Claim Missing Document
Check
Articles

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP IDENTITAS ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Alfian Mahendra; Beniharmoni Harefa
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 10 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (258.968 KB) | DOI: 10.24843/KS.2020.v08.i10.p13

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap identitas anak dalam proses peradilan pidana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku yang menyebarluaskan identitas anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana. Artikel ni menggunakan metode penelitian kepustakaan yaitu Penelitian Hukum Normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder yang akan dikumpulkan serta dianalisa dan diteliti. Penelitian ini mengandung teori-teori yang diperoleh dari bahan pustaka. Hasil penelitian ini adalah perlindungan hukum terhadap identitas anak yang menjadi pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana merupakan tugas dari seluruh elemen masyarakat, bentuk-bentuk perlindungannya sudah diatur dalam undang-undang dan cara yang paling efektif dalam melindungi identitas anak adalah dengan cara memahami serta menjalankan UU SPPA yaitu mengutamakan asas-asas dalam UU SPPA serta memenuhi hak-hak anak dalam proses peradilan pidana. Selanjutnya, Penerapan sanksi yang harus dilakukan adalah dengan cara menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi yang sudah diatur berlaku ke setiap orang yang menyebarluaskan identitas anak sebagai pelaku, wartawan yang menyebarluaskan identitas anak akan mendapatkan sanksi peringatan dari pihak dewan pers atau lembaga yang berwawenang dan harus melakukan permintaan maaf di media tempat ia menyebarkannya atau di edit kembali beritanya. This study aims to determine the form of legal protection for the identity of children in criminal justice processes according to the applicable laws and regulations as well as to determine the application of sanctions against perpetrators who disseminate the identity of children involved in a criminal offense. This article uses the method of library research that is Normative Legal Research conducted by examining library materials or secondary materials that will be collected and analyzed and examined. This research contains theories obtained from library materials. The results of this study are the legal protection of the identity of children who become perpetrators of criminal acts in the criminal justice process is the task of all elements of society, the forms of protection have been regulated in the law and the most effective way to protect children's identity is by understanding and implementing SPPA Law namely prioritizing principles in the SPPA Law and fulfilling children's rights in the criminal justice process. Furthermore, the application of sanctions that must be done is by implementing the applicable laws and regulations. Sanctions that have been arranged apply to everyone who disseminates the child's identity as the perpetrator, journalists who disseminate the identity of the child will get a warning sanction from the press council or the authority agency and must make an apology in the media where he spread it or re-edited the news.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA Beniharmoni Harefa
Perspektif Vol 22, No 3 (2017): Edisi September
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (805.339 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v22i3.647

Abstract

Dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia, anak sebagai penyalahguna narkotika, menjalani proses peradilan pidana. Sebagai pihak yang rentan dalam proses peradilan pidana, maka meski menjalani proses peradilan, kiranya anak tetap harus mendapat perlindungan. Bagaimana bentuk perlindungan serta apa faktor yang menjadi penghambat upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai penyalahguna narkotika dalam sistem peradilan pidana, menjadi pertanyaan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Metode yang digunakan yakni metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai penyalahguna narkotika di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta berbagai peraturan perundang-undangan teknis lainnya yang berkaitan tentang anak sebagai penyalahguna narkotika. Upaya perlindungan pada anak sebagai penyalahguna narkotika, dilakukan melalui upaya diversi, bertujuan menghindarkan anak dari proses peradilan pidana formal ke peradilan pidana non formal. Perlindungan lainnya dengan pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi terhadap anak penyalahguna narkotika. Faktor penghambat, pertama, kurangnya pemahaman dari aparat penegak hukum, kedua, kurangnya pemahaman masyarakat dan ketiga, kurangnya fasilitas khususnya di daerah-daerah terpencil di Indonesia.In the Indonesian juvenile justice system, children of drug abusers undergo trial. As a vulnerable person in the criminal justice system, then despite the judicial process, presumably the child should still be protected. How the form of protection as well as what factors are inhibiting legal protection of the child as a narcotics abuser in the criminal justice system, the question that will be discussed in this study. The method used is normative juridical research method, that is research on secondary data. The legal protection to the children of narcotics abusers in Indonesia is regulated in the Act No. 11 of the Year 2012 on Juvenile Justice System, the Act No. 35 of 2009 on Narcotics, and the Act No. 17 of the Year 2016 on Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2016 on the Second Amendment to the act No. 23 of 2002 on Protection of Children, as well as other technical regulations relating to narcotics abuser children. Protection efforts on children of drug abusers are carried out through surveillance, prevention, treatment, and rehabilitation. Diversion efforts, aim to prevent children from formal juvenile justice processes to non-formal juvenile justice. Factors inhibiting the legal protection of drug abuser children are, firstly, the lack of understanding of the law enforcement from the officers; secondly, the lack of understanding of the community; thirdly, the lack of facilities, especially in remote areas of Indonesia.
Pemenuhan Hak Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Andi Jefri Ardin; Beniharmoni Harefa
Jurnal Suara Hukum Vol. 3 No. 1 (2021)
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/jsh.v3n1.p174-196

Abstract

One of the most important in human trafficking is the handling of victims. By normative research methods, it discusses the fulfillment of the rights of children who are vulnerable to becoming victims. There are two legal instruments in handling child as victims, there are Law Number 21 of 2007 and Law Number 35 of 2014. Based on the research, the Law Number 21 of 2007 more fulfilling than Law Number 35 of 2014. Government Regulation Number 43 of 2017 as implementing regulations for Law Number 35 of 2014 is not much different in substance from Law Number 21 of 2007. The application of the principle of the right to life and development of children also implies the state's obligation to ensure that children must have all the necessary access like social services, physical and mental health services and education.  Law Number 21 of 2007 nor Law Number 35 of 2014, not fulfilled these principles, for example regarding the education of child as victims. The law enforcement officials must pay attention to the Law Number 8 of 2010, to ensure that the defendant through confiscation of assets can fulfill the restitution for the victims during the investigation process.
Peran Lembaga Perlindungan Anak Mengadvokasi Anak Pelaku Tindak Pidana Beniharmoni Harefa; Lieni Eprencia Bunga Sitompul
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 2 No 2 (2021): Jurnal Mahupiki Oktober 2021
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.794 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v2i2.54

Abstract

Perlindungan anak di Indonesia dilakukan oleh keluarga, negara, masyarakat, serta lembaga-lembaga perlindungan anak di Indonesia. Instrumen pokok dalam perlindungan anak ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan tersebut diwujudkan dengan dibentuknya Lembaga Perlindungan Anak. Dalam pelaksanaannya terdapat kendala dan membutuhkan upaya pengoptimalan lembaga perlindungan anak agar perlindungan anak berjalan dengan efektif. Lembaga perlindungan anak di Indonesia memiliki beberapa kendala dalam melaksanakan tugas perlindungan terhadap anak. Diantaranya keberadaan lembaga perlindungan anak yang belum merata di seluruh daerah di Indonesia, kemudian pemahaman dan partisipasi masyarakat yang kurang terhadap perlindungan anak di Indonesia, dan lainnya yang akan dijelaskan lebih lanjut. Optimalisasi lembaga perlindungan anak di Indonesia dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan dengan negara yang memiliki perlindungan anak terbaik di dunia dengan melihat metode perlindungan anak yang digunakan. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan.
DISPARITAS PIDANA TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Mita Nurasiah; Beniharmoni Harefa; Riki Perdana Raya Waruwu
Jurnal Esensi Hukum Vol 4 No 1 (2022): Juni - Jurnal Esensi Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/esh.v4i1.155

Abstract

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengumumkan laporan terbaru penindakan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2017 sampai 2021 yang mencapai lebih dari 200 (dua ratus) kasus korupsi. Melihat peningkatan yang signifikan perlu upaya pemberantasan korupsi yang serius, tidak hanya dengan penindakan investigasi dan perbaikan perundangan-undangan melainkan juga melalui pendekatan restorative dengan anjuran tangan pelaku yang bekerjasama sebagai kolaborator hukum. Problematika lainnya dalam penindakan perkara korupsi ialah belum adanya pedoman pemidanaan bagi Justice Collaborator sehingga membuka kemungkinan adanya Disparitas Pemidanaan, misalnya dalam perkara pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL terdakwa dijatuhi pidana uang pengganti atas keuntungan yang diterima, sementara dalam kasus penyuapan pegawai pajak atas penerimaan restitusi PT WAE, terdakwa tidak dijatuhi pidana uang pengganti meskipun terdakwa juga menerima keuntungan. penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu metode penelitian dengan melakukan analisa data pustaka menggunakan bahan hukum primair maupun sekunder. Adapun pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini ialah dengan pendekatan perundangan- undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor penyebab disparitas pidana terhadap Justice Collaborator salah satunya ialah belum adanya pedoman pemidanaan yang mengatur secara keseluruhan mengenai dasar pemidanaan dan perlindungan bagi Justice Collaborator. Untuk itu perlu adanya perumusan pedoman pemidanaan untuk memperkecil kemungkinan disparitas pemidanaan sehingga pemenuhan reward atau penghargaan bagi Justice Collaborator dapat dipenuhi tanpa menimbulkan korban ketidakadilan.Kata kunci: Disparitas; Justice Collaborator; Korupsi
Urgensi Pengaturan Child Grooming dalam Sistem Hukum di Indonesia Kinanti Alysha Putri Haryanto; Beniharmoni Harefa
Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Vol 11 No 2 (2022): (July-December)
Publisher : Jurusan Hukum Tatanegara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/ad.vi.32250

Abstract

Child grooming is a legal issue that has negative consequences for children, especially which in a victimized position. However, there are no regulations in Indonesia that specifically regulate these legal issues. Even while there are positive laws that can be used as a basis for criminalizing groomers, it turns out that law enforcement still faces a number of obstacles. In this case, a normative juridical methodology based on a statute approach, a case approach, a literature approach, a conceptual approach, and a comparison approach was used to conduct the research. Based on research studies, data collection is carried out. This research demonstrates that there are still obstacles to Indonesian child grooming legislation enforcement, which are quite often related to the evidence process. Alternative regulations against child grooming as stated regarding the positive laws above, such as ITE Law, Child Protection Law, and Pornography Law have gaps that have been found to lead to other issues, such as disparities in punishment. The TPKS Law and the Indonesian Criminal Code Bill could be other options that may one day be considered in cases involving child grooming. It ought to be striving for special regulations against child grooming. In such cases, it would appear that it would be preferable if they were made into technical regulations in the form of government regulations with proof and criminal sanctions that were more maximized. Keywords: Child Grooming; Regulations; Law Enforcement
Pemberian Restitusi Sebagai Pelaksanaan Diversi Pada Perkara Pidana Anak Putri Tamara Amardhotillah; Beniharmoni Harefa
Jurnal Ius Constituendum Vol 8, No 1 (2023): FEBRUARY
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v8i1.6238

Abstract

 This study aims to determine the implementation of restitution for diversion and the obstacles in seeking diversion at the three levels of the criminal justice process, investigation, prosecution, and examination in court. Restitution is a supporting factor in the success of the diversion process at different levels based on Government Regulation 43 of 2017 concerning the Implementation of Restitution for Children who are Victims of Criminal Acts. Children are supposed to be protected by the country, so this research is essential to ensure implementation of diversion should be prioritized in solving juvenile cases. This study used a normative juridical approach and had a novelty value because it examines the granting of restitution for diversion. From this research, restitution could be a way to get diversion and understand the obstacles in achieving it, such as economic constraints, unwilling parties to carry out diversion, and the limitations in several laws and regulations related to the implementation of diversion.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan restitusi sebagai langkah pelaksanaan diversi pada perkara pidana anak sehingga dapat mengetahui bagaimana dan apa saja kendala dalam pengupayaan diversi di tiga tahap penyelesaian perkara pidana yakni pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Restitusi menjadi hal penunjang dalam keberhasilan proses diversi di berbagai tahapan, hal ini berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana. Penelitian ini penting dilakukan karena anak adalah orang yang dilindungi oleh negara dan agar pelaksanaan diversi menjadi hal yang diutamakan pada penyelesaian perkara anak. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini memiliki nilai kebaruan karena mengkaji pemberian restitusi dalam pelaksanaan diversi. Dari penelitian ini maka dapat diketahui bahwa restitusi dapat menjadi sarana dalam keberhasilan diversi dan untuk mengetahui kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan diversi seperti kendala ekonomi, ketidakmauan para pihak untuk melaksanakan diversi, hingga kendala yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait pelaksanaan diversi.  
Penentuan Status Korban Pemerkosaan Guna Melakukan Aborsi Pasca Pengesahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tsabitha Afnan Putri Wahyudhi; Beniharmoni Harefa
JURNAL MERCATORIA Vol. 16 No. 1 (2023): JURNAL MERCATORIA JUNI
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31289/mercatoria.v16i1.9439

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mencari penentuan kapan seseorang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan seksual penyebab kehamilan dalam konteks korban menginginkan prosedur aborsi sesuai ketentuan Pasal 463 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023. Penentuan ini ditetapkan agar janin tidak melewati batas waktu umur 14 minggu. Masalah difokuskan pada seharusnya penentuan kapan seseorang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan seksual penyebab kehamilan dalam konteks korban menginginkan prosedur aborsi sesuai ketentuan Pasal 463 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 di masa mendatang. Guna mendekati masalah ini dipergunakan acuan teori keadilan hukum dari John Rawles dan Aristoteles. Data-data dikumpulkan melalui cara kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif.  Kajian ini menyimpulkan bahwa pihak yang berwenang menentukan kapan seseorang dapat melakukan aborsi legal adalah penyidik dan penentuan status sebagai korban pemerkosaan adalah saat penyidikan. Hal ini disimpulkan berasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual dan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 6 tahun 2019 berisi tentang Penyidikan Tindak Pidana.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA Beniharmoni Harefa
Perspektif Vol. 22 No. 3 (2017): Edisi September
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v22i3.647

Abstract

Dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia, anak sebagai penyalahguna narkotika, menjalani proses peradilan pidana. Sebagai pihak yang rentan dalam proses peradilan pidana, maka meski menjalani proses peradilan, kiranya anak tetap harus mendapat perlindungan. Bagaimana bentuk perlindungan serta apa faktor yang menjadi penghambat upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai penyalahguna narkotika dalam sistem peradilan pidana, menjadi pertanyaan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Metode yang digunakan yakni metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai penyalahguna narkotika di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta berbagai peraturan perundang-undangan teknis lainnya yang berkaitan tentang anak sebagai penyalahguna narkotika. Upaya perlindungan pada anak sebagai penyalahguna narkotika, dilakukan melalui upaya diversi, bertujuan menghindarkan anak dari proses peradilan pidana formal ke peradilan pidana non formal. Perlindungan lainnya dengan pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi terhadap anak penyalahguna narkotika. Faktor penghambat, pertama, kurangnya pemahaman dari aparat penegak hukum, kedua, kurangnya pemahaman masyarakat dan ketiga, kurangnya fasilitas khususnya di daerah-daerah terpencil di Indonesia.In the Indonesian juvenile justice system, children of drug abusers undergo trial. As a vulnerable person in the criminal justice system, then despite the judicial process, presumably the child should still be protected. How the form of protection as well as what factors are inhibiting legal protection of the child as a narcotics abuser in the criminal justice system, the question that will be discussed in this study. The method used is normative juridical research method, that is research on secondary data. The legal protection to the children of narcotics abusers in Indonesia is regulated in the Act No. 11 of the Year 2012 on Juvenile Justice System, the Act No. 35 of 2009 on Narcotics, and the Act No. 17 of the Year 2016 on Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2016 on the Second Amendment to the act No. 23 of 2002 on Protection of Children, as well as other technical regulations relating to narcotics abuser children. Protection efforts on children of drug abusers are carried out through surveillance, prevention, treatment, and rehabilitation. Diversion efforts, aim to prevent children from formal juvenile justice processes to non-formal juvenile justice. Factors inhibiting the legal protection of drug abuser children are, firstly, the lack of understanding of the law enforcement from the officers; secondly, the lack of understanding of the community; thirdly, the lack of facilities, especially in remote areas of Indonesia.
The article Optimalisasi Peran Balai Pemasyarakatan dalam Pelaksanaan Pembinaan terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana yang Dibebaskan Dimasa Pandemi Covid 19 Yohana Damayanti Br Kaban; Beniharmoni Harefa
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (166.933 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v6i1.1991

Abstract

Abstract During the Covid-19 pandemic, the government through the Ministry of Law and Human Rights reviewed the policy through Permenkumham No 10 in 2020 regarding the release of assimilation and the executive order making the child the perpetrator of this crime many were released. This makes bapas must improve the implementation of the development of the freed child. The problem in this study is how to optimize BAPAS in the implementation of child development as the perpetrator of crimes that are released because of Covid-19 and the obstacles faced by bapas in the implementation of the construction. The purpose of this study is to know how to optimize BAPAS in the development of children as perpetrators of crimes that are released because of Covid-19 and know the obstacles faced by bapas in the implementation of the construction of children as perpetrators of the crime struck. The research method used is normative juridical using secondary data obtained through literature studies such as scientific books, journals, laws. Key words : Correctional Center; Child; Covid-19 Abstrak Dimasa pandemi Covid-19, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan melalui Permenkumham No. 10 tahun 2020 terkait pembebasan dan asimilasi membuat anak sebagai pelaku tindak pidana ini banyak yang dibebaskan. Hal tersebut membuat pihak Balai Pemasyarakatan harus meningkatkan pelaksanaan pembinaan terhadap anak yang dibebaskan tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana optimalisasi Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan anak sebagai pelaku tindak pidana yang dibebaskan karena Covid-19 dan kendala yang dihadapi pihak Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana optimalisasi Balai Pemasyarakatan dalam pelaksaan pembinaan anak sebagai pelaku tindak pidana yang dibebaskan karena Covid-19 dan mengetahui kendala-kendala yang dihadapi pihak Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang dibebaskan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan seperti buku-buku ilmiah, jurnal, undang-undang. Kata kunci: Balai Pemasyarakatan; Anak; Covid-19