-laki dan 53 perempuan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Big Five-Factor Model dan Attitude Toward Video Game. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif non eksperimen dan menggunakan Teknik survei. Teknik analisa yang digunakan adalah regresi linear sederhana dengan melakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu. Hasil uji korelasi antara dua variabel menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak signifikan antara neuroticism dan pemain game battle royale x. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi neuroticism seseorang, semakin tinggi juga nilai attitude toward video game pemain game battle royale x. Battle royale is known as a game that combines tactics and survival in order to fight against enemies to the final stage and become the winner. In numerous cases, specifically in Indonesia, reported that various adverse events were caused by playing games. This phenomenon left negative impacts as well as resulting in neurotic personality, which shows how people feel and adjust in different emotional situations. Neuroticism is commonly conceptualized as a general tendency to feel negative emotions. Considering the growing number of incidents due to harm caused by playing games, it is necessary for this research to be conducted in order to break down the role of neuroticism personality on Battle Royale X players. This research involves 97 participants, who are university students, consisting of 44 males and 53 females. The measuring instruments used in the research are Big Five-Factor Model and Attitude Toward Video Game. This research also uses non-experimental qualitative and survey as its research method, followed by simple linear regression through classical assumption test as the analysis technique. The correlative test result shows that there were positive yet insignificant relations between neuroticism and Battle Royale X players in both variables. Thus, it can be said that the higher a person’s neuroticism, the higher the attitude toward video game in Battle Royale X players.
GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA INDONESIA TINGKAT SARJANA YANG KULIAH DI TAIWAN Timothy, Jeremy; Idulfilastri, Rita Markus; Wati, Linda
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 7 No. 1 (2023): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v7i1.22381.2023

Abstract

Taiwan menjadi salah satu negara favorit dari mahasiswa Indonesia untuk berkuliah dengan reputasinya yang baik dalam berbagai bidang. Usaha penyesuaian diri berbeda dengan istilah adaptasi, namun beberapa peneliti mengatakan bahwa kedua hal saling berkaitan. Adaptasi merupakan salah satu sudut pandang penyesuaian diri. Namun, di dalam usaha penyesuaian diri mahasiswa Indonesia disana, masih adanya tantangan karena perbedaan budaya dan bahasa menjadi salah satu hambatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan psikologis atau tingkat stres seseorang adalah budaya Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran variabel penyesuaian diri pada mahasiswa Indonesia tingkat sarjana yang berkuliah di Taiwan.  penelitian ini dilakukan dengan dasar melihat fenomena yang positif dan negatif yang dirasakan oleh sebagian mahasiswa Indonesia di Taiwan. Definisi penyesuaian diri adalah tujuan yang hendak dicapai oleh individu tersebut sebagai keadaan dirinya dalam usaha mengatasi konflik dan frustasi dalam hal menyelaraskan dirinya dengan lingkungannya. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pengambilan sampel non-probability sampling. Partisipan penelitian berjumlah 41 partisipan. Alat ukur yang digunakan oleh peneliti adalah milik dari Runyon & Harber (dalam Maulida, 2020). Hasil penelitian menunjukkan penyesuaian diri dan tingkat dimensi- dimensinya berada pada skor tinggi, namun perlu mendapatkan perhatian pada dimensi interpersonal karena sebagai dimensi dengan mean terendah. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan jumlah partisipan yang lebih banyak dan dilakukan pengambilan kesuksesan akademis mahasiswa.
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KETERIKATAN KARYAWAN MELALUI MEDIASI THRIVING DAN FLOURISHING Hani, Umi Mahmudah; Rostiana; Idulfilastri, Rita Markus
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 7 No. 1 (2023): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Karyawan dapat bekerja dengan baik di perusahaan apabila mempunyai keterikatan yang tinggi, oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang berperan terhadap pembentukan keterikatan karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap keterikatan karyawan melalui mediasi thriving dan flourishing. Budaya organisasi merujuk suatu sistem pengertian bersama oleh anggota organisasi dan membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Keterikatan kerja merupakan keterlibatan, kepuasan dan antusiasme individu dengan pekerjaannya. Thriving adalah perasaan mengalami perkembangan dan kemajuan dalam mengembangkan diri. Flourishing adalah kombinasi antara pengalaman hidup yang berjalan baik, perasaan positif serta mampu berfungsi optimal. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif non eksperimen dengan jumlah sampel 238 orang, yang pengambilannya ditentukan dengan teknik convenience sampling. Keterikatan karyawan diukur menggunakan Gallup   question 12 survey (Q12 survey), budaya organisasi diukur menggunakan skala budaya organisasi, 36 butir, thriving diukur menggunakan Brief Inventory of Thriving (BIT) sebanyak 10 butir; dan flourishing diukur menggunakan The Flourishing Scale Diener sebanyak 8 butir. Hasil uji hipotesis menunjukkan budaya organisasi memberikan efek langsung kepada keterikatan karyawan, thriving berperan sebagai mediator, namun flourishing tidak terbukti berperan sebagai mediator antara budaya organisasi dengan keterikatan karyawan. Implikasi penelitian ini memperlihatkan karyawan terikat dengan organisasi karena adanya tata nilai dan kebersamaan terutama untuk mengembangkan diri. Namun, kedekatan dan tanggung jawab karyawan tersebut belum membangun perasaan positif karyawan pada organisasinya. Saran penulis untuk penelitian selanjutnya adalah agar dapat meneliti budaya organisasi dan keterikatan karyawan dengan melibatkan level manajerial sehingga didapat hasil yang lebih lengkap dan maksimal.
GAMBARAN KESEPIAN DI TEMPAT KERJA YANG DIRASAKAN PADA KARYAWAN DI DKI JAKARTA Nistleroy, Kevin; Idulfilastri, Rita Markus
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 8 No. 1 (2024): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora , dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v8i1.27460.2024

Abstract

Dalam dunia pekerjaan, sangat penting bagi setiap orang untuk dapat bersosialisasi dan menjalin hubungan yang baik dengan rekan kerjanya di tempat kerja, tetapi beberapa orang tidak memiliki kemampuan untuk bersosialisasi dan merasa nyaman di lingkungan kerja mereka. Hal ini menjadi salah satu masalah bagi subyek karena mereka dapat merasa kesepian saat berada di tempat kerja. Kesepian merupakan keadaan dimana hubungan sosial yang dimiliki seseorang tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Studi telah menunjukkan bahwa kesepian di tempat kerja merupakan salah satu faktor yang dapat berdampak terhadap kualitas kinerja karyawan, sehingga hal tersebut menjadi alasan terlaksananya penelitian ini. Penelitian ini menggunakan alat ukur LAWS (Loneliness At Workplace Scale). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kesepian di tempat kerja pada karyawan di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling dengan metode pengambilan sampel convenience sampling, dimana peneliti mengambil sampel penelitian dari kumpulan responden yang tersedia secara acak dan mudah dijangkau dengan total sebanyak 154 partisipan. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini merupakan karyawan tetap yang sudah bekerja selama 1 tahun, domisili DKI Jakarta dengan usia 20-45 tahun. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif menggunakan IBM SPSS Statistics 23. Hasil analisis deskriptif gambaran kesepian di tempat kerja pada karyawan di DKI Jakarta memiliki nilai mean sebesar 2,12 yang mengartikan rendahnya tingkat kesepian di tempat kerja pada karyawan di DKI Jakarta.
GAMBARAN KEPUASAN KERJA PADA KARYAWAN PERANTAU DI KOTA TANGERANG Timothy, Nathanael; Idulfilastri, Rita Markus
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 8 No. 1 (2024): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora , dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v8i1.27530.2024

Abstract

Karyawan perantau dalam perusahaan cenderung memiliki kebutuhan alami untuk melakukan interaksi sosial dan memiliki hubungan dekat dengan orang lain. Tantangan yang harus dihadapi para karyawan perantau adalah adanya perbedaan budaya, kemampuan mengatur keuangan, tuntutan untuk mandiri, kemampuan menghadapi orang dengan berbagai karakter, dan munculnya rasa rindu kampung halaman. Dalam mencapai visi dan misi perusahaan, perusahaan tentunya penting untuk memperhatikan kepuasan kerja para sumber daya manusianya. Kepuasan kerja karyawan merupakan prioritas sebuah perusahaan dan harus diciptakan sebaik baiknya untuk menumbuhkan lingkungan kerja yang positif. Kepuasan kerja berdampak bagi peningkatan kerja sehingga menciptakan pekerja yang produktif serta kesejahteraan perusahaan. Studi menemukan bahwa tingkat kepuasan kerja karyawan merupakan hal yang dapat berdampak terhadap kinerja karyawan. Penelitian ini menggunakan alat ukur JSS (Job Satisfaction Survey) untuk mengetahui gambaran kepuasan kerja pada karyawan rantau di kota Tangerang berusia 20-50 tahun yang aktif bekerja lebih dari 1 tahun dengan total 101 partisipan. Analisis data digunakan dengan menggunakan analisis deskriptif dengan  IBM SPSS Statistic 23. Hasil analisis data gambaran kepuasan kerja pada karyawan perantau di Tangerang memiliki nilai mean sebesar 4.197. Hasil analisis menunjukan bahwa tingkat kepuasan kerja pada karyawan perantau di Tangerang tergolong cenderung tinggi.
Peran Kesejahteraan di Tempat Kerja terhadap Keinginan untuk Tetap bertahan pada Milenial Luthfiana, Nusaiba; Zamralita, Zamralita; Idulfilastri, Rita Markus
GUIDENA: Jurnal Ilmu Pendidikan, Psikologi, Bimbingan dan Konseling Vol 13, No 4 (2023)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24127/gdn.v13i4.8261

Abstract

This research investigates the role of workplace well-being on Millennials'  intention to stay. Intention to stay refers to a person's tendency to stay in the organization where they work for a more extended period. Workplace well-being is a sense of well-being obtained from work related to the feelings of workers in general (core affect) and intrinsic and extrinsic work values. A cross-sectional survey design was used in this study. Data was collected through a Google form distributed to employees in the Jabodetabek area aged 27-40 with a minimum of 1 year of working experience, and the last education was high school or equivalent—the completed questionnaire obtained 211 answers. The instrument for measuring the will to survive uses the Intention to Stay Scale adaptation scale from Kyndt et al. (2009), and well-being at work is measured by the Work Well-Being Questionnaire from Parker and Hyett (2014). The statistical analysis used was descriptive statistics, Spearman correlation statistics, Confirmatory Factor Analysis (CFA), and exponential regression. There is a positive and significant role of workplace well-being on intention to stay in Millennials with an R square of 0.821, and the regression equation is Y = 1.431 + 0.255 X. Research has shown that when employees feel cared for, valued, and supported at work, they tend to have higher intentions to stay employed.