Claim Missing Document
Check
Articles

Effect of Gabapentin and Baclofen on Histology Study in Neuropathic Pain Fajrin, Fifteen A.; Khotib, Junaidi; Susilo, Imam
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 4, No 4 (2015)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3773.265 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2015.4.4.250

Abstract

Neuropathic pain resulted from injury to nerves is often resistant to current treatments and can seriously cause chronic pain if no appropriate treatment is given. This study was designed to prove the effectiveness of gabapentin and baclofen in increasing latency time toward thermal stimulus and recovering the morphology of dorsal horn of spinal cord in neuropathic-induced chronic pain. Forty mice were divided into 8 groups i.e sham, negative control, gabapentin at three different doses (10, 30, 100 nmol) and baclofen at three different doses (1, 10, 30 nmol). Neuropathic condition was induced by ligation of sciatic nerve with Partial Sciatic Nerve Ligation (PSNL) method. Gabapentin and baclofen were administrated intrathecally once a day for seven days, a week after neuropathic induction. Latency time toward thermal stimulus was measured on days 0, 1, 3, 5, 7, 8, 10, 12 and 14 after induction. Histology of the dorsal horn of spinal cord tissue was examined by haematoxylline-eosin staining. The results showed that intrathecal injection of gabapentin and baclofen significantly increased latency time of mice toward thermal stimulus compared with negative control. Gabapentin and baclofen are effective as treatment for neuropathic pain. They can also help the recovery process of the histology in dorsal horn in neuropathic pain.Keywords: Baclofen, dorsal horn, gabapentin, neuropathic pain, PSNLEfek Gabapentin dan Baclofen terhadap Studi Histologi pada Nyeri NeuropatiNyeri neuropati berasal dari luka pada saraf yang umumnya sulit diterapi sehingga menyebabkan nyeri kronik bila tanpa managemen terapi yang tepat. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan efektivitas gabapentin dan baclofen dalam meningkatkan waktu ketahanan terhadap panas dan memperbaiki morfologi dorsal horn dari spinal cord pada keadaan nyeri kronik yang disebabkan neuropati. Empat puluh mencit terbagi ke dalam delapan kelompok, yaitu sham, kontrol negatif, gabapentin (dosis 10, 30 dan 100 nmol) serta baclofen (dosis 1, 10 dan 30 nmol). Nyeri neuropati diinduksi menggunakan metode Partial Sciatic Nerve Ligation (PSNL). Gabapentin dan baclofen diberikan secara intratekal satu kali sehari selama tujuh hari pada satu minggu setelah induksi nyeri neuropati. Waktu ketahanan terhadap stimulus panas diamati pada hari ke-0, 1, 3, 5, 7, 8, 10, 12, dan 14 setelah induksi. Histologi dorsal horn dari spinal cord mencit diamati menggunakan pewarnaan haematoxylline-eosin. Injeksi intratekalgabapentin dan baclofen meningkatkan waktu ketahanan terhadap stimulus panas secara signifikan dibandingkan kontrol negatif. Gabapentin dan baclofen efektif sebagai terapi nyeri neuropati. Keduanya juga dapat memperbaiki histologi dorsal horn pada kondisi nyeri neuropati.Kata kunci: Baclofen, dorsal horn, gabapentin, nyeri neuropati, PSNL
IDENTIFIKASI PROBLEMA OBAT DALAM PHARMACEUTICAL CARE Yulistiani, .; Suharjono, .; Hasmono, Didik; Khotib, Junaidi; Sumarno, .; Rahmadi, Mahardian; Sidharta, Bambang
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 4, No 1 (2008)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pharmaceutical care is a colaborative process which goal is to prevent, identify, and solve the  drug problem. Pharmacists is the one who responsible to pharmaceutical care, to assure the safety and effectiveness of drug use. This works was aimed to identify and analyze drug problems happened during pharmaceutical care. Data was collected from Dr.  Syaiful Anwar Hospital Malang, from 1 Januari until 31 August 2006. This was a prospective study (n=138) with descriptive analysis. From the results it can be concluded that drug problems happened during pharmaceutical care in Dr. Syaiful Anwar Hospital Malang consist of: Drug Adverse Reaction (non-elergy side effect 15.22% and toxic effect 3.62%), error in drug choice (untreated indication 18.12%, unappropriate drug to indication 11.59%, unclear drug use 4.35%, unappropriate drug duplication 1.45%), contraindication 0.72%, dosing problem (overtherapy dose 22.46%, overlength therapy 2.90%, subtherapy dose 0.72%), drug interaction (potential interaction 138 cases, manifested interaction 8 cases), and others (patient uncontentment 10.14% and patient unproper care about his/her own disease/therapy 4.35%). ABSTRAKPharmaceutical care merupakan proses kolaboratif yang bertujuan untuk mencegah, mengidentifikasi, dan menyelesaikan problema obat. Dalam pelaksanaan, pharmaceutical care merupakan tanggung jawab profesional farmasis untuk menjamin penggunaan obat yang aman dan efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.  Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa problema obat yang terjadi dalam pharmaceutical care. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Syaiful Anwar Malang periode 1 Januari s/d 31 Agustus 2006, merupakan penelitian observasional-data prospektif (n=138) dengan analisis deskriptif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa macam problema obat yang terjadi meliputi : Reaksi obat yang tidak dikehendaki terdiri dari: efek samping non alergi (15,22%), efek toksik (3,62%); pemilihan obat terdiri dari: obat tidak diresepkan tetapi indikasi jelas (18,12%), obat tidak sesuai indikasi (11,59%), indikasi penggunaan obat tidak jelas (4,35%),duplikasi obat tidak sesuai (1,45%), Kontraindikasi (0,72%); pemberian dosis terdiri dari: dosis terlalu tinggi (22,46%), durasi terapi terlalu panjang (2,90%), dosis terlalu rendah (0,72%); interaksi obat terdiri dari: interaksi potensial 138 kejadian (n=138), manifestasi interaksi (8 kasus); dan problema lain (ketidakpuasan pasien terhadap terapi yang diberikan (10,14%) dan kurangnya perhatian/kesadaran pasien terhadap kondisi/ penyakitnya (4,35%).
MEKANISME MOLEKULAR TOLERANSI OBAT ANTI NYERI OPIOID Khotib, Junaidi
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

One of the problem facing the use of analgesic medication is drug tolerance. The mechanism of the decrease of the potency is not clearly understood. This experiment aimed to study the mechanism which could explain the tolerance phenomenon in patient using high potency opioid analgesic, such as morphine, phentanyl, and oxycodon. Morphine 10 mg/kg, phentanyl 56 mgram/kg,  oxycodon 3 mg/kg, and (-)U50,488H 10 mg/kg were administrated subcutaneously to ICR mice (8-10 mice each group) results in high potency analgesic according to hot plate test and tail flick test. Using hot plate test it was revealed that there is decreasing potency in repeated administration (7 days) of those opioid analgesics, from 87% to 35% for morphine, from 89% to 53% for phentanyl, from 91% to 41% for oxycodon, and 85& to 27% for (-)U50,488H. The decreasing potency was followed by the decreasing function of the opiod receptor determined base on the opioid receptor bound G protein activity using [35S]GTPgS method. The receptor function decreased by almost 50% in the spinal cord, peri aqueductal grey and thalamus. From those result it was concluded that the decrease in receptor function or number was the main mechanism that cause the opioid analgesics drug tolerance. Keywords: drug tolerance, opioid analgesic, opioid receptor ABSTRAK Salah satu masalah utama penggunaan obat-obat anti nyeri adalah timbulnya toleransi obat. Mekanisme yang mendasari terjadinya penurunan potensi anti nyeri masih belum jelas. Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari mekanisme yang mendasari terjadinya toleransi pada pemakaian obat-obat anti nyeri opioid yang mempunyai potensi tinggi seperti morfin, fentanil dan oksikodon. Pemberian sub-kutan morfin 10 mg/kg, fentanil 56 mgram/kg, oksikodon 3 mg/kg atau (-)U50,488H 10 mg/kg pada hewan coba mencit galur ICR (8-10 ekor tiap kelompok) menghasilkan potensi anti nyeri yang kuat berdasarkan metode hot plate test dan tail flick test. Dengan metode hot plate test menunjukkan adanya penurunan potensi setelah pemakaian berulang selama 7 hari dari 87% menjadi 35% untuk morfin, 89% menjadi 53% untuk fentanil, 91% menjadi 41% untuk oksikodon dan 85% menjadi 27% untuk (-)U50,488H. Penurunan ini disertai juga dengan berkurangnya fungsi reseptor yang ditentukan berdasarkan aktivasi protein G yang terikat opioid reseptor dengan metode [35S]GTPgS. Penurunan fungsi reseptor hampir 50% terjadi pada spinal cord, peri aqueductal grey dan thalamus. Sedangkan dengan RT-PCR diketahui bahwa ekspresi reseptor opioid tersebut tidak mengalami perubahan. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penurunan fungsi atau jumlah reseptor merupakan penyebab utama terjadinya toleransi obat-obat anti nyeri opioid.
PERAN AGONIS RESEPTOR OPIOID KAPPA (-) U50,488H DALAM PROSPEK TERAPI GEJALA PUTUS OBAT MORFIN Khotib, Junaidi; SZ, Bambang; Yulistian, .; Syamsiah, Siti; Suzuki, Tsutomu
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Opioid receptor Kappa has different or even contradictive characteristic compare to opioid receptor mu. Stimulation of mu receptor with morphine, phentanyl, or DAMGO shows strengthening effect, locomotor increase,  euphoria and drug craving, while activation of Kappa receptor by its agonist shows disphoria effect, sedative and drug rejection. This experiment revealed that treatment with 10 mg/kg morphine in group of ICR  mice significantly increase the locomotor activity from 490 to 2460 total activity (P<0.001; n=12 each group). This increase was significantly inhibit by selective pre-treatment Kappa receptor agonist (-) U50,488H 3 mg/kg. Drug carving effect was evaluated with conditioning place preference (CPP) method where pre-treatment with (-) U50,488H 3 mg/kg subcutaneous injection also decreased drug carving effect caused by morphine, i.e. from 127 to 30 CPP value (p<0.01).  ABSTRAK Reseptor opioid kappa mempunyai sifat yang berbeda bahkan bertentangan dengan reseptor opioid mu. Stimulasi reseptor mu dengan morfin, fentanil atau DAMGO menunjukkan efek penguatan, peningkatan lokomotor, euphoria dan keinginan mendapatkan obat kembali (drug craving), sementara aktivasi reseptor kappa oleh agonisnya menunjukkan efek disphoria, sedative dan penolakan obat. Penelitian ini menunjukkan perlakuan dengan morfin 10 mg/kg pada mencit galur ICR meningkatkan secara bermakna efek aktivitas lokomotor dari 490 menjadi 2460 aktivitas total (P<0.001; n=12 tiap kelompok). Peningkatan ini diturunkan secara signifikan dengan pra-perlakuan selektif agonis reseptor kappa (-) U50,488H 3 mg/kg yaitu menjadi 1501 aktivitas total (p<0.01). Efek drug craving dievaluasi dengan metode conditioning place preference (CPP), pra-perlakuan dengan injeksi sub-kutan (-) U50,488H 3 mg/kg juga menurunkan efek drug craving yang disebabkan oleh morfin dari 127 menjadi 30 harga CPP (p<0.01). Untuk menjelaskan mekanisme penurunan gejala putus obat tersebut, dilakukan pengukuran kadar dopamin pada nucleus accumbens dan pengujian aktivitas protein G yang terikat pada reseptor dopamin pada limbic forebrain dengan metode [35S]GTPS binding assay. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pra-perlakuan (-) U50,488H dapat menurunkan gejala putus obat yang disebabkan oleh morfin.
EFEKTIVITAS AGONIS RESEPTOR OPIOID KAPPA PADA NYERI AKUT DAN KRONIK Rahmadi, Mahardian; Khotib, Junaidi; Suprapti, Budi; Sjamsiah, Siti
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kappa receptor is one opioid receptor subunit which when activated can stimulate analgesic effect, however with lower dependency risk compare to other opioid receptor subunit. (mu and delta). The objective of this experiment was to examine the effectivity of kappa opioid receptor agonist  in acute and chronic pain (inflammation and neuropathy), in order to find new strategy in pain management. Groups of ICR mice (n = 10) were treated to gain acute and chronic pain model. Acute pain was gain by hot stimulation through hot plate and tail flick. Inflammation model was made by CFA intraplantar injection. Neuropathy pain was induced by binding the sciatic neuron. To examine the pain-blocker effectivity of kappa receptor agonist,  trans-1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl-N-[2-(1-pyrrolidinyl)cyclohexyl]benzeneacetamide(-)U50,488H was inject subcutaneously 3 mg/kg - 20mg/kg body wight. Then hot plate and tail flick were conduct, morphine 10 mg/kg bw use as standard. From results can be concluded that   activation of kappa receptor can induce pain-blocker or analgesic effect as well, against acute or chronic pain, inflammation or neuropathy. ABSTRAK Reseptor kappa merupakan salah satu sub unit reseptor opioid yang jika diaktivasi dapat mempunyai efek analgesik tetapi dengan risiko dependensi yang lebih kecil dari pada sub unit reseptor opioid yang lain (mu dan delta). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas agonis reseptor opioid kappa pada keadan nyeri akut dan kronik (inflamasi dan neuropati), sehingga diharapkan didapatkan strategi baru dalam penanganan nyeri. Untuk pengujian efektivitas antinyeri dari agonis reseptor kappa, trans-1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl-N-[2-(1-pyrrolidinyl) cyclohexyl]benzeneacetamide   (-)U50,488H diinjeksikan secara subkutan mulai dosis 3 mg/kgbb hingga 20mg/kgbb kemudian dilakukan uji hot plate dan tail flick, sebagai pembanding digunakan morfin 10mg/kgbb. Pegujian dilakukan pada 15, 30, 45, 60, 90 dan 120 menit setelah penginjeksian (-)U50,488H. Aktivitas antinyeri dinyatakan dalam % MPE (maximal possible antinociceptive effect). (-)U50,448H memiliki aktivitas antinyeri sebanding dengan dosis pemberian baik pada keadaan nyeri akut, inflamasi maupun neuropati. Pada dosis 3 mg/kgbb menghasilkan 47% MPE, dosis 5,6 mg/kgbb menghasilkan 76% MPE, dosis 10mg/kgbb menghasilkan 88% MPE dan dosis 20 mg/kgbb menghasilkan 100% MPE. Waktu puncak dicapai pada 15 menit setelah injeksi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivasi reseptor kappa juga dapat memberikan efek anti nyeri, baik pada nyeri akut, inflamasi maupun neuropati.
Pengaruh Vanadil Sulfat Terhadap Ekspresi Protein GLUT-4 pada Mencit yang Menderita Diabetes Mellitus Holidah, Diana; Khotib, Junaidi
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X Vol 6, No 2 (2012)
Publisher : Indonesian Research Gateway

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (463.862 KB)

Abstract

The Present study was designet to investigate the influence of vanadyl sulphate towards GLUT-4 protein activities in skeletal muscle tissue in streptozotocin induced diabetic mice. Twenty five mice divided into five groups i.e. placebo group, diabetic group, and three treatment groups based on vanadyl's doses (5,30 or 100 mg/kg BW, respectively). Diabetic mice model was induced by twice intraperitoneal administration of streptozotocin. The first dose of streptozotocin is 100 mg/kg that were inject in the first day and then dose 50 mg/kg, in the day 14th. Diabetes occured on 21st day after streptozotocin injection and it was shown by increasing blood glucose level from 151.4 ± 25.1 mg/dL to 237.1 ± 33.0 mg/dL. Administration of vanadyl sulphate at the dose of 5,30 or 100 mg/kg BW was significantly reduces blood glucose concentration (p<0,001). The muscular tissue were harvested on the day 28th and stained using routine histology staining, hematoxylin-eosin for morphological qualitative analysis and immunohistochemical examination to observe the activities of GLUT-4 protein in skeletal muscle. The result showed that vanadyl sulphate restore atrophic condition of muscular cells and inhibit cell necrosis in muscular tissue. On immunohistochemical examination, vanadyl sulphate might increased the GLUT-4 protein activities in skeletal muscle in streptozotocin-induced diabetic mice Keywords : vanadyl sulphate, streptozotocin, diabetes mellitus, GLUT-4 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh vanadil sulfat terhadap aktivitas protein GLUT-4 pada otot skelet mencit yang menderita diabetes mellitus akibat induksi streptozotocin. Sebanyak 25 ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol, diabtes dan perlakuan yang diberi vanadil sulfat dengan dosis 5,30 dan 100 mg/kgBB. Keadaan diabetes diinduksi dengan pemberian streptozotocin dosis 100 mg/kgBB pada hari pertama dan 50 mg/kgBB pada hari ke -14. Pada hari ke-21 terjadi peningkatan kadar glukosa dari 151,4 ± 25,1 mg/dL menjadi 237,1 ± 33,0 mg/dL. Pemberian vanadil sulfat selama 7 hari akan menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan (p<0,001). Otot skelet diambil pada hari ke-28 dan dipreparasi dengan hematoksilin-eosin untuk diamati histologinya dan secara imunohistokimia untuk pengamatan aktivitas protein GLUT-4. Hasil pengamatan menunjukkan pemberian vanadil sulfat akan memperbaiki keadaan atropi dan menghambat nekrosis pada sel otot skelet. Pengamatan secara imonohistokimia menunjukkan bahwa vanadil sulfat dapat meningkatkan aktivitas GLUT-4. Kata Kunci: vanadil sulfat, streptozotocin, diabetes mellitus, GLUT-4
PILOKARPIN UNTUK MEMBUAT HEWAN MODEL EPILEPSI LOBUS TEMPORALIS Diah Kurnia Mirawati,* Suroto,* Brian Wasita,** Junaidi Khotib***
NEURONA Vol 34 No. 1 Desember 2016
Publisher : Neurona Majalah Kedokteran Neuro Sains

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

INTRODUCTION TEMPORAL LOBE EPILEPSY IS THE MOST COMMON TYPE OF EPILEPSY IN ADULT UNFORTUNATELY MECHANISM OF THIS DISEASE REMAINS UNCLEAR THEREFORE IT NEEDS MANY RESEARCHES TO UNFOLD THIS MYSTERY RESEARCH IN HUMAN OFTEN FACES OBSTACLES ESPECIALLY IN ETHICS SO ANIMAL MODEL IS NECESSARY TO REPLACE HUMAN ROLE IN THE STUDY OF PATHOPHYSIOLOGY OF THE DISEASE
PERAN AGONIS RESEPTOR OPIOID KAPPA (-) U50,488H DALAM PROSPEK TERAPI GEJALA PUTUS OBAT MORFIN Khotib, Junaidi; SZ, Bambang; Yulistian, .; Syamsiah, Siti; Suzuki, Tsutomu
Jurnal Farmasi Indonesia Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Jurnal Farmasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35617/jfi.v3i1.65

Abstract

Opioid receptor Kappa has different or even contradictive characteristic compare to opioid receptor mu. Stimulation of mu receptor with morphine, phentanyl, or DAMGO shows strengthening effect, locomotor increase,  euphoria and drug craving, while activation of Kappa receptor by its agonist shows disphoria effect, sedative and drug rejection. This experiment revealed that treatment with 10 mg/kg morphine in group of ICR  mice significantly increase the locomotor activity from 490 to 2460 total activity (P<0.001; n=12 each group). This increase was significantly inhibit by selective pre-treatment Kappa receptor agonist (-) U50,488H 3 mg/kg. Drug carving effect was evaluated with conditioning place preference (CPP) method where pre-treatment with (-) U50,488H 3 mg/kg subcutaneous injection also decreased drug carving effect caused by morphine, i.e. from 127 to 30 CPP value (p<0.01).  ABSTRAK Reseptor opioid kappa mempunyai sifat yang berbeda bahkan bertentangan dengan reseptor opioid mu. Stimulasi reseptor mu dengan morfin, fentanil atau DAMGO menunjukkan efek penguatan, peningkatan lokomotor, euphoria dan keinginan mendapatkan obat kembali (drug craving), sementara aktivasi reseptor kappa oleh agonisnya menunjukkan efek disphoria, sedative dan penolakan obat. Penelitian ini menunjukkan perlakuan dengan morfin 10 mg/kg pada mencit galur ICR meningkatkan secara bermakna efek aktivitas lokomotor dari 490 menjadi 2460 aktivitas total (P<0.001; n=12 tiap kelompok). Peningkatan ini diturunkan secara signifikan dengan pra-perlakuan selektif agonis reseptor kappa (-) U50,488H 3 mg/kg yaitu menjadi 1501 aktivitas total (p<0.01). Efek drug craving dievaluasi dengan metode conditioning place preference (CPP), pra-perlakuan dengan injeksi sub-kutan (-) U50,488H 3 mg/kg juga menurunkan efek drug craving yang disebabkan oleh morfin dari 127 menjadi 30 harga CPP (p<0.01). Untuk menjelaskan mekanisme penurunan gejala putus obat tersebut, dilakukan pengukuran kadar dopamin pada nucleus accumbens dan pengujian aktivitas protein G yang terikat pada reseptor dopamin pada limbic forebrain dengan metode [35S]GTPS binding assay. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pra-perlakuan (-) U50,488H dapat menurunkan gejala putus obat yang disebabkan oleh morfin.
IDENTIFIKASI PROBLEMA OBAT DALAM PHARMACEUTICAL CARE Yulistiani, .; Suharjono, .; Hasmono, Didik; Khotib, Junaidi; Sumarno, .; Rahmadi, Mahardian; Sidharta, Bambang
Jurnal Farmasi Indonesia Vol 4, No 1 (2008)
Publisher : Jurnal Farmasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35617/jfi.v4i1.1

Abstract

Pharmaceutical care is a colaborative process which goal is to prevent, identify, and solve the  drug problem. Pharmacists is the one who responsible to pharmaceutical care, to assure the safety and effectiveness of drug use. This works was aimed to identify and analyze drug problems happened during pharmaceutical care. Data was collected from Dr.  Syaiful Anwar Hospital Malang, from 1 Januari until 31 August 2006. This was a prospective study (n=138) with descriptive analysis. From the results it can be concluded that drug problems happened during pharmaceutical care in Dr. Syaiful Anwar Hospital Malang consist of: Drug Adverse Reaction (non-elergy side effect 15.22% and toxic effect 3.62%), error in drug choice (untreated indication 18.12%, unappropriate drug to indication 11.59%, unclear drug use 4.35%, unappropriate drug duplication 1.45%), contraindication 0.72%, dosing problem (overtherapy dose 22.46%, overlength therapy 2.90%, subtherapy dose 0.72%), drug interaction (potential interaction 138 cases, manifested interaction 8 cases), and others (patient uncontentment 10.14% and patient unproper care about his/her own disease/therapy 4.35%). ABSTRAKPharmaceutical care merupakan proses kolaboratif yang bertujuan untuk mencegah, mengidentifikasi, dan menyelesaikan problema obat. Dalam pelaksanaan, pharmaceutical care merupakan tanggung jawab profesional farmasis untuk menjamin penggunaan obat yang aman dan efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.  Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa problema obat yang terjadi dalam pharmaceutical care. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Syaiful Anwar Malang periode 1 Januari s/d 31 Agustus 2006, merupakan penelitian observasional-data prospektif (n=138) dengan analisis deskriptif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa macam problema obat yang terjadi meliputi : Reaksi obat yang tidak dikehendaki terdiri dari: efek samping non alergi (15,22%), efek toksik (3,62%); pemilihan obat terdiri dari: obat tidak diresepkan tetapi indikasi jelas (18,12%), obat tidak sesuai indikasi (11,59%), indikasi penggunaan obat tidak jelas (4,35%),duplikasi obat tidak sesuai (1,45%), Kontraindikasi (0,72%); pemberian dosis terdiri dari: dosis terlalu tinggi (22,46%), durasi terapi terlalu panjang (2,90%), dosis terlalu rendah (0,72%); interaksi obat terdiri dari: interaksi potensial 138 kejadian (n=138), manifestasi interaksi (8 kasus); dan problema lain (ketidakpuasan pasien terhadap terapi yang diberikan (10,14%) dan kurangnya perhatian/kesadaran pasien terhadap kondisi/ penyakitnya (4,35%).
EFEKTIVITAS AGONIS RESEPTOR OPIOID KAPPA PADA NYERI AKUT DAN KRONIK Rahmadi, Mahardian; Khotib, Junaidi; Suprapti, Budi; Sjamsiah, Siti
Jurnal Farmasi Indonesia Vol 3, No 1 (2006)
Publisher : Jurnal Farmasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35617/jfi.v3i1.66

Abstract

Kappa receptor is one opioid receptor subunit which when activated can stimulate analgesic effect, however with lower dependency risk compare to other opioid receptor subunit. (mu and delta). The objective of this experiment was to examine the effectivity of kappa opioid receptor agonist  in acute and chronic pain (inflammation and neuropathy), in order to find new strategy in pain management. Groups of ICR mice (n = 10) were treated to gain acute and chronic pain model. Acute pain was gain by hot stimulation through hot plate and tail flick. Inflammation model was made by CFA intraplantar injection. Neuropathy pain was induced by binding the sciatic neuron. To examine the pain-blocker effectivity of kappa receptor agonist,  trans-1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl-N-[2-(1-pyrrolidinyl)cyclohexyl]benzeneacetamide(-)U50,488H was inject subcutaneously 3 mg/kg - 20mg/kg body wight. Then hot plate and tail flick were conduct, morphine 10 mg/kg bw use as standard. From results can be concluded that   activation of kappa receptor can induce pain-blocker or analgesic effect as well, against acute or chronic pain, inflammation or neuropathy. ABSTRAK Reseptor kappa merupakan salah satu sub unit reseptor opioid yang jika diaktivasi dapat mempunyai efek analgesik tetapi dengan risiko dependensi yang lebih kecil dari pada sub unit reseptor opioid yang lain (mu dan delta). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas agonis reseptor opioid kappa pada keadan nyeri akut dan kronik (inflamasi dan neuropati), sehingga diharapkan didapatkan strategi baru dalam penanganan nyeri. Untuk pengujian efektivitas antinyeri dari agonis reseptor kappa, trans-1S,2S]-3,4-dichloro-N-methyl-N-[2-(1-pyrrolidinyl) cyclohexyl]benzeneacetamide   (-)U50,488H diinjeksikan secara subkutan mulai dosis 3 mg/kgbb hingga 20mg/kgbb kemudian dilakukan uji hot plate dan tail flick, sebagai pembanding digunakan morfin 10mg/kgbb. Pegujian dilakukan pada 15, 30, 45, 60, 90 dan 120 menit setelah penginjeksian (-)U50,488H. Aktivitas antinyeri dinyatakan dalam % MPE (maximal possible antinociceptive effect). (-)U50,448H memiliki aktivitas antinyeri sebanding dengan dosis pemberian baik pada keadaan nyeri akut, inflamasi maupun neuropati. Pada dosis 3 mg/kgbb menghasilkan 47% MPE, dosis 5,6 mg/kgbb menghasilkan 76% MPE, dosis 10mg/kgbb menghasilkan 88% MPE dan dosis 20 mg/kgbb menghasilkan 100% MPE. Waktu puncak dicapai pada 15 menit setelah injeksi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivasi reseptor kappa juga dapat memberikan efek anti nyeri, baik pada nyeri akut, inflamasi maupun neuropati.
Co-Authors A. H. Zaidan Agus, Adhe Septa Ryant Aniek S Budiatin Aondohemba Samuel Nege Ardianto, Chrisnawan Arifa Mustika Arifianti, Lusiana Baiq Risky Wahyu Lisnasari Bambang Sidharta Bambang Subakti Zulkarnain Budi Suprapti Budiatin, Aniek Setiya Cantika SC Lasandara Cantika Suci Adlina Lasandara Chrismawan Ardianto Chrismawan Ardianto Dewi Wara Shinta Diana Holidah Didik Hasmono Dwi Ningsih Eddy Rahardjo Elida Zairina Endang Dewi Masithah Fajrin, Fifteen A. Fifteen A. Fajrin Fifteen Aprila Fajrin Fransiska Maria Christianty Hamidah, Khusnul Fitri Hanik Badriyah Hidayati,* Mohammad Hasan Machfoed,* Kuntoro,** Soetojo,*** Budi Santoso,**** Suroto,***** Budi Utomo****** Honey Dzikri Marhaeny Ignasius Agyo Palmado Ika Ayu Mentari Imam Susilo Indriyanti, Niken Joewono Soeroso JOEWONO SOEROSO Joewono Soeroso Kuntoro Kuntoro Mahardian Rahmadi Megawati, Selvi Mohammad Hasan Machfoed Muhamad Nasir Muhamad Nasir, Muhamad Muhammad Taher Niken Indriyanti Niken Indriyanti Novrynda Eko Satriawan Nurlaili Susanti Paulus Sugianto Prasetya, I Made Slamet Putra Rifda Naufa Lina Rifda Naufalina Rochmanti, Maftuchah Rochmanti Roihatul Muti’ah Samirah Samirah Sarah Puspita Atmaja Sari, Dewi Perwito Satriawan, Novrynda Eko Shah Faisal Siti Maimunah Siti Syamsiah Sjamsiah, Siti Sjamsiah, Siti Suharjono, Suharjono, Suharjono Sukardiman Sulistyanaengci Winarto Sumarno Sumarno SZ, Bambang SZ, Bambang Tsutomu Suzuki, Tsutomu Tuhfatul Ulya Utomo, Febriansyah Nur Wibisono, Cahyo Winda Fatma Sari Wirasasmita, Yuyun Yulistian, . Yulistian, . Yulistiani Yulistiani Yulistiani, . Yurika Sastyarina Yurika Sastyarina Yurika Sastyarina Yusuf Alif Pratama Zaidan, A. H. Zainul Amiruddin Zakaria