Claim Missing Document
Check
Articles

Akibat Hukum Wanprestasi Pelaku Pembangunan (Developer) dalam Penguasaan Satuan Rumah Susun Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Putra, Sapta Adi; Nasseri, Jelly; Ismed, Mohamad
Themis : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 (2024)
Publisher : LPPI Yayasan Almahmudi bin Dahlan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70437/themis.v2i1.868

Abstract

Rumah susun adalah bangunan bertingkat yang terdiri dari satuan-satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, serta dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Penelitian ini mengkaji akibat hukum dari wanprestasi yang dilakukan oleh developer terkait penguasaan satuan rumah susun berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, serta penyelesaian sengketa yang timbul akibat wanprestasi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan data sekunder yang mencakup bahan primer, sekunder, dan tersier. Pendekatan penelitian meliputi perundang-undangan, konseptual, analitis, dan kasus, dengan teknik pengumpulan data melalui identifikasi dan inventarisasi aturan hukum serta literatur terkait. Analisis dilakukan dengan penafsiran gramatikal dan sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum dari wanprestasi developer terhadap konsumen meliputi kewajiban membayar ganti rugi, pembatalan perjanjian, peralihan risiko, dan pembayaran biaya perkara. Developer yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Rumah Susun dapat dituntut untuk mengganti kerugian melalui gugatan di pengadilan. Saran dari penelitian ini adalah agar rumah susun dijual setelah pembangunan selesai dan agar pembeli mempertimbangkan mediasi formal dengan mediator profesional sebelum membawa kasus ke pengadilan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi sengketa dan memberikan perlindungan lebih baik bagi konsumen.
Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Munzir, Marinov; Kristiawanto, Kristiawanto; Ismed, Mohamad
ARMADA : Jurnal Penelitian Multidisiplin Vol. 2 No. 3 (2024): ARMADA : Jurnal Penelitian Multidisplin, Maret 2024
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/armada.v2i3.1248

Abstract

Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) adalah sisa dari kegiatan yang mengandung B3, seperti industri, pelayanan kesehatan, dan rumah tangga, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Pengelolaan limbah B3 memerlukan izin dari Mentri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Ketidakpatuhan aturan oleh penghasil limbah B3 dapat mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan, memerlukan sanksi administratif dan pidana sebagai efek jera. Penjelasan lebih rinci pada pertanggungjawaban pidana dan perluasan sanksi diperlukan untuk menekan dampak negatif pada lingkungan hidup. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis-Normatif, dengan metode pendekatan dengan menggunakan bahan hukum pustaka adengan kata lain, penelitian kepustakaan (Library Research). Pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi dokumentasi yakni dengan mencatat informasi dari bahan hukum baik pendapat ahli, hasil penelitian maupun jurnal. Hasil penelitian bahwa Pertanggungjawaban pidana lingkungan di Indonesia bergantung pada asas kesalahan, di mana individu atau badan usaha harus bersalah untuk dipidana. Fokus konsep pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum terletak pada kesalahan dalam pengelolaan lingkungan, termasuk dumping limbah B3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memungkinkan penuntutan dan sanksi pidana terhadap badan hukum yang mencemari atau merusak lingkungan. Meskipun badan hukum tanpa kejiwaan, pertanggungjawaban diterapkan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan individu di dalamnya. Tindak pidana lingkungan diartikan sebagai perbuatan yang dapat berpotensi pidana sesuai regulasi lingkungan, mencakup "setiap orang" termasuk individu dan badan usaha. Penegakan hukum lingkungan, tahap akhir dalam regulasi kebijakan, menekankan pelaksanaan peraturan yang, jika dilanggar, akan dikenai sanksi sesuai tingkat pelanggaran. Strategi penegakan hukum diperlukan untuk mencapai tujuan kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Perlindungan Hukum terhadap Korban Istri Akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga Putri, Nurhayu Handayani; Shodiq, Moh. Djafar; Ismed, Mohamad
ULIL ALBAB : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 3 No. 12: November 2024
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jim.v3i12.5645

Abstract

Realitas dalam masyarakat menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin banyak terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana perlindungan hukum terhadap korban istri akibat kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan hukum yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, pendekatan analisis, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan yang pada prinsipnya bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier dengan teknik analisis bahan hukum kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga antara lain menjatuhkan pidana kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Dalam kasus-kasus pada penelitian ini, penjatuhan pidana bukan saja untuk pembalasan semata melainkan sarana edukatif (pendidikan), korektif, dan preventif (pencegahan) agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan menegakan hukum sebagai perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun, pada realitanya, kekerasan dalam rumah tangga masih terus berulang dan perlindungan hukum terhadap korban istri akibat kekerasan dalam rumah tangga tercermin dengan adanya hak-hak korban, perlindungan, dan pemulihan korban yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
Kebijakan Pemerintah terhadap Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia Junginger, Abigail A. J.; Ismed, Mohamad; Sartono, Sartono
ULIL ALBAB : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 3 No. 12: November 2024
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jim.v3i12.5655

Abstract

Perdagangan manusia atau human traficking merupakan kejahatan luar biasa yang mana korban utamanya adalah perempuan dan anak-anak. Masalah traficking di Indonesia sudah lama terjadi dan sampai saat ini masih belum ada upaya pencegahan yang akurat untuk memberantas para oknum-oknum yang menjadi pelaku utama dari pada perdagangan manusia. Perlindungan hukum terkait perdagangan manusia di Republik Indonesia sudah diatur dalam UU TPPO, tetapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum pemerintah maupun aparat penegak hukum masih belum relatif dalam penerapannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan korban pidana perdagangan orang di wilayah Republik Indonesia serta pertanggujawaban dari pada pelaku. Para pelaku dari perdagangan manusia acap kali memakai berbagai macam modus menarik untuk memikat para calon korban, modus yang di lakukan oleh pelaku pada umumnya seperti, mengiming-imingi dengan pengahasilan yang tinggi (gaji yang tinggi), mendapatkan uang tambahan dari hasil pekerjaanya (dalam hal ini bonus), serta tutur kata yang lembut agar calon korban tertarik untuk mengikuti mekanisme dari pelaku. Korban dari perdagangan manusia tersebut merupakan masyarakat yang memiliki SDM rendah, hanya tamatan SMP, tinggal di daerah terpencil/ terpolosok, serta memiliki perekonomian yang sulit sehingga mengakibatkan para calon korban tertarik untuk melakukan pekerjaan yang di tawarkan oleh pelaku.
Kepastian Hukum Penentuan dan Batas Waktu Penyerahan Gratifikasi Oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Milik Negara Budiman, Arif; Ismed, Mohamad; Candra, Tofik Yanuar
Jurnal Inovasi Global Vol. 2 No. 12 (2024): Jurnal Inovasi Global
Publisher : Riviera Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58344/jig.v2i12.228

Abstract

Korupsi merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Hukum 17 (tujuh belas) pengecualian terhadap jenis gratifikasi diatur pada Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pelaporan Gratifikasi. 17 hal tersebut tidak wajib untuk dilaporkan kepada KPK sehingga dapat dikatakan bukan jenis gratifikasi. Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 tahun 2019 Tentang Pelaporan Gratifikasi menyatakan bahwa “(1) Dalam hal status Gratifikasi ditetapkan menjadi Gratifikasi milik Penerima, objek Gratifikasi yang disertakan dalam laporan dikembalikan kepada Pelapor. (2) Pengembalian objek Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pengambilan langsung oleh Pelapor atau melalui UPG. (3) Apabila objek Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diambil oleh Pelapor dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkan sebagai Gratifikasi milik Penerima, objek Gratifikasi diserahkan kepada Negara untuk kemanfaatan publik setelah diinformasikan kepada Pelapor secara patut. Namun dalam prakteknya, masih banyak yang tidak melaporkan gratifikasi kepada KPK. Metode yang dilakukan menggunakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan Perundang-Undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan kasus. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pengaturan batas waktu penyerahan gratifikasi menjadi milik Penerima gratifikasi tidak diatur dalam perundangan melainkan diatur dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK lebih bersifat aktif dalam penyerahab gratifikasi menjadi milik negara sementara bersfat pasif ketika penyerahan gratifikasi menjadi milik Penerima gratifikasi. Hal ini dikarenakan batas waktu penyerahan gratifikasi menjadi milik negara lebih singkat dibandingkan batas waktu penyerahan gratifikasi menjadi milkik Penerima gratifikasi.
LEGALITAS PERUBAHAN TUNTUTAN PADA JAWABAN PENUNTUT UMUM ATAS PLEDOOI TERDAKWA DARI PERSPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA. Prawira, Danang Yudha; Chandra, Tofik Yanuar; Ismed, Mohamad
SENTRI: Jurnal Riset Ilmiah Vol. 3 No. 2 (2024): SENTRI : Jurnal Riset Ilmiah, February 2024
Publisher : LPPM Institut Pendidikan Nusantara Global

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/sentri.v3i2.2303

Abstract

In making the prosecution letter, apart from being based on evidence to assess the trial facts which support the criminal act committed by the Defendant, the Public Prosecutor also refers to the prosecution guidelines. Even though the prosecution guidelines have been determined both in the Criminal Procedure Code and in the Attorney General's Guidelines Number 24 of 2021 concerning Handling of General Crime Cases, there is no discussion regarding the mechanism for changing the charges either immediately after reading the charges or after the Defendant or his Legal Counsel read the defense (pleidooi). The legal theory used is the Theory of Legal Certainty and the Theory of Prosecution Authority. The research method used in this research is a normative juridical approach which is supported by empirical juridical with detailed descriptions, namely a research that begins deductively with an analysis of the articles in statutory regulations related to the Legality of Changes to Claims in the Public Prosecutor's Answer to the Defendant's Pledooi from a Legal Perspective Criminal Procedure. Apart from that, premier data is also used as supporting legal material for secondary data. The legal material analysis technique used is a normative juridical method which aims to provide a prescriptive study with interpretive analysis. The research results show that legal capacity in Law no. 8 of 1980 concerning the Criminal Procedure Code which is implemented in the form of the Principle of Legality in formal criminal law (nullum iudicium sine lege) has been distorted due to changes in the substance of the demands by the Public Prosecutor in the Karawang District Court criminal case Number 256/Pid.Sus/ 2021/PN Kwg, which previously charged the defendant with imprisonment, now demands acquittal. The prosecution is not in line with the provisions of Article 3 of the Criminal Procedure Code which states that trials are carried out in the manner regulated in this law. The authority of the Prosecutor in the event that the Public Prosecutor changes the substance of the charges in the Karawang District Court criminal case Number 256/Pid.Sus/2021/PN Kwg, which previously charged the defendant with imprisonment to demand acquittal has not been accommodated by the Criminal Procedure Code. This is caused by the logical consequences of the provisions of Article 139 of the Criminal Procedure Code. In this provision, the Criminal Procedure Code has from the start given the authority to the Public Prosecutor to determine whether the case file meets the requirements to be able to be transferred to the Court or not. The Public Prosecutor is obliged to hand over the case to the Court with a request to immediately try the case. This is in line with the principle of actori incumbit onus probandi which is known in criminal evidence law.Top of Form
KEPASTIAN HUKUM PENGAWASAN KOPERASI TERKAIT KESALAHAN PENGELOLAAN KOPERASI DAN TANGGUNG JAWABNYA. Irawan, Cendy; Martien, Dhoni; Ismed, Mohamad
SENTRI: Jurnal Riset Ilmiah Vol. 3 No. 3 (2024): SENTRI : Jurnal Riset Ilmiah, Maret 2024
Publisher : LPPM Institut Pendidikan Nusantara Global

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/sentri.v3i3.2406

Abstract

The duties of the Cooperative Supervisor include supervising the implementation of the policy and management of the Cooperative, with the duties attached to his position, of course the Cooperative Supervisor can prevent any form of deviation in the management of the Cooperative's business to achieve the objectives of the Cooperative. In reality, not a few of the Cooperatives experienced mismanagement of the Cooperative's business which resulted in the failure of the refund of Members deposits by the Cooperative. The mismanagement of the Cooperative's business has a correlation with the Cooperative's internal supervisory function. The formulation of the problem in this research is how is the responsibility of the Cooperative Supervisor related to the mismanagement of the Cooperative? and How is the legal position of the Cooperative Supervisor related to the mismanagement of the Cooperative? The theories used as an analytical tool in this research are legal certainty and legal liability. The method used in this research is normative juridical research, namely library legal research or secondary data with primary, secondary and tertiary legal sources. The research approach used is a statutory approach, case approach, conceptual approach and analytical approach, with legal material collection techniques carried out by identifying and inventorying positive legal rules, book literature, journals and other sources of legal material. For legal material analysis techniques carried out by systematic interpretation and teleological interpretation. From the results of the research, it can be concluded that in supervising the implementation of the policy and management of the Cooperative, the Cooperative Supervisor is responsible to the Members' Meeting. The Cooperative Supervisor can be held accountable in the event of mismanagement of the Cooperative business due to his actions. The position of the Cooperative Supervisor is regulated in Article 21 of Law No. 25 of 1992 in conjunction with Article 21 of Law No. 6 of 2023. Suggestions in this study are that the Cooperative Supervisor should have a sense of responsibility and be professional in carrying out his duties and the Government together with the Indonesian House of Representatives must immediately revise Law No. 25 of 1992 or Law No. 6 of 2023 or form a new Cooperative Law by including provisions on sanctions and benchmarks or the scope of duties of the Cooperative Supervisor
Upaya Pemulihan Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi Guna Mengoptimalisasi Kerugian Keuangan Negara Karinda, Frans Jomar; Kristiawanto, Kristiawanto; Ismed, Mohamad
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol. 9 No. 6 (2022)
Publisher : SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i5.27688

Abstract

Functionalization of criminal law in the context of law enforcement of criminal acts of corruption, both in terms of material criminal law, formal criminal law (criminal procedural law), as well as criminal implementation, still faces obstacles, especially regarding the asset recovery policy of perpetrators of corruption which has implications for execution of payment of replacement money in order to optimize the return of state financial losses. Through the evaluation stage, it is known at this time that the criminal law has not functioned properly in tackling corruption, such as in the case of executing the payment of replacement money, where the prosecutor as the executor often has difficulty in executing the convict's property to be confiscated and auctioned to cover all or the difference in state financial losses that must be paid by the convict. This is due to the fact that the current national law still has many weaknesses that create difficulties for law enforcers in recovering the assets of perpetrators of corruption, especially in terms of confiscation of assets of perpetrators of corruption, so that the return of state financial losses caused by criminal acts of corruption when this is not optimal.Keywords: Asset Recovery; State Financial Losses AbstrakFungsionalisasi hukum pidana dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi, baik ditinjau dari sudut hukum pidana materiil, hukum pidana formil (hukum acara pidana), maupun pelaksanaan pidana, masih menghadapi kendala-kendala, terutama berkenaan kebijakan pemulihan aset pelaku tindak pidana korupsi yang berimplikasi pada pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti guna optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara. Melalui tahap evaluasi, diketahui saat ini bahwa hukum pidana belum berfungsi dengan baik dalam menanggulangi tindak pidana korupsi, seperti dalam hal mengeksekusi pembayaran uang pengganti, di mana Jaksa sebagai eksekutor sering kali mengalami kesulitan dalam mengeksekusi harta benda terpidana untuk disita dan dilelang guna menutupi seluruh atau selisih kerugian keuangan negara yang harus dibayarkan oleh terpidana. Hal ini disebabkan, bahwa hukum nasional saat ini masih banyak kelemahan-kelemahan yang menimbulkan kesulitan bagi penegak hukum dalam melakukan pemulihan aset pelaku tindak pidana korupsi, terutama dalam hal perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi, sehingga pengembalian kerugian keuangan negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi saat ini tidak optimal.Kata Kunci: Pemulihan Aset, Kerugian Keuangan Negara
Penerapan Restorative Justice Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kelalaian Berkendara yang Menyebabkan Matinya Korban Simatupang, Sutejo; Ismed, Mohamad; Yanuar, Tofik
Jurnal Locus Penelitian dan Pengabdian Vol. 3 No. 10 (2024): Jurnal Locus Penelitian dan Pengabdian
Publisher : Riviera Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58344/locus.v3i10.3089

Abstract

Permasalahan dalam penelitian ini berfokus pada dampak hukum dari kecelakaan lalu lintas, di mana pelaku kecelakaan dapat dikenai sanksi pidana dan juga tuntutan perdata atas kerugian materi yang dialami korban. Pendekatan Restorative Justice memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat, termasuk korban, karena korban dilibatkan dalam proses penentuan hukuman bagi pelaku. Tujuan dari pendekatan ini adalah memulihkan rasa aman, penghormatan pribadi, martabat, dan yang paling penting adalah memberikan kontrol kepada korban atas proses hukum yang terjadi. Namun, sistem peradilan di Indonesia saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat. Banyak kritik yang muncul terhadap sistem tersebut, karena masyarakat menginginkan agar lembaga peradilan memberikan keadilan yang nyata. Dalam penelitian ini digunakan dua teori, yaitu Teori Penegakan Hukum dari Satjipto Rahardjo dan konsep Restorative Justice menurut Agustinus Pohan. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Data yang dikumpulkan berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier melalui studi pustaka dengan metode analisis sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian kecelakaan lalu lintas diharapkan mampu menemukan bentuk keadilan restoratif yang lebih berfokus pada penyelesaian konflik antara individu-individu yang terlibat, bukan hanya melalui jalur hukum formal. Tujuan akhirnya adalah memberi kesempatan bagi semua pihak untuk menentukan solusi bersama, membangun rekonsiliasi, serta menjalin hubungan yang baik antara korban dan pelaku. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi panduan yang baik bagi penegak hukum dan pemerintah, serta mendorong kerjasama yang lebih baik antara lembaga terkait dalam menerapkan konsep Restorative Justice secara optimal.
Penerapan Asas Ultimum Remedium dalam Penegakan Hukum  Tindak Pidana Cukai sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Ramadhan, Jefri; Chandra, Tofik Yanuar; Ismed, Mohamad
CENDEKIA : Jurnal Penelitian dan Pengkajian Ilmiah Vol. 1 No. 9 (2024): CENDEKIA : Jurnal Penelitian Dan Pengkajian Ilmiah, September 2024
Publisher : Lembaga Pendidikan dan Penelitian Manggala Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62335/ygjg6e80

Abstract

Pembahasan mengenai penerapan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum  tindak pidana cukai sebagai upaya pengembalian kerugian negara. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yang  didukung  dengan  yuridis empiris dengan merinci uraian  yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap permasalahan. Penerapan asas Ultimum Remedium dalam upaya pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana cukai bahwa salah satu dari subyek hukum atau obyek hukum bersifat ilegal, maka pelanggaran yang dilakukannya tersebut adalah suatu bentuk tindak pidana. Disamping sifat dari subyek hukum atau obyek hukumnya, suatu perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan Undang–Undang Cukai apabila memenuhi kriteria antara lain dirumuskan secara tegas dan jelas sebagai pelanggaran, secara nyata menimbulkan kerugian Negara, dan merupakan perbuatan yang berulang, atau kerugian Negara yang ditimbulkan tidak dapat diperbaiki.