cover
Contact Name
Ivan Sunata
Contact Email
sunataivan@gmail.com
Phone
+6285274603444
Journal Mail Official
sunataivan@gmail.com
Editorial Address
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kerinci Jl. Kapten Muradi, Kec. Sungai Liuk, Kerinci, Jambi, Indonesia 37112
Location
Kab. kerinci,
Jambi
INDONESIA
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah
ISSN : 27146510     EISSN : 27156273     DOI : https://doi.org/10.32939/ishlah
Core Subject : Religion,
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah is a journal that publishes current original researches on ushuluddin, adab and dakwah phenomenon and studies related to social and cultural context in Indonesia in multi concepts, theories, perspectives, paradigms and methodologies. The focus study of Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah are: Interpretation of the Quran and Hadis; Humanities and Philology; Islamic Historical and Cultural Studies; Islamic communication/public speaking (Tabligh); Islamic counseling (Irsyad); Da’wah management (Tadbir); Islamic community development (Tamkin); Religion Studies.
Articles 112 Documents
Tafsir Method of Tartib Nuzuli: An Analytical Study of Muhammad Darwazah's Kitab al-Tafsir al-Hadith and Muhammad al-Jabiri's Kitab Fahm al-Qur`an al-Hakim Badruzaman, Abad; Aziz, Thoriqul
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 5 No. 2 (2023): Desember
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v5i2.287

Abstract

The study of tafsir tartib nuzuli is still quite rare. This study seeks to complete the study. Tafsir tartib nuzuli is still considered “strange” by the majority of Muslims. This study is library research using a descriptive-analysis method. There are at least four mufasirs (interpreters) who use the tafsir method of tartib nuzuli, namely Bayan al-Ma'ani by Abdul Qadir Huwaisy (Iraq: 1880-1978), Al-Tafsir al-Hadith by Muhammad Darwazah (Syria: 1887-1984), Ma'arij al-Tafakkur by Abdurrahman al-Maidani (Syria: 1927-2004), and Fahm al-Qur`an al-Hakim by Muhammad al-Jabiri (Morocco: 1935-2010). Of the four books of nuzuli interpretation, this paper will focus on two books, namely Al-Tafsir al-Hadith and Fahm al-Qur`an al-Hakim. The tafsir method of nuzuli has its own characteristics and contributions compared to other methods of interpretation. Tafsir tartib nuzuli can be an alternative method in portraying the Prophet’s da’wah journey / Islamic transformation from the time of Muhammad's prophethood until his death. Tartib nuzuli interpretation is more related to the chronology of the Prophetic Sirah Nabawiyah (Prophetic Journey) as narrated in the books of Sirah. Studi tentang tafsir tartib nuzuli masih cukup jarang dilakukan. Kajian ini berusaha untuk melengkapi studi tersebut. Tafsir tartib nuzuli dianggap masih ”asing” oleh mayoritas umat Islam. Kajian ini bersifat kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Setidaknya ada empat mufasir yang menggunakan metode tafsir tartib nuzuli yaitu Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir Huwaisy (Irak: 1880-1978), Al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad Darwazah (Suriah: 1887-1984), Ma’arij al-Tafakkur karya Abdurrahman al-Maidani (Suriah: 1927-2004), dan Fahm al-Qur`an al-Hakim karya Muhammad al-Jabiri (Maroko: 1935-2010). Dari empat kitab tafsir nuzuli tersebut, tulisan ini akan fokus pada dua kitab, yaitu Al-Tafsir al-Hadits dan Fahm al-Qur`an al-Hakim. Metode tafsir nuzuli memiliki ciri khas dan kontribusi tersendiri dibanding metode tafsir lain. Tafsir tartib nuzuli dapat menjadi metode alternatif dalam memotret perjalanan dakwah Nabi/formasi Islam sejak masa kenabian Muhammad sampai wafatnya. Tafsir tartib nuzuli lebih sinkron dengan kronologi Sirah Nabawiyah sebagaimana dinarasikan dalam kitab-kitab sirah.
Nidā’ Al-Qur’an: A Study of the Manuscript of Tafsīr Yā Ayyuha Al-Lażīna Āmanū by Shaykh Abdul Latief Syakur 20th Century Wahidi, Ridhoul
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.303

Abstract

The study of the Qur’anic nidā' is important to understand and master and distinguish the khitab to whom the call is addressed and what the meaning or essence of the call is conveyed. The purpose of this study is to explore and find the context of the call (nidā'), khitāb and mukhātab addressed in Tafsīr Yā Ayyuha Al-Lażīna Āmanū. This article theoretically and methodologically has an important role in the study of al-Qur'anic sciences and tafsir. This research is a library research with philological method with philosophical historical approach and analyzed with descriptive analysis model. The findings in this study indicate that there are three contexts addressed in the existence of nidā' verses. First, nidā' verses whose mukhātab clearly refer to individuals. Second, nidā' verses refer to a particular community either in general or in particular. Thirdly, nidā' verses whose mukhātab refers to a particular community either generally or specifically. Of all the nidā' in this tafsir, the khitab nidā' are categorized into five: nidā' related to the relationship between man and God; nidā' related to the relationship between the believing servant and the Prophet Muhammad; nidā' related to the relationship between people and their families; and nidā' related to the relationship between believers and disbelievers and disobedient people. Kajian nidā’ al-Qur’an penting dilakukan guna memahami dan menguasai serta membedakan khitab kepada siapa seruan itu ditujukan dan apa makna atau esensi seruan tersebut disampaikan. Adapun tujuan penelitian ini untuk menggali dan menemukan konteks seruan (nidā’), khitāb dan mukhātab yang dituju dalam Tafsīr Yā Ayyuha Al-Lażīna Āmanū. Artikel ini secara teoritis dan metodologis memiliki peran penting dalam studi ilmu-ilmu al-Qur’an dan tafsir. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Reseach) dengan motode filologi dengan pendekatan historis filosofis dan dianalisa dengan model deskriptif-analisis (descriptive analysis). Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada tiga konteks yang dituju pada eksistensi ayat-ayat nidā’. Pertama, ayat-ayat nidā’ yang mukhātabnya jelas merujuk kepada individu. Kedua, ayat-ayat nidā’ mengacu pada komunitas tertentu baik secara umum atau khusus. Ketiga, ayat-ayat nidā' yang tujuan mukhātabnya masih menimbulkan penafsiran tentang siapa sebenarnya yang dimaksud. Dari keseluruhan nidā' dalam tafsir ini, khitab nidā’nya dikelompokkan menjadi lima, yakni nidā’ yang terkait hubungan antara manusia dan Tuhan; nidā’ yang terkait antara hamba yang beriman dengan Nabi Muhammad; nidā’ yang terkait dengan antara orang dengan keluarga mereka; dan nidā’ yang terkait antara orang beriman dengan orang kafir dan durhaka.
Khataman Ṣaḥīh Bukhārī by PCNU Jombang (A Study of Living Hadith) Nursyahbani, Iqbal; Junianto, Viki; Khamim, Khamim; Salsabila, Maulana Thalia
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.313

Abstract

This research aims to analyze the social actions that occur during the Ṣaḥīh Bukhārī khatam event organized by the Jombang branch of Nahdlatul Ulama (PCNU). The study adopts Max Weber's perspective on social action as its analytical approach, using four of his theories: traditional, affective, rationality, and value orientation. The research methodology used is qualitative, with interviews as the data collection method. Additionally, a literature review is conducted to uncover historical data on the tradition of khatam Ṣaḥīh Bukhārī in Islam and the opinions of scholars (ulama). The research findings indicate that the Ṣaḥīh Bukhārī khatam activities of PCNU Jombang continue to exist due to four factors. First, these activities are a manifestation of the respect and preservation of traditions practiced by scholars in Islam and the NU organization itself. Second, the activities can evoke emotional responses from the participants because they share a common goal and are influenced by the presence of respected religious leaders (Kyai) who contribute to the emotional atmosphere. Third, the activities are consistently carried out because the participants possess the capacity to engage in them rationally. Fourth, all participants believe that these activities hold significant and beneficial values, which are highly anticipated by everyone involved. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tindakan sosial yang terjadi dalam acara Khataman Ṣaḥīh Bukhārī yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang. Penelitian ini mengadopsi perspektif Max Weber tentang tindakan sosial sebagai pendekatan analisisnya dengan empat teorinya yaitu, tradisional, afektif, rasionalitas, dan orientasi nilai. Metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode kualitatif dengan wawancara dan dokumentasi. Selain itu, kajian literatur juga dilakukan untuk mengungkap data sejarah dari tradisi Khataman kitab Ṣaḥīh Bukhārī dalam Islam dan pendapat ‘ulama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan Khataman Ṣaḥīh Bukhārī PCNU Jombang selalu eksis karena empat faktor. Pertama, kegiatan ini merupakan wujud dari penghormatan dan pelestarian tradisi-tradisi yang dilakukan ‘Ulama dalam Islam dan organisasi NU sendiri. Kedua, kegiatan ini dapat menyentuh rasa emosional para pesertanya karena memiliki sebuah tujuan yang sama serta adanya figur kyai yang juga berperan dalam membentuk rasa emosional tersebut. Ketiga, kegiatan ini selalu dilaksanakan karena secara rasional para pesertanya memiliki kapasitas dalam menjalankannya. Keempat, kegiatan ini diyakini oleh semua pesertanya memiliki nilai-nilai baik yang sangat bermanfaat dan sangat diharapkan oleh semua peserta.
The Existence of Surau Tinggi Siulak Panjang as an Islamic Educational Institution in Kerinci (1951-1957) Azizah, Faras Puji; Hidayat, Ahmad Taufik; Firdaus, Firdaus
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.315

Abstract

Islamic Education Institutions in Indonesia grew and developed from surau, pesantren, and dayah, which are the forerunners of Islamic education institutions in Indonesia. Traditional educational institutions called surau were also developed in the Siulak Kerinci area. This is surau as a place to foster the generation of Islamic scholars in Siulak Kerinci. There were several surau in Siulak at that time, but the one that had an Islamic education institution was Surau Tinggi. This research aims to trace the traces of traditional Islamic educational institutions in Siulak that once existed. The method used is the historical method with stages, namely heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The results of this study show that from 1935 to 1947, several Siulak people went to study outside Siulak and even outside Kerinci. They returned to their homeland to teach the knowledge gained to the Siulak community in their respective homes. In 1951, an Islamic education institution was established in Surau Tinggi, which was developed by several religious leaders in Siulak, namely H. A Khamis, Mat Serak who came later, Tarmizi, and Mat Run Salim. They succeeded in motivating the community and their friends about the importance of education. Finally, a formal Islamic education institution was established, madrasah (MTI), in 1957 and developed until it changed its name to MTsS Siulak Gedang; this is the first madrasah in the Kerinci homecoming section. From here, the forerunner of changes in Islamic education institutions in Siulak. This needs to be underlined in Siulak. There is a modernization of education, which was formerly surau to madrasah (MTI-MTsS). Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang dari surau, pesantren, dayah yang merupakan cikal bakal lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Lembaga pendidikan tradisional yang disebut surau berkembang juga di wilayah Siulak Kerinci. Hal ini surau sebagai tempat membina generasi terpelajar Islam di Siulak Kerinci. Ada beberapa surau di Siulak masa itu, namun yang mempunyai lembaga pendidikan Islam yaitu Surau Tinggi. Tujuan Penelitian ini untuk menelusuri jejak lembaga pendidikan Islam tradisional yang pernah eksis. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan tahapan yaitu heuristic, kritik sumber, Interpretasi, dan historiografi. Hasil dari penelitian ini dapat menunjukkan, bahwa tahun 1935-1947 terdapat beberapa masyarakat Siulak pergi menuntut ilmu ke luar Siulak bahkan keluar Kerinci. Dan kembali ke tanah kelahiran mengajarkan ilmu yang diperoleh kepada masyarakat Siulak yang bertempat di rumahnya masing-masing. Pada tahun 1951 didirikan lembaga pendidikan Islam di Surau Tinggi, yang dikembangkan oleh beberapa tokoh agama di Siulak, yaitu H. A Khamis, Mat Serak yang datang belakangan itu Tarmizi, dan Mat Run Salim. Mereka berhasil memotivasi masyarakat dan teman-temannya bahwa pentingnya pendidikan. Dan akhirnya didirikan lembaga pendidikan Islam formal madrasah (MTI) tahun 1957 dan berkembang sampai berubah nama menjadi MTsS Siulak Gedang, inilah madrasah pertama di bagian Kerinci mudik. Dari sinilah, cikal bakal terjadi perubahan lembaga pendidikan Islam di Siulak. Hal ini perlu digaris bawahi di Siulak ada modernisasi pendidikan yang dahulunya surau menjadi madrasah (MTI-MTsS).
Training Model Development: Transforming a Conservative Da'i to a Moderate by Leveraging Digital Tools Putra, Robby Aditya; Anrial, Anrial; Fitri, Maulida; Rolando, Dede Mercy
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.319

Abstract

This research aims to determine the development of a training model to transform conservative da’i into moderate ones by utilizing digital tools. The research involves a comprehensive analysis of the Da'i's current beliefs and practices, as well as an assessment of the available digital tools that can be utilized to facilitate the transformation process. The results of this research are a training model development that incorporates various digital tools, such as online courses, social media platforms, and digital libraries, to provide the Da'i with a broader understanding of different perspectives and teachings. The potential impact of this study is significant, as it could lead to the development of a more inclusive and progressive religious community. By transforming a conservative Da'i into a moderate one, we can promote understanding, tolerance, and unity among different religious groups. Furthermore, the findings of this study can be applied to other religious contexts, demonstrating the potential of digital tools in promoting religious harmony and understanding. Transforming a conservative Da'i to a moderate by leveraging digital tools requires a comprehensive understanding of the digital landscape, a clear vision for change, and a well-planned and executed digital transformation strategy.
The Concept of Raḍā'ah in Tafsīr al-Munīr by Wahbah al-Zuḥailī Nasution, Efrida Yanti; Harahap, Mardian Idris; Simamora, Nuraisah
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.320

Abstract

The objective of this research is to investigate the concept of raḍā'ah as delineated in Wahbah al-Zuḥailī's Tafsir Al-Munīr, particularly with respect to Qur'anic verses found in Surah Al-Ṭalāq [65]: 6, Al-Nisā' [4]: 24, Al-Baqarah [2]: 233, and Al-Qaṣaṣ [28]: The research employs a qualitative approach, utilizing content analysis to delve into and evaluate Wahbah al-Zuḥailī's comprehension of the concept of raḍā'ah. The primary data source for this investigation comprises Wahbah al-Zuḥailī's interpretations within his tafsir that are pertinent to the concept of raḍā'ah. Findings from this study illuminate the dialectical nature of the understanding of raḍā'ah as expounded by Wahbah al-Zuḥailī in Tafsir Al-Munīr, shedding light on the interpretations and emphases accorded to the concept within the context of the specified verses. There are three important aspects of Wahbah's interpretation. Firstly, Wahbah emphasizes the importance of moral and social responsibility. In his exegesis, Wahbah explains that raḍā’ah is a moral and social obligation for parents towards their children, which must be fulfilled without exception. Secondly, Wahbah demonstrates his expertise in applying comparative rationality. This research aims to offer a more profound insight into Wahbah al-Zuḥailī's portrayal and comprehension of the concept of raḍā'ah in his work, and to delineate its significance in shaping the broader comprehension of the Qur'ān. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi konsep raḍā’ah dalam tafsir Al-Munīr karya Wahbah al-Zuḥailī, dengan mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam Surah Al-Ṭalāq [65]: 6, Al-Nisā’ [4]: 24, Al-Baqarah [2]: 233, dan Al-Qaṣaṣ [28]: 7 dan 12. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan menggunakan analisis konten sebagai alat untuk mengeksplorasi dan menganalisis pemahaman Wahbah al-Zuḥailī terhadap konsep raḍā’ah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran Wahbah al-Zuḥailī dalam tafsirnya yang berkaitan dengan konsep raḍā’ah. Hasil dari penelitian ini menggambarkan dialektika dalam pemahaman raḍā’ah yang disajikan oleh Wahbah al-Zuḥailī dalam tafsir Al-Munīr, dengan menyoroti interpretasi dan penekanan yang diberikan terhadap konsep tersebut dalam konteks ayat-ayat yang dipilih. Terdapat tiga aspek penting dari penafisran Wahbah yakni Pertama, Wahbah menekankan pentingnya tanggung jawab moral dan sosial. Dalam tafsirnya, Wahbah menjelaskan bahwa raḍā’ah merupakan kewajiban moral dan sosial bagi orang tua terhadap anak-anaknya, yang harus dipenuhi tanpa terkecuali. Kedua, Wahbah menunjukkan keahliannya dalam menerapkan rasionalitas perbandingan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana konsep raḍā’ah dipahami dan disajikan oleh Wahbah al-Zuḥailī dalam karyanya, serta kontribusinya terhadap pemahaman umum terhadap Al-Qur’an.
Qanun and Syariah Tourism in the Approach of Communication in Central Aceh Nurliana, Nurliana; Rambe, Elismayanti
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.322

Abstract

Explaining the communication used by the Central Aceh Regency Government in providing understanding to tourism actors and tourists about Qanun No. 8 of 2013 and the application of Sharia tourism in tourist areas in Central Aceh is very important. For this reason, this research aims to examine how the tourism Qanun is implemented in Central Aceh, then look at the challenges and opportunities for Central Aceh in implementing Sharia tourism based on the Qanun, as well as the role of communication in it. The research method used in this research is a qualitative method with an exploratory approach. Data is presented according to facts that occur in the field and is organized and systematic. The research results show that to implement Sharia tourism, the Regional Government and Tourism Office use several communication approaches, such as educational campaigns, religious counseling, collaboration with ulama and religious figures, digital marketing, training tour guides, providing free food products, and promoting local culture. Most of the tourist areas in Central Aceh have implemented Sharia tourism in accordance with the Qanun issued by the Aceh Government. Although there are still several obstacles to implementing Sharia tourism in Central Aceh, the communication approach used has succeeded in increasing the number of tourists. Menjelaskan tentang komunikasi yang digunakan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dalam memberikan pemahaman kepada pelaku wisata dan wisatawan tentang Qanun No 8 tahun 2013 dan penerapan Syariah Tourism pada kawasan wisata di Aceh Tengah merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana implementasi Qanun pariwisata di Aceh Tengah, kemudian untuk melihat tantangan serta peluang bagi Aceh Tengah dalam menerapkan Syariah Tourism berdasarkan Qanun, serta bagaimana peran komunikasi di dalamnya. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan eksploratif, data disajikan sesuai fakta yang terjadi di lapangan, terorganisir serta sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menerapkan Syariah Tourism Pemerintah Daerah dan Dinas pariwisata menggunakan beberapa pendekatan komunikasi seperti kampanye edukasi, penyuluhan agama, kolaborasi dengan ulama serta tokoh agama, pemasaran digital, pelatihan pemandu wisata , menyediakan produk makanan secara gratis, dan Promosi Budaya Lokal. Sebagian besar daerah wisata di Aceh Tengah telah menerapkan Syariah Tourism sesuai dengan Qanun yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Aceh walaupun masih ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan Syariah Tourism di Aceh Tengah, namun pendekatan komunikasi yang digunakan berhasil meningkatkan jumlah wisatawan.
Word Construction Muhsin in the Qur'an as the Embodiment of the Character of a Complete Human Being Suriyadi, Suriyadi; Usman, Usman; Jalwis, Jalwis
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.326

Abstract

This article aims to construct the realization of the character of the plenary person in the Qur'an through the meaning of the word muhsin. The Qur'an has described the character of muhsin as a doer of good. The doer of good (muhsin) is the highest level of character according to the Quran, or the most ideal character. This article is conducted with thematic method as well as content analysis with the theory of the level of the plenary person in Sufism Abdul Karim al-Jilli namely bidayah, tawasut and khitam. This study found that the perpetrators of goodness (muhsin) according to the Qur'an are people who do all their obligations as well as possible, repay every badness with goodness and repay goodness with greater goodness, able to restrain their anger, forgive, always ask Allah's forgiveness for their sins and transgressions. This level is manifested in first, Ihsan deeds at the Al-Bidayah level (the initial level), namely the character of totality in doing good, and the character of forgiveness; second, the Al-Tawassuth level (the middle level) in the character of social empathy and emotional regulation; third, the Al-Khitam level (the last level) in the character of positive response, piety and tawadhu'. Artikel ini bertujuan untuk mengkonstruksi perwujudan karakter insan paripurna di dalam Al-Qur’an melalui makna kata muhsin. Al-Qur’an telah menggambarkan karakter muhsin sebagai pelaku kebaikan. Pelaku kebaikan (muhsin) adalah tingkatan karakter tertinggi menurut Al-Quran, atau karakter yang paling ideal. Artikel ini dilakukan dengan metode tematik sekaligus analisis isi (Content Analysis) dengan teori tingkatan insan paripurna dalam tasawuf Abdul karim al-Jilli yakni bidayah, tawasut dan khitam. Kajian ini menemukan bahwa pelaku kebaikan (muhsin) menurut Al-Qur’an adalah orang-orang yang melakukan segala kewajibannya dengan sebaik-baiknya, membalas setiap keburukan dengan kebaikan dan membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih besar, mampu menahan amarahnya, pemaaf, senantiasa memohon ampunan Allah atas dosa-dosa dan perbuatannya yang melampaui batas. Tingkatan ini diwujudkan dalam pertama, Perbuatan Ihsan Tingkatan Al-Bidayah (Tingkatan Permulaan) yakni karakter totalitas dalam berbuat kebajikan, dan karakter pemaaf; kedua, Tingkatan Al-Tawassuth (Tingkatan Pertengahan) pada Karakter empati sosial dan regulasi emosi; ketiga, Tingkatan Al-Khitam (Tingkatan Terakhir) dalam karakter respon positif, takwa dan tawadhu’
A Comparative Study of the Number of Iqamah in Hadith: Sunni and Shia Perspectives Zahri, Ahmad Fauzan; Afifah, Alvin; Said, Imam Ghazali; Khoshyatulloh, Arfedin Hamas
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.328

Abstract

This study discusses the number of iqamah phrases contained in the Sunni and Shia perspectives. Iqamah has a purpose as a marker in the implementation of prayer to prepare and close the safes. In practice, there are different variations in the number of numbers in the iqamah sentences. This difference occurs between the Sunni and Shia schools of thought because both have different hadith sources as references in the implementation of the iqamah. The research method used is descriptive comparative with the type of research applied is library research. The main sources of literature in this study are Kutub al-Tis‘ah, Uṣūl al-Kāfī and Furū' al-Kāfī. The results show that there are differences in the tradition of iqamah between the two schools of thought. Iqamah has different origins in the Sunni and Shia schools. According to the Sunnis, the iqamah originated from the dream of ‘Abdullāh ibn Zayd which was later confirmed by the Prophet, and the Shias believe that the iqamah is a revelation delivered from the Angel Gabriel. Then in terms of the number of iqamah numbers, Sunnis have three different variations of the number of iqamah, namely the opinion that says 17 sentences, 11 sentences, and 10 sentences. While the Shia argue that the iqamah has 17 sentences, but the content is different from the Sunni school and there is an additional sentence of Ḥayya ‘Alā Khair al-‘Amal which is different from Sunni. Abstrak. Penelitian ini membahas mengenai jumlah bilangan frasa iqamah yang terdapat dalam hadis perspektif Sunni dan Syiah. Iqamah memiliki tujuan sebagai penanda dalam pelaksanaan shalat untuk mempersiapkan dan merapatkan shaf. Pada praktiknya, terdapat perbedaan variasi jumlah bilangan dalam kalimat-kalimat iqamah. Perbedaan ini terjadi di antara mazhab Sunni dan Syiah dikarenakan keduanya memiliki sumber hadis yang berbeda sebagai rujukan dalam pelaksanaan iqamah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif komparatif dengan jenis penelitian yang diterapkan adalah riset kepustakaan (library research). Sumber literatur utama dalam penelitian ini adalah Kutub al-Tis‘ah, Uṣūl al-Kāfī dan Furū‘ al-Kāfī. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan tradisi iqamah di antara dua mazhab tersebut. Iqamah mempunyai asal-usul yang berbeda di mazhab Sunni dan Syiah. Menurut Sunni, iqamah berasal dari mimpi ‘Abdullāh ibn Zaid yang kemudian dibenarkan oleh Nabi saw., dan Syiah meyakini bawah iqamah adalah wahyu yang disampaikan dari Malaikat Jibril. Kemudian dari segi jumlah bilangan iqamah, Sunni memiliki 3 variasi jumlah iqamah yang berbeda, yaitu pendapat yang mengatakan 17 kalimat, 11 kalimat, dan 10 kalimat. Sedangkan Syiah berpendapat bahwa iqamah memiliki 17 kalimat, namun isinya berbeda dengan mazhab Sunni dan terdapat tambahan kalimat Ḥayya ‘Alā Khair al-‘Amal yang berbeda dengan Sunni.
Interpretation of Mubham's verses according to Muhammad Abduh: Thematic Interpretive Studies Daflaini, Daflaini; Fidya, Yatti
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.329

Abstract

The Al-Quran is the main source of life that Allah revealed in Arabic. This of course can have very broad and varied meanings, so interpretation is needed to understand the Al-Qur’an well because the pronunciations and verses contained in it have different forms. different and diverse. The mubham verse is a verse found in the Al-Qur’an regarding pronunciation in which Allah mentions something without saying its name, be it prophets, saints, children of Adam, angels, jinn, countries, plants or animals. The aim of this research is to understand the meaning of Mubham's verse through the thoughts of Muhammad Abduh. The research method used is literature study. The data source for this research is writings related to the research object, either directly or indirectly. The author divides the data sources into two parts. First, the primary source, namely the book Tafsir al-Manar. Second, secondary sources, namely tafsir books or other works that have relevance to the research being discussed. The reduction process, including data selection, description process, analysis or testing, and conclusion process are carried out sequentially. The research results show that Mubham are verses that are still vague, whether they are verses that explain men, women, kings and jinn or a group of , ordinary names, all of which have not yet been mentioned their general characteristics. Muhammad Abduh has a different assessment of the Sunnah and its narrators, where he does not pay attention to aspects of ma'tsur (narration), nor does he pay attention to the method of takhrij al-hadith and history which has munasabah (relevance) with the verses of the Al-Qur’an. 'an. According to as-Siba'i Muhammad Abduh has the principle that the most effective weapon to defend Islam is logic and rational arguments. Al-Quran sumber utama dalam kehidupan yang Allah turunkan dalam bahasa Arab, hal ini tentu saja dapat memiliki makna yang sangat luas dan beragam, sehingga diperlukan tafsir untuk memahami alquran dengan baik karena lafaz-lafaz dan ayat-ayat yang terkandung di dalamnya memiliki bentuk yang berbeda dan beraneka ragam tersebut. Ayat mubham adalah ayat yang terdapat dalam Alquran tentang lafaz di mana Allah menyebutkan sesuatu tanpa menyebutkan namanya, baik itu nabi, wali, bani Adam, malaikat, jin, negara, tumbuh-tumbuhan, maupun binatang-binatang. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memahami makna ayat mubham melalui pemikiran Muhammad Abduh. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka, Adapun sumber data penelitian ini adalah tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek penelitian baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis membagi sumber data menjadi dua bagian. Pertama, sumber primer, yaitu kitab Tafsir al-Manar. Kedua, sumber sekunder, yaitu kitab-kitab tafsir ataupun karya-karya lain yang memiliki relevansi dengan penelitian yang sedang dibahas. Proses reduksi baik seleksi data, proses deskripsi, analisis atau pengujian, dan proses penyimpulan dilakukan secara berurutan.Hasil penelitian menunjukan bahwa mubham adalah ayat-ayat yang masih samar, baik itu ayat yang menerangkan tentang laki-laki, perempuan, raja dan jin atau sekumpulan, nama-nama biasa, seluruhnya yang belum disebut ciri-ciri umumnya. Muhammad Abduh mempunyai penilaian yang lain terhadap as-Sunnah dan para perawinya di mana beliau tidak menghiraukan segi-segi ma'tsur (periwayatan), tidak pula memperhatikan cara takhrij al-hadis serta Sejarah yang memiliki munasabah (relevansi) dengan ayat-ayat al qur'an. Menurut as-Siba’i Muhammad Abduh memiliki prinsip bahwa senjata yang paling ampuh untuk membela Islam adalah logika dan argumen yang rasional.

Page 9 of 12 | Total Record : 112