I Ketut Sariada, I Ketut
Institut Seni Indonesia Denpasar

Published : 51 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Pelatihan Tari Rejang Shanti Banjar Desaanyar, Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali Ni Wayan Suartini; I Ketut Sariada; I Gede Mawan
Segara Widya : Jurnal Penelitian Seni Vol. 10 No. 1 (2022): Maret
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (597.911 KB) | DOI: 10.31091/sw.v10i1.1934

Abstract

PKM Pelatihan Tari Rejang Shanti ini bertujuan untuk memberikan pelatihan tari Rejang Shanti dalam mengiringi upacara piodalan di Banjar Desaanyar, Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Keunikan Tari Rejang Shanti terletak pada gerak tarinya yang terinspirasi dari gerak papendetan yang ada di Banjar Desaaanyar. Analisis situasi di lapangan menunnjukkan belum ada tari ritual upacara piodalan seperti Tari Rejang di Pura tersebut. Selain itu tabuh pengiring juga belum dimiliki. Solusinya memberikan pelatihan tari dan tabuh Rejang Shanti kepada masyarakat Banjar Desaanyar, lokasi pelatihannya di Sanggar Seni Shanti Werdhi Gita Banjar Desaanyar. Metode pelaksanaannya dengan ceramah, demonstrasi, dan pendampingan dalam pelatihan. Selain memberikan pelatihan, peserta pelatihan juga diberikan tentang wawasan, filosofi, serta nilai-nilai luhur yang terkandung didalam tarian Rejang Shanti, sehingga dapat mengetahui makna dari tarian tersebut. Sehinga hasil dari pelatihan ini adalah tari Rejang Shanti dan tabuh Rejang Shanti. Dengan penanaman nilai-nilai lewat Tari Rejang Shanti maka masyarakat banjar Desaanyar dapat melestarikan Tari Rejang Shanti serta menjadi identitas bagi masyarakat banjar Desaanyar. Tari Rejang Shanti dilatih oleh tim pelaksana pelatihan merupakan pengajar tari Bali dan Karawitan dari Institut Seni Indonesia Denpasar, dibantu dua mahasiswa jurusan Tari.
KONSEP RWA BHINEDHA DALAM TARI REJANG SAKRAL LANANG DI DESA MAYONG BULELENG BALI Hendra Santosa; I Made Rianta; I Ketut Sariada
Joged Vol 17, No 1 (2021): APRIL 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v17i1.5596

Abstract

ABSTRAKPola lantai Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong berkonsep rwa bhinedha yang terlihat dari garis lurus satu banjar lalu membentuk garis melengkung. Kedua garis tersebut merupakan simbol purusa dan pradana untuk mencapai suatu kehidupan atau keseimbangan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui konsep rwa bhinedha dalam pola lantai tarian tersebut. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah metode observasi tidak berstruktur, metode wawancara, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa pola lantai Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong pada saat pementasan menggunakan konsep rwa bhinedha yang dilakukan di Jaba Tengah berbentuk kalangan pada setiap pura (Kahyangan Desa) yang terdapat di Desa Mayong. Pola lantai hanya terdiri dari satu banjar panjang yang membentuk garis lurus dan melengkung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan Teori Semiotika dari Ferdinand de Saussure yaitu penanda dan petanda. Garis lurus dan garis melengkung yang membentuk lingkaran pada pola lantai sebagai penanda dan petanda adalah garis lurus tersebut merupakan simbol purusa dan garis lengkung merupakan simbol pradana. Kedua garis tersebut merupakan bagian dari konsep rwa bhinedha. ABSTRACT The floor pattern of the Rejang Sakral Lanang Dance in Mayong Village has a rwa bhinedha concept which is seen from a straight line and forms a curved line. Both of these lines are purusa and pradana symbols to achieve a life or balance. The purpose of this study was to determine the concept of rwa bhinedha in the dance floor pattern. The research data collection techniques are unstructured observation methods, interview methods, documentation studies, and library studies. Based on the data analysis, the results showed that the floor pattern of the Lanang Sacred Rejang Dance in Mayong Village during the staging used the concept of rwa bhinedha which was carried out in Jaba Tengah in the form of circles in each temple (Kahyangan Desa) located in Mayong Village. The floor pattern consists of only one long line that forms a straight and curved line in it. This study uses the Semiotics Theory of Ferdinand de Saussure namely markers and markers. Straight lines and curved lines that form a circle on the floor pattern as markers and markers are straight lines are symbols of the purusa and curved lines are symbols pradana. These two lines are part of the concept of rwa bhinedha.
Bentuk dan Makna Pertunjukan Tari Renteng di Desa Saren, Nusa Penida, Klungkung, Bali Ni Made Ruastiti; Anak Agung Indrawan; Ketut Sariada
Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies) Vol 11 No 1 (2021): Volume 11 No. 1. April 2021
Publisher : Pusat Kajian Bali Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (570.266 KB) | DOI: 10.24843/JKB.2021.v11.i01.p10

Abstract

This article discusses the meaning of Renteng Dance in the Saren Village of Nusa Penida. In Bali, there are many ceremonial dances, but recently many people have created ceremonial dances inspired by the Renteng Dance. This study focuses on the forms and meanings of the Renteng Dance shown in Saren Village. Data collected through observation, documentation study, and interviews with informants were analyzed descriptively using aesthetic theory and reception. It can be concluded that the people of Saren Village performed the Renteng Dance in the form of tari lepas which is a dance performance without stories. This can be seen from the presentation, choreography, and the music accompanying the performance. Renteng dance is accompanied by Balinese gamelan Balaganjur music with a specific movement dance performance structure. Saren community members support this dance because it has meaning as an expression of faith, social concern, and the interest in ecological preservation.
Estetika Bentuk Busana Pada Lukisan Wayang Kamasan Made Tiartini Mudarahayu; I Nyoman Sedana; Anak Agung Gede Rai Remawa; I Ketut Sariada
PANGGUNG Vol 31, No 2 (2021): Estetika Dalam Keberagaman Fungsi, Makna, dan Nilai Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1072.137 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v31i2.1573

Abstract

Di balik keberagaman bentuk busana dalam lukisan Wayang Kamasan, terdapat pakem dan kreativitas bagi pelukis gaya Kamasan, mengingat bahwa kesenian ini merupakan kesenian klasik dan komunal di Bali. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan estetika bentuk dari Thomas Munro yang menyatakan bahwa satu benda seni memiliki pengorganisasian unsur dan detail yang ditujukan untuk menyampaikan imajinasi dan pesan dari sebuah objek, adegan, situasi dalam benda seni tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa motif busana figur dalam seni lukis Wayang Kamasan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (1) Bagian kepala (utama), terdiri atas motif yang menggambarkan identitas utama dari figur yang ingin disampaikan, contohnya: motif buana lukar pada figur Bima. (2) Bagian badan (madya), terdiri dari motif pendukung identitas figur, contohnya: motif gelang kana pada figur Tualen. (3) Bagian kaki (nista), terdiri atas motif kain yang mendukung identitas figur, seperti motif poleng pada figur Bima. Motif yang menjadi pakem dan tidak dapat diubah polanya adalah motif utama, sedangkan sebagian dari motif isian bersumber dari kreativitas masingmasing seniman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat ruang eksplorasi yang luas bagi kreativitas seniman lukis Wayang Kamasan.Kata Kunci: Estetika Bentuk, Motif Busana, Lukisan Wayang Kamasan, Pakem, Kreativitas
Estetika Adegan Bondres Wayang Tantri oleh Dalang I Wayan Wija I Dewa Ketut Wicaksandita; I Ketut Sariada; Hendra Santosa
PANGGUNG Vol 30, No 1 (2020): Polisemi dalam Interpretasi Tradisi Kreatif
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1201.838 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v30i1.1146

Abstract

ABSTRACTBebondresan is a scene that is raised in order to entertain the audience. The scene of the bonding on theTantri puppet play Bhagawan Kundala Nangun Yadnya by Dalang Wija was brought up with a varietyof creativity that no other Dalang had ever done. This gave rise to appreciation in the form of applausefrom the audience who indicated the fulfillment of the wonderful taste of the aesthetic values that emerged.The main purpose of this research is to find out the aesthetics of the bebondresan scene. The researchmethod in the form of observation, interviews and documentation is the source of data acquisition by theauthor, which is then reduced and analyzed using instrumental aesthetic theory and aesthetic theoriesof aesthetics. The results of this study later found that the form of the bondres scene was formed visuallyin the form of three puppet Bondres namely, men holding drums, sexy women and agile old women,the structure consisted of three two-dimensional leather puppets, a drum and tambourine combinedthrough puppet play patterns, musical instruments and vocal wayang dialogues. The aesthetics of theBondres scene lies in, (1) ‘interrelations’, namely wholeness which is seen from the interrelationship,integration and harmony in the elements forming the scene; (2) ‘complexity’ that is interwoven betweenthe elements in the structure that are staged through complex playing patterns; (3) ‘prominence’ whichis the presentation of the results of the achievement of creativity by Dalang Wija which is seen from thecharacteristics of the artwork, the background of the mastermind’s abilities and his motivation.Keywords: Bondres Scene, Wayang Tantri, I Wayan WijaABSTRAKAdegan bondres merupakan sebuah adegan yang dimunculkan dengan tujuan untukmenghibur penonton. Adegan bondres pada wayang Tantri lakon Bhagawan Kundala NangunYadnya oleh Dalang Wija dimunculkan dengan beragam kreativitas yang tidak pernahdilakuakn Dalang lain. Hal ini memunculkan apresiasi berupa tepuk tangan dari penoton yangmengindikasikan terpenuhinya rasa nikmat indah atas nilai estetis yang muncul. Tujuan utamapenelitian ini ialah untuk mengetahui estetika dari adegan bebondresan. Metode penelitianberupa observasi, wawancara dan dokumentasi menjadi sumber perolehan data oleh penulisyang selanjunya direduksi dan dianlisis menggunakan teori estetika instrumental dan teoriestetika sifat estetis. Hasil penelitian ini selajutnya menemukan bahwa wujud adegan bondresini terbentuk secara visual berupa tiga wayang bondres yaitu, pria memegang kendang, wanitasexy dan wanita tua lincah, strukturnya terdiri atas tiga buah wayang kulit dua dimensi, sebuahkendang dan tamborin yang dikombinasi melalui pola bermain wayang, alat musik dan vokaldialog wayang. Estetika adegan bondres ini terletak pada, (1) ‘keterkaitan’ yaitu keutuhan yangdilihat dari keterkaitan, keterpaduan dan harmoni pada elemen-elemen pembentuk adegan;(2) ‘kerumitan’ yang terjalin di antara elemen-elemen pada struktur yang dipentaskan melaluipola bermain yang kompleks; (3) ‘penonjolan’ yaitu presentasi hasil pencapaian kreativitasoleh Dalang Wija yang dilihat dari ciri-ciri karya seni, latar belakang kemampuan dalang danmotivasinya.Kata Kunci: Adegan Bondres, Wayang Tantri, I Wayan Wija
The Inheritance of Saronen Instrument in Sumenep, Madura Ni Made Ruastiti; Rino Ega Vebrian; I Ketut Sariada
Humaniora Vol. 11 No. 3 (2020): Humaniora
Publisher : Bina Nusantara University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21512/humaniora.v11i3.6677

Abstract

The research aimed to discuss the position and function of the saronen instrument in Sumenep, Madura. Saronen, as one of the cultural heritage of the Madurese people, was still preserved. The research questions were: (1) what was the position of the saronen instrument in the culture of the Madurese people? (2) How was the strategy for the inheritance of the instrument carried out by the people of Sumenep, Madura? The research was conducted using qualitative methods. The data collection process was carried out through observation, literature study, and interviews with ten informants. Data analysis was carried out in a descriptive qualitative manner using semiotic theory and structural-functional theory. The results show (1) the saronen instrument has an important position in the culture of the Madurese people, including Madurese ethnic identity, as a public relations media, and the branding of Sumenep as a tourist destination in East Java. The saronen instrument, which is originally used as a da'wah medium, has now developed as a musical accompaniment to the activities of the sapi sono and karapan sapi contest and entertainment medium for the Madurese people in celebratory events and government events. (2) The inheritance strategy of the saronen instrument is carried out by the indigenous people through a vertical system, namely an inheritance system through a genetic mechanism passed down from time to time across generations and a horizontal system, namely inheritance through institutions, including educational institutions such as schools and art studios.
Estetika Film Animasi 2D “ Bawang dan Kesuna” I Gede Adi Sudi Anggara; I Wayan Mudra; I Ketut Sariada
PANTUN Vol 3, No 1 (2018): Estetika Budaya Urban
Publisher : Pascasarjana ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3487.078 KB) | DOI: 10.26742/pantun.v3i1.882

Abstract

2D Animation flm of Bali folktale “Bawang and Kesuna” tells about two sisters, Bawang and Kesuna. Bawang is a girl who is lazy, jealousy, and sly. Meanwhile, Kesuna is a kind, calm, honest, and hardworking girl. The folktale is from Sengkidu village, Karangasem. The paper is aimed to reveal the aesthetics of 2D “Bawang and Kesuna” flm approached by Djelantik Aesthetic theory. It discusses the form and structure, the mood, idea and message, as well as the presentation. The study applies qualitative method. The data are collected from interview and documentation of related literatures. The result shows that the form comprises illustration, typography, and colour, meanwhile the structure applies flm structure, namely shot, scene, and sequence. The mood shares village atmosphere giving traditional impression shown from the accessories of costumes and buildings. The film is full of moral messages useful for children character education.Keywords: Aesthetics, 2D Animation Film, Balinese Folktale, Bawang and Kesuna
Konsep Dasa Paramartha pada Karakterisasi Tokoh Aji Dharma dalam Pertunjukan Wayang Tantri oleh I Wayan Wija I Dewa Ketut Wicaksandita; Hendra Santosa; I Ketut Sariada
Dance and Theatre Review: Jurnal Tari, Teater, dan Wayang Vol 3, No 1 (2020): May 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1037.378 KB) | DOI: 10.24821/dtr.v3i1.4415

Abstract

The Concept of Dasa Paramartha on the Characterization of Aji Dharma in a Wayang Tantri Performance by I Wayan Wija. Dasa Paramartha, as the teachings of dharma (goodness) in Hinduism, then becomes a material that is flexible enough to be displayed in broadcasting the meaning and value of ethical, moral, and social behavior education. Wayang Tantri, in the play of Sang Aji Dharma Kepastu presents the character of Prabu Aji Dharma with the characteristics trait displayed as a figure of dharma who later becomes a role model for Wayang Tantri audiences. This study aims to reveal the values of Dasa Parartha’s teachings in the characterization of Aji Dharma figures. The qualitative descriptive method with data collection in the form of observation, interviews, and study documentation of the Wayang Tantri video of Sang Aji Dharma Kepastu with a duration of approximately 2 hours, then analyzed by, The Aesthetic Pedalangan Theory supported by Semiotic Theory. The results of the research are the representation of the teachings of Dasa Parmartha, which is in the form of Tapa: physical and mental self-control; Bharata: curb lust; Samadhi: mental concentration on God; Santa: being calm and honest; Sanmata: aspiring and aiming towards goodness; Karuna: affection between living beings; Karuni: compassion for plants, goods and so on; Upeksa: being able to distinguish right from wrong, good and bad; Mudhita: trying to please others; and Maitri: eager to seek friendship based on mutual respect.Keywords: representation; Dasa Paramartha; Aji Dharma; Wayang Tantri
Commodification of Tektekan Calonarang At Baturiti Village, Kerambitan, Tabanan I Ketut Sariada
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 32 No 3 (2017): September
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v32i3.180

Abstract

Tektekan Calonarang is a Calonarang dance drama performed as a new tourism model which in its presentation is accompanied by Tektekan gamelan; a small traditional bamboo music from Baturiti village, Kerambitan, Tabanan. Balinese communities usually disagree to showcase a sacred culture for tourism, but in Baturiti village this is different. They actually support the commodification of TektekanCalonarang using sacred barong and rangda for tourism. This raises questions because it is contrast with the attitude of Balinese communities in general. This research is conducted in Baturiti village, Kerambitan, Tabanan using qualitative method. There are three main problems in this study, such as: (1) why do the community of Baturiti village, Kerambitan, Tabanancommodify Tektekan Calonarang which uses sacred barong and rangda for tourism?, (2) what is the form of the commodified Tektekan Calonarang;  (3) what are the implications for those conducting it, the community and the performance itself. The purpose of this research is to understand the commodification of Tektekan Calonarang in Baturiti village, Kerambitan, Tabanan which uses sacred barong and rangda for tourism. To explain the problems, Deconstruction theory, Social Practice theory, Aesthetic theory, and Knowledge Relation theory are used. The results of this research are (1) the community of Baturiti village, Kerambitan, Tabanan commodify Tektekan Calonarang using sacred barong and rangda is motivated by market ideology, development ideology, religious ideology, and conservation ideology; (2) the community of Baturiti village, Kerambitan, Tabanan commodify Tektekan Calonarang using sacred barong and rangda in the form of procession and Tektekan Calonarang performance; (3) the commodification of Tektekan Calonarang using sacred barong and rangda has the implications for the increase of income of the conductors, community (multi flyer effect), the continuance of the barong and rangda’s mystical strength, the increase of interest from the market/ tourism, and as a reinforcing social solidarity of the community. The findings of this research are that desecration did not happen even though sacred barong and rangda is commodified for tourism because in every performance the conductor/ community conduct a special purification ceremony for the barong and rangda according to their individual context.Tektekan Calonarang merupakan sebuah drama tari Calonarang untuk pariwisata model baru. Penyajiannya diiringi oleh gamelan tektekan, sebuah musik tradisional bambu berukuran kecil, khas Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan. Pada umumnya masyarakat Bali tidak setuju menampilkan unsur budaya yang bersifat sakral untuk pariwisata. Namun, berbeda halnya dengan masyarakat Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan. Mereka justru mendukung komodifikasi Tektekan Calonarang dengan menggunakan barong dan rangda sakral untuk pariwisata. Hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan, karena bertentangan dengan sikap masyarakat Bali pada umumnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami komodifikasi Tektekan Calonarang Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan yang menggunakan barong dan rangda sakral untuk pariwisata. Penelitian yang berlokasi di Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan ini dilakukan dengan metode kualitatif. Permasalahan yang dikaji meliputi (1) mengapakah masyarakat di Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan mengomodifikasikan Tektekan Calonarang dengan menggunakan barong dan rangda sakral untuk pariwisata; (2) bagaimanakah bentuk komodifikasi Tektekan Calonarang tersebut; (3) apakah implikasinya bagi pelaku, masyarakat, dan pertunjukan itu sendiri. Untuk menjelaskan permasalahan tersebut digunakan teori dekonstruksi, teori praktik sosial, teori estetika, dan teori kuasa pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) masyarakat Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan mengomodifikasikan Tektekan Calonarang dengan barong dan rangda sakral untuk pariwisata dilatari oleh ideologi pasar, ideologi pembangunan, ideologi religi, dan ideologi konservasi; (2) masyarakat Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan mengomodifikasikan Tektekan Calonarang dengan barong dan rangda sakral dalam bentuk prosesi dan pertunjukan Tektekan Calonarang; (3) komodifikasi Tektekan Calonarang dengan barong dan rangda sakral itu berimplikasi pada peningkatan pendapatan pelaku, masyarakat (multiplier effects), kelangsungan kekuatan magis barong dan rangda tersebut, peningkatan animo pasar/pariwisata, serta sebagai penguat solidaritas sosial masyarakat setempat. Temuan baru penelitian ini adalah tidak terjadi desakralisasi walaupun barong dan rangda sakral itu dikomodifikasikan untuk pariwisata. Hal itu disebabkan oleh pelaku/masyarakat setempat melakukan upacara penyucian khusus terhadap barong dan rangda tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing pada setiap penyajiannya.
Estetika Gerak Tari Rejang Sakral Lanang Di Desa Mayong, Seririt, Buleleng, Bali I Made Rianta; Hendra Santosa; I Ketut Sariada
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 34 No 3 (2019): September
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v34i3.678

Abstract

Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng adalah sebuah tari sakral yang memiliki keunikan salah satunya terletak pada gerak tarinya. Memahami dan mengetahui estetika gerak dalam Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong merupakan tujuan penelitian ini. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik observasi tidak berstruktur, teknik wawancara, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan yaitu gerak Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong hanya terdiri dari empat gerakan yang selalu dipergunakan secara berulang-ulang dari awal tarian hingga akhir tarian, sehingga struktur dari tarian ini menggunakan struktur tunggal. Adapun empat gerakan tersebut meliputi: agem, nengkleng, nindak, dan nutup. Gerakan pada tarian ini memiliki estetika karena sesuai dengan pendapat dari Thomas Aquinas yang berpendapat bahwa, keindahan meliputi tiga persyaratan yaitu kesatuan, perimbangan, dan kejelasan. Kesatuan dapat dilihat dari gerak dalam tari tersebut didukung dengan tata busana, tata rias, tempat pementasan dan musik iringan tari sesuai dengan karakter tari; Keseimbangan dapat dilihat dari pengulangan gerakan dari kanan ke kiri maupun dari kiri ke kanan karena disebabkan struktur dalam tarian serta adanya keharmonisan antara desain lantai dan desain atas; Kejelasan gerak Tari Rejang Sakral Lanang dapat dilihat dari pementasannya yang menampilkan hanya empat gerakan saja yang diulang-ulang dari awal hingga akhir tarian. Gerakan yang dilakukan juga didukung oleh penari, tata busana, tata rias, dan tempat pementasan yang juga dapat dilihat kejelasannya.