I Ketut Sariada, I Ketut
Institut Seni Indonesia Denpasar

Published : 51 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Karya Tari Ngarepat: Sumber ide dan konsep Rejang Kapat di Desa Timbrah, Kabupaten Karangasem. Dipasatyadewi, Ni Luh; Sariada, I Ketut; Satyani, Ida Ayu Wayan Arya
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 4 No 2 (2024): Jurnal IGEL Vol 4 No 2 2024
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v4i2.3209

Abstract

This Ngarepat Dance work comes from rejang kapat in Timbrah Village, Karangasem Regency. One of the aims of the Ngarepat Dance work was created to educate the wider community about the processions or ceremonial rituals carried out by prospective kelihan dahe before becoming kelihan dahe. The kelihan dahe rejang kapat is a symbol of the four dedari, Dewe Dedari Agung, Dewe Dedari Suci, Dewe Dedari Kendran, Dewe Dedari Tohok. So it gets the title Ngarepat. Taken from two words ngarep which means foremost, Utama: he is the father. And Pat which means the word number four which refers to the word kapat which means the fourth Balinese month. To produce maximum work, assistance from supervisors and partners is needed. The partner chosen is Sanggar Paripurna, Sanggar Paripurna can provide shelter and guidance in the process of creating this dance work. The method used in this creation process is Angripta Sesolahan by I Kt. Suteja, in the book there are six methods for creating a work, namely planning, nuasen, makalin, lesin, ngebah and presentation. From this process, a form and form of work is produced, Ngarepat consists of 6 (six) female dancers, the make-up used is minimalist, the dress code uses wastra or cloth with the dominant color white as a symbol of purification and MIDI (musical instrument digital interface) music. . This work also gives rise to several novelties, one of which is the novelty of the movements obtained by the creator, such as the kapat movement, agem ngarepat and ngeyeg. The creator hopes that this work can be useful for the general public.
Megumi Chaksu: Sebuah Transformasi Kecantikan Sinar Matahari Dalam Bentuk Karya Tari Devi, Putu Rismayuni; Sariada, I Ketut; Satyani, Ida Ayu Wayan Arya
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 4 No 1 (2024): Jurnal IGEL Vol 4 No 1 2024
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v4i1.3391

Abstract

Tari Megumi Chaksu adalah sebuah tari kreasi baru dengan menjadikan Amaterasu, Dewi Matahari dalam Mitologi Jepang sebagai sumber kreatif penciptaan. Penata mencoba mentransformasikan mengenai akulturasi budaya antara Jepang dan Bali dengan mengimplementasikan sudut pandang penata dalam hal gerak, musik, tata rias, dan tata busana. Penciptaan Tari Megumi Chaksu menggunakan metode penciptaan Panca Sthiti Ngawi Sani yang dibuat oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA. yang meliputi: Ngawirasa, Ngawacak, Ngarencana, Ngawangun, dan Ngebah. Tari ini dibawakan secara kelompok dengan karakter putri halus menggunakan 7 orang penari perempuan dengan struktur tari, bagian 1 menggambarkan kecantikan Amaterasu, bagian 2 menggambarkan sinar matahari yang dipancarkan oleh Amaterasu, dan bagian 3 menggambarkan pemujaan terhadap Amaterasu. Durasi karya ini adalah 11 menit dengan menggunakan pendekatan persandingan laras utama pada gamelan Semarandana yang dikolaborasikan dengan beberapa instrumen Jepang dan efek dari sample bunyi dengan media aplikasi Musical Instrumen Digital Interface (MIDI). Menggunakan tata rias dan tata  busana dari perpaduan antara Jepang dan Bali. Properti payung dan kipas panjang  led juga sangat berperan penting untuk mendukung kesuksesan dan menunjang estetika dari karya Tari Megumi Chaksu.
Estetika Adegan Bondres Wayang Tantri oleh Dalang I Wayan Wija I Dewa Ketut Wicaksandita; I Ketut Sariada; Hendra Santosa
PANGGUNG Vol 30 No 1 (2020): Polisemi dalam Interpretasi Tradisi Kreatif
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v30i1.1146

Abstract

ABSTRACTBebondresan is a scene that is raised in order to entertain the audience. The scene of the bonding on theTantri puppet play Bhagawan Kundala Nangun Yadnya by Dalang Wija was brought up with a varietyof creativity that no other Dalang had ever done. This gave rise to appreciation in the form of applausefrom the audience who indicated the fulfillment of the wonderful taste of the aesthetic values that emerged.The main purpose of this research is to find out the aesthetics of the bebondresan scene. The researchmethod in the form of observation, interviews and documentation is the source of data acquisition by theauthor, which is then reduced and analyzed using instrumental aesthetic theory and aesthetic theoriesof aesthetics. The results of this study later found that the form of the bondres scene was formed visuallyin the form of three puppet Bondres namely, men holding drums, sexy women and agile old women,the structure consisted of three two-dimensional leather puppets, a drum and tambourine combinedthrough puppet play patterns, musical instruments and vocal wayang dialogues. The aesthetics of theBondres scene lies in, (1) ‘interrelations’, namely wholeness which is seen from the interrelationship,integration and harmony in the elements forming the scene; (2) ‘complexity’ that is interwoven betweenthe elements in the structure that are staged through complex playing patterns; (3) ‘prominence’ whichis the presentation of the results of the achievement of creativity by Dalang Wija which is seen from thecharacteristics of the artwork, the background of the mastermind’s abilities and his motivation.Keywords: Bondres Scene, Wayang Tantri, I Wayan WijaABSTRAKAdegan bondres merupakan sebuah adegan yang dimunculkan dengan tujuan untukmenghibur penonton. Adegan bondres pada wayang Tantri lakon Bhagawan Kundala NangunYadnya oleh Dalang Wija dimunculkan dengan beragam kreativitas yang tidak pernahdilakuakn Dalang lain. Hal ini memunculkan apresiasi berupa tepuk tangan dari penoton yangmengindikasikan terpenuhinya rasa nikmat indah atas nilai estetis yang muncul. Tujuan utamapenelitian ini ialah untuk mengetahui estetika dari adegan bebondresan. Metode penelitianberupa observasi, wawancara dan dokumentasi menjadi sumber perolehan data oleh penulisyang selanjunya direduksi dan dianlisis menggunakan teori estetika instrumental dan teoriestetika sifat estetis. Hasil penelitian ini selajutnya menemukan bahwa wujud adegan bondresini terbentuk secara visual berupa tiga wayang bondres yaitu, pria memegang kendang, wanitasexy dan wanita tua lincah, strukturnya terdiri atas tiga buah wayang kulit dua dimensi, sebuahkendang dan tamborin yang dikombinasi melalui pola bermain wayang, alat musik dan vokaldialog wayang. Estetika adegan bondres ini terletak pada, (1) ‘keterkaitan’ yaitu keutuhan yangdilihat dari keterkaitan, keterpaduan dan harmoni pada elemen-elemen pembentuk adegan;(2) ‘kerumitan’ yang terjalin di antara elemen-elemen pada struktur yang dipentaskan melaluipola bermain yang kompleks; (3) ‘penonjolan’ yaitu presentasi hasil pencapaian kreativitasoleh Dalang Wija yang dilihat dari ciri-ciri karya seni, latar belakang kemampuan dalang danmotivasinya.Kata Kunci: Adegan Bondres, Wayang Tantri, I Wayan Wija
Estetika Bentuk Busana Pada Lukisan Wayang Kamasan Made Tiartini Mudarahayu; I Nyoman Sedana; Anak Agung Gede Rai Remawa; I Ketut Sariada
PANGGUNG Vol 31 No 2 (2021): Estetika Dalam Keberagaman Fungsi, Makna, dan Nilai Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v31i2.1573

Abstract

Di balik keberagaman bentuk busana dalam lukisan Wayang Kamasan, terdapat pakem dan kreativitas bagi pelukis gaya Kamasan, mengingat bahwa kesenian ini merupakan kesenian klasik dan komunal di Bali. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan estetika bentuk dari Thomas Munro yang menyatakan bahwa satu benda seni memiliki pengorganisasian unsur dan detail yang ditujukan untuk menyampaikan imajinasi dan pesan dari sebuah objek, adegan, situasi dalam benda seni tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa motif busana figur dalam seni lukis Wayang Kamasan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (1) Bagian kepala (utama), terdiri atas motif yang menggambarkan identitas utama dari figur yang ingin disampaikan, contohnya: motif buana lukar pada figur Bima. (2) Bagian badan (madya), terdiri dari motif pendukung identitas figur, contohnya: motif gelang kana pada figur Tualen. (3) Bagian kaki (nista), terdiri atas motif kain yang mendukung identitas figur, seperti motif poleng pada figur Bima. Motif yang menjadi pakem dan tidak dapat diubah polanya adalah motif utama, sedangkan sebagian dari motif isian bersumber dari kreativitas masingmasing seniman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat ruang eksplorasi yang luas bagi kreativitas seniman lukis Wayang Kamasan.Kata Kunci: Estetika Bentuk, Motif Busana, Lukisan Wayang Kamasan, Pakem, Kreativitas
TARI KREASI BARU SIWA NATARAJA KARYA I GUSTI AGUNG NGURAH SUPARTHA Sariada, I Ketut
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 4 (2024): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini mengkaji tari Kreasi baru Siwa Nataraja, sebuah tari kreasi baru menggambarkan Siwa sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. Tari ini diciptakan pada tahun 1985 oleh I Gusti Agung Ngurah Supartha dari Desa Abiantuwung, Tabanan. Penelitian kualitatif ini mengangkat tiga permasalahan, yaitu: bentuk, faktor pendorong, dan makna tari Siwa Nataraja Karya I Gusti Agung Ngurah Supartha. Teori yang dipakai landasan untuk membedah ke tiga permasalahan adalah teori dekonstruksi, teori estetika dan teori semioti. Dari segi bentuk, Tari Kreasi Baru Siwa Nataraja dikelompokkan tari tunggal (solo), memiliki struktur pementasan yang terdiri dari pepeson, pengawak, dan pengecet atau penyuwud. Siwa digambarkan memiliki kekuatan yang sanggup memutar dunia. Saat dunia diputar, muncul ritme-ritme dalam kehidupan, dan ritme-ritme itulah yang tampak sebagai gerak-gerak tari. Faktor-faktor pendorong terciptanya tari kreasi baru Siwa Nataraja adalah faktor internal dan eksternal. Makna, tarian ini memiliki makna hiburan, makna kreativitas, makna estetika dan makna identitas. Makna kreativitas berlandaskan makna estetika untuk menemukan makna identitas.
Dinamika Ekosistem Seni Paduan Suara Voice of Bali dalam Perspektif Pierre Bourdieu Syahrian, Alfin; Sariada, I Ketut; Mudra, I Wayan
PROMUSIKA Vol 12, No 2 (2024): Oktober, 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/promusika.v12i2.14360

Abstract

Voice of Bali adalah komunitas paduan suara yang mengelola interaksi antara modal budaya, sosial, ekonomi, dan simbolik dengan struktur ranah seni paduan suara untuk menciptakan praktik sosial yang mendukung keberlanjutan, inovasi, dan penguatan posisi komunitas dalam arena seni, meskipun menghadapi keterbatasan modal ekonomi dan tantangan adaptasi ditengah dinamika global. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana komunitas paduan suara Voice of Bali mengelola interaksi antar struktur modal, habitus, arena, praproduksi dan pasca produksi serta manajemen event untuk menjadi contoh bagi kelompok lain dalam mengembangkan paduan suara di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi dengan mengkontekstualisasikan teori Pierre Bourdieu untuk menganalisis bagaimana interaksi antara habitus, modal, serta arena yang menghasilkan praktik sosial untuk mendukung keberlanjutan, invovasi, dan penguatan posisi komunitas dalam ekosistem seni paduan suara.  Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Voice of Bali tidak hanya aktif dalam kompetisi nasional maupun internasional, namun juga aktif dalam kegiatan event dan aktif menjadi ruang eksplorasi bagi anggotanya untuk memberikan kontribusi signifikan dalam mengembangkan ekosistem paduan suara di Indonesia. Simpulan penelitian ini mengaskan pentingnya membangun profil yang kuat untuk menjadi kelompok seni yang kompeten dan inovatif, dengan reputasi nasional dan internasional. Melalui ekosistemnya Voice of Bali menggabungkan seni, budaya, dan jejaring sosial melalui kolaboratif kreatif, pengelolaan sumber daya yang strategis, serta dedikasi pada kualitas artistik. Penelitian ini tidak hanya berkontribusi pada kajian akademik tentang paduan suara, tetapi juga memberikan panduan praktis bagi komunitas seni dalam mengelola modal dan menghadapi tantangan industri seni di era global.The Dynamics of the Choral Art Ecosystem: A Bourdieusian Analysis of Voice of BaliAbstractVoice of Bali is a choral community that manages the interaction between cultural, social, economic, and symbolic capital with the structure of the choral art domain to create social practices that support sustainability, innovation, and strengthening the community's position in the art arena, despite facing limited economic capital and adaptation challenges amid global dynamics. This research aims to explain how the Voice of Bali choir community manages interactions between capital structures, habitus, arena, pre-production and post-production, and event management to become an example for other groups developing choirs in Indonesia. This research uses a qualitative approach, data collection methods with observation, interviews and documentation by contextualizing Pierre Bourdieu's theory to analyze how the interaction between habitus, capital, and arena produces social practices to support sustainability, innovation, and strengthening the community's position in the choral art ecosystem. The research results show that Voice of Bali is active in national and international competitions and event activities and as an exploration space for its members to significantly contribute to developing the choral ecosystem in Indonesia. The conclusion of this research emphasizes the importance of building a strong profile to become a competent and innovative arts group with a national and international reputation. Through its ecosystem, Voice of Bali combines art, culture and social networking through creative collaboration, strategic resource management and dedication to artistic quality. This research not only contributes to the academic study of choirs but also provides practical guidance for the arts community in managing capital and facing the challenges of the arts industry in the global era.Keywords: Voice of Bali; Choir; Pierre Bourdieu; Habitus; Cultural Capital
Karya Tari Ngarepat: Sumber ide dan konsep Rejang Kapat di Desa Timbrah, Kabupaten Karangasem. Dipasatyadewi, Ni Luh; Sariada, I Ketut; Satyani, Ida Ayu Wayan Arya
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 4 No 2 (2024): Jurnal IGEL Vol 4 No 2 2024
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v4i2.3209

Abstract

This Ngarepat Dance work comes from rejang kapat in Timbrah Village, Karangasem Regency. One of the aims of the Ngarepat Dance work was created to educate the wider community about the processions or ceremonial rituals carried out by prospective kelihan dahe before becoming kelihan dahe. The kelihan dahe rejang kapat is a symbol of the four dedari, Dewe Dedari Agung, Dewe Dedari Suci, Dewe Dedari Kendran, Dewe Dedari Tohok. So it gets the title Ngarepat. Taken from two words ngarep which means foremost, Utama: he is the father. And Pat which means the word number four which refers to the word kapat which means the fourth Balinese month. To produce maximum work, assistance from supervisors and partners is needed. The partner chosen is Sanggar Paripurna, Sanggar Paripurna can provide shelter and guidance in the process of creating this dance work. The method used in this creation process is Angripta Sesolahan by I Kt. Suteja, in the book there are six methods for creating a work, namely planning, nuasen, makalin, lesin, ngebah and presentation. From this process, a form and form of work is produced, Ngarepat consists of 6 (six) female dancers, the make-up used is minimalist, the dress code uses wastra or cloth with the dominant color white as a symbol of purification and MIDI (musical instrument digital interface) music. . This work also gives rise to several novelties, one of which is the novelty of the movements obtained by the creator, such as the kapat movement, agem ngarepat and ngeyeg. The creator hopes that this work can be useful for the general public.
The Art Ecocsystem of Gamelan Yuganada Community in Taman Kaja Village Bhumi, I Made Bayu Puser; Mudra, I Wayan; Sariada, I Ketut
Gondang: Jurnal Seni dan Budaya Vol. 9 No. 1 (2025): GONDANG: JURNAL SENI DAN BUDAYA, JUNE 2025
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gondang.v9i1.64653

Abstract

Gamelan Yuganada, an art community based in Ubud, Bali, was founded in 2015 by I Wayan Sudirana with the aim of preserving Balinese gamelan while encouraging innovation through cross-disciplinary collaboration. This research aims to explain the activities of this group and map the art ecosystem that supports the preservation and development of their creativity. This study adopts a qualitative netnographic approach, conducting five months of digital participant observation on YouTube and Spotify, in-depth online interviews, and analysis of digital artifacts to uncover Gamelan Yuganada’s art ecosystem in the era of globalization. Data Analysis uses the theory of social practice by Pierre Boourdieou. The results of the study showed that Gamelan Yuganada was not only active in traditional performances but also created new compositions that combined traditional and contemporary elements. Various elements such as cultural, social, economic, legal, educational, and technological modalities have mutual implications for each other and form a good art ecosystem. Collaborations with various international artists and the use of digital technology are integral parts of the art ecosystem they build. The conclusion of this study emphasizes the importance of an adaptive and collaborative art ecosystem in maintaining the relevance of Balinese gamelan in the modern era, as well as providing a model for other art communities to develop works in a sustainable manner.
Ekosistem Seni Perhimpunan Fotografer Bali Perspektif Pierre Bourdieu Prastiti, Ni Putu Suci; Mudra, I Wayan; Sariada, I Ketut
JURNAL TATA KELOLA SENI Vol 11, No 1 (2025): Juni 2025
Publisher : Graduate School of Indonesia Institute of the Arts Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jtks.v11i1.14850

Abstract

 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup kegiatan ekosistem seni Perhimpunan Fotografer Bali (PFB) dilihat dari perspektif Pierre Bourdieu. Penelitian ini penting dilakukan karena PFB merupakan perhimpunan fotografer tertua di Bali dan memiliki prestasi kegiatan regional maupun nasional. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Analisis data menggunakan pendekatan teori Pierre Bourdieu. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa ruang lingkup kegiatan PFB diklasifikasikan berdasarkan sumber pendanaan di antaranya sumber dana publik, swasta, dan swadaya. Ekosistem seni PFB dapat dilihat dari ranah pendidikan, ekonomi, organisasi, dan seni. Setiap anggota berperan mendukung keberlanjutan ekosistem seni yang terdapat dalam PFB tercermin pada interaksi modal yang dimiliki para anggotanya terdiri dari modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Simpulan penelitian ini yaitu PFB mampu bergerak sebagai kelas dominan karena memiliki modal sosial, modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik yang kuat. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengelolaan komunitas fotografi yang komprehensif dan efektif sehingga dapat menjadi panutan (role model) bagi keberlanjutan komunitas fotografi lainnya di Bali. Bali Photographer Association Art Ecosystem Pierre Bourdieu's PerspectiveABSTRACTThis study aims to explore the scope of activities within the art ecosystem of the Perhimpunan Fotografer Bali (PFB) through the theoretical lens of Pierre Bourdieu. The research is particularly significant as PFB represents the oldest photography association in Bali, with notable achievements at both regional and national levels. A qualitative research design was employed, utilizing data collection methods such as observation, interviews, and document analysis, with data interpretation grounded in Bourdieu’s theoretical framework. The findings indicate that the scope of PFB’s activities can be categorized based on funding sources, including public funding, private sponsorship, and self-funding. The art ecosystem within PFB is manifested across the domains of education, economy, organization, and the arts. Each member contributes to the sustainability of the ecosystem, as reflected in the interaction of various forms of capital—economic, social, cultural, and symbolic—possessed by its members. This study concludes that PFB has successfully positioned itself as a dominant class by leveraging strong social, economic, cultural, and symbolic capital. The outcomes of this research offer valuable insights into the comprehensive and effective management of photography communities and may serve as a model for promoting the sustainability of other photography communities in Bali.  
Tari Sandar di Pura Luhur Ulun Swi Desa Adat Seseh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Adhyatma, I Putu Ananta Wira; Trisnawati, Ida Ayu; Sariada, I Ketut
Center of Knowledge : Jurnal Pendidikan Dan Pengabdian Masyarakat Volume 5 Nomor 2 Agustus 2025 | IN PRESS
Publisher : Pusdikra Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51178/cok.v5i2.2823

Abstract

Tari Sandar merupakan salah satu tari upacara yang dipentaskan dalam rangkaian upacara Dewa Yadnya di Pura Luhur Ulun Swi, Desa Adat Seseh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Penelitian ini bertujuan untuk memahami Tari Sandar yang ada di Pura Luhur Ulun Swi, Desa Adat Seseh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: (1) Awal mula Tari Sandar; (2) Bentuk pertunjukan Tari Sandar; (3) Makna yang terkandung dalam pertunjukan Tari Sandar. Teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori religi, teori estetika Hindu serta teori semiotika. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi langsung, wawancara, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kemunculan Tari Sandar ditandai dengan peristiwa tapel Barong Ket dihanyutkan dari wilayah Jimbaran karena dianggap tidak layak, lalu terdampar di pesisir Desa Adat Seseh. Peristiwa tersebut diyakini sebagai pawisik, kemudian tapel itu diabadikan sebagai benda suci di Pura Luhur Ulun Swi, peristiwa tersebut kemudian diyakini sebagai cikal bakal lahirnya Tari Sandar. (2) Bentuk pertunjukan Tari Sandar dapat dikategorikan sebagai dramatari, yang melibatkan beberapa lakon yaitu penari Sandar, Jauk Kembar, Topeng Tua, dan Topeng Telek. (3) Makna yang terkandung dalam Tari Sandar terepresentasi melalui alur pertunjukan tersusun atas dasar penanda dan petanda yang dapat dibaca secara denotatif, konotatif, maupun dalam bentuk mitos. Sebagai kesenian sakral, Tari Sandar menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Desa Adat Seseh dan terus dijaga keberlanjutannya melalui siklus upacara dan keterlibatan kolektif warga setempat.