Claim Missing Document
Check
Articles

IMPLIKASI PENERAPAN PASAL-PASAL KARET DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA UNTUK DIRINYA SENDIRI DALAM MEMPEROLEH HAK REHABILITASI DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA TIMUR Indah Sari; Niru Anita Sinaga; Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 11, No 1 (2020): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35968/jh.v11i1.655

Abstract

Abstrak :Kejahatan Narkotika sudah menjadi kejahatan Nasional suatu Negara bahkan menyangkut kejahatan  antarnegara dan  transnegara, dengan perkembangan masif dan banyak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat mulai dari pelajar, pendidik, artis, pejabat, rakyat biasa bahkan penegak hukum sendiri juga melakukan kejahatan narkotika. Sehingga kejahatan ini sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dengan diundangkan dan berlakunya UU 35/2009, yang dilandasi semangat ramah HAM melalui dekriminalisasi penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri melalui pemberian rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU 35/2009 diharapkan tercipta kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan bagi penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri melalui pemberian rehabilitasi. Disisi lain dalam UU 35/2009 terdapat juga Pasal-Pasal Karet yaitu Pasal 111 ayat (1) dan 112 ayat (1) UU 35/2009. Permasalahan yang timbul, mengapa Pasal 111 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) dalam UU 35/2009 disebut dengan pasal-pasal karet?, dan bagaimana implikasi penerapan pasal-pasal karet dalam UU 35/2009 tersebut terhadap penyalahguna narkotika untuk dirinya sendiri dalam memperoleh Rehabilitasi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur?. Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) serta pendekatan kasus (case approach), menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Setidaknya ditemukan dua Pasal-pasal Karet dalam UU 35/2009 yaitu Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1), dan dari 748 perkara tindak Pidana Narkotika di PN Jakarta Timur dalam kurun waktu Januari s/d Desember 2018, secara acak diambil dan terpilih 10 (sepuluh) Putusan PN Jakarta Timur, tidak satupun putusannya berupa pemberian rehabilitasi terhadap Terdakwa penyalahguna narkotika untuk diri sendiri, melainkan semua putusannya berupa pemidanaan dengan pidana penjara terhadap Terdakwa. Implikasi penerapan pasal-pasal karet tersebut terhadap pemberian rehabilitasi bagi penyalahguna Narkotika Untuk Dirinya sendiri di PN Jakarta Timur adalah terjadi ketidakpastian hukum dan inkonsistensi oleh Hakim/Pengadilan dalam penerapan norma Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1) Jo. Pasal 127 UU 35/2009 tersebut, hal ini mengakibatkan hilangnya independensi dan otonomi Hakim/Pengadilan dalam memberikan Rehabilitasi bagi Penyalahguna Narkotika Untuk Dirinya sendiri tersebut, karena disyaratkan adanya Surat Permohonan Rehabilitasi dan Surat Rekomendasi Rehabilitasi yang harus diajukan sejak semula, mulai dari awal penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam SEMA 04/2010 Jo. SEMA 03/2011. Agar tidak terjadi Pasal-pasal karet dalam UU 35/2009 yaitu Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1) tersebut, Pemerintah perlu mengajukan perubahan UU 35/2009 melalui proses legislasi, atau kepada masyarakat baik perorangan ataupun kelompok masyarakat dapat mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) ke Mahkamah Konstitusi, dengan objek pengujian bahwa Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1) UU 35/2009 tersebut bertentangan dengan UUD Negara R.I. 1945, dengan meminta MK bertindak sebagai positif legislator (positieve legislator) dengan memberi tafsir baru atau berlaku bersyarat sesuai dengan tafsir MK  (constitutional conditional) atas Pasal UU 35/2009 tersebut. Kata Kunci :  UU No.35 Tahun 2009, Narkotika, Pasal Karet, Penyalahguna Narkotika Untuk Dirinya Sendiri, Rehabilitasi.
KEDUDUKAN DAN KEKUATAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM SISTEM PEMBUKTIAN BERDASARKAN HUKUM TANAH NASIONAL Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 10, No 1 (2019): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (633.648 KB) | DOI: 10.35968/jh.v10i1.407

Abstract

Abstrak :Kecenderung umum kekuatan pembuktian akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 KUH Perdata, konsekuensinya sering disamakan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Sering diabaikan bahwa rezim pengaturan akta PPAT itu sebagai akta otentik harus diselaraskan dengan hukum tanah nasional. Permasalahan yang timbul apakah akta PPAT berdasarkan hukum tanah nasional berkedudukan sebagai akta otentik? dan bagaimanakah kekuatan mengikat akta PPAT berdasarkan hukum tanah nasional? Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan menggunakan data sekunder, dengan pendekatan Undang-Undang (statute approach). Akta PPAT berdasarkan hukum tanah nasional berkedudukan sebagai akta otentik dan kekuatan mengikat akta PPAT berdasarkan hukum tanah nasional memiliki kekuatan mengikat sebagai bukti yang kuat, bukan bukti yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 KUH Perdata. Kata kunci: Akta Otentik, Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kekuatan Pembuktian.
PENGUASAAN DAN PENGHUNIAN FISIK ATAS OBJEK SEWA MENYEWA OLEH PENYEWA YANG TELAH BERAKHIR MASA SEWA MENYEWANYA SEBAGAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 152/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Brt) Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 8, No 1 (2017): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.21 KB) | DOI: 10.35968/jh.v8i1.139

Abstract

Dalam hubungan sewa menyewa rumah, penyewa tidak mengembalikan rumah objek sewa kepada pemilik rumah dalam keadaan baik dan kosong sementara jangka waktu sewa menyewa telah berakhir meskipun pemilik rumah telah memperingatkan penyewa agar segera mengosongkan dan menyerahkan objek sewa kepada pemiliknya. Permasalahan yang timbul bagaimanakah pengaturan penghunian rumah oleh bukan pemilik berdasarkan sewa menyewa di Indonesia dan apakah penguasaan fisik objek sewa menyewa oleh penyewa yang telah berakhir masa sewa menyewanya sebagai perbuatan melawan hukum?. Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan menggunakan data sekunder. Pembuktian adanya hubungan sewa menyewa dapat dibuktikan dengan adanya bukti akta otentik berupa sertipikat hak milik dan Surat dibawah tangan berupa surat somasi. Tindakan penguasaan dan penghunian fisik atas objek sewa menyewa oleh penyewa yang telah berakhir masa sewa menyewanya merupakan perbuatan melawan hukum menurut Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 152/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Brt dan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor 92/Pdt/2016/PT.DKI. Pembuktian adanya hubungan sewa menyewa rumah serta tindakan penguasaan dan penghunian fisik atas objek sewa menyewa oleh penyewa yang telah berakhir masa sewa menyewanya sebagai perbuatan melawan hukum perlu diatur secara tegas dan jelas melalui penyempurnaan PP No. 44 Tahun 1994 dalam rangka sinkronikasi dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 2011. Kata kunci : Sewa Menyewa, rumah, Masa Sewa Menyewa, Perbuatan Melawan Hukum
Comparative Study of Criminal Liability of Offenders Committing Fraud and Money Laundering Together as Continuing Actions Faedonajokho Sarumaha; Selamat Lumban Gaol; Sujono
International Journal of Science and Society Vol 5 No 1 (2023): International Journal of Science and Society (IJSOC)
Publisher : GoAcademica Research & Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54783/ijsoc.v5i1.729

Abstract

The rapid progress in all areas of life including economic, financial, trade, banking and social developments has brought certain legal implications for Indonesia. Law plays an important role in human life, legal ties connect humans with other humans and connect humans with the objects around them. This type of research is normative legal research, namely legal research conducted by examining literature or secondary data which is also known as doctrinal research. The legal research approach is the statutory approach, case approach, conceptual approach. The statutory approach by examining all laws and regulations that are related to criminal issues of additional restitution for victims of criminal acts. First Anugerah Karya Wisata (First Travel). Furthermore, in the Decision of the Makasar District Court Number 1235/Pid.B/2018/PN.MKS in the case of money laundering and embezzlement, the regulation of criminal acts of jointly committing fraud and money laundering as continuing actions in criminal law in Indonesia is regulated by Article 3 Jo. Article 4 Law Number 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of Money Laundering Crimes (UU PP-TPPU). While the laws and regulations governing criminal acts of fraud are regulated in Article 378 of the Criminal Code.
Comparative Study of Electronic Transaction Criminal Liability and Money Laundering in Binary Option Electronic Trading Transactions Diah Prasetyowati; Selamat Lumban Gaol; Sujono
International Journal of Science and Society Vol 5 No 1 (2023): International Journal of Science and Society (IJSOC)
Publisher : GoAcademica Research & Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54783/ijsoc.v5i1.730

Abstract

Industry 4.0 or the fourth industrial revolution is a general term used for the level of development of the technology industry in the world. Industry 4.0 describes the growing trend towards automation and data exchange in technology and processes in the manufacturing industry. These trends include the Internet of Things, Industrial Internet of Things, cyber physical systems, artificial intelligence, smart factories, cloud computing systems, and so on. In research for writing this thesis the author uses normative legal research methods (normative juridical) or often also referred to as library research. The provisions of legislation in Indonesia that regulate prohibited acts that become criminal acts of electronic transactions are regulated in Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions, namely in Articles 27 to Article 37 of the ITE Law Regulations on electronic transaction crimes and money laundering in electronic trading transactions in Indonesian criminal law regulated in Article 27 to Article 37 of Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. Meanwhile, the laws and regulations governing the crime of money laundering are regulated in Article 3 Jo. Article 4 Law Number 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of Money Laundering Crimes (UU PP-TPPU).
Power of Attorney and Permission to Pledge an Estate Based on Tangerang District Court Stipulation No. 1155/Pdt.P/2021/PN.Tng Amos Andi; Selamat Lumban Gaol; Sudarto Sudarto
JURNAL HUKUM SEHASEN Vol 9 No 2 (2023): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Dehasen

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37676/jhs.v9i2.4663

Abstract

The death of a person will cause problems with the property left behind, including how to continue or transfer the property left behind and who is entitled to receive / continue the property left behind, all of which are regulated by inheritance law. The summons (relaas) is one of the most important instruments in the court process. Without a summons the presence of the parties in court has no legal basis. A summons in civil procedure law is categorized as an authentic deed. Articles 165 HIR and 285 R.Bg and Article 1865 BW state that an authentic deed is a deed made before a public servant in the form prescribed by applicable law. Thus, everything contained in the relaas must be considered true, unless it can be proven otherwise. The purpose of this research consists of objective objectives and subjective objectives with benefits both theoretically and practically. The power of attorney and permission to pledge inherited property is one part of civil law as a whole and is part of family law. Inheritance law is closely related to the scope of human life, because every human being will definitely experience a legal event in the form of death. The legal consequences of the death of a person include the management and continuation of the rights and obligations of the deceased. Such is the case with the case studied in this paper, to pledge the estate of the deceased husband (children's share) a wife as a guardian of the child in marriage must make an application to the authorized Court, as stated in the Tangerang District Court Stipulation Number 1155/Pdt.P/2021/PN.TngThe act of Power of Attorney and Permission to pledge the estate should be done for the benefit of the child, namely to provide benefits and welfare for the child.
Kajian Hukum Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Wilayah Udara yang Dilayani Indonesia Selamat Lumban Gaol
JURNAL MITRA MANAJEMEN Vol 8, No 1 (2016): JURNAL MITRA MANAJEMEN
Publisher : JURNAL MITRA MANAJEMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35968/jmm.v8i1.508

Abstract

Abstrak Pesawat udara tanpa awak (drone) merupakan benda terbang sebagai wahana nir awakdengan kemampuan melakukan terbang otonom secara penuh dan wahana yangdikendalikan secara jarak jauh oleh manusia yang digunakan untuk menyelesaikan suatupekerjaan manusia. Untuk menjaga keselamatan penerbangan Pesawat udara tanpaawak (drone) di ruang udara yang dilayani Indonesia dari kemungkinan bahaya (hazard)yang ditimbulkan karena pengoperasiannya, Menteri Perhubungan mengeluarkanPeraturan Menteri No. 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pengoperasian PesawatUdara Tanpa Awak Di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Apabila dicermati secaraseksama Undang-undang Penerbangan, belum menemukan pendelegasian dari UndangundangPenerbangan kepada Menteri Perhubungan untuk mengatur pengendalianpengoperasian pesawat udara tanpa awak (drone). Akan tetapi apabila ketentuan UUPembentukan Peraturan Perundang-undangan dihubungkan dengan ketentuan UUKementerian Negara serta dihubungkan pula dengan UU Penerbangan, maka secaramateriil melekat kewenangan pada menteri perhubungan untuk melakukan pengaturanpengendalian pengoperasian pesawat udara tanpa awak (drone), dalam bentuk suatuperaturan menteri perhubungan.Kata Kunci : Pesawat Udara, tanpa awak, ruang wilayah, Peraturan Menteri.
PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG DISPARITAS PUTUSAN PEMIDANAAN PERBUATAN MELANGGAR HUKUM YANG MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA Rifki Auliya; Selamat Lumban Gaol; Nurlely Darwis
IBLAM LAW REVIEW Vol. 4 No. 1 (2024): IBLAM LAW REVIEW
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM IBLAM)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52249/ilr.v4i1.160

Abstract

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara. Disparitas pemidanaan menjadi permasalahan ketika terjadi perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara yang serupa, sehingga dipandang menimbulkan ketidakadilan. Oleh karenanya menarik untuk meneliti bagaimana Pengaturan Disparitas Putusan Pemindanaan Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Studi Komparatif Pendirian Dan Pandangan Mahkamah Agung R.I. Tentang Disparitas Putusan Pemindanaan Perbuatan Melanggar Hukum Yang Merugikan Keuangan Negara. Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan, menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Penelitian menemukan Pengaturan Disparitas putusan dalam Hukum Pidana Indonesia diatur dalam diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) KUHP, kemudian secara khusus diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Perma 1/2020 tentang Pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dan Pendirian dan pandangan Mahkamah Agung R.I. tentang disparitas putusan pemindanaan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada mulanya hanya melihat pada perbuatannya saja, kemudian pasca putusan MK Nomor 25/PUU-XVII/2016 yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik materiil, akibat perbuatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara itu harus dibuktikan berdasarkan perhitungan kerugian yang dilakukan oleh BPK; Mempengaruhi pandangan dan pendirian MA, sehingga kerugian keuangan negara harus dilihat menurut tahapan sebagaimana maksud Perma 1/2020 yaitu mengenai kategori kerugian, tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan yang diperoleh serta keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa. Sehingga memberikan keadilan dan kepastian hukum
Position of a Single Judge in a Small Claim Court: Role and Responsibilities Henny Saida Flora; Ning Adiasih; Selamat Lumban Gaol; Indriyana Dwi Mustikarini; Johannes Johny Koynja
Jurnal Smart Hukum (JSH) Vol. 3 No. 1 (2024): June-September
Publisher : Inovasi Pratama Internasional. Ltd

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55299/jsh.v3i1.903

Abstract

In the context of litigation, a simple lawsuit is one that has no legal recourse. It is an objection that is heard by judges who are senior in the field. This type of lawsuit is convenient for the community at large, encompassing companies, People's banks, and other banks whose proof is simple. The data collection methods employed in this research are observation, interview, and documentation. The subject of this research is the application of a straightforward lawsuit in the Jakarta District Court, specifically, the types of cases that may be resolved by such a suit. This is a qualitative study employing an empirical juridical approach, employing a descriptive methodology. This research provides a conclusion that a simple lawsuit based on Supreme Court Regulation Number 4 of 2019 represents a significant advancement over Supreme Court Regulation Number 2 of 2015. However, it was subsequently amended by Supreme Court Regulation Number 4 of 2019. The value of the lawsuit is set at IDR 500,000,000.00, with a case subscription period of 25 days. The categories of this simple lawsuit are default (breach of promise) and tort, with the exception of those concerning land issues. The application of this simple lawsuit at the Pekanbaru District Court is commendable, although a few obstacles remain. However, these do not impede the resolution of existing cases. With regard to the obstacles for judges in this simple lawsuit, namely the District Court, it is necessary to implement a more extensive socialization program to educate the public about this simple lawsuit. This will help to prevent any errors when filing a case resolved through a simple lawsuit.
Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Quasi Yudisial dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia Effendi, Zulham; Gaol, Selamat Lumban; Darwis, Nurlely
Intelektualita Vol 12 No 2 (2023): Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains
Publisher : Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19109/intelektualita.v12i2.18848

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai lembaga quasi yudisial dalam penyelesaian sengketa konsumen di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan memanfaatkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sifat putusan BPSK yang final dan mengikat pada dasarnya tidak sesuai dengan makna final dan mengikat pada suatu putusan lembaga pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa status dan kedudukan unit BPSK dinilai berdasarkan persepsi administratif karena hanya memiliki kewenangan administratif sehingga keputusan tersebut mengasumsikan tidak dapat menjalankan kapasitas hukum apapun. Dengan demikian BPSK dapat dikategorikan sebagai lembaga quasi-judicial dan sifat putusannya tidak sama dengan sifat putusan pengadilan utama.