Evy Ervianti
Departement Of Dermatology And Venereology, Faculty Of Medicine Universitas Airlangga/Dr. Soetomo General Academic Hospital, Universitas Airlangga Teaching Hospital, Surabaya

Published : 60 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Kadar Hormon 17α-Hydroxyprogesterone (17-Ohp) Serum pada Pasien Pria dengan Akne Vulgaris Sedang-Berat dan Tanpa Akne Vulgaris Ellenita Soebakti; M. Yulianto Listiawan; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 1 (2018): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (603.631 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.1.2018.10-17

Abstract

Latar Belakang: Akne vulgaris (AV) adalah penyakit kulit kronis pada unit pilosebaceous. Kelebihan androgen dapat menimbulkan akne dengan cara menginduksi kelenjar sebum. AV pada pria mungkin satu-satunya tanda adanya kelebihan androgen. Tujuan: Mengevaluasi kadar 17-OHP serum pada pasien pria AV sedang-berat dan pria tanpa AV di URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Metode: Sebuah studi kasus kontrol observasional analitik termasuk 15 kasus AV dan 15 kontrol dari klinik Kulit dan Kelamin rawat jalan rumah sakit Dr.Soetomo, berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil: Rerata 17-OHP pada kelompok AV adalah 1.58 ±0,25 ng/mL dan pada kelompok kontrol adalah 0,98 ±0,15 ng/mL. Dengan nilai P adalah P = 0,0001 (P <0,05) Kesimpulan: Kadar serum 17-OHP pada kelompok AV signifikan lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menyingkirkan faktor perancu untuk mengetahui lebih peran hormonal dalam patogenesis AV.
Studi Retrospektif: Karakteristik Dermatofitosis Dyatiara Devy Rahadiyanti; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 1 (2018): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (430.141 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.1.2018.66-72

Abstract

Latar Belakang: Dermatofitosis merupakan salah satu penyakit mikosis superfisialis akibat jamur yang menginvasi jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum epidermis, rambut, dan kuku. Seringkali disebut tinea dan diklasifikasikan menurut bagian tubuh yang terkena. Tujuan: Mengevaluasi gambaran penyakit dermatofitosis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2014 sampai 2016. Metode: Penelitian retrospektif dengan mengevaluasi data rekam medis elektronik Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode Januari 2014 – Desember 2016.  Hasil: Jumlah kunjungan pasien baru dermatofitosis mengalami peningkatan, yaitu 71,9% dari seluruh pasien yang datang ke divisi Mikologi dibandingkan penelitian retrospektif sebelumnya. Tinea korporis merupakan diagnosis terbanyak yakni sebesar 56,1%. Sebagian besar pasien adalah wanita. Usia terbanyak yang ditemukan sedikit bervariasi yakni 45-64 tahun pada tahun 2014 dan 25-44 tahun pada tahun 2015 dan 2016.  Keluhan utama terbanyak adalah gatal dan bercak kemerahan. Pemeriksaan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10% merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan   pada seluruh pasien dermatofitosis. Sebanyak 51,2% kasus dermatofitosis yang ditemukan disebabkan oleh spesies Trichophyton mentagrophytes. Pengobatan terbanyak dengan griseofulvin. Simpulan: Terdapat peningkatan jumlah pasien dermatofitosis. Usia terbanyak yang terinfeksi adalah kelompok usia produktif, karena pada kelompok usia ini terjadi peningkatan dari aktivitas fisik dan memiliki kecenderungan untuk banyak berkeringat dan lembab.
Secondary Syphilis in Human Immunodeficiency Virus (HIV)-Infected Men Who Have Sex with Men (MSM): A Case Report Ade Fernandes; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 32 No. 1 (2020): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V32.1.2020.75-84

Abstract

Background: Recently, the incidence of syphilis among men who have sex with men (MSM) has increased rapidly, especially among Human Immunodeficiency Virus (HIV)-infected MSM. Coinfection with these two organisms alter the symptoms and signs, progression of the disease, and the risk of progressing to the tertiary stage. Purpose: To report a case of secondary syphilis in HIV-infected MSM.  Case: A 24-year-old male complaint of multiple redness macule for 1-month duration on his chest, back, groin, palm, and soles. The rash was neither painful nor pruritic. He also complains of hair loss resulting "moth eaten" alopecia. One month before, he had a painless ulcer on his genital, which resolved without treatment. His HIV infection was diagnosed two years earlier. He had been sexually active with multiple homosexual partners without using a condom since 2010. The Venereal Disease Research Laboratory test (VDRL) titer was 1/32, and Treponema pallidum haemagglutination assay (TPHA) was 1/20480. Initial treatment was a single dose of 2.4 million units of benzathine penicillin. Serologic examination was reevaluated on month 1, 3, 6, and 9 after therapy and declined in the third month. Discussion: For HIV-infected persons, the clinical manifestations of syphilis in most of the cases remain the same. However, the lesions are more aggressive, and coexistence of primary and secondary syphilis is more frequent. Serologic tests are accurate and reliable for the diagnosis and for following a patient’s response to treatment. Penicillin is effective but physical and serological follow up is needed. Conclusion: HIV-infected MSM have higher risk of syphilis. Staging is needed to determine the treatment. Serologic examination should be repeated and long enough to monitor the treatment success.
Superficial Mycoses Fatma Rosida; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 29 No. 2 (2017): AGUSTUS
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.321 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V29.2.2017.117-125

Abstract

Background: Superficial mycoses were superficial fungal infections caused by fungal or yeast colonization. The prevalence of fungal infection is estimated 20-25% of the world’s population and one of the most common infection in humans. Purpose: To evaluate the profile of superficial mycoses patients. Method: A retrospective study of all new cases of superficial mycoses who visited the Mycology Division, Dermatology and Venereology Outpatient Clinic, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya from January 2011 until December 2013 (3 years). Results: The total new patients in 2011-2013 was 1.136 with the percentage 5,47% in 2011, 4,91% in 2012, and 5,90% in 2013. Men were more affected than women, and it was more common in the age group 15-24 and 25-44. Most patients complaint were itchy and most commonly used therapies were ketoconazole 200 mg and griseofulvin 125 mg orally. Conclusion: Superficial mycoses is still a common issue in Indonesia, especially in Surabaya.
Sindrom Dermatofitosis Kronis Esthy Yuliana; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 27 No. 3 (2015): BIKKK DESEMBER 2015
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (958.506 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V27.3.2015.225-231

Abstract

Latar belakang: Infeksi kulit oleh Tricophyton rubrum merupakan infeksi jamur superfisial terbanyak. Organisme ini dapat menyebabkan suatu sindrom spesifik yang mengenai pasien yang rentan dengan manifestasi yang berbeda-beda, sehingga seringkali tidak disadari oleh klinisi sebagai bagian dari suatu sindrom. Meskipun sudah dilaporkan di berbagai literatur, namun masih belum ada nomenklatur yang jelas mengenai sindrom ini. Tujuan: Membantu dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, karena kasus seringkali luput dari perhatian. Telaah kepustakaan: Bohmer dan kawan-kawan memberikan definisi sindrom dermatofitosis kronis dengan kriteria, yaitu (A) adanya lesi kulit di empat lokasi: (1) kaki, seringkali mengenai telapak kaki, (2) tangan, biasanya telapak tangan, (3) kuku, dan (4) sekurang-kurangnya satu lesi di lokasi lain dari tubuh, kecuali lipat paha; (B) hasil pemeriksaan KOH positif dari kerokan kulit di keempat lokasi; (C) identifikasi T. rubrum dari kultur sel di setidaknya tiga dari empat lokasi. Diagnosis ditegakkan bila memenuhi kriteria (A) and (B) and (C). Sindrom ini seringkali gagal dengan pengobatan konvensional dan kambuh kembali setelah pengobatan dihentikan. Obat antijamur pilihan yang paling tepat adalah itraconazole dan terbinafine. Simpulan: Dalam menegakkan diagnosis, manifestasi klinis harus dikonfirmasi oleh pemeriksaan mikroskopik (KOH) dan kultur, untuk menentukan ada tidaknya jamur spesies tertentu.
Metal Patch Testing with Nickel, Chromium, and Cobalt in Atopic Dermatitis Patients Yuri Widia; Evy Ervianti; Marsudi Hutomo
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 29 No. 3 (2017): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.889 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V29.3.2017.243-252

Abstract

Background: Atopic dermatitis (AD) is a cutaneous inflammation characterized by skin hyperreactivity due to complex interplay between genetic susceptibility and environmental allergens. In AD, recurrences are frequent and cause problems. Although elevation of total immunoglobulin E (IgE) level; and positive specific IgE to environmental allergens and food are found in most cases, some AD patients with normal IgE level still recurred and raised the possibility of other factors as a trigger. Datas from some studies showed high frequency of positive results in metal patch testing and improvement in AD after allergen  elimination and low metals diet. Based on these studies, metal is considered as a trigger of reccurrences in AD. Nickel, chromium and cobalt are the primary metals that gives high frequency of positive patch test results in patients with intrinsic AD. Purpose: To evaluate metal patch testing results with nickel, chromium and cobalt in atopic dermatitis patients at Dermatology and Venereology Outpatient Clinic Dr. Soetomo General Hospital Surabaya. Methods: This study was observational cross-sectional descriptive study of patch testing to nickel, chromium, and cobalt at 23 AD patients who met the inclusion and exclusion criteria. Results: Patch testing to nickel sulphate metal gave positive result in 17.39% patients, potassium dichromate 8.7%, and cobalt chloride 4.35%. Four people (17.39%) showed positive patch test results; 3 people (13.04%) showed the value of the normal serum total IgE and 1 (4.35%) showed an increasing total serum IgE level. Conclusions: Metal patch testing against AD can be considered in AD patients with normal IgE values.
Faktor Risiko Kandidiasis Vulvovaginalis (KVV) Dewi Puspitorini; Linda Astari; Yuri Widya; Sylvia Anggraeni; Evy Ervianti; Cita Rosita Sigit Prakoeswa; Sunarso Suyoso
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 3 (2018): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (448.151 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V30.3.2018.193-200

Abstract

Latar Belakang: Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) merupakan penyakit inflamasi vulva dan vagina yang disebabkan oleh spesies Candida. Penyakit ini menyerang hampir tiga per empat wanita usia subur. Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit ini. Penanganan yang baik terhadap faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kejadian KVV. Tujuan: Mengevaluasi faktor-faktor yang memengaruhi KVV. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif cross-sectional untuk mengamati faktor-faktor predisposisi KVV pada 12 April 2017 hingga 11 Juli 2017 di Unit Rawat Jalan RSUD Dr Soetomo Surabaya. Hasil: Didapatkan 25 pasien KVV dengan distribusi usia terbanyak adalah usia 15-24 tahun, lama keluhan terbanyak adalah 1-9 bulan, riwayat predisposisinya antara lain diabetes melitus, kondisi penurunan sistem imun, dan yang terbanyak adalah pemakai douching vagina. Hasil pemeriksaan klinis didapatkan semua pasien dengan vulva dan vagina eritema dan edema. Hasil pemeriksaan sediaan basah didapatkan blastospora positif dengan pseudohifa negatif sebesar 20%, blastospora positif dengan pseudohifa positif sebesar 48%, blastospora negatif dengan pseudohifa negatif sebesar 32%, dan tidak didapatkan blastospora negatif dengan pseudohifa positif. Pemeriksaan mikroskopis pengecatan Gram didapatkan blastospora positif dengan pseudohifa negatif sebesar 16%, blastospora negatif dengan pseudohifa positif sebesar 4%, blastoposra positif dengan pseudohifa positif sebesar 52%, dan blastospora negatif dengan pseudohifa negatif sebesar 28%. Didapatkan 100% sampel tumbuh koloni pada media Saboroud Dextrose Agar (SDA). Simpulan: KVV disebabkan oleh spesies Candida, yang tumbuh 100% pada media SDA. Terdapat faktor-faktor predisposisi yang sangat berpengaruh terhadap kejadian KVV.
Management of Eumycetoma Tjokorde Istri Nyndia Vaniari; Sunarso Suyoso; Linda Astari; Yuri Widia; Sylvia Anggraeni; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 32 No. 3 (2020): DECEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V32.3.2020.232-238

Abstract

Background: Mycetoma is a chronic inflammatory disease of the skin that can extend to the fascia, tendons, muscles, and bones. Caused by a bacterium called actinomycetoma and a fungus called eumycetoma are responsible for mycetoma, both of which must be distinguished because they require different medical therapy. Eumycetoma is a localized disease, chronic, and growing slowly. Most of eumycetoma patients had delays in seeking medical care. Purpose: To provide an overview and discuss various aspects of eumycetoma, including its epidemiology, etiology, pathogenesis, classification, clinical picture, diagnosis, differential diagnosis, and therapy. Review: Eumycetoma infection begins as infectious agents enter through the skin with a minor trauma caused by objects contaminated with fungi, forming granular or granulomatous lesions with tract and sinus in there. The infection can spread from the site of inoculation into the muscles and bones. The diagnosis is based on anamnesis (chronic and painless), the triad of tumefaction, draining sinuses and grains, and laboratory investigation. It’s a difficult case, often recur and difficult to be surgical excisison, so that the best first option therapy is the combination of itraconazole and terbinafine itself as an alternative to surgical therapy at least 6 months. Conclusion: Eumycetoma is an infection caused by a fungus with granulomatous lesions with sinus formation and grains in it. The best first option therapy is the combination of itraconazole and terbinafine although it’s still an early case.
Hubungan Kadar Antioksidan Superoxide Dismutase (SOD) dengan Indeks Bakterial (IB) pada Pasien Kusta Baru Tipe Multibasiler (MB) tanpa Reaksi Maria Ulfa Sheilaadji; M. Yulianto Listiawan; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 3 (2019): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (412.176 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V31.3.2019.100-109

Abstract

Latar Belakang: Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M. leprae).  Tubuh memiliki beberapa mekanisme pertahanan untuk menghadapi infeksi bakteri M. leprae, diantaranya melalui scavenging dari radikal bebas, antioksidan enzimatik merupakan garis pertahanan pertama melawan reactive oxygen species (ROS). Superoxide dismutase (SOD) adalah salah satu enzim antioksidan utama yang menangkal radikal bebas. Terdapat perburukan status antioksidan pada pasien kusta yang berkorelasi dengan indeks bakterial (IB) dan spektrum kusta. Tujuan:  Mengevaluasi hubungan antara kadar SOD dengan IB pada pasien kusta baru tipe multibasiler (MB) tanpa reaksi. Metode: Penelitian ini merupakan rancangan penelitian analitik observasional potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar SOD dengan IB pada pasien kusta baru tipe MB tanpa reaksi. Hasil: Rerata kadar SOD pada semua pasien 86,02±17,89. Kadar SOD pada IB negatif lebih rendah dibandingkan kadar SOD pada IB +1 sampai +3. Kadar SOD tertinggi didapatkan pada IB +1, dengan median IB 0 = 82,20, IB +1 = 92,10, IB +2 = 85,75 dan IB +3 = 82,94. Hasil uji korelasi menunjukkan tingginya kadar SOD tidak disertai dengan rendahnya nilai IB sehingga tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar SOD dengan berbagai nilai IB dengan p = 0,909 (p>0,05) r= -0,022. Simpulan: Hasil uji korelasi menunjukkan tingginya kadar SOD tidak disertai dengan rendahnya nilai IB dan penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar SOD dengan nilai IB.
Retrospective Study: Malassezia Folliculitis Profile Putri Intan Primasari; Evy Ervianti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 32 No. 1 (2020): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V32.1.2020.48-54

Abstract

Background: Malassezia folliculitis (MF) is a chronic infectious disease of pilosebaceous follicles caused by Malassezia sp. Clinical features of MF include erythematous papules and itchy perifollicular pustules, especially on the upper body, neck, upper arms, and face. The disease is usually reported on adolescents. Objective: To evaluate the profile of MF patients in four years (2014-2017) period in the Mycology Division of  Dermatovenerology Outpatient Clinic of Dr. Soetomo General Academic Hospital Surabaya. Methods: This study was a retrospective study to examine the medical records of MF patients in the Mycology Division of Dermatovenerology Outpatient Clinic General Academic Hospital Dr. Soetomo Surabaya from January 2014 to December 2017. Results: The number of new MF patient visits during 2014-2017 was 196 patients, and the average annual visit was 55 patients in 2014, 49 patients in 2015, 65 patients in 2016, and 27 patients in 2017. The majority of patients were males, were aged 15-24 years old. The chief complaint was reddish papules accompanied by moderate itching in the predilection area and most often found in the upper body. The Wood's lamp examination revealed greenish-yellow color, and 20% KOH examination showed spores. Most systemic therapies was ketoconazole and tretinoin 0.05% cream for topical therapy. Conclusions: There  was  a decrease in the number of MF patients. The diagnoses of MF were based on history taking, physical examination, 20% KOH, and Wood's lamp.
Co-Authors Addia Salsabila Ade Fernandes Ade Fernandes Afif Nurul Hidayati Afif Nurul Hidayati, Afif Nurul Ahmad, Zahruddin Alphania Rahniayu Amanda Gracia Manuputty Amira Suryani Rahmatika Amira Suryani Rahmatika Anang Endaryanto Anggraeni, Sylvia Arthur Pohan Kawilarang Astindari Astindari Astindari Astindari Astindari, Astindari Axelia, Presstisa Gifta Azzahra, Safira Bagus Bagus Bagus Haryo Kusumaputra Bagus Haryo Kusumaputra, Bagus Haryo Bagus Meurah Suropati Bernadya Yogatri Anjuwita Budi Prasetyo Budi Utomo BUDI UTOMO Budi Utomo Budiono Budiono Budiono Budiono budirahmadina, nurvania aurellia Chesia Christiani Liuwan Cindy Fransisca, Cindy Cita Rosita Sigit Prakoeswa Damayanti Damayanti Damayanti Damayanti Damayanti Damayanti Damayanti Damayanti Damayanti Damayanti Damayanti David Sontani Perdanakusuma Dewi Puspitorini Diah Mira Indramaya Diah Nugrahaeni Diah Nugrahaeni, Diah Dr. Rebekah J. Setiabudi Dwi Murtiastutik Dwi Nurwulan Pravitasari Dyatiara Devy Rahadiyanti Dyatiara Devy Rahadiyanti Eko Budi Koendhori, Eko Budi Ellenita Soebakti Endang Wahyu Fitriani Esthy Yuliana Esti Hendradi Fadila, Arisia Farhat Surya Ningrat Fatma Rosida Frizka Eliza Geani, Silvani Hadiwidjaja, Farsha Naufal Hamidah Luthfidyaningrum Hans Lumintang Hans Lumintang, Hans Harith Ali Al-Taie Harningtyas, Citra Dwi Hasnikmah Mappamasing I Gusti Ayu Agung Elis Indira I Gusti Nyoman Darmaputra Indah Purnamasari Indah Purnamasari Indiarsa Arief L Indiarsa Arief L, Indiarsa Arief INDROPO AGUSNI Intan Primasari Irmadita Citrashanty Irmadita Citrashanty Irmadita Citrashanty, Irmadita Iskandar Zulkarnain Iskandar Zulkarnain Kathrin Kezia Henry Kurniati Kurniati Linda Astari, Linda Lunni Gayatri Lunni Gayatri, Lunni M. Kharis Khamdan M. Yulianto Listiawan Made Putri Hendaria ManikRetno Wahyunitisari Mappamasing, Hasnikmah Maria Ulfa Sheilaadji Marsudi Hutomo Maylita Sari Maylita Sari Maylita Sari, Maylita Medhi Denisa Alinda, Medhi Denisa Menul Ayu Umborowati, Menul Ayu Mikiyas Gifawosen Teferi Nadya Kelfinta Hanani Ngesti Kumalasari, Diah Nugroho, Wisnu Triadi Nur Khamidah Nurul Wiqoyah, Nurul Nyoman Suryawati Pepy D. Endraswari Pepy Dwi Endraswari, Pepy Dwi perdanakusuma , david sontani Pinem, Veronica Abebia Beginanta Pramitha, Riezky Januar Pratiwi, Karina Dyahtantri Priangga Adi Wiratama Puspowati, Erindah Rahmadewi Rahmadewi Rahmadewi Rebekah Setiabudi, Rebekah Regitta Indira Agusni Retha Retha Rubianti, Marissa Astari saputra, iswinarno doso Sari, Desiana Widityaning Sawitri Sawitri Sawitri Sawitri Sawitri Sawitri Sawitri Selvia Yuliani Dwi Ratih Sanggarwati Septiana Widyantari Septiana Widyantari Shakti Indraprasta Sheilaadji, Maria Ulfa Sulaksanaswastho Suyoso Sunarso Suyoso Sunarso Suyoso Sunarso Suyoso Sunarso Suyoso, Sunarso Sunarto, Olivia Awwalin Tanojo, Natalia Tengku Riza Zarzani N Tessa Thendria Tjokorde Istri Nyndia Vaniari Trisiswati Indranarum Trisniartami Setyaningrum Wardatun Faizah Wardiana, Maya Wisnu Triadi Nugroho Yoana Fransiska Wahyuning Christi Yuindartanto, Andre Yuri Widia, Yuri Yuri Widya Yusuf Wibisono