This research examines the regulation and concept of capital punishment for corruption crimes in Indonesia and its relevance to criminal law reform. Through a normative juridical approach, this study analyzes Law Number 31 of 1999 as amended by Law Number 20 of 2001 concerning Eradication of Criminal Acts of Corruption, as well as Law Number 2/PNPS/1964 regarding Procedures for Implementing Capital Punishment Imposed by Courts in General and Military Jurisdictions. The existence of capital punishment for corruption crimes is regulated in Article 2 paragraph (2), which refers to special conditions, such as misuse of disaster relief funds or during economic crisis, to provide a strong deterrent effect and prevent similar actions in the future. However, the application of the death penalty for corruptors remains limited because many corruption cases do not meet these specific requirements. Criminal law reform becomes important to address weaknesses in law enforcement, including expanding the application of capital punishment for corruption perpetrators. Nevertheless, legal certainty and principles of justice must be considered in such reforms. The concept of criminal law reform also takes into account socio-political, socio-philosophical, and socio-cultural aspects, as well as relevant law enforcement policies. By considering these aspects, this research concludes that the implementation of capital punishment for corruption perpetrators needs to be strengthened through sustainable criminal law reform that addresses societal needs and upholds principles of justice. Penelitian ini membahas pengaturan dan konsep pidana mati dalam tindak pidana korupsi di Indonesia serta relevansinya dengan pembaharuan hukum pidana. Melalui pendekatan yuridis normatif, penelitian ini menganalisis Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Eksistensi pidana mati dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang mengacu pada kondisi khusus, seperti penyalahgunaan dana penanggulangan bencana atau krisis ekonomi, untuk memberikan efek jera yang kuat dan mencegah tindakan serupa di masa depan. Namun, penerapan hukuman mati terhadap koruptor masih terbatas karena banyak kasus korupsi tidak memenuhi syarat tersebut. Pembaharuan hukum pidana menjadi penting untuk mengatasi kelemahan dalam penegakan hukum, termasuk penambahan ancaman pidana mati terhadap pelaku korupsi. Namun, perlu memperhatikan kepastian hukum dan prinsip keadilan dalam pembaharuan tersebut. Konsep pembaharuan hukum pidana juga mempertimbangkan aspek sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural, serta kebijakan penegakan hukum yang relevan. Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberlakuan pidana mati terhadap pelaku korupsi perlu diperkuat melalui pembaharuan hukum pidana yang berkelanjutan dan memperhatikan kebutuhan masyarakat serta prinsip keadilan.