Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search
Journal : Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni

Evaluasi Program Pilar Karakter dalam Meningkatkan Respect pada Siswa SD X di Depok Widiasih, Triani Widiasih; Sahrani, Riana; Tumanggor, Raja Oloan
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 1 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i1.348

Abstract

Program pilar karakter merupakan character building yang dilaksanakan di SD X bertujuan membentuk karakter baik pada siswa. Program ini mengacu pada 9 pilar karakter. Pengembangan karakter berasal dari muatan moral individu. Salah satu dasar moralitas yang utama dan berlaku secara universal adalah sikap respect. Dalam program pilar karakter, sikap respect merupakan salah satu sikap yang diaplikasikan di kegiatan program. Sikap respect tersebut belum muncul secara konsisten pada seluruh siswa yang telah mengikuti program pilar karakter. Penelitian bertujuan untuk memberikan gambaran evaluasi program pilar karakter dalam meningkatkan respect pada siswa SD X. Jenis penelitian yang digunakan evaluation research dengan model evaluasi Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Empat level tersebut yaitu level reaction, learning, behavior, dan result. Subyek penelitian diambil dengan purposive sampling sebanyak 4 dari 75 siswa berdasarkan skor tertinggi dari kuesioner respect  yang telah diadaptasi. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara. Observasi dilakukan pada kegiatan belajar di sekolah, focus group discussion (FGD) dan simulasi. Teknik wawancara berdasarkan teori respect terhadap 4 subyek serta guru, kepala sekolah dan orangtua sebagai triangulasi data. Hasil penelitian menunjukkan program pilar karakter dapat meningkatkan kekonsistenan respect siswa SD X. Sikap respect yang semakin konsisten ditunjukkan dengan perilaku hormat dan patuh ketika berbicara kepada orang yang lebih tua, mau berkawan dengan siapa saja, dapat menggunakan bahasa yang baik untuk menyampaikan pendapat/keinginannya, suka membantu orang yang membutuhkan, menjadi pendengar yang baik, mau mematuhi dan melaksanakan perintah orangtua ataupun guru, dan dapat  menerima adanya perbedaan.Kata kunci : evaluation research, program, pilar karakter, respect, sekolah dasar
PEMAHAMAN WELL-BEING DARI PERSPEKTIF FILSAFAT Tumanggor, Raja Oloan
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 1 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i1.1628

Abstract

Studi ini menganalisa filsafat ‘keadaan baik’ (well-being) yang tertuang dalam berbagai macam teori, seperti teori hedonisme (hedonism theory), teori pemenuhan keinginan (desire-fulfilment theory) dan teori daftar tujuan (objective-list theory). Ditinjau dari cara menjelaskan, kajian teoretis well-being dibagi dalam dua cara: pertama, teori enumeratif (enumerative theory) yang fokus pada hal-hal apa saja yang menambah well-being. Kedua, teori eksplanatoris (explanatory theory) yang bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu itu menambah well-being. Teori hedonisme dan teori daftar tujuan masuk dalam enumeratif, sedangkan teori pemenuhan keinginan masuk dalam eksplanatoris. Dengan metode studi kepustakaan (library research) dan analisis teori penulis menggarisbawahi bahwa pertama, dalam perpektif filosofis terdapat beraneka ragam teori mengenai well-being. Kedua, terdapat perbedaan konsep teoretis antara satu teori dengan teori lainnya. Ketiga, Walaupun ada perbedaan konsep antara masing-masing teori, namun dapat saling memperkaya untuk lebih memahami konsep filosofis well-being secara komprehensif.
EFEKTIVITAS PELATIHAN “STRATEGI MENGAJAR SRL” DALAM MENINGKATKAN SELF-EFFICACY DAN SRL BELIEF GURU SD X Mathilda V. Bolang, Caroline; Sahrani, Riana; Tumanggor, Raja Oloan
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i2.556

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelatihan “Strategi Mengajar SRL” dalam meningkatkan selfefficacy dan SRL belief pada guru SD X yang menggunakan pendekatan instruksional student-centered, di mana keberhasilan pelatihan dilandaskan pada prinsip teori sosial-kognitif yaitu interaksi antara individu, lingkungan dan perilaku. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2017. Partisipan penelitian terdiri dari 7 guru sekolah dasar X yang dibagi ke dalam dua kelompok yaitu 4 guru pada kelompok eksperimen dan 3 lainnya pada kelompok kontrol. Jumlah partisipan dalam kelompok eksperimen terdiri dari 3 perempuan dan 1 laki-laki, serta 3 orang perempuan pada kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental dengan pretest-posttest control group design. Instrumen pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah Teacher’s Self-Efficacy (TSE) (Schwarzer et al., 1999) dan Self-Regulated Learning Teacher’s Belief (SRLTB) (Lombaerts et al., 2009). Data dianalisis dengan teknik paired sample t test dengan kriteria statistik non parametrik one sample Kolmogorov-Smirnov. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan skor pretest dan posttest TSE dan SRLTB pada kelompok kontrol dan pada kelompok eksperimen. Berdasarkan perhitungan uji beda, didapatkan skor t=-4,382 dan p= 0,022 (p< 0,05) pada teacher’s self-efficacy kelompok eksperimen serta t=-3,820 dan p=0,032 pada SRL teacher’s belief kelompok eksperimen. Hal ini menjelaskan bahwa hipotesis penelitian diterima, artinya pelatihan “Strategi Mengajar SRL” meningkatkan self-efficacy dan SRL belief guru SD X.
HUBUNGAN EFIKASI DIRI DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA GURU KELAS DI SEKOLAH INKLUSI DI JAKARTA Tanurezal, Nathania; Tumanggor, Raja Oloan
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 2 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i2.8635.2020

Abstract

Profession as class teacher in inclusive schools is not an easy profession, especially if the teacher lacks the required competencies. Lack of competence can affect self-efficacy associated with work engagement to classroom teachers. Self-efficacy is one's belief in one's ability to complete a task or goal and to produce the desired positive effect.Meanwhile, work engagement is defined as a positive work attitude and performance that can improve overall company performance.This study aims to determine whether there is a positive relationship between self efficacy and work engagement to classroom teachers in inclusive schools. This research is a non-experimental quantitative research that tests the correlation between two variables using convenience sampling techniques. The measuring instrument used was a self-efficacy scale developed by Jerusalem and Schwarzer, and a work engagement scale developed by Schaufeli, González-Romá, and Bakker. The subjects in this study were 34 class teachers in inclusive schools in Jakarta. The results of the analysis using the Pearson correlation test have the results of r = 0.459, p = 0.006 <0.05, so it can be concluded that self efficacy has a significant positive relationship with work engagement to class teachers in inclusive schools. Then it can be said that the higher the self efficacy is, the higher the work engagement will be. Vice versa, the lower the self efficacy is, the lower the work engagement will be. Profesi guru kelas di sekolah inklusi bukanlah profesi yang mudah, terutama apabila guru kurang memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Kurangnya kompetensi dapat mempengaruhi efikasi diri yang dikaitkan dengan keterikatan kerja pada guru kelas. Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang atas kemampuan yang dimiliki oleh seseorang agar dapat menyelesaikan suatu tugas atau tujuan dan dapat menghasilkan efek positif yang diinginkan. Sementara keterikatan kerja adalah Keterikatan kerja didefinisikan sebagai sikap dan performa kerja positif yang dapat meningkatkan performa perusahaan secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan positif antara efikasi diri dengan keterikatan kerja pada guru kelas di sekolah inklusi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non eksperimental yang menguji korelasi antar dua variabel dengan menggunakan teknik convenience sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Skala Efikasi Diri yang dikembangkan oleh Jerusalem dan Schwarzer, serta Skala Keterikatan Kerja yang dikembangkan Schaufeli, González-Romá, dan Bakker. Subyek pada penelitian ini merupakan 34 orang guru kelas di sekolah inklusi di Jakarta. Hasil analisis menggunakan uji korelasi Pearson memiliki hasil r = 0.459, p = 0.006<0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa efikasi diri memiliki hubungan positif yang signifikan dengan keterikatan kerja pada guru kelas di sekolah inklusi. Maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi efikasi diri, maka akan semakin tinggi keterikatan kerja. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah efikasi diri, maka semakin rendah juga keterikatan kerja.
GAMBARAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK MENJADI MISIONARIS Laurens, Stevanie; Tumanggor, Raja Oloan
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 5, No 1 (2021): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v5i1.8634.2021

Abstract

The decision making process of becoming a missionary is not an easy task to do because it needs a lot of consideration. Every decision making processes usually need to go through several stages, it also applies in the decision making process to become a missionary. When someone live as a missionary, they might face a lot of challenges and difficulties that could even make them quit mission forever. The challenges for most missionaries include financial difficulties, desperation and feel unable to do things, or even tiredness. This research aimed to  give more information regarding the decision making process of becoming a missionary that includes all of the stages that each of them go through in their decision making process and also the factors that influence their decision making. This type of research is non experimental with quantitative research methods. Data retrieval in this study using interview techniques in depth interview. There are seven stages of participant decision making before deciding to become a missionary. The participants of this research are five Indonesian missionary who serve at several cities in Indonesia and also in another country. It is known that the study participants were most accurately informed about missionaries because they were active in serving in the church and participated in activities such as short theological schools, etc. From the result of this research, we could see that the decision making process of becoming a Christian missionary also follows the decision making steps. Proses pengambilan keputusan untuk menjadi misionaris bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena memerlukan banyak pertimbangan. Setiap proses pengambilan keputusan biasanya melalui beberapa tahapan, begitu pula dengan proses pengambilan keputusan untuk menjadi seorang misionaris. Ketika seseorang menjalani kehidupan sebagai misionaris maka mereka akan menghadapi banyak tantangan dan kesulitan yang bahkan bisa menyebabkan mereka keluar dari misi misalnya tekanan dalam hal finansial, memiliki perasaan tidak mampu, atau merasa kelelahan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran proses pengambilan keputusan yang terjadi pada orang yang menjadi misionaris meliputi seluruh tahapan yang dilalui serta faktor apa yang paling memengaruhi pengambilan keputusan tersebut sehingga dapat membantu pembaca, khususnya calon misionaris Kristen, ketika mau melakukan pengambilan keputusan yang penting. Jenis penelitian ini adalah non eksperimental dengan metode penelitian kuantitatif. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara in depth interview. Terdapat tujuh tahapan pengambilan keputusan partisipan sebelum memutuskan diri menjadi seorang misionaris. Partisipan penelitian ini terdiri dari lima orang misionaris Kristen asal Indonesia yang melayani di berbagai kota di Indonesia dan juga di luar negeri. Diketahui bahwa partisipan penelitian paling banyak mendapat informasi akurat terkait misionaris karena aktif dalam melayani di gereja dan mengikuti berbagai kegiatan seperti sekolah teologi singkat, dan lain-lain.Berdasarkan hasil penelitian, pengambilan keputusan untuk menjadi misionaris dilakukan sesuai dengan tahapan pengambilan keputusan.
GAMBARAN KESEJAHTERAAN SPIRITUAL USHER DEWASA MADYA DI GEREJA X JAKARTA Graciella Faren; Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 5, No 1 (2021): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v5i1.8979.2021

Abstract

Well-being is something that most people look for. Not only about material, well-being is essentially an achievement of harmony in life from physical, intellectual, social, mental, and also spiritual aspects. Likewise, spirituality becomes one of the supports of individuals to carry out life. Spiritual well-being is important in the lives of middle-aged individuals who have experienced many changes in their lives. These changes have a certain impact on the lives of middle-aged individuals, where middle-aged individuals will evaluate themselves more and live a better quality. This study aims to determine the description of the spiritual well-being of church servants “Church X” in Jakarta. Spiritual well-being is not only focused on the person and God, but other dimensions are related to one another. The research method used is a mixed method that combines questionnaires and interviews. The subjects of this study are the church servants in “Church X” Jakarta, amounting to 33 servants who distributed questionnaires and 3 servants to be interviewed. From the results of the study, it can be concluded that the picture of spiritual well- being of church-servants in Church X is said to be high and has positive well-being from every dimension, personal, communal, environmental and, transcendental. Kesejahteraan adalah sesuatu yang dicari oleh kebanyakan orang. Tidak hanya materi, kesejahteraan pada hakikatnya merupakan pencapaian keharmonisan dalam hidup baik dari aspek fisik, intelektual, sosial, mental maupun spiritual. Demikian pula spiritualitas menjadi salah satu penunjang individu dalam menjalani kehidupan. Kesejahteraan spiritual penting dalam kehidupan individu paruh baya yang telah mengalami banyak perubahan dalam hidup mereka. Perubahan ini memiliki dampak tertentu pada kehidupan individu paruh baya, di mana individu paruh baya akan lebih mengevaluasi diri dan menjalani kualitas yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan spiritual pelayan gereja di Jakarta. Kesejahteraan spiritual tidak hanya terfokus pada pribadi dan Tuhan, tetapi dimensi lain terkait satu dengan yang lainnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran yang menggabungkan kuesioner dan wawancara. Subjek penelitian ini adalah abdi gereja di “Gereja X” Jakarta yang berjumlah 33 orang dengan menyebarkan kuesioner dan 3 orang untuk diwawancarai. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran kesejahteraan spiritual hamba-hamba Gereja di Gereja X dikatakan tinggi dan memiliki kesejahteraan yang positif dari setiap dimensi baik personal, komunal, lingkungan dan transendental.
Evaluasi Program Community-Based Learning yang Berdampak pada Perilaku Kerjasama Siswa SMP X Depok Tina Sugiharti; Riana Sahrani; Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 1 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i1.349

Abstract

Program Community-Based Learning (CBL) merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan di SMP X Depok untuk memfasilitasi siswa dalam mengaplikasikan model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter (PHBK) di masyarakat. Kerjasama merupakan salah satu aspek karakter yang diaplikasikan dalam CBL. Perilaku kerjasama tersebut belum muncul secara konsisten pada seluruh siswa yang telah melaksanakan CBL. Oleh karena itu dilakukan penelitian evaluasi terhadap program CBL ini. Penelitian bertujuan mengevaluasi dampak program CBL pada perilaku kerjasama siswa. Partisipan adalah siswa kelas 9 yang mengikuti CBL pada tahun 2015. Empat dari 20 partisipan diperoleh secara purposive sampling berdasarkan skor tertinggi kuesioner perilaku kerjasama (Tarricone & Luca, 2002). Model evaluasi yang digunakan adalah reciprocal determinism (teori sosial kognitif) terhadap pelaksanaan CBL. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara. Teknik observasi dilakukan menggunakan daftar check list yang meliputi faktor kognitif, behavior dan environment pada setting kerja kelompok di kelas, focus group discussion (FGD), dan simulasi. Teknik wawancara menggunakan pedoman wawancara berdasarkan teori CBL terhadap terhadap 4 partisipan, serta kepala sekolah dan guru sebagai pendukung triangulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program CBL memberikan dampak terhadap peningkatan perilaku kerjasama para siswa. Peningkatan itu terjadi pada aspek semangat, kekompakan, saling menghargai, dan usaha untuk total saat mengerjakan tugas kelompok. Sementara aspek lain yaitu pelaksanaan peran dalam kelompok, sudah ada ada namun tidak meningkat karena ketidakkonsistenan dari perilaku kerjasamanya.Kata kunci: evaluasi program, community-based learning, karakter, kerjasama, Sekolah Menengah Pertama
HANS JONAS ON THE ETHICS OF TECHNOLOGY Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 2 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i2.8978.2020

Abstract

This paper highlights Hans Jonas' technological ethic. For Jonas, traditional ethics is no longer adequate because the dynamics of modern technology are increasingly sophisticated. Initially, technology only helped humans learn natural laws so that nature could be used by humans according to their needs. However, the more advanced the technology, the side effects are also out of control and cannot be controlled. Therefore, Jonas offers ethical responsibility in the context of technology. This study examines Jonas's view of how humans should behave in today's technological developments. The method used is a qualitative method by analyzing Jonas' primary writings on technology ethics, then trying to describe them descriptively and critically. First of all, a brief biography of Jonas will be presented. Then discussed step by step his thoughts on technological ethics that come from primary and secondary sources. The result is that according to Jonas, humans have to change their way of life (lifestyle) in producing, consuming and caring about the environment. By creating a sense of human responsibility can prevent future calamities. This awareness is called Jonas with the principle of future responsibility. Studi ini menyoroti etika teknologi oleh Hans Jonas. Bagi Jonas, etika tradisional tidak lagi memadai karena dinamika teknologi modern semakin canggih. Pada awalnya teknologi hanya membantu manusia mempelajari hukum-hukum alam sehingga alam dapat dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Namun, semakin canggih teknologi tersebut, efek sampingnya menjadi tidak terkendali. Oleh karena itu, Jonas menawarkan sebuah tanggung jawab etis dalam konteks teknologi. Studi ini mengkaji pandangan Jonas tentang bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam perkembangan teknologi saat ini. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menganalisis tulisan utama Jonas tentang etika teknologi, kemudian mencoba mendeskripsikannya secara mendalam dan kritis. Pertama-tama, terdapat biografi singkat Jonas. Kemudian pemikirannya tentang etika teknologi yang bersumber dari sumber primer dan sekunder dibahas selangkah demi selangkah. Hasilnya adalah, menurut Jonas, manusia harus mengubah cara hidup (gaya hidup) dalam memproduksi, mengonsumsi, dan peduli terhadap lingkungan. Dengan menciptakan rasa tanggung jawab manusia, musibah di masa depan dapat dicegah. Kesadaran ini disebut oleh Jonas sebagai prinsip tanggung jawab masa depan.
ANALISA KONSEPTUAL MODEL SPIRITUAL WELL-BEING MENURUT ELLISON DAN FISHER Raja Oloan Tumanggor
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3521

Abstract

Studi ini menganalisa lebih dekat dua model spiritual well-being (SWB) yang dikembangkan oleh Craig W. Ellison dan John W. Fisher. Dengan menggunakan metode kualitatif kepustakaan dilakukan perbandingan (komparasi) secara deskriptif antara pendekatan Ellison dan Fisher. Ellison memperkenalan model spritual well-being dengan dua dimensi, yakni religious well-being (RWB) dan existential well-being (EWB). Berdasarkan kedua dimensi itu Ellison kemudian mengembangkan alat ukur Spiritual Well-being Scale (SWBS). Sementara Fisher menampilkan model SWB dengan empat dimensi, yaitu personal, komunal, mondial dan transendental. Berangkat dari empat dimensi ini Fisher mengembangkan juga alat ukur Spiritual Well-being Questionaire (SWBQ). Ellison dan Fisher mendalami spiritual well-being bertolak dari pengalaman mereka mendampingi kehidupan spiritual jemaat yang mereka layani. Ellison memahami spiritual well-being sebagai kesejahteraan rohani yang merupakan perwujudan konkrit dari kesehatan rohani, sedangkan Fisher melihat spiritual well-being sebagai afirmasi hidup manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan. Fisher memiliki dimensi spiritual well-being lebih terperinci dari pada Ellison. Jadi perbedaan konsep dan dimensi spiritual well-being model Ellison dan Fisher berdampak kepada pembentukan alat ukur yang berbeda juga atas kedua model Ellison dan Fisher. Kendati ada perbedaan konsep dan dimensi spiritual well-being model Ellison dan Fisher, namun keduanya diperlukan untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam atas model spiritual well-being. This study analyzes more closely the two models of spiritual well-being (SWB) developed by Craig W. Ellison and John W. Fisher. By using qualitative literature method a descriptive comparison was made between the Ellison and Fisher approaches. Ellison introduced the spiritual well-being model with two dimensions, namely religious well-being (RWB) and existential well-being (EWB). Based on these two dimensions Ellison then developed the Spiritual Well-being Scale (SWBS) measurement tool. Meanwhile, Fisher explained SWB model with four dimensions, namely personal, communal, mondial and transcendental. From these four dimensions, Fisher developed the Spiritual Well-being Questionnaire (SWBQ) measurement tool. Ellison and Fisher examined spiritual well-being based on their respective experience accompanying the spiritual lives of the congregations they served. Ellison understood spiritual well-being as a concrete manifestation of spiritual health, while Fisher sees spiritual well-being as an affirmation of human life in relation to oneself, others, the environment and God. Fisher explains spiritual dimension of well-being in more detail than Ellison. Therefore, the different concepts and spiritual well-being dimensions of Ellison and Fisher's models have an impact on the formation of different measurement tools than both Ellison and Fisher's models. Despite the differences in the concepts and dimensions of the spiritual well-being models of Ellison and Fisher, both are needed to gain a deeper understanding of the spiritual well-being model.
SELF-PERCEPTION OF ACADEMIC ABILITY SISWA SMA DI MASA PANDEMIK COVID-19: FAKTOR APA YANG MEMPREDIKSI? Riska Umami Lia Sari; Raja Oloan Tumanggor; P. Tommy Y. S Suyasa
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v5i2.12096.2021

Abstract

Self-perception of academic ability is outlook that students have about their abilities in terms of learning activities or in completing school assignments. One of the reasons for the importance of self-perception of academic ability is to be a factor that can motivate students in learning activities. This study aims to determine whether self-perception of academic ability is predicted by the role of student burnout and student engagement. This study was conducted using convenience sampling on high school students during the Covid-19 Pandemic. The number of participants was 96 Tangerang City Senior High School students, aged 16 to 18 years. This study uses the School Attitude Assessment Survey-Revised to measure self-perception of academic ability, the Burnout Inventory to measure student burnout and the Utrecht Work Engagement Scale-9 to measure student engagement. Based on the test results using the multiple regression method, it was found that self-perception of academic ability was predicted significantly by student burnout (β = -0.242) and student engagement (β = 0.564). With the results of this study, it is hoped that educators can anticipate learning activities to foster student engagement. With higher student engagement, students' self-perception of academic ability will be more positive. For students, the results of this study are expected as initial information to be more aware of the burnout conditions experienced. Burnout conditions can predict students' view of academic ability to be negative. Self-perception of academic ability merupakan pandangan yang dimiliki siswa mengenai kemampuan dalam hal kegiatan belajar atau dalam menyelesaikan tugas – tugas sekolah. Salah satu alasan pentingnya self-perception of academic ability yaitu menjadi faktor yang dapat memotivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah self-perception of academic ability diprediksi oleh peran student burnout dan student engagement. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan convenience sampling pada siswa SMA di Masa Pandemik Covid-19. Jumlah partisipan sebesar 96 siswa SMA Kota Tangerang, berusia 16 hingga 18 tahun. Menggunakan alat ukur School Attitude Assessment Survey-Revised untuk mengukur self-perception of academic ability, alat ukur Maslach Burnout Inventory untuk mengukur student burnout dan untuk alat ukur Utrecht Work Engagement  Scale-9 digunakan untuk mengukur student engagement. Berdasarkan hasil uji dengan menggunakan metode regresi berganda didapatkan hasil bahwa self-perception of academic ability diprediksi secara signifikan oleh student burnout (β = -0.242) dan student engagement (β = 0.564). Dengan hasil penelitian ini diharapkan para pendidik dapat mengantisipasi dalam kegiatan belajar untuk menumbuhkan student engagement. Dengan student engagement yang semakin tinggi, self-perception of academic ability pada siswa akan semakin positif. Bagi siswa hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi awal agar lebih waspada terhadap kondisi burnout yang dialami. Kondisi burnout dapat memprediksi pandangan siswa terhadap kemampuan akademik menjadi negatif.
Co-Authors Adisya, Syaila Rania Adrian Hartanto, Adrian Agoes Dariyo Agoes Dariyo Agoes Dariyo Aisha Pramadita Kartohadiprodjo Alexander Abraham Daeng Kuma Alfyoni, Ghisanie Azahra Almira, Deniella Kesya Amalia Putri Maharani Ambarwati, Puspitasari Andrianputra, Ezra Andriyani, Adinda Angeline, Vania Annissatya, Kyantina Alifah Aprillia Wiranto, Nadya Serafin Arbi, Larasati Marutika Artha, Widya Aurora Nurul Khamila Aurora Nurul Khamila Azizah, Moulida Azzura, Chiatha Destalova BEATITUDO, EWALDUS SENARAI Bella, Catharine Bellamirno, Edward Binarta, Adeline Byanca, Zayra Alana Chairul, Nabila Chandra, Natasya Deasy Chiatha Destalova Azzura Chintia Stevani Christ Jhon Christabella, Christabella Christianto, Gabriel Enrico Darmawan, Anastasya Magdalena Putri David, Christopher Depari, Mey Emeninta Sembiring Effendie, Marsella Eka Febrianti, Eka Ellen Cheryl Hastono Ellen Cheryl Hastono Erfaryndra, Flariska Farah Nabila Nasution Farah Nabila Nasution Felycia Klaviera Mulyana Fidrian, Natasha Febriani Fransisca I.R. Dewi Fransisca Iriani Roesmala Dewi Ghaisani, Kayla Rossita Ghinarahima, Challista Najwa Ghisanie Azahra Alfyoni Gozal, Angel Vallerie Grace, Viona Graciella Faren Gracio O.E.H. Sidabutar Gumay, Fhilia Anasty Gunawan, Jessica Haryanto, Elisabet Winda Putri Hayfatunisa, Gea Helga, Patricia Heni Mularsih Hotnida Nethania Agatha Imannuela, Audrey Ismoro Reza Prima Putra Jasmine, Phenina Jose Conary Kasdim, Riska Kristy, Ellena Kurniawati, Putri Devi kusuma, shelly Lase, Ekklesia Eunike Laurens, Stevanie Leonardo Sriwongo Lianna, Amanda Lim, Viviani Lovela, Adelia Lovita Lovita, Lovita Ludgerius Maruli Nugroho Tumanggor Mahadiva, Tsaniya Maharani, Amalia Putri Marfine, Marfine MARPAUNG, DERIAN GIOVANNO Massimiliano Di Matteo Mathilda V. Bolang, Caroline Michael Levi Mulyawan Halim Muhamad Dwiki Armani Mulya, Raynata Danielle Mustopo, Michelle Patricia Nadine, Feodora Natahsya, Ananda Niziliani, Shyakia Nolanda, Carissa Ratu Nurbani, Anna P. Tommy Y. S. Suyasa Prasetyo, Victoria Alexandra Aureli Priscilia, Lidwina Putra, Fernaldo Prima Putri Hanifah, Nasywa Putri, Yohana Desia Raden Ajeng Astari Adina Warasto Raden Ajeng Astari Adina Warasto Rahmadina, Dhea Fadhila Ramadhani, Kalya Sukma Ramadita, Afsari Rayda Rachma Fatin Rayda Rachma Fatin Raynata Danielle Mulya Regent Wijaya Riana Sahrani Riana Sahrani Riska Umami Lia Sari Salma, Meysun Sanceska, Putu Basya Ratu Sanusi Uwes Sarahsanty, Davina Satria, I Gede Indra Jagat Senjani, Dita Permata Shafwah, Salsabila Sharkesyan, Sherleen Siagian, Bisuk Silvana, Silvana Silviana Silviana Suci, Anjani Rahmah Surjo, Fernando Romero Suyasa, P Tommy Y. Sumatera Suyasa, P. Tommy Y. Sumatera Tanurezal, Nathania Theresa Theresa Tiara, Farillah Tina Sugiharti Tri, M. William Tumanggor, Felicitas Adelita Permatasari Tumanggor, Ludgerius Maruli Nugroho Unian, Thaniya Vandhika, Samuel Venesia, Veronica Viani, Theresia Patria Wahyuni Wahyuni wahyuni wahyuni Widiasih, Triani Widiasih Widiyawati, Valentina Tyas Willy Tasdin Yen Ni Yonatan Hizkia Ramli Yunita Christiana Zikrina, Aliyya