Claim Missing Document
Check
Articles

Kidungan Jula-juli in East Java: Media of Criticism and Propaganda (From The Japanese Occupation Era to The Reform Order in Indonesia) Setiawan, Aris
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 21, No 1 (2021): June 2021
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v21i1.27116

Abstract

This research aims to determine the historical construction of criticism and propaganda formed in Kidungan Jula-juli performance in each era. Kidungan is a song in the Gending Jula-juli in East Java. The musical text presented in the song seems to be open (blak-blakan [openness]), assertive, and emotionally becomes the power of criticism. Historical issues concerning the function of Kidungan Jula-juli are interesting enough to be known, thus encouraging this study to get a basic and detailed understanding of the historical stages of the role of Kidungan Jula-juli from the Japanese era to the reformation era. This study using a historical approach and emphasizes the problem of music function. The analysis was carried out by looking at the ideas, concepts, and cultural references that accompanied the performance of Kidungan Jula-juli. The results of this study indicate the dynamics of the function of criticism and propaganda in Kidungan Jula-juli. During the Japanese occupation era, Kidungan Jula-juli was very sharp in its role as an instrument of the independence movement; from 1950 to 1965, Kidungan Jula-juli was used by political parties to strengthen political support and propaganda. In the New Order Era, kidungan lost the function of criticism.  The state controlled it for the sake of propaganda and the legitimacy of power.  Kidungan Jula-juli is more open and present on a stage with other performing arts in the era of the reform order.
Jula-Juli Pandalungan dan Surabayan Ekspresi Budaya Jawa-Madura dan Jawa Kota Aris Setiawan; Suyanto Suyanto; Wisma Nugraha Ch. R.
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 18, No 1 (2017): April 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.938 KB) | DOI: 10.24821/resital.v18i1.2232

Abstract

Jula-juli dianggap sebagai salah satu gending di Jawa Timur yang mampu mencerminkan ciri khas-karakter musikal masyarakat Jawatimuran. Pandangan ini diperoleh karena hampir setiap wilayah di Jawa Timur menggunakan gending ini sebagai identitas musikal mereka. Indikasinya, nama gending Jula-juli senantiasa diikuti oleh nama wilayah di Jawa Timur, semisal Jula-juli Surabayan, Pandalungan, Jombangan, Malangan, dan lain sebagainya. Uniknya, walaupun gending ini memiliki kerangka musikal yang sama, namun mampu memunculkan kesan, karakter, nuansa dan suasana yang berbeda antar satu daerah dengan yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan yang dibangun antara Jula-juli Pandalungan  dan Surabayan sebagai fakta musikal dengan dimensi pengalaman pelakunya sebagai fakta kultural. Penelitian ini menggunakan pendekatan estetik dan sosiologi musik. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa  Jula-juli Pandalungan adalah representasi dari masyarakat keturunan Jawa-Madura dalam upaya menjadi Jawa sejati, sementara Jula-juli Surabayan adalah pengkultusan dari karakter budaya kota. Keduanya dapat menyatu sebagai entitas musikal dalam pertunjukan dan menjadi wacana perlawanan antara dominasi Jawa dan masyarakat pendatang. Jula-Juli Pandalungan and Surabayan: The Expression of Javanese-Madurese and Javanese Urban Culture. Jula-juli is considered as one of gending (traditional music) pieces in East Java which is able to reflect its musical characteristic of Jawatimuran society. This opinion gained by the fact that almost every region in East Java uses this gending as their musical identity. The indication points out the name of Jula-juli gending which is followed by the name of region of East Java, for instances Jula-juli Surabayan, Pandalungan, Jombangan, Malangan, etc. Although the unique thing of this gending has samilar musical frame among those regions, but it is capable to emerge such as sense, character, nuance, and different atmosphere among the regions. This research is aimed to reveal the relation which is built between Jula-juli Pandalungan and Surabayan as the musical fact to the dimension of the experiences owned by the subjects as the cultural fact. This research applies approaches of estetic and of sociological of music. The result of the research shows that Jula-juli Pandalungan is the representation of the society of Javanese-Madurese generation for the effort as being the true Javanese, meanwhile Jula-juli Surabayan is the form of cult from the character of urban culture. Both are able to unite as the musical entity on a performance, but on the other hand, it can be the resistance discourse between Javanese domination and migrant community.
Problematika Seni pertunjukan Tradisi di Sekolah Aris Setiawan
Didaktis: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (67.479 KB) | DOI: 10.30651/didaktis.v15i1.37

Abstract

Kata tradisi seolah sudah menjadi sangat kuno bagi sebagian anak sekolah pada jaman ini. Mereka menganggap kata itu identik dengan ketertinggalan jaman  atau kurang keren. Apalagi keberlangsungan tradisi dalam konteks seni pertunjukan di sekolah mendapat respon seakan keberadaannya jauh dari modernitas. Kurangnya minat terhadap seni pertunjukan tradisi adalah salah satu bentuk ekspresi anak sekolah pada jaman ini. Hal inilah membuat anak sekolah jauh dari kata itu. Sehingga mereka hanya mengenal  budaya barunya yang disebut dengan modern.Di sisi lain sumber daya pendidik dalam mengenalkan seni tradisi masih jauh dari harapan. Apalagi sarana prasarana yang mendukung keberlangsungan pertunjukan seni tradisi masih sangat kurang. Melihat persoalan itu maka ada permasalahan yang mesti dilihat secara perspektif sehingga anak mampu memahami tradisi sebagai nilai dan identitas bagi dirinya. Untuk itulah pembahasan makalah ini bertujuan untuk mencari akar masalah dan solusi yang tepat dalam memaknai seni pertunjukan tradisi yang mempunyai nilai dan identitas yang kuat khususnya di sekolah.     Kata Kunci: Minat siswa , Sumber Daya, Sarana Prasarana
DIYAT SARIREDJO: PANDANGAN DAN KONSEP PEMIKIRANNYA Aris Setiawan
Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Vol 8, No 1 (2012)
Publisher : Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (509.382 KB) | DOI: 10.33153/dewaruci.v8i1.1083

Abstract

Diyat Sariredjo is a highly skilled maestro of East Javanese karawitan. His name is often mentioned in relation to thedevelopment of karawitan in East Java at the time when he was a composer, arranger, and head of the karawitan group atRadio Republik Indonesia in Surabaya. Because of the regulation for a routine broadcast of East Javanese karawitan,Diyat’smusical patterns on the kendang and rebabwere usedwidely as a reference by karawitan artists throughout EastJava and in particular in Surabaya.Diyat not only performed East Javanese style gending but also initiated a number ofmonumentalworks of karawitan.Dayat Sariredjomay be said to be the onlymaestro ofEast Javanese karawitanwho is notonly a highly skilled performer but also has the ability to formulate concepts and theories of East Javanese style karawitan.This was supported further by his position as a teacher at Sekolah Menengah Karawitan Indonesia and SekolahTinggiKesenianWilwatikta Surabaya during the 1980s.He transmittedmany thoughts and ideas both to his studentsand colleagues. One of the concepts that Diyat Sariredjomanaged to develop was an analysis of pathet and the sirikantones in compositions of East Javanese karawitan.Diyat’s version of pathet is unique since it is basedmore on the strongseleh of themainmelody (balungan) in a gending (referred to as the tonic). In addition, in order to reinforce the sense ofpathet, every gending has certain “prohibited” noteswhich should be avoided (sirikan). ToDiyat, these notes should beavoided in order that the colour of a particular pathetmay emergemore strongly.On the contrary, if a gending contains toomany of these prohibited notes, the colour or sense of the pathet in a gendingmay become obscure or biased.Keywords:Maestro, concept of thoughts, pathet, prohibited notes.
KONFIGURASI KARAWITAN JAWATIMURAN Aris Setiawan
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 11, No 1 (2013)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (451.571 KB) | DOI: 10.33153/glr.v11i1.1427

Abstract

Jawatimuran karawitan/ east Java musicians during its development become into a sub dominantwhen compared with Surakarta or Yogyakarta. Jawatimuran said often as a complement to thewriting of that two major genres of the musical. As a result, many ordinary people who think KarawitanJawatimuran is not somewhat different with style from Surakarta and Yogyakarta . This article triesto use descriptive analysis, ie, classifying data related to the uniqueness Karawitan Jawatimuranthen assembled , analyzed, presented in a coherent and deeply. Thus ,to bring back its configuration(appearance of ) musical Jawatimuran not merely re- describe, but as an attempt to make senseof today’s its appearance increasingly not find space discourse. The result can be seen thatJawatimuran musicians have different specifications, namely forms, techniques, terminologyand so forth.
Perkembangan Etnomusikologi di Indonesia: Review Tiga Disertasi Aris Setiawan
Pelataran Seni Vol 2, No 2
Publisher : Program Studi Pendidikan Seni Pertunjukan FKIP ULM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20527/jps.v2i2.5204

Abstract

Perkembangan Etnomusikologi di Indonesia selama ini belum dapat dibaca dengan jelas, karena tidak adanya parameter dan tolok ukur ideal. Dengan demikian, dibutuhkan upaya untuk mengetahui sejauh mana Etnomusikologi dan dunia kajian musik telah hadir, eksis dan berubah dari waktu ke waktu. Artikel ini, berusaha menyajikan review penelitian-penelitian etnomusikologi dan kajian musik mutakhir, terutama dalam konteks penggunaan aplikasi teori. Tiga naskah terpilih adalah disertasi dari Aton Rustandi Mulyana tentang fenomena Ramen di Indramayu, Zulkarnain tentang Khejungan di Madura Barat, serta Bambang Sunarto tentang epistemologi penciptaan musik. Pemilihan tiga disertasi tersebut didasarkan pada alasan, karena ketiganya menempatkan musik dalam kerangka dan perspektif yang berbeda sehingga dapat memungkinkan terbentuknya suatu wacana dan paradigma yang baru. Review ini adalah upaya pembacaan, tidak sekadar mengulas, namun juga melakukan kritik dan koreksi terhadap persoalan, wacana, paradigma, dan teori yang digunakan. Hasil dari review tiga disertasi tersebut menunjukkan bahwa dunia etnomusikologi dan kajian musik di Indonesia telah mengalami perluasan objek kajian, tidak semata menempatkan musik sebagai teks yang diteliti, namun juga pada sisi konteksnya seperti masyarakat, sosial, politik dan kultural.Kata kunci: etnomusikologi, kajian musik, keramaian, gaya nyanyian, epistemologi penciptaan seni
Meko: Bentuk dan Makna Gong Rote dalam Tarian foti Apris Yulianto Saefatu; Zulkarnaen Mistortoify; Aris Setiawan
Gondang: Jurnal Seni dan Budaya Vol 6, No 1 (2022): GONDANG: JURNAL SENI DAN BUDAYA, JUNI 2022
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gondang.v6i1.32085

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan simbolis makna Gong Rote yang terkandung dalam tarian foti. Tarian Foti merupakan tarian tradisional yang berasal dari pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Tarian ini ditampilkan oleh seorang penari pria dengan menampilkan gerakan yang atraktif dan 'energik'. Tarian foti sering ditampilkan baik dalam budaya maupun acara ceremonialdalam masyarakat pulau Rote Ndao. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, dimana proses pengumpulan data dilakukan secara deskriptif dengan desain penelitian fenomenologi. Data penelitian dikumpulan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, serta aktivitas, dan transkripsi. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa, bentuk musik ritmik dari Gong Rote terdiri dari beberapa elemen irama yaitu ketukan, aksen, dan pola. Makna simbolis dari bentuk musik ritmik Gong Rote dalam tarian foti adalah sebagai simbol semangat, ketangkasan, dan keperkasaan sserta identitas masyarakat. Gong Rotedimaknai masyarakat sebagai simbol yang menarik semangat keluarga, yang kemudian memberikan perjuangan menjalani kehidupan dalam keluarga maupun sesama.
Revitalisasi Tari Topeng Kemindu Kutai Kartanegara ing Martadipura Kalimantan Timur Belinda Astriddana; Nanik Sri Prihatini; Aris Setiawan
Gondang: Jurnal Seni dan Budaya Vol 6, No 1 (2022): GONDANG: JURNAL SENI DAN BUDAYA, JUNI 2022
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gondang.v6i1.32790

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk membangkitkan kembali ketertarikan generasi muda sebagai warisan budaya lokal. Pengenalan budaya keraton kepada masyarakat adalah sebuah gebrakan dalam menggalakkan pariwisata sekaligus sebagai penjaga cagar budaya. Suatu pengorbanan dalam kesenian yang dilakukan Sultan ke-20, Sultan H. Adji Muhammad Salehuddin II untuk mendapatkan pengakuan keberadaan mahligai Kutai Kartanegara. Dengan memperbolehkan tarian klasik tari Topeng Kemindu untuk dibawakan oleh masyarakat di luar lingkungan keraton. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian pengembangan yang tidak hanya membuat sesuatu yang baru, tetapi juga dapat memperbaiki seni tari yang hampir hilang sehingga memperoleh sintesis pengetahuan baru. Dengan melihat permasalahan mengenai kepentingan dan peran Tari Topeng Kemindu, penelitian ini menggunakan perspektif fungsionalisme. Perbedaan peran yang dimiliki Tari Topeng Kemindu dari masa ke masa mempunyai tujuan untuk mempertahankan budaya yang dimiliki Kedaton Kutai Kartanegara. Jejak akulturasi ini sudah bertahan selama kurang lebih 8 abad semenjak peninggalan hubungan diplomasi antara Kerajaan Kutai Kartanegara dengan Kerajaan Majapahit. Tidak heran jika banyak kemiripan motif gerak, musik, dan kostum yang digunakan dalam kesenian tersebut. Hasilnya, Tari Topeng Kemindu selalu ada dalam perhelatan masyarakat di dalam maupun luar keraton yang digelar oleh Sultan seperti Festival Erau, penobatan sultan, perayaan kelahiran di kalangan keluarga bangsawan dan dikenal sebagai pewaris budaya kerajaan Kutai Kartanegara.
PEMBERDAYAAN POTENSI ANAK MELALUI SENI KARAWITAN DI SDN SABRANG LOR MOJOSONGO SURAKARTA ARIS Setiawan
Abdi Seni Vol 6, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/abdiseni.v6i1.2252

Abstract

Dewasa ini karawitan anak mengalami kemajuan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut tidak lepas dari peran pendidikan baik di sekolah maupun di keluarga. Peran program sekolah dalam mengadakan esktra atau muatan lokal seni daerah juga menjadi jembatan awal pengenalan seni karawitanterhadap anak-anak. Di samping itu, pemerintah daerah juga telah turut andil dalam menyediakan ruang khusus, atau ajang untuk mengekspresikan dan memamerkan ketrampilan memainkan gamelan bagi anakanak, seperti acara lomba karawitan, pentas seni, kreativitas anak Solo (Kreaso), dan lain sebagainya. Atas dasar kondisi inilah kegiatan PKM dosen turut ikut andil dalam menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk kemajuan karawitan anak khususnya di kota Surakarta. Salah satu karawitan anak yang menjadi sasaran program PKM ini adalah SDN Sabrang Lor Mojosongo. Di tempat tersebut terdapat potensianak yang luar biasa dalam memainkan gamelan Jawa, akan tetapi kurang mendapat perhatian khusus, terutama dalam hal pembinaan. Target luaran dari kegiatan ini adalah memaksimalkan potensi anak-anak SDN Sabrang Lor melalui pelatihan karawitan, guna menghadapi lomba karawitan dan pentas seni.Kata kunci: potensi, karawitan anak, gending dolanan.
Wayang Kulit Di Tangan Para Dalang Muda: Hilangnya Nilai Filosofi Suyanto -; Aris Setiawan
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 37 No 4 (2022)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v37i4.2049

Abstract

This study aims to actualize philosophical values in shadow puppets performances for the puppeteer and the younger generation. The object of this research is a shadow puppets performance by young puppeteers in Surakarta and its surroundings. Recently, many young puppeteers have appeared arrogantly on stage, for example: standing up and trampling puppet with their feet, throwing puppet off the stage, cursing or saying rude things, exploiting sexual objects for jokes. Whether we realize it or not, one of the causes of this phenomenon is the gap in understanding the philosophical values of puppetry. Data collection methods in this study were the observation of performances and interviews, while to understand the meaning of symbols captured in shadow puppets performances, the method of understanding meaning was used. The notion of "understanding the meaning" in this context is how meaning can be captured from the puppeteers' expressions, either in the form of sabet (puppets movement), catur (puppeteer vocals), and music presented. The result of this research is an attempt to find the factors that influence the tendency of the young puppeteers to express freely. Finding the factors that influence the more youthful generation tends to like glamorous entertainment alone—actualizing philosophical values in shadow puppets according to the contemporary point of view. The ability of the puppeteers to present messages through shadow puppets performances should have direct implications for his personality, in addition to being a means of mass communication that can reach all levels of society (audience) in general.