Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

Perbandingan penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia dan China: Kajian hukum pidana dan hukum tata negara Thaher, Irmanjaya; Abednego, Abednego
Cessie : Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 4 No. 2 (2025): Cessie: Jurnal Ilmiah Hukum
Publisher : ARKA INSTITUTE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55904/cessie.v4i2.1682

Abstract

Penelitian ini membandingkan pendekatan pemberantasan korupsi di Indonesia dan China melalui kerangka hukum pidana dan hukum tata negara. Korupsi dipahami sebagai kejahatan luar biasa yang merusak tata kelola, ekonomi, dan kepercayaan publik. Dengan metode yuridis normatif dan pendekatan perbandingan, studi ini menyoroti perbedaan regulasi pemidanaan dan struktur kelembagaan antikorupsi di kedua negara. Indonesia mengedepankan keadilan prosedural dan perlindungan HAM, serta mengandalkan KPK sebagai lembaga independen. Namun, pelemahan institusi dan intervensi politik telah mengurangi efektivitasnya. Di sisi lain, China menerapkan pendekatan represif dengan pengawasan ketat melalui CCDI dan NSC, serta sanksi berat seperti hukuman mati. Meski dianggap efektif menekan korupsi, model China menimbulkan kekhawatiran terkait akuntabilitas dan penyalahgunaan kekuasaan. Berdasarkan teori hukum pidana, efektivitas hukum, pemisahan kekuasaan, dan negara hukum, studi ini menyarankan agar Indonesia memperkuat lembaga dan menegakkan prinsip konstitusional tanpa meniru pendekatan koersif China. Temuan ini memberi kontribusi pada kajian hukum perbandingan dan reformasi kebijakan di negara demokrasi berkembang.
Analisa yuridis putusan mahkamah konstitusi tentang ambang batas pencalonan kepala daerah terhadap demokrasi di Indonesia (Studi putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024) Thaher, Irmanjaya; Fauzan, Dio
Cessie : Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 4 No. 2 (2025): Cessie: Jurnal Ilmiah Hukum
Publisher : ARKA INSTITUTE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55904/cessie.v4i2.1683

Abstract

Syarat mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah sering menjadi perdebatan dalam dunia politik karena dianggap menghambat demokrasi yang inklusif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 terhadap demokrasi dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis, serta pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum yang kuat dalam menyatakan pasal 40 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945. Putusan tersebut menurunkan ambang batas pencalonan dari 20-25% menjadi 6,5-10%, memberikan ruang lebih besar bagi partai politik kecil dan meningkatkan partisipasi publik. Dengan demikian, putusan ini berdampak positif pada kualitas demokrasi di Indonesia.
Analisa yuridis putusan mahkamah konstitusi tentang ambang batas pencalonan kepala daerah terhadap demokrasi di Indonesia (Studi putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024) Harefa, Fameriah; Thaher, Irmanjaya
Cessie : Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 4 No. 2 (2025): Cessie: Jurnal Ilmiah Hukum
Publisher : ARKA INSTITUTE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55904/cessie.v4i2.1684

Abstract

Perkembangan teknologi digital yang pesat telah mendorong pertumbuhan platform e-commerce, termasuk TikTok Shop sebagai salah satu media sosial yang merambah sektor perdagangan daring. Fenomena ini menimbulkan dinamika baru dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang bertransaksi secara daring. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mengenai sejauh mana negara bertanggung jawab dalam menjamin perlindungan hukum bagi konsumen terhadap potensi kerugian yang timbul dalam transaksi melalui platform tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tanggung jawab negara dalam menjamin perlindungan hukum konsumen TikTok Shop berdasarkan perspektif Hukum Tata Negara, khususnya prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta prinsip-prinsip konstitusional dalam UUD NRI 1945. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa perlindungan hukum konsumen TikTok Shop tidak hanya menjadi tanggung jawab pelaku usaha dan platform digital, tetapi juga menjadi bagian dari tanggung jawab negara dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak-hak warga negara dalam ekosistem digital yang semakin berkembang
Transparansi dan akuntabilitas dana publik oleh Danantara: Tinjauan konstitusional dalam pengawasan eksternal pencegahan korupsi Liu, Natasa; Thaher, Irmanjaya
Cessie : Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 4 No. 4 (2025): Cessie: Jurnal Ilmiah Hukum (In progress)
Publisher : ARKA INSTITUTE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55904/cessie.v4i4.1685

Abstract

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dibentuk untuk mengawasi investasi pemerintah dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Transparansi, pengawasan, dan akuntabilitas sangat penting dalam mengelola risiko kerugian investasi keuangan negara. Laporan kinerja tahunan BPI Danantara harus disusun dan diaudit oleh auditor independen dan dilaporkan secara berkala kepada Dewan Pengawas, yang terdiri dari Lembaga seperti KPK, BPK, dan Meskipun ada peraturan, masih ada kekhawatiran tentang seberapa efektif pengawasan dan apakah ada konflik kepentingan di Dewan Pengawas. Ada perbedaan mengenai akuntabilitas pengelola investasi karena BPI Danantara bertanggung jawab sepenuhnya atas kerugian investasi daripada negara. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari bagaimana Mekanisme Transparansi Pengawasan  di  BPI  Daya  Anagata  Nusantara  berkaitan  dengan Penyelenggaraan Investasi dalam Daya Anagata Nusantara terhadap Risiko Kerugian Investasi Keuangan Negara Metode yuridis-normatif digunakan untuk memeriksa regulasi yang relevan. Penelitian ini menekankan pentingnya sistem transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen keuangan negara. Menurut PP No. 10 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, BPI Danantara diharapkan menjadi model pengelolaan keuangan yang lebih baik serta memberikan kontribusi pada pertumbuhan perekonomian nasional.
Controlling The Amendment Of The Nri Constitution And The Necessary Of The President's Service For Three Periods Irmanjaya, Irmanjaya
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 22 No. 1 (2023): Pena Justisia
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31941/pj.v22i1.2532

Abstract

The constitution in Indonesia has undergone several changes since Indonesia's independence. In this dynamic, Indonesia is in the phase of finding its identity and the right government system in accordance with the conditions of the Indonesian nation. Changes to the constitution repeatedly, namely in the Post-Independence period, the 1945 KRIS, the 1950 Constitution, the New Order, the Old Order, and the Reformation. Article 7 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia states that the President governs for a term of five years and can be re-elected in the election of the head of state. However, until the New Order era, the presidential term limit was not determined. Resulting in abuse of power and political chaos. The post-amendment reform era changed Article 7 by limiting the president's power to only two terms. The amendment to Article 7 is referred to as the embodiment of reform and is in accordance with the opinion of the Indonesian people so that power regeneration can occur. The discourse on the third amendment in Article 7 is pro and contra because it is planned that there will be a change in the limitation of the presidential term of office to three periods. This discourse is not in accordance with the spirit of Article 7 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and the controversy among the Indonesian people. The Indonesian people hope that the abuse of power will not repeat itself as in the pre-reform era and stick to the mandate of Article 7 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia that the president is limited to two terms.
Literature Review: Ethics and Health Law Irmanjaya, Irmanjaya
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 21 No. 2 (2022): Pena Justisia
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31941/pj.v21i2.4191

Abstract

Humans as social beings grow and develop through interactions with others, requiring norms and ethics in communal life. Ethics and health law are important foundations in maintaining the well-being of individuals and society. This study used a qualitative method with a literature review to collect and analyze information related to the principles of ethics and health law. Ethics, originating from Latin and Greek words, refer to norms of behavior related to human values and customs. Law regulates human behavior in society with the aim of maintaining order and justice, including in the context of health services. Ethics and health law complement each other, where the law tends to be rigid while ethics provide morally responsive guidance to changes. Conflicts between ethics and health law, such as in cases of abortion, emphasize the need for clear policies and a strong moral understanding from medical professionals. The application of ethics and health law in health services, especially in hospitals, influences patient experiences, reflecting practices that are professional and respect patient privacy.
Governance of Acting Regional Heads and Its Implications for National Resilience Thaher, Irmanjaya; Isnaini
Jurnal Lemhannas RI Vol 13 No 1 (2025)
Publisher : Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55960/jlri.v13i1.1101

Abstract

Purpose: This research describes how much the selection of acting regional heads by the central government does not run as per the constitutional principles, local democracy and national resilience which are through the Asta Gatra framework but more politically captured by offering a model of governance that is more accountable and participatory. Study Design/Methodology/Approach: Normative legal method with narrative review and comparative analyses of legislation, Constitutional Court decisions, and national and international academic literature to map the correlation between legal legitimacy, institutional design and regional government stability the research applies a normative legal method combined with a narrative review and comparative analyses of legislation, Constitutional Court decisions, and national and international academic literature in order to map the correlation between legal legitimacy, institutional design, and regional government stability. Findings: The findings reveal that the higher-level leadership appointment system has substantial regulatory vacancies, especially in terms of authority restriction, legislative supervision, selection transparency and performance responsibility. These contradictions are affecting the political, governance and social aspects of Asta Gatra so that it can drain the drain the power of regional legitimacy and institutional resilience. Country illustrations, like in Germany, India, and South Africa, show that support for interim leadership is normally subject to legislative endorsement and public scrutiny, with terms of office limited to democratic insurance coverage. Originality/Value: This conceptual contribution is presented to the development of an institutional design for regional leadership transitions that is more democratic and adaptive to national resilience needs. Recommendations focus on regulatory reform, involvement of the Regional People's Representative Council (DPRD), and strengthening public evaluation to ensure the appointment of Acting Regional Heads aligns with substantive democratic principles and strengthens regional autonomy.