Claim Missing Document
Check
Articles

Urgensi Pengaturan Kriminalisasi Bagi Pelaku Pemerkosaan Sesama Jenis Terhadap Orang Dewasa Dendy Valerian Wibowo; Frans Simangunsong
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 6 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v3i6.5923

Abstract

Perbuatan homoseks, khusunya mengenai tindak pidana penipuan sesama jenis terhadap orang dewasa di Indonesia masih terdapat kesamaran hukum dalam penegakannya di Indonesia. Perbuatan tersebut hanya dicerca sebagai perbuatan cabul, hal ini menurut pasal 292 KUHP dan juga pasal 414 KUHP sedangkan perbuatan cabul itu identik dengan korban yang masih dibawah umur dan juga cabul sendiri dimaknai sebagai perbuatan penyimpangan seksual yang hanya bertujuan untuk melakukan hubungan seksual bukan hubungan sejenis . Maka hal itu perlu ditegaskan dan diperjelas lagi didalam peraturan perundang-undangan maupun RKUHP agar tercapai cita-cita hukum bangsa Indonesia dan juga untuk keamanan Masyarakat Indonesia. Kajian ini mengkaji mengenai urgensi pengaturan kriminalisasi bagi pelaku penipuan sejenis terhadap orang dewasa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan memfokuskan pembahasan mengenai pentingnya dalam membentuk peraturan-peraturan-undang-undang yang jelas terkait permekosaan jenis terhadap orang dewasa di Indonesia. Hasil penelitian ini menggambarkan pentingnya Kriminalisasi perbuatan homoseksual khususnya tindak pidana penipuan sesama jenis terhadap orang dewasa di Indonesia.
PERLINDUNGAN HUKUM PENDUDUK NON PERMANEN YANG TIDAK MEMILIKI SKPNP DALAM ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Serliana Novita Rossalia Ardiana Putri; Frans Simangunsong
SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 2 No. 6 (2023): SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, Desember 2023
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/seikat.v2i6.1087

Abstract

Perlindungan hukum bagi penduduk non permanen yang belum memiliki Surat Keterangan Penduduk Non Permanen (SKPNP) perlu mendapat perhatian khusus dalam kerangka administrasi kependudukan. Administrasi kependudukan memiliki peran strategis dalam mendukung kebijakan, pengambilan keputusan, dan layanan publik. Penduduk non permanen, yang sering tinggal dalam jangka waktu tertentu di suatu wilayah dan menghadapi tantangan dalam mendapatkan pengakuan hukum. Dimana identitas pribadi tersebut memiliki signifikansi besar sebagai tanda pengenal sekaligus indikator status kewarganegaraan seseorang, yang menjadi kunci untuk memperoleh hak-hak yang bersangkutan.Bagian Atas Formulir  Metode yang diterapkan adalah pendekatan yuridis normatif, yang melibatkan analisis bahan kepustakaan dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan dan analisis sumber pustaka atau data sekunder terkait hukum administrasi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman mengenai pengaturan hukum dalam konteks tersebut dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau peningkatan pengetahuan hukum bagi aparatur penegak hukum dalam menangani kasus seperti ini. Dari penelitian dan analisis yang telah dilakukan, perlu diketahui mengenai perlindungan hukum bagi penduduk non permanen yang belum memiliki SKPNP dalam administrasi kependudukan. Maka, penduduk non permanen harus berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam penyelenggaraan kependudukan, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah, instansi terkait, dan penduduk tidak tetap untuk memperbaiki penyelenggaraan penduduk tidak tetap.
PERLINDUNGAN HUKUM PENDUDUK NON PERMANEN YANG TIDAK MEMILIKI SKPNP DALAM ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Serliana Novita Rossalia Ardiana Putri; Frans Simangunsong
SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 2 No. 6 (2023): SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, Desember 2023
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/seikat.v2i6.1087

Abstract

Perlindungan hukum bagi penduduk non permanen yang belum memiliki Surat Keterangan Penduduk Non Permanen (SKPNP) perlu mendapat perhatian khusus dalam kerangka administrasi kependudukan. Administrasi kependudukan memiliki peran strategis dalam mendukung kebijakan, pengambilan keputusan, dan layanan publik. Penduduk non permanen, yang sering tinggal dalam jangka waktu tertentu di suatu wilayah dan menghadapi tantangan dalam mendapatkan pengakuan hukum. Dimana identitas pribadi tersebut memiliki signifikansi besar sebagai tanda pengenal sekaligus indikator status kewarganegaraan seseorang, yang menjadi kunci untuk memperoleh hak-hak yang bersangkutan.Bagian Atas Formulir  Metode yang diterapkan adalah pendekatan yuridis normatif, yang melibatkan analisis bahan kepustakaan dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan dan analisis sumber pustaka atau data sekunder terkait hukum administrasi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman mengenai pengaturan hukum dalam konteks tersebut dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan atau peningkatan pengetahuan hukum bagi aparatur penegak hukum dalam menangani kasus seperti ini. Dari penelitian dan analisis yang telah dilakukan, perlu diketahui mengenai perlindungan hukum bagi penduduk non permanen yang belum memiliki SKPNP dalam administrasi kependudukan. Maka, penduduk non permanen harus berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam penyelenggaraan kependudukan, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah, instansi terkait, dan penduduk tidak tetap untuk memperbaiki penyelenggaraan penduduk tidak tetap.
THE BASIS OF THE CORRUPTION ERADICATION COMMISSION’S AUTHORITY TO CARRY OUT CONFISCATION IN CORRUPTION CRIMES Mubarooq Ilahi; Frans Simangunsong
IBLAM LAW REVIEW Vol. 4 No. 1 (2024): IBLAM LAW REVIEW
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM IBLAM)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52249/ilr.v4i1.299

Abstract

The issue is about the basis of the authority of the Corruption Eradication Commission to confiscate corruption crimes that have not been enforced by permanent law (inkrach) from the district court. This study aims to find out what is the basis for the authority of the Corruption Eradication Commission to confiscate in corruption crimes and how the legal position of seized goods in corruption crimes. By using normative research methods, it can be concluded that: 1. The basis of authority of the Corruption Eradication Commission is Law Number 30 of 2002 Article 47 paragraph 1 of Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission and Law Number 31 of 1999 concerning the eradication of corruption as amended by Law Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Corruption crimes. 2. The legal position of confiscated goods will certainly be used as evidence by the Corruption Eradication Commission as law enforcement. However, there are often obstacles in the management of confiscated goods. Then confiscated goods can also be auctioned even though there has been no permanent force legal decision (inkrach) from the district court.
Perlindungan Hukum Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan Pembunuhan Berencana Azizah Nurina Putri; Frans Simangunsong
Terang : Jurnal Kajian Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 1 No. 2 (2024): Juni : Terang : Jurnal Kajian Ilmu Sosial, Politik dan Hukum
Publisher : Asosiasi Peneliti dan Pengajar Ilmu Hukum Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62383/terang.v1i2.345

Abstract

Indonesia is a nation that abides by the Constitution of 1945 and Pancasila. Indonesia has encountered a multitude of illicit issues, both collective and individual, in recent years. One such offense is homicide with premeditation. This is a common occurrence in communities, families, and even police departments. Police officers are commonplace individuals who are susceptible to committing unlawful acts, notwithstanding the responsibilities and functions they perform. A considerable number of National Police personnel have been convicted of premeditated homicide. Consequently, the objective of this study is to ascertain the following: 1) the protocols governing the submission of petitions by suspects accused of premeditated homicide committed by police officers; and 2) the legal defense strategies employed by such suspects. The author addressed the issues addressed in this study from two perspectives: an empirical juridical approach and a normative juridical approach. Secondary data was acquired through literature reviews (Library Research), whereas primary data was obtained through field investigations (Field Research). In public trials, police officers occupy the same position as other civilians, according to research findings. Defense efforts may be initiated during a public trial by having the "Pledoi" read aloud. The indictment and defense cannot be presented until the judge declares the conclusion of the case examination. The written defense is submitted subsequent to the prosecutor's submission of the demands. The Pledoi comprises the following: the defendant's identity, an introductory section, a description of the objections raised against the charges filed, an indictment, the facts that were disclosed during the trial, a juridical analysis, and a concluding section.
Indonesian State Intelligence Agency’s Responsibility in Negligence Wiretapping Evidence of Terrorism Suspect Aryasepta Syaelendra; Frans Simangunsong
Terang : Jurnal Kajian Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 1 No. 2 (2024): Juni : Terang : Jurnal Kajian Ilmu Sosial, Politik dan Hukum
Publisher : Asosiasi Peneliti dan Pengajar Ilmu Hukum Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62383/terang.v1i2.364

Abstract

Wiretapping evidence include in confidential evidence which need to be guarded and become State Intelligence needs for prove at trail court purpose, this become crutial to keep in mind this confidential evidence is State Intelligence’s responsibility to keep convidential secret. negligence nor deliberate State Intelligence personel in keeping wiretapping evidence that usually form as voice convertation record or personal text massages from suspects and/or terorism executant becomes important when it comes to confidential guarantee remembering it writtens on Undang – undang, proofing convidential evidence on court are needs to prove for the purpose of next investigation. State Intelligence can get permission doing wiretapping for the next six month untill undetermined time limit, Lack of laws in which regulates specifically regarding the responsibilities of the Intelligence Agency if negligence occurs in preserving evidence becomes important and not limited to code of ethics sanctions. Using normative juridical methods to find out the basic basis for the importance of updating the Intelligence Agency's code of ethics in accounting for the evidence carried by each personnel. Apart from that, this research also aims to determine the form of accountability of the State Intelligence Agency in its responsibilities.
PEMBUKTIAN GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dian Dwi Marsella; Frans Simangunsong
Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance Vol. 3 No. 3 (2023): Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance
Publisher : Gapenas Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53363/bureau.v3i3.362

Abstract

Corruption crimes uses the theory of reverse proof or reversal of the burden of proof but in a balanced manner The type of evidence in this study is the type of proof of cases of gratification crimes. There are 2 problems studied in this study, namely the first, whether the proof of Gratification of sexual services in the procedural law of criminal acts in Indonesia The second, How to Expand the Meaning in Article 12b  research using statutory  approaches and concepts supported by prescriptive techniques. In eradicating the criminal act of gratification, this evidentiary system will be convicted if the defendant cannot prove the property he owns within the opportunity given by the judge in in court to be obliged to prove that the defendant did not commit a criminal act of gratification. The difficulty in the reverse application system in terms of legal substance is still weak because it is still limited to the recognition of the rights of the accused, not the obligation of the accused to carry out evidence
PENEGAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PELANGGAR KEKARANTINAAN KESEHATAN COVID-19 Tri Oktaviani, Indah; Simangunsong, Frans
COURT REVIEW Vol 3 No 04 (2023): ILMU HUKUM
Publisher : COMMUNITY OF RESEARCH LABORATORY (KELOMPOK KOMUNITAS LABORATORIUM PENELITIAN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69957/cr.v3i04.1151

Abstract

WHO menyatakan ada tambahan varian virus Corona yang lebih mudah menular dan resisten terhadap vaksin. Pemerintah Indonesia diwajibkan untuk mencegah masuknya varian tersebut ke wilayah Indonesia. Pencegahan ini diwujudkan dengan menerapkan kebijakan karantina yang berpedoman pada Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun, ada kesenjangan antara jumlah pelanggaran dan rendahnya tingkat penyelesaian kasus. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpatuhan masyarakat terhadap ketentuan karantina setelah bepergian ke luar negeri. Hal ini bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Karantina Kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan legalitas dan konstruksi hukum penyusunan UU Karantina Kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Hasil kajian menunjukkan bahwa pelanggaran UU Karantina Kesehatan dapat dipidana guna memberikan kepastian dan penegakan hukum berdasarkan asas ultimum remedium apabila memenuhi ketentuan UU Karantina Kesehatan. Dengan demikian, evaluasi muatan hukum terkait akibat yuridis, dan sosialisasi sebagai upaya persuasif dan strategi komunikasi perlu dilakukan agar transparansi akibat hukum dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
RESTITUSI SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Azizah, Aprilia Dela Nurul; Simangunsong, Frans
COURT REVIEW Vol 4 No 04 (2004): ILMU HUKUM
Publisher : COMMUNITY OF RESEARCH LABORATORY (KELOMPOK KOMUNITAS LABORATORIUM PENELITIAN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69957/cr.v4i04.1568

Abstract

Kajian ini mengkaji kerangka hukum di Indonesia mengenai hak restitusi bagi korban kejahatan perkosaan melalui kacamata metode penulisan hukum normatif, meliputi analisis konstitusi, kasus, dan komparatif. Penulisan ini berupaya untuk mengetahui berbagai manifestasi kekerasan seksual, hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku, dan hak restitusi hukum yang diberikan terhadap korban perkosaan. Restitusi mencakup pemberian reparasi terhadap korban sebagai pengakuan atas kerugian yang ditimbulkan akibat aktivitas yang melanggar hukum. Walaupun korban perkosaan seringkali mengalami kerusakan fisik dan mental yang parah, penerapan perlindungan hukum yang ada saat ini masih kurang. Sanksi dikenakan terhadap pelaku yang tidak mampu membayar kewajiban restitusi yang terutang terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual yang mana tercatat dalam UU No 12 Thn 2022. Bantuan dan dukungan hukum yang memadai sangat diperlukan untuk membantu korban dalam mengatasi dampak perkosaan dan kekerasan seksual. untuk mengembalikan keadilan bagi korban penyerangan. Penulisan ini berupaya untuk meningkatkan kerangka hukum yang melindungi terhadap kekerasan seksual, dengan fokus khusus pada hak atas restitusi yang diberikan terhadap korban kejahatan terkait pemerkosaan.
Urgensi Pengaturan Sanksi Pidana Bagi Penyidik Kepolisian yang Terlambat Memusnahkan Narkotika Ilmi, Iqbal Miftahul; Simangunsong, Frans
CERMIN: Jurnal Penelitian Vol 7 No 2 (2023): Agustus - Desember
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat - Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36841/cermin_unars.v7i2.3792

Abstract

Tindak pidana Narkotika sangat meresahkan bagi semua negara yang ada di dunia, maupun di Indonesia sendiri. Dikarenakan dari beredarnya narkotika yang sangat tidak terkontrol menjadikannya sebagai kejahatan yang luar biasa. Kepolisian menjadi salah satu institusi yang berhak dalam penangkapan tindak pidana Narkotika. Beberapa tahapan untuk telah dilakukan dimulai dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pemeriksaan. Pengaturan tentang sanksi pidana terhadap pihak kepolisian yang terlambat memusnahkan narkotika masih memuat norma yang samar. Dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dikatakan bahwa Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari apabila berkaitan dengan suatu daerah yang sulit untuk dijangkau karena faktor geografis atau transportasi. Tetapi apabila telah melewati batas yang ditentukam, maka sanksi yang diterima tidak diketahui dan tidak ada kepastian hukum yang mengatur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hukuman apa yang seharusnya diberi kepada kepolisian apabila terlambat memusnahkan barang bukti narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif, Jenis penelitian ini memfokuskan pada pengumpulan bahan-bahan hukum, dan mencari kebenarannya untuk mendapatkan solusi dari pemasalahan.