Claim Missing Document
Check
Articles

TANGGUNGJAWAB ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM TERKAIT KESALAHAN PENGAJUAN TERHADAP KUMULASI GUGATAN DI PERSIDANGAN (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NOMOR 687/PDT.G/2018/PN.JKT.UTR DAN 373/PDT.G/2018/PN.JKT.BRT) Athalia Christine Lamretta Boru Simbolon; Ning Adiasih
Jurnal Hukum Adigama Vol 3, No 1 (2020): Jurnal Hukum Adigama
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/adigama.v3i1.8904

Abstract

Responsibility is an act of self-awareness of every human being towards all behaviors and actions that are done intentionally or unintentionally. Responsibility also applies to every Advocate in operating their noble profession. However, in reality, not a few people who work in the advocate profession are often unable to uphold the ideals of the profession itself. In practice, in a court of law, there are not a few clients who suffer losses due to the inaccuracy of advocates used by these clients. As in the cumulative law case filed there is a case which judge opinion considered as a vague suit so that it was declared unacceptable. The failure of the advocate in handling a case may occur due to several reasons, namely because the advocate does not have good qualifications to handle cases in the field of law or the advocate does not have a good track record in advocacy, including concerning ethics, morals and honesty. Based on research that has been done, it can be concluded that advocates in law enforcement are responsible to God, to the Ethics Code, to the Law, and to the Community. The provisions on the application of the cumulative lawsuit at the trial have a close relationship, there is a legal relationship and the compatibility between Posita and Petitum. It is expected that every litigate party can be more careful in submitting legal remedie.
Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata Yang Hukumnya Tidak Ada Atau Hukumnya Tidak Jelas Ning Adiasih
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 6 No. 1 (2017): Jurnal Hukum Prioris Volume 6 Nomor 1 Tahun 2017
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (277.018 KB) | DOI: 10.25105/prio.v6i1.1909

Abstract

In practice, there will be events which were not regulated by was Laws, or even if it was regulated, still unclear or incomplete. Therefore, a Judge is responsible to fulfill the absence of law by creating, complete or clarify the law it if it needs to be created, completed or clarified by finding the law through exploration and understanding legal norms and justice which lives inside the society so that the law will be applied to the particular event. To provide justice, a Judge should seek the truth behind any event which proceed upon him/her by examining an event and connect it with the governing law and provide a Judgment by stating the law for the particular event. This research is using normative legal research by researching literature and supported by data from interview both from practitioner and academician. The specification of this research is descriptive analytic, and the data compiled is analyze qualitatively towards the substance of legal finding. Good law is law which was accordingly with the living law in society and a reflection of the governing norms in the society. In reality, lawmakers only enacted general law whereas consideration on concrete issues is given to Judges. The background for this is that lawmakers are not fully aware of the newest social norms therefore a Judge must complete the written laws or create a new law by establishing law (rechtsvorming) and finding the law (rechtsvinding) to filled out the absence of law and avoid cases not being examined in the court of law with reason that the written law is unclear or no written law was enacted in concrete cases. Judgments which are taken by Judges have to be accountable with their conscience.  
ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM MEWARIS HARTA ASAL PAUSEANG BERDASARKAN HUKUM WARIS ADAT BATAK TOBA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALIGE NOMOR 47/PDT.G/013/PN.BLG) Lasmaria Lasmaria; Ning Adiasih
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 1 No. 1 (2019): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.738 KB) | DOI: 10.25105/refor.v1i1.7139

Abstract

Hukum Waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum menjadi satu kesatuan hukum atau belum tercipta unfikasi hukum, hukum waris yang masih bersifat pluralistik akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum adanya keseragaman. Anak perempuan dalam masyarakat adat Batak Toba tidak mendapatkan harta warisan berupa harta peninggalan orangtuanya, karena menurut adat Batak Toba kedudukan perempuan dinyatakan bukan sebagai ahli waris. Dalam kasus terjadi gugatan antara anak perempuan Victoria Parhusip dan S.W Simbolon yaitu Veridiana Tiurlan Simbolon melawan Arifin Parhusip, penggugat tidak mengikutsertakan anak laki-laki dari Victoria Parhusip dan S.W Simbolon.  Skripsi ini mengangkat putusan pada Studi Kasus Pengadilan Negeri Balige Nomor 47/Pdt.G/2013/PN.Blg. Dengan pokok permasalahan: 1) Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam mewaris harta asal pauseang berdasarkan Hukum Waris Adat Batak Toba? 2) Apakah putusan Pengadilan Negeri Balige Nomor 47/Pdt.G/ 2013/PN.Blg tentang kedudukan anak perempuan dalam mewaris harta asal pauseang sudah sesuai sudah sesuai menurut hukum waris adat Batak Toba? Metode penelitian menggunakan tipe penelitian normatif, sifat penelitian deskriptif analisis, dengan data sekunder melalui studi kepustakaan, data dianalisa secara kualitatif dan penarikan kesimpulan dengan cara deduktif. Kesimpulan, bahwa Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balige Nomor 47/Pdt.G/2013/Pn.Blg tidak sesuai dengan hukum adat Batak, karena Majelis Hakim membagi harta asal pauseang milik alm. Victroia Parhusip kepada delapan orang ahli warisnya dan tidak memperhatikan terlebih dahulu kedudukan anak laki-laki untuk mewaris harta asal pauseang tersebut.Kata Kunci : Hukum Waris Adat, Harta Asal Pauseang,  Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba. 
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ACROSSASIA LIMITED DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 44 PK/PDT.SUS-PAILIT/2016) Raifahd Razzaq Rais; Ning Adiasih
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 1 No. 1 (2019): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.179 KB) | DOI: 10.25105/refor.v1i1.10436

Abstract

Acrossasia Limited (debitor) adalah badan hukum yang didirikan di Cayman Island dan PT. First Media, Tbk., adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Adapun pokok permasalahan yang diangkat mengenai  apakah Acrossasia Limited telah memenuhi syarat sebagai pihak termohon dalam kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU  dan Bagaimana pembuktian yang dilakukan oleh PT. First Media, Tbk., dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut. Dalam hal ini terjadi kesalahan Judex Facti, Judex Juris maupun Majelis Hakim Peninjauan Kembali karena tidak memperhatikan fakta bahwa Acrossasia Limited adalah suatu badan hukum asing yang didirikan di Cayman Island. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Terbukti permohonan PKPU yang diajukan oleh Kreditor tidak memenuhi Pasal 222 ayat (1) Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 yang mensyaratkan adanya Kreditor lain dari Debitor. Setelah dilakukan analisis, Kreditor tidak dapat membuktikan bahwa ada Kreditor lain selain PT. First Media, Tbk., . Penulisan dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif yang menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder serta didukung oleh bahan hukum tersier serta dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Acrossasia Limited tidak dapat dinyatakan sebagai subjek hukum dalam PKPU dan PT. First Media Tbk., tidak dapat membuktikan kreditor lain dalam perkara ini.
KOMPETENSI ABSOLUT PENYELESAIAN PERKARA DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SAMPIT NOMOR 23/PDT.G/2016/PN.SPT) Seruni Anjasmoro; Ning Adiasih
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 1 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.681 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i1.10437

Abstract

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas pembiayaan dalam menunjang kebutuhan fasilitas pembiayaan diluar Perbankan atau dikenal disektor Industri Keuangan Non Bank, dalam hal sengketa tentang hak dan kewajiban diantara kedua pihak tersebut. Seperti halnya sengketa antara Perusahaan Pembiayaan PT. Oto Multiartha (OM), dengan pihak konsumen, karena adanya penarikan kendaraan yang diperoleh konsumen dari fasilitas pembiayaan di PT. OM. Permasalahannya adalah 1) Apakah Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) memiliki kompetensi dalam sengketa perjanjian pembiayaan konsumen? Dan 2) Apa saja syarat- syarat dan ketentuan mengajukan gugatan konsumen ke Badan Penyelesaian Sengjeta Konsumen? Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian secara yuridis normatif terhadap putusan Kasasi Mahkamah Agung dan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Pengolahan data dilakukan kualitatif, pengambilan kesimpulannya dilakukan menggunakan logika deduktif. Berdasarkan analisa yang dilakukan diketahui bahwa; 1). Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tidak memiliki komptensi absolut terhadap sengketa perkara yang berkaitan dengan perjanjian pembiayaan konsumen, karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum dijelaskan bahwa sengketa perkara perdata dan pidana merupakan tugas dan kewenangan Pengadilan Negeri. 2) Persyaratan pengajuan gugatan konsumen ke badan penyelesain sengketa konsumen di atur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 dan UUPK Pasal 52 huruf (a) dan konsiliasi ini kemudian di atur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Kepmen Perindag 350/2001)
DISSENTING OPINION MENGENAI LEGAL STANDING DALAM GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NO. 52/PTD.G/2019/PN.DPK) Asha Sagsha Nurshoffa; Ning Adiasih
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 2 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.688 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i2.10438

Abstract

Pengajuan gugatan secara class action diatur dalam PERMA RI Nomor: 1 Tahun 2002, tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Namun pada Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor: 52/Pdt.G/2019/Pn.Dpk. menyatakan menolak gugatan dikarenakan para penggugat tidak memiliki legal standing, dalam putusan tersebut terdapat dissenting opinion yang menyatakan bahwa para penggugat memiliki legal standing. Hal ini menarik untuk dilakukan penelitian yang mempermasalahkan: 1). Apakah penolakan gugatan pada putusan Nomor 52/Pdt.G/2019/Pn.Dpk mengenai penggugat tidak memiliki Legal Standing sudah sesuai dengan PERMA Nomor: 1 Tahun 2002 dan 2). Bagaimana kedudukan Dissenting Opinion yang menyatakan para penggugat memiliki Legal standing. Guna menjawab permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian hukum normatif, yang bersumber pada data sekunder, dianalisis secara kualitatif, dan ditarik kesimpulan dengan metode deduktif. Adapun dari hasil penelitian yaitu bahwa para penggugat yang mengajukan gugatan secara class action telah memiliki legal standing yang sesuai dengan ketentuan PERMA Nomor: 1 Tahun 2002, sebagaimana Dissenting Opinion Hakim Ketua Majelis. Adapun kedudukan Dissenting Opinion pada putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 52/Pdt.G/2019/Pn.Dpk hanyalah sebagai yurisprudensi apabila terdapat kasus yang serupa nantinya.
ANALISIS YURIDIS TEHRADAP HARTA PUSAKA TINGGI YANG DIPERJUALBELIKAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT KERINCI Rizki Kusuma; Ning Adiasih
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 2 No. 2 (2020): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (657.809 KB) | DOI: 10.25105/refor.v2i2.10439

Abstract

Salah satu masalah yang sering muncul dalam hukum waris adat adalah hukum warisnya, seringkali ketentuan-ketentuan hukum waris adat dilanggar oleh para pihak yang memiliki kepentingannya sendiri berdasarkan hal tersebut banyak hakim di Indonesia yang berbeda memberikan putusan mengenai waris adat. Pokok permasalahannya yaitu : 1) Apakah harta pusaka tinggi bisa diperjualbelikan menurut hukum waris adat Kerinci ? 2) Bagaimana kesesuaian putusan Mahkamah Agung No. 419 PK/ Pdt/ 2016 ?. Metode penelitian yang digunakan terdiri dari objek penelitian yaitu adalah putusan, Tipe penelitian yaitu tipe penelitian hukum normatif, Sifat penelitian yaitu deskriptif analisis, Data yang digunakan adalah data sekunder, Dengan cara pengumpulan data melalui studi kepustakaan, Analisis data yaitu menggunakan metode kualitatif dan penarikan kesimpulan menggunakan logika deduktif. Kesimpulan 1) Kedudukan harta pusaka tinggi Minangkabau / Kerinci berlaku ketentuan adat yaitu tajua indak dimakan bali (terjual tidak bisa terbeli) harta pusaka tinggi tidak boleh dipejualbelikan. 2) dengan adanya pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam perkara a quo pada tingkat peninjauan kembali yang menyatakan bahwa hak gadai yang sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu keturunan Siti Gerah, Putusan sudah sesuai dengan ketentuan hukum waris adat Kerinci.
The Position of Adopted Children (Mangain) in Obtaining the Status of the Heirther According to the Batak Toba Traditional Instruction Law Ning Adiasih
Eduvest - Journal of Universal Studies Vol. 2 No. 9 (2022): Journal Eduvest - Journal of Universal Studies
Publisher : Green Publisher Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2142.015 KB) | DOI: 10.59188/eduvest.v2i9.575

Abstract

The adoption of adopted children in the Toba Batak community is carried out in an open and cash way. The main reason in the Toba Batak community is the absence of descendants. The indigenous Batak Toba community itself adheres to a patrilineal system that is based on male/father lineage. The requirements for adopting children by the Toba Batak indigenous people are carried out according to the customs of the indigenous people, by carrying out a traditional ceremony "dirajahon" in front of dalihan na tolu, traditional leaders / leaders, and local indigenous people by giving ulos parompa (carpet) and dekke sitio. tio (carp) as evidence of an inauguration in the process of the traditional ceremony. The position of an adopted child is basically legal to become an heir and his rights are equal to the position of a biological child, because according to the customary inheritance law of the Toba Batak with evidence of the existence of the traditional ceremony, an adopted child is legally the heir of his adoptive parents himself, without the need for tools. evidence as well as a deed. Adopted children have the right to joint property and inheritance from their adoptive parents
ARGUMENTASI HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR: 29/PDT.SUS-PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST. TERHADAP KASUS PERDAMAIAN KEMBALI PADA PROSES KEPAILITAN Jimmy Anthony; Ning Adiasih
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 10 No. 2 (2022): Jurnal Hukum Prioris Volume 10 Nomor 2 Tahun 2022
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/prio.v10i2.17017

Abstract

Landasan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) adalah utang, yang sudah jatuh tempo, bisa ditagih serta wajib dibayar. Tinjauan yuridis PT. Hanson International, Tbk. dalam perkara permohonan PKPU nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst. yang diputus pailit, setelah proposal perdamaian ditolak para kreditor. Namun debitor pailit mengajukan kembali proposal perdamaian. Setelah diadakan kembali voting dengan tata cara permohonan pernyataan pailit, pengadilan niaga memutus damai (homologasi) atas perkara tersebut. Sehingga dalam 1 (satu) perkara yang sama yaitu nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst. terdapat 2 (dua) putusan akhir yang berbeda, yaitu putusan tertanggal 12 Agustus 2020 dan putusan tertanggal 18 Februari 2021. Upaya perdamaian kembali pada proses kepailitan yang berasal daripada permohonan PKPU (Bab III UU Kepailitan dan PKPU), namun menggunakan ketentuan permohonan pernyataan pailit (Bab II UU Kepailitan dan PKPU). Penelitian tersebut merupakan penelitian hukum normatif yang menarik asas-asas dalam putusan pengadilan. Analisis data dilakukan secara kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari pertimbangan hakim yang dikaji. Hakim ketika merumuskan serta memutuskan perkara wajib menggunakan penalaran hukum yang sistematik serta lengkap peristiwa dan fakta hukum, perumusan fakta hukum, penerapan kaidah hukum baik terhadap hukum positif, hukum kebiasaan, yurisprudensi, teori hukum, dan lain-lain, berlandaskan metode penalaran hukum yang selaras saat penyusunan pertimbangan hukum terhadap putusan hakim tersebut. Argumentasi hakim dalam perkara tersebut menggunakan sistem pembuktian berlandaskan undang-undang dengan positif (positief wettelijk bewijstheorie) serta berpotensi mengakibatkan sesat pikir atau logical fallacy yang berdampak yuridis terjadinya ketidakpastian hukum. Kata kunci: argumentasi hukum, hukum kepailitan, pkpu, perdamaian kembali
PERLINDUNGAN PEKERJA PEREMPUAN DALAM KEBIJAKAN RAMAH KELUARGA DI TEMPAT KERJA: SOSIALISASI PADA SERIKAT PEKERJA Amriyati Amriyati; Siti Nurbaiti; Ning Adiasih; Septiyani Septiyani; Meta Indah Budhianti; Arini Suliantari; Fraya Layola Nainggolan
Jurnal Abdimas Bina Bangsa Vol. 4 No. 2 (2023): Jurnal Abdimas Bina Bangsa
Publisher : LPPM Universitas Bina Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46306/jabb.v4i2.633

Abstract

The Basic Law protects the right to employment and proper treatment, in accordance with relevant international instruments. Laws and regulations harmonize it and this is related to family-friendly policies, as a form of protection for women workers. However, not all rights of women workers have been fulfilled due to limited knowledge and other wills and interests. Trade unions are entrusted with fighting, improving the welfare of workers / workers and their families responsibly. The purpose of this Community Service is to socialize to partners: how to describe the protection of women workers, especially in Indonesia; Description of family-friendly policies as well as examples of their implementation. Material preparation is carried out through literature studies. The implementation was carried out in a hybrid manner using zoom and participants from the trade union gathered in the meeting room of the Bekasi trade union office, the PKM team gathered in the meeting room of the Faculty of Law Usakti. Evaluation of activities is carried out after exposure to the material through 4 related questions. The post-test results  showed an increase in the knowledge of SP administrators about: understanding family-friendly policies; the benefits of family-friendly policies for both workers and employers. The results of PKM preparation in the form of studies show that the protection of women workers has been outlined in laws and regulations. Family-friendly policies balance work and family life, including: maternity leave, availability  of day care at work,  breastfeeding opportunities at work time, implementation of work outside the workplace for certain types of work that allow. Policies result from the cooperation of HRD, SP, government and community. The support of supervisors and managers is critical to the success of family-friendly policies. It is suggested that trade unions play a lot of role in the formation and implementation of family-friendly policies.