Claim Missing Document
Check
Articles

Karakteristik Kepemimpinan Sunda dalam Novel Sejarah Mantri Jero Karya R. Memed Sastrahadiprawira Darajat, Danan; Ruhaliah, Ruhaliah; Isnendes, Retty
LOKABASA Vol 11, No 1 (2020): Vol. 11 No. 1, April 2020
Publisher : UPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/jlb.v11i1.25162

Abstract

This research is motivated by the assumption that the Sundanese leadership is still weak, whereas in history recorded the names of great Sundanese leaders and can be used as example for others, such as Prabu Wangi, Niskala Wastu Kancana, and Sri Baduga Maharaja. Likewise in works of fiction, one of which is the main character in the historical novel Mantri Jero. The theories used in this study are Robert Stanton's structural theory, Sundanese leadership theory based on the ancient Sundanese manuscript Sanghyang Siksa Kandang Karesian, and the etnopedagogy theory of R. Hidayat Suryalaga's delay. This study aims to analyze and describe: 1) the story structure of the historical novel Mantri Jero, 2) the characteristics of Sundanese leadership in the historical novel Mantri Jero, and 3) the value of ethnopedagogy in the historical novel Mantri Jero by R. Memed Sastrahadiprawira. The data source of this research is the historical novel Mantri Jero by R. Memed Sastrahadiprawira. The methods and techniques used in this research are descriptive methods, literature review techniques, and documentary studies, while the way to analyze them is using a qualitative approach. The instrument used was divided into two, namely the instrument for collecting data (checklist of source books) and the instrument for processing data (data cards). The results of this study indicate that the historical novel Mantri Jero has a complete story structure, good Sundanese leadership characteristics, and ethnopedagogic values grouped from the characteristics of good Sundanese leadership. AbstrakPenelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya anggapan yang menyebutkan bahwa kepemimpinan orang Sunda masih lemah, padahal dalam sejarah dicatat nama-nama pemimpin Sunda yang hebat dan bisa dijadikan contoh untuk yang lainnya, seperti Prabu Wangi, Niskala Wastu Kancana, dan Sri Baduga Maharaja. Demikian juga dalam karya fiksi, salah satunya yaitu tokoh utama dalam novel sejarah Mantri Jero. Teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori struktural Robert Stanton, teori tata krama kepemimpinan Sunda berdasarkan naskah Sunda kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian, dan teori etnopedagogi kesundaan R. Hidayat Suryalaga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan: 1) struktur cerita novel sejarah Mantri Jero, 2) karakteristik kepemimpinan Sunda dalam novel sejarah Mantri Jero, dan 3) nilai etnopedagogi dalam novel sejarah Mantri Jero karya R. Memed Sastrahadiprawira. Sumber data penelitian ini, yaitu novel sejarah Mantri Jero karya R. Memed Sastrahadiprawira. Metode dan teknik yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu metode deskriptif, teknik telaah pustaka, dan studi dokumentasi, sedangkan cara menganalisisnya menggunakan pendekatan kualitatif. Instrumen yang digunakan terbagi dua, yaitu instrumen untuk mengumpulkan data (ceklis buku sumber) dan instrumen untuk mengolah data (kartu data). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel sejarah Mantri Jero terdapat karakteristik kepemimpinan Sunda yang ada pada diri Yogaswara selaku tokoh utamanya. Karakter-karakter tersebut yaitu parigeuing, dasa pasanta, pangimbuhning twah, dan opat panyaraman. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa novel sejarah Mantri Jero mempunyai struktur cerita yang lengkap, karakteristik kepemimpinan Sunda yang baik, dan nilai-nilai etnopedagogi yang dikelompokkan dari karakteristik kepemimpinan Sunda yang bagus.
Citra Perempuan dalam Roman Pendek Pileuleuyan Karya Yus Rusamsi Robby, Kaffa Kupita; Isnendes, Retty; Suherman, Agus
LOKABASA Vol 12, No 1 (2021): Vol. 12 No. 1, April 2021
Publisher : UPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/jlb.v12i1.34148

Abstract

Abstrak: Latar belakang penelitian ini dilandasi oleh anggapan bahwa suara perempuan yang tercurahkan dalam sebuah karya sastra, harus digali dan diketahui secara luas oleh masyarakat.  Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan: (1) struktur cerita; (2) citra diri perempuan; dan (3) citra sosial. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan teknik studi pustaka. Sumber data yang digunakan berupa roman pendek yang berjudul Pileuleuyan karya Yus Rusamsi dengan disertai  sumber lain yang mendukung. Hasilnya: (1) struktur cerita meliputi tema, fakta cerita (alur, tokoh/watak, latar) dan sarana sastra (judul dan sudut pandang). Tema roman ini tentang kejiwaan, menggambarkan kesabaran seorang perempuan yang bernama Lili dalam menghadapi cobaan hidup terutama dalam persoalan perasaan, cobaan yang membuat dirinya harus bijak dalam mengambil keputusan. Alurnya campuran, menceritakan kejadian yang sudah berlalu. Latar tempat dari meliputi di rumah, jalan, dan puncak. Latar waktu yang digunakan dalam roman ini yaitu waktu faktual. Latar sosial menggambarkan masarakat kelas atas dan kelas rendah. Ada 13 karakter tokoh yang tergambar dalam roman ini, sedangkan sudut pandang yang digunakan yaitu orang ketiga tidak terbatas; (2) citra diri perempuan meliputi citra fisik dan citra psikis yang digambarkan oleh tokoh dalam roman ini; (3) citra sosial yaitu citra perempuan di keluarga, msalanya dalam kesopanan dan rasa tanggung jawab sebagai anggota keluarga serta sebagai anggota masyarakat. Kesimpulannya, citra perempuan dalam roman pendek Pileuleuyan menggambarkan sosok perempuan yang tegar dan teguh pendirian dalam mengambil keputusan.Kata kunci: citra perempuan, roman pendek, Pileuleuyan. Abstract: The background of this research is based on the assumption that the voices of women who are poured out in a literary work must be explored and widely known by the public. The purpose of this study is to describe: (1) the structure of the story; (2) self-image of women; and (3) social image. The method used is descriptive analytic with literature study techniques. The data source used is a short novel entitled Pileuleuyan by Yus Rusamsi, accompanied by other supporting sources. The results: (1) the structure of the story includes the theme, the facts of the story (plot, character / character, setting) and literary means (title and point of view). The theme of this romance is about the psyche, depicting the patience of a woman named Lili in facing life's trials, especially in matters of feelings, trials that make her wise in making decisions. The plot is mixed, telling events that have already passed. The setting of the place includes the house, the road, and the summit. The time setting used in this novel is factual time. Social background describes the upper class and lower class society. There are 13 characters depicted in this romance, while the point of view used is that the third person is not limited; (2) the self-image of women includes physical and psychological images that are depicted by the characters in this romance; (3) social image, namely the image of women in the family, for example in politeness and a sense of responsibility as family members and as members of society. In conclusion, the image of the woman in the short romance Pileuleuyan depicts a woman who is steadfast and steadfast in making decisions.Keywords: female image, short romance, Pileuleuyan
Nama Sebagai Sebuah Kesadaran Identitas Manusia Sunda: Kajian Budaya Isnendes, Retty
LOKABASA Vol 11, No 2 (2020): Vol. 11 No. 2, Oktober 2020
Publisher : UPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/jlb.v11i2.29146

Abstract

A person's self name refers to the language used by his parents in attaching identity to his child. Language is one of the elements of culture which is very dominant and the opening of a culture. The identity of one's ethnic group will be seen from the ethnic language or region used and one of them, which is attached to oneself as an individual trait. The identity of the name as a Sundanese human characteristic also reflects the region of space and time awareness in addressing itself as part of a tribe in a global vortex. Maintaining self-name by carrying out Sundanese culture in the midst of the temptation of global cultural gatherings is difficult if parents do not have awareness about national identity. The names that are attached to the child become an indication in measuring his consciousness as a Sundanese. In this article the question concerning the names of students of the Sundanese Language Education Department is raised in the culture studies.AbstrakNama diri seseorang berkenaan dengan bahasa yang dipakai orang tuanya dalam melekatkan identitas pada diri anaknya. Bahasa merupakan salah satu unsur budaya yang sangat dominan dan pembuka satu kebudayaan. Identitas suku bangsa seseorang akan terlihat dari bahasa etnis atau daerah yang dipakainya dan salah satunya, yang dilekatkan pada diri sebagai ciri individu. Identitas nama sebagai ciri manusia Sunda juga mencerminkan wilayah kesadaran ruang dan waktu dalam menyikapi dirinya sebagai bagian dari sebuah suku bangsa dalam pusaran global. Mempertahankan nama diri dengan mengusung budaya Sunda di tengah godaan pertemuan budaya global merupakan hal berat bila orang tua tidak punya kesadaran mengenai jati diri bangsa. Nama-nama yang dilekatkannya pada anak menjadi indikasi tersendiri dalam mengukur kesadarannya sebagai manusia Sunda. Dalam artikel ini diketengahkan persoalan mengenai: nama diri mahasiswa di Departemen Pendidikan Bahasa Sunda dalam kajian budaya. 
Nilai Estetika dalam Pergelaran Sandiwara Palagan Bubat Shafira, Widhie Triana; Isnendes, Retty
LOKABASA Vol 12, No 2 (2021): Vol. 12 No. 2, Oktober 2021
Publisher : UPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/jlb.v12i2.39941

Abstract

LANGUAGE ATTITUDES OF BUGINESE SPEAKERS IN BANDUNG Rusdiansyah Rusdiansyah; Isnendes Retty
IDEAS: Journal on English Language Teaching and Learning, Linguistics and Literature Vol 6, No 2 (2018): IDEAS: Journal on English Language Teaching and Learning, Linguistics and Litera
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Palopo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24256/ideas.v6i2.514

Abstract

The aim of this study is to explain the shift in Buginese of the students in Bandung.This is related to the students' language attitude towards Buginese. The use and attitude of language in minority languages in the majority language area is one aspect that influences shifting a language. The method used in this study is a qualitative descriptive method. Research subjects are students from South Sulawesi who are studying in Bandung who are Bugis speakers. The results of this research show that the pattern of language use is dominated by Indonesian when communicating with friends in their area. Although dominated by Indonesian, the use of the Buginese is still used, though not as much as the use of Indonesian. Their language attitude is very positive towards Buginese, but the facts in the field are different from the language attitude, because they are more dominant in using Indonesian than Buginese. This study concluded that the positive attitude of students towards Buginese had no effect on the use of their Buginese. Language preservation depends on the quality of language use in everyday life. The use of Buginese in students in Bandung is relatively low. Students do not maintain their identity as speakers of the Buginese when communicating with each other, thus causing the Buginese to be displaced by Indonesian.
Human Representation on Environmental Speech in Terms of Transitivity Process Siti Awaliyah Mansyur; Wawan Gunawan; Retty Isnendes
SAGA: Journal of English Language Teaching and Applied Linguistics Vol 3 No 1 (2022): February 2022
Publisher : English Language Education Department, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/saga.2022.31.117

Abstract

The role of activists in raising humankind’s awareness regarding environmental or ecological issues or phenomenon has gained so much attention since it is spread and told in many different ways. One of them is taken by sharing the idea through speech and statements that are being spoken before the world leaders, politicians, and any other occasions. This study focuses on the speech of an environmental activist regarding climate change, Greta Thunberg. The analysis was conducted on the transitivity analysis, i.e. the distribution of experiential meaning on the speech that was presented at the United Nations Conference of the Parties on Climate Change, 2018. The result shows: 1) the distribution of material process is the dominant one (41,8%), followed by relational process (19,4%), mental process (17,9%), verbal process (14,9%), behavioral process (3%), and existential process (3%); 2) through the process distribution, human beings seem to have their big roles in causing the climate change, but at the same time they are the ones who can prevent it. Therefore, the speech is regarded as beneficial discourse based on Stibbe’s ecolinguistics standard. This type of discourse has to be promoted in order to raise ecological awareness in society.
MAKNA KULTURAL DALAM LEKSIKON PERHIASAN PENGANTIN SUNDA PRIANGAN: KAJIAN ETNOLINGUISTIK Elda Mnemonica Rosadi; Retty Isnendes; Mahmud Fasya
KLAUSA (Kajian Linguistik, Pembelajaran Bahasa, dan Sastra) Vol 5 No 02 (2021): KLAUSA Vol 05 No 02 (2021)
Publisher : Ma Chung Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (571.367 KB) | DOI: 10.33479/klausa.v5i02.432

Abstract

Pernikahan adat Sunda khususnya di daerah Priangan memiliki perhiasan pengantin Sunda yang kaya akan makna kultural Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna leksikal dan makna kultural dalam perhiasan pengantin putri Sunda Priangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif dekriptif dengan pendekatan etnolinguistik. Data penelitian ini berupa ekspresi verbal dan non-verbal yang ada dalam perhiasan pengantin putri Sunda Priangan. Sumber penelitian ini berasal dari informan pemilik usaha rias pengantin dan perias pengantin di daerah Garut dan Bandung.Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian Terdapat 13 data verbal yang dijadikan sebagai sumber data dalam leksikal perhiasan pengantin Sunda, Adapun secara kultural tradisi ini dapat terlihat dari salah satu aspek spiritual yaitu menjadi sebua harapan dan doa dari para leluhur dan masyarakat Sunda Kata kunci : makna kultural, leksikon, etnolinguistik, perhiasan, sunda, priangan.
UPACARA SEBA BADUY: SEBUAH PERJALANAN POLITIK MASYARAKAT ADAT SUNDA WIWITAN Retty Isnendes
Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol. 18 No. 2 (2016)
Publisher : LIPI Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14203/jmb.v18i2.411

Abstract

This article takes the theme of seba ceremony held by the traditional community of Baduy, which is assumed to be a traditional-political journey that has been held for centuries since the founding of Banten Sultanate. The writing aims to: Explain text (ceremony event) and describe the co-text and context of seba ceremony. The method used was descriptive qualitative, conducted through library research, observation, interview, and recording. Data were processed using transcription, analysis, and interpretation. The data collected consisted of seba leutik (small seba) ceremony from May 1-5, 2014 and seba ageung (the grand/big ceremony) from April 23-26, 2016. The results reveal that seba ceremony is held simultaneously by Baduy community (Baduy Luar and Dalam/Outer and Inner Baduy) with different procedures. What distinguishes the ceremony is the existence of lalampah, a journey heading to the capitals of the Regency and Province, which is done by Baduy Dalam community by foot, while Baduy Luar community do this by vehicle. The seba ceremony itself consists of seba ageung (the grand/big ceremony) and seba leutik (small seba), held annually. Seba is the awarding of marks of honor and recognition by Baduy community as those who ‘nu tapa di mandala’ (meditate in the holy land) to those who ‘nu tapa di nagara’ (meditate in the state). With these political marks, they expect that their rights of communal land protection and community prosperity will be fulfilled. The accompaniments to the text of seba are goods resulted from the holy ritual of kawalu, namely laksa and produce as well as rajah utterances (mantra) and traditional speeches. Keywords: Seba Baduy, traditional politic, Sunda Wiwitan Tulisan ini mengangkat upacara seba yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy yang diasumsikan sebagai perjalanan politik tradisional yang telah dilakukan berabad-abad lamanya, semenjak kesultanan Banten berdiri. Tujuan tulisan ini adalah: memaparkan teks (peristiwa upacara), mendeskripsikan ko-teks, dan konteks upacara seba. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik studi pustaka, observasi, wawancara, dan perekaman. Pengolahan data dilakukan dengan transkripsi, analisis, dan interpretasi. Data yang dikumpulkan adalah upacara seba leutik (seba kecil) pada tanggal 01 s.d. 05 Mei 2014 dan seba ageung (seba besar) pada tanggal 23-26 April 2015. Hasilnya adalah bahwa upacara seba dilakukan pada waktu bersamaan oleh masyarakat Baduy (dalam dan luar) dengan tata cara yang berbeda. Hal yang membedakannya adalah adanya lalampah yang dilakukan oleh orang Baduy Dalam dengan berjalan kaki menuju kota Kabupaten dan Propinsi, sedangkan orang Baduy Luar menggunakan kendaraan. Upacara seba terdiri atas seba ageung (seba raya/besar) dan seba leutik (seba kecil) yang dilakukan selang setahun sekali. Seba adalah menyerahkan tanda penghormatan dan penghargaan masyarakat Baduy sebagai ‘nu tapa di mandala’ (yang bertapa di tanah suci) pada mereka ‘nu tapa di nagara’ (yang bertapa di negara). Dengan tanda politis tersebut, mereka berharap haknya terpenuhi atas perlindungan tanah ulayat dan kesejahteraan masyarakatnya. Hal-hal yang menyertai teks seba adalah barang-barang yang berupa hasil ritual suci kawalu, yaitu laksa dan hasil bumi, juga tuturan rajah (mantra) dan pidato tradisional. Kata kunci: Seba Baduy, politik tradisional, Sunda wiwitan
ESTETIKA SUNDA SEBAGAI BENTUK KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUNDA TRADISIONAL DALAM SAWANGAN PENDIDIKAN KARAKTER Retty Isnendes
Edusentris Vol 1, No 2 (2014): Juli
Publisher : Universitas Pendidikan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (939.13 KB) | DOI: 10.17509/edusentris.v1i2.145

Abstract

Tulisan ini mengangkat estetika Sunda dalam hubungannya dengan pendidikan karakter dalam menjawab persoalan-persoalan budaya pada konteks kekinian.Tujuannya adalah memaparkan: 1) estetika Sunda dari sudut kosmologi, falsafah, dan karya sastra, dan 2) estetika Sunda dan pendidikan karakter. Data dikumpulkan melalui penelusuran pustaka. Adapun pengolahan data dilakukan dengan cara analisis dan interpretasi terhadapnya. Kesimpulan tulisan ini adalah bahwa estetika Sunda yang merupakan kearifan lokal masyarakat Sunda sangat luas jangkauan dan kaya jenisnya memperlihatkan karakter tauladan yang sudah jadi pada masyarakat Sunda, yang bila ditautkan dengan nilai pendidikan karakter yang ditawarkan Kementrian Pendidikan Nasional bersejajaran dengan 16 dari 18 nilai yang ada.Kata Kunci: Estetika Sunda, kearifan lokal, pendidikan karakter
Cerita Pangeran Kornel dalam Perspektif Sastra dan Sejarah Danan Darajat; Dedi Koswara; Retty Isnendes
Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Vol 4 No 4 (2021)
Publisher : Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (800.93 KB) | DOI: 10.30872/diglosia.v4i4.273

Abstract

This article is motivated by ambiguity about a famous Cadas Pangeran road construction figure, Prince Surianagara Kusumahdinata or Prince Kornel. The approaches used in this article are descriptive and historical methods, literature review techniques, documentation studies, and interviews. The article aims to find out: (1) the character of Prince Kornel from a literary perspective; (2) the character of Prince Kornel from a historical perspective; (3) the synchronization of Prince Kornel's character in literature and history. The results show that the character of Prince Kornel in literature and history is not significantly different. The difference is that there is imagination in literature to build certain atmospheres that make the story more alive, and in history, it is based on existing historical facts. In addition, the character of Prince Kornel has a correlation viewed from matters relating to literature and history. The conclusion is that the story of Prince Kornel in literature is produced by historical events and the community's oral tradition about Prince Kornel that spread in Sumedang Regency. It can be said that the story of Prince Kornel from literary and historical perspectives is interconnected and influences each other.